Selasa, 29 Maret 2011

NU dan gagasan organisasi mahasiswa NU


MENAKAR  COST AND BENEFIT GAGASAN PEMBENTUKAN WADAH GERAKAN MAHASISWA NU
PBNU benar-benar akan membentuk organisasi gerakan Mahasiswa yang berstruktur di NU. Gagasan-gagasan yang sudah lama di impikan oleh sebagian pengurus NU (elite) ini tinggal menunggu waktu untuk segera terwujud. Hal ini karena Rakernas yang tuntas senin 28 maret kemaren di Pondok Pesantren terbesar di Jogjakarta PP Krapyak telah mencapai kata sepakat dalam salah satu programnya untuk segera membentuk wadah mahasiswa tersebut. akan tetapi pertanyaan besar dari hal tersebut adalah perlukah hal itu di lakukan padahal keberadaan organisasi PMII hingga saat ini masih eksis???
Gagasan untuk pembentukan suatu organisasi atau lebih tepatnya memiliki Organisasi yang diperuntukan bagi mahasiswa kembali mencuat pasca NU kembali ke Khitthoh. Upaya yang dilakukan untuk mewujudkan itu pertama-tama adalah dengan merangkul kembali Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dulunya di lahirkan dari rahim NU itu sendiri. Sayangnya upaya ini hingga saat ini tidak membuahkan hasil karena PMII tetap taat terhadap apa yang telah menjadi konsensus ya’ni  deklarasi Munarjati pada 1972 silam dan kemudian mengambil sikap interdependensi pada 1991 saat NU kembali ke fitrahnya sebagai organisasi yang ngurusin kemasyarakatan dan keagamaan terlapas dari politis praktis (kembali ke Khittoh) sehingga PMII tetap berada di luar structural NU.
Dalam perkembangannya hingga akhir-akhir ini sering kali terjadi keretakan hubungan NU dengan PMII. Jika diamati maka akan kita dapati kesimpulan bahwa bukan siapa yang di persalahkan tapi kenapa hal itu terjadi. Inilah yang selanjutnya menjadi  akar dari ketidak mesraan orang tua dan anaknya ini, hingga mencapai klimaksnya dengan adanya program dari PBNU untuk membentuk badan baru yang langsung di bawah struktur NU sehingga menegasikan posisi PMII yang mau tidak mau di akui bahwa kader terbesarnya adalah dari warga nahdliyyin juga.
NU bukan Parpol tapi berpolitik praktis VS PMII sebagai GerMA
Hitam di atas putih memang NU menyatakan kembali ke Khittahnya yaitu pada 1984 dalam Mu’tamar ke 27 di Situbondo Jawa Timur. Akan tetapi dalam implementasinya terutama setelah kran Reformasi di buka menjadi berbeda dengan kenyataan yang ada sebenarnya. Khittah atau garis yang di ma’nai sebagai cita-cita garis haluan, landasan perjuangan yang di pilih pada saat itu utuk melepaskan NU dari jeratan politik praktis (yang dulunya partai NU kemudian zaman orde baru di fusikan dalam PPP) tidak benar-benar di jalankan.
Ketidak konsistenan para pengurus NU untuk menjalankan khittah sanngat jelas ketika rezim orde baru tumbang, sebab walaupun menyatakan tidak berpolitik praktis toh tetep mendirikan partai yang notabenenya hanya bayangan dari NU atau sebut saja sebagai partai sayap NU. Semakin jelas lagi setelah partai yang di dirikan tersebut ternyata menjadi partai besar dan para panutannya beramai-ramai terjun ke politik praktis. Tak bisa lagi di pungkiri keterlibatan K.H. Hasyim Muzadi dan K.H. Sholahuddin Wahid dalam pencalonan wakil presiden tahun 2004 adalah bukti bahwa syahwat politik praktis dari kalangan pembesar NU masih belum hilang, yang lebih miris beliau-beliau adalah jajaran ketua PBNU yang seharusnya konsen terhadap masalah semacam pengembangan pendidikan dan pengentasan kemiskinan sebagaimana yang telah di gariskan ketika  kembali Khittahnya. Tak cukup demikian perpecahan yang terjadi di kemudian hari karena tidak sepahamnya paman dan keponakan akhirnya menimbulkan perpecahan partai bayangan NU tersebut sehingga makin menimbulkan kebingungan warga nahdliyyin. Hal ini tidak di sikapi dengan bijak oleh para tokoh NU lebih-lebih mereka mendirikan partai juga yang namanya menggunakan nama organisasi besar ini. Sangat di sayangkan bahwa sekali lagi yang mendirikan justru 17 kiyai sepuh yang paling berpengaruh dan di mulyakan oleh jamaah itu.
Oleh karena pertimbangan seperti itulah dalam hal ini kita harus menghargai keistiqomahan PMII memegang teguh prinsip independensi secara structural. Sebab apa jadinya jika PMII sebagai gerakan mahasiswa yang di tuntut memiliki komitmen dalam menjalankan perannya sebagai civil society yang harus memiliki idealisme yang tidak boleh di tawar tapi kemudian harus menjadi onderbouw suatu organisasi yang banci jenis kelaminnya yaitu NU ( maaf saya katakana banci karena katanya statusnya ormas tapi tak lebih dari Parpol).
PMII semakin liar
Organisasi yang didirikan setengah abad silam ini berkembang dengan begitu luar biasa. Umpama bayi ia adalah bayi ajaib, hanya beberapa saat ia bisa melebihi organisasi lainnya. Ia menjadi cepat besar dan sangat besar hingga saat ini bisa di katakana paling besar. Dan sudah tentu penyumbang kader terbesar adalah dari kampus berlatar belakang agama semacam Institut Agama Islam negeri (IAIN) atau dari Universitas Islam Negeri (UIN) yang pada umumnya lulusan pesantren.
Karakteristik Pesantren yang serba ketat, semua aktifis terjadwal dan segala aturan harus di beralukan tanpa kompromi berbanding terbalik dengan kehidupan Kampus yang serba bebas tanpa aturan dan semua memberikan peluang untuk memilih ibarat seorang narapidana yang menghabiskan kehidupannya di ruang pengap di balik jeruji besi secara mendadak mendapatkan pembebasan yang tak terperkirakan sebelumnya. Hal ini secara langsung akan berefek pada kehidupan mereka yang bertransisi dari santri menjadi mahasiswa. Terlebih bahwa mereka memasuki tempat bebas yang menyajikan menu sama yaitu materi agama maka mereka jangan harap bakal memakan materinya menyentuh pun enggan karena mereka sudah ahlinya sejak di pondok pesantren.
Tawaran menarik kemudian dating dari luar yang sama sekali asing bagi otak mahasiswa yang masih lugu ini, sosialisme, liberalism, kapitalisme adalah makanan pembuka, selanjutnya berbekal dari sikap kritis mereka akan menuntut rasionalitas dari semua hal dan tak cukup demikian masalah yang seharusnya tabu untuk di bicarakan akhirnya juga menjadi sasaran. Kritik atas eksistensi ketuhanan kemudian di ungkap public dan menjadi perhatian masyarakat contoh kasus spanduk penyambutan mahasiwa baru di dalah satu UIN di negeri ini yang menyatakan “SELAMAT DATANG DI KAMPUS BEBAS INTERVENSI TUHAN” dan acara Ospek yang dengan terang-terang mengatakan “ANJINGHU AKBAR” akan membuat miris masyarakat yang tidak memahaminya secara menyeluruh.
Tindakan frontal dari kader-kader ini membuat resah para kiyai. Bagaimanapun juga kader-ader itu nantinya yang di harapkan menggantikan mereka dalam membina dan melayani masyarakat Nahdliyyin sepeninggal mereka. Beliau-beliau tak akan pernah rela jika ternyata kondisinya seperti ini, jangankan untuk terjun di masyarakat di terima saja tidak ada kemungkinan lagi dan ini justru berbalik dengan yang seharusnya peran mahasiswa yang di harapkan mampu membawa perubahan-perubahan di masyarakatnya.
Pilihan serba sulit dan keputusan yang tak tepat
Baik  NU dan PMII sama-sama dalam posisi yang sulit terhadap permasalahan ini. Jika NU memaksa PMII untuk masuk kembali ke bawah struktur maka harus siap mengorbankan idealisme yang selama ini di pertahankan sebagai pergerakan. Pergerakan  yang murni tanpa intervensi dan tanpa pesanan dari siapapun juga dalam kebebasan bertindak dan  jika NU tidak semakin sadar posisinya terlebih jika hanya ngurusi perebutan kursi justru masuknya PMII hanyalah sebagai alat untuk mempermudah pragmatisme politik pengurusnya saja. Di sisi lain kekhawatiran para  kiyai memandang tingkah anaknya yang semakin nakal perlu juga menjadi perhatian bersama karena justru jika di diamkan dan semakin tak terkendali justru akan menghancurkan tatanan yang sudah di bangun oleh para sesepuh NU. Hal seperti itu akan mempersulit diri sendiri dalam masyarakat, terputusnya pengkaderan dan kehilangan kepercayaan masyarakat basis adalah konsekwensi dari salah urus ini.
Kembali ke masalah gagasan PBNU yang di tuangkan dalam program seusai rakernas untuk mendirikan suatu wadah baru bagi gerakan mahasiswa NU justru harus di uji lagi. Pasalnya ketika memang ke dunaya bermasalah justru akan menjadikan jarak yang semakin lebar. Dan kemungkinan terbesar jika keputusan itu bener-bener di wujudkan tentunya menimbulkan konflik baik NU vs PMII maupun PMII dengan Organisasi mahasiswa NU yang baru, dan yang terjadi bukanlah persaingan yang sehat akan tetapi kegiatan saling mengancam dan menggembosi sama lain sudah pasti tak terelakkan lagi. Jika demikian yang terjadi maka siapa yang akan di rugikan??? Bukankah PMII mayorits kader dari mahasiswa NU lalu haruskah berhadapan dengan NU sendiri. Ataukah ini sebagai bentuk adu domba, lalu atas kepentingan apa adu domba ini. Jangan-jangan usaha ini ada motive politik di dalamnya???
Kita semua tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi ke depan, jalan terbaik adalah saling merefleksikan diri baik PBNU maupun PMII, inilah moment paling tepat untuk berbenah bagi ke duanya. Tidak perlu lagi mencari siapa yang salah, bukankah tradisi nahdliyin untuk berebut menjadi yang salah? Proses untuk selalu memperbaiki komunikasi dan intensitas berdialog harus selalu di tingkatkan. Semoga penyelesaiannya tidak sampai mendirikan organisasi baru di struktur NU dan tanpa memaksa PMII untuk kembali ke structural dan sinergitas keduanya adalah asset berharga bagi pembangunan bangsa ini sekarang dan kedepan.

Sudah tepat sekiranya PBNU mengambil tempat rakernas di Daerah Istimewa Yogyakarta karena di sinilah dulu pemikir muda di tahun 60an merasa gelisah atas bangsanya, tanggung jawab mereka tak tersalurkan jika hanya belajar dan berbangku tangan. Di sinilah mereka mewujudkan impian besarnya untuk membuat suatu gerakan yang menciptakan perubahan luar biasa bagi Nahdliyyin. Jogjakarta selalu Istimewa.
Wallohu a’lam Bishowabihi
30 maret di rumah baca lafadl Ngayogyakarto jam 10.19 pm.