Rabu, 21 September 2011

PKI dari sudut pandang saya

TRAGEDI  ITU SENGAJA  di “BIARKAN” HIDUP
Benar kata Soekarno dengan mengungkapkan JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah . sejarah  bukanlah ibarat buku “yang sudah selesai”. Apa yang terjadi di masa sekarang tak bisa di lepaskan dari persepsi akan sejarah masa lalu. Dan akan selamanya  bahwa sejarah merupakan catatan bagi para pemenang. Sejarah sebagal alat melegitimasi perbuatannya atas nama kekuasaan, entah itu kebaikan entah itu kejahatan. Sejarah pula lah  yang memberikan stempel pada pribadi seseorang apakah ia pahlawan atau penjahat dengan penilaian yang hamper tidak pernah obyektif.  Jika engkau berkuasa hari ini engkau bisa memproklamirkan dirimu sebagai pahlawan namun jika kekuasaanmu hilang bisa jadi engkau akan di umpat sebagai pecundang yang telah menghancurkan negerinya.
Tahukah engkau bulan apa ini?
Ya benar, bahkan anak sekolah dasar pun akan menjawab kalau bulan ini adalah September. Namun pernahkah engkau berpikir bahwa ada sesuatu yang hilang dari rutinitas tahunan di akhir bulan September.  Jawabannya tentunya bukan dimulainya musim hujan di bulan September. semua tahu bahwa saat ini cuaca tidak bisa di generalisasi sebagaimana hitungan orang-orang tua terdahulu. Jika sejenak merenungkan masa kecil kita dan menengok ke masa lalu, kita akan teringat Pamong Desa yang sejak pagi mendatangi pintu-pintu rumah penduduk untuk sekedar mengingatkan bahwa nanti malam akan di putar film G 30 S/PKI di lapangan desa atau di rumah Kepala dukuh setempat (ma’lum waktu itu Media Elektronik TV masih sangat jarang). Semua penduduk, tak terkecuali   anak-anak dan orang tua yang sudah udzur asal masih sanggup jalan kaki di wajibkan untuk datang. “ingat habis Isya’ teng ya Kang, harus sudah di tempat” kata pamong praja kepada Bapakku. Mengingat usiaku yang masih sangat kecil, Aku tidak begitu memahami isi cerita yang di tampilkan. Film berdurasi kira-kira 4 jam tersebut di putar mulai jam 8  sampai jam 11 malam di TVRI. Satu-satunya stasiun Televisi saat itu. Sebelum pemutaran biasanya di dahulu sedikit kata sambutan dari perangkat desa setempat, kalau bukan Pak Lurah biasanya Pak dukuh tergantung di mana film itu di tonton. Film itu seingat saya di mulai dari menampilkan monument Pancasia yang berdiri tujuh patung pahlawan revolusi dari Angkatan Darat yang di dinding sekitarnya terukir rakyat menari dan menyiksa para elite milter tersebut. Adegan di lanjutkan dengan gerombolan masa yang mengambil senjata entah clurit, belati, kapak dan apapun yang di temukan lalu berbondong-bondong menyerang sebuah komplek pesantren atau masjid yang sedang menjalankan jamaah sholat subuh. Lalu merangsek dengan memukuli dan membacok yang di lanjutkan dengan pengrusakan terhadap Kitab suci Al-qur’an. Jujur saja, sejak kecil saya takut dengan anarkisme semacam itu, sehingga tiap adegan kekerasan Ibu selalu menutupkan telapak tangannya ke muka saya agar tidak melihatnya.
Cerita film tidak berhenti seperti itu saja, tayangan selanjutnya adalah kondisi social ekonomi masyarakat yang terpuruk dengan mahalnya harga kebutuhan pokok. Lalu  dalam suatu ruang sidang  yang di dalamnya ada bendera warna merah palu arit terdapat beberapa orang sedang bercakap-cakap. Setelah itu  adegan penculikan-penculikan para Jendral Angkatan Darat, di mulai dengan Ahmad Yani yang di tembak di tempat dan darahnya di gunakan cuci muka istrinya. Harusnya memang film kekerasan seperti ini tidak boleh di tonton anak-anak tapi apa boleh buat karena sudah menjadi keharusan. Lau cerita berlanjut dengan adegan-adegan kekerasan, dari penculikan para jendral sampai penyiksaan di lubang buaya yang menyayat hati siapapun penontonnya. Pada saat-saat seperti itulah lalu di munculkan sosok Soeharto. Seorang Jendral pimpinan Pasukan komando strategi angkatan darat yang di gambarkan sebagai manusia yang paling berperan dalam menyelamatkan NKRI sekaligus mampu menghancurkan pemberontakan PKI serta menyapu bersih. Sampai akhir cerita alurnya sama, bagaiamana setiap langkah yang di ambil Soeharto untuk menhentikan pemberontakan dan di sisi lain PKI menghadapi kekalahan dan harus menyingkir dari daerah yang di kuasainya sampai akhirnya habis di tumpas . film tersebut di tutup dengan Jendral Soeharto yang akhirnya memperoleh Jabatan Presiden menggantikan Ir. Soekarno.
Itulah film yang selalu rutin di tonton di akhir bulan September. Selalu terasa aneh, kenapa setiap tahun harus melihat film yang sama. Namun, lebih anehnya lagi pada pagi harinya ku selalu menemukan kakak ku membuat ringkasan film itu dan yang selalu diulangnya setiap tahun pula. Dengan rngkasan yang sama pula. Teman kakakku bahkan menggunakan catatan kakaknya sebagai syarat untuk menyelesaikan penugasan dari pihak sekolah.
Ya, itulah kisah nyata 46 tahun yang lalu saat Indonesia baru saja menginjak remaja berusai 20 tahun, usia yang belum bisa di katakan dewasa bagi manusia. Peristiwa paling memilukan dalam catatan sejarah bangsa ini. Peristiwa nyata tentang konflik politik yang lazim terjadi bagi bangsa yang sedang mencari identitasnya. Yang tidak bisa di tolerir adalah jumlah korban yang sangat fantastis, terbesar setelah perang dunia 2. Ada  yang mengatakan mencapai “dua juta” ada pula yang memperkirakan lebih dari “lima juta”. Cukup masuk akal mengingat PKI di masa itu termasuk partai dengan perolehan pada urutan 4 terbesar dengan anggota dan pendukung lebih dari 20 juta.  Peristiwa berdarah itu selain karena anjuran penguasa juga karena adanya balas dendam dan karena kekacauan politik dan ekonomi yang menyebabkan manusia menjadi kalap. Adalah satu cerita daru kakekku bagaimana dalam sebuah hubungan keluarga terjadi rasa saling mencurigai satu dengan yang lainnya. bahkan karena urusan sepele bisa saja berakhir dengan leher tergorok. Hanya saja karena tidak tega melihat bendera palu arit jatuh dan terinjak-injak di tanah lalu mengambilnya, dengan gampangnya ia di cap sebagai anti revolusioner, dan ujung-ujungnya menjadi buronan dan harus mati entah oleh militer atau para militer.
Adalah sebuah cerita sedih yang sering kali di ulang oleh Kakekku bagaimana dua orang yang berharga dalam hidupnya di renggut paksa karena korban ideology yang di pertentangkan. Pertama adalah Pak De yang ia ikut tinggal di rumahnya. Beliau adalah seoarang yang memiliki sawah cukup luas dan pedagang tembakau yang terbilang sukses. Dengan adanya UU no  5 tahun 1960 tentang peraturan Pokok-pokok Agraria, membawa angin segar dan harapan baru bagi pemerataan kesejahteraan terutama petani. Indicator terlaksananya aturan ini adalah adanya pembagian tanah dan pembatasan kepemilikan Hak atas tanah. Mbah Buyutku (Pak De dari kakekku) cukup taat akan pelaksanaan UU ini. Pelaksanaan secara administrative yang lambat oleh pemerintah sehingga janji pemberian tanah tidak segera terealisasikan menyebabkan emosi rakyat tak terhindarkan. Perasaan sensitive ini di manfaatkan oleh PKI untuk mengelola isu dan programnya. Tak heran jika beliau (Pak De Kakekku) kemudian mendapat cap sebagai bagian dari 7 setan desa. Akhirnya ia harus merelakan nyawanya akibat anarkisme masa tanpa tahu kesalahannya. Cerita yang ke dua tak kalah memilukannya. Adalah “Saimin” nama seorang kakak kandung kakekku. Lantaran ia seorang petani dan simpati terhadap gerakan Buruh Tani Indonesia, belum lagi menjadi anggota pada sayap gerakan komunis ini, ia juga harus di korbankan oleh kemauan sejarah. Permasalahan yang di hadapinya cukup remeh, hanya karena isterinya di sukai oleh orang lain, orang tersebut melaporkannya kepada para militer yang turut serta menumpas pemberontak waktu itu. Dan yang ku sedih bila memikirkannya para militer tersebut tak lain adalah sayap gerakan dari Organisasi kemasyarakatan  yang saat ini aku turut terlibat dalam memperjuangkannya. Beliau di tangkap oleh GP ANSHOR, Badan Otonom dari Nahdlotul Ulama’. Di seret di tengah tangis keluarga lalu di eksekusi dengan kepala terpenggal dan di masukkan dalam selokan. Bukan maksud untuk menyalahkan masa lalu apalagi menyalahkan ini dan membenarkan yang lain. Cerita ini saya munculkan agar kita mampu melihat dengan kacamata yang lebih obyektif dalam memandang sejarah. Bukan hanya mempercayai dogma orde baru sebagaimana dalam Film “Penghianatan G 30 S/PKI”.
Seharusnya dengan adanya reformasi bisa membuka mata kita agar sadar bahwa masa kelam masa lampau adalah hal yang sudah berlalu dan cukup menjadi pelajaran dan modal masa depan. Tak perlu menghakimi dengan kesalahan selamanya. Di tingkat masyarakat paling bawah, perasaan ketakutan bahaya komunisme masih ada namun mereka mampu berdamai bahkan menerima pelaku atau keluarga dari pelaku itu untuk hidup di tengah-tengah mereka sebagai anggota masyarakat yang normal tanpa pembedaan. Toh mereka pada asalnya adalah saudara, dan dalam kenyataan, tidak sebagaimana yang di propagandakan pemerintah, mereka adalah orang-orang yang taat dalam menjalankan agamanya. Tidak ada kesan sedikitpun bahwa mereka adalah kaum anti “Tuhan”. Layaknya Haji Misbah yang tetap berpegang teguh dengan agamanya dan mengambil ajaran komunis sebagai sarana menganalisis gejala social kemasyarakatan serta menggunakannya sebagai alat untuk memperjuangkan kaumnya. Hendaknya apa yang terjadi di masyarakat bawah ini patut di berikan pujian dan juga di tiru, supaya perlakuan diskriminatif itu lekas hilang dari bumi Indonesia. Masa suram di masa lalu hanya semata kesalahan politik bukan sebagai dosa sejarah yang harus di tanggung selamanya.
DISKRIMINASI ITU MASIH ADA
Sayangnya pemerintah kita tidak cepat belajar dari masyarakat. Entah warisan rezim orde baru yang telah memusuhi bukan hanya idiologinya namun juga menghukum  mereka bahkan anak cucu mereka yang di rampas hak-haknya selama hampir sepertiga abad lamanya. Lalu apakah diskriminasi itu masih ada??? Sebuah pertanyaan yang samar-samar terdengar. Memang reformasi telah mengubah segalanya bagi kehidupan bangsa Indonesia. Namun bukan berarti diskriminasi itu hilang jua dengan sendirinya. Bersyukur selama dasawarsa ini penegakan HAM menemukan ruhnya sehingga di teriakan di mana-mana. Pemulihan hak mantan Tahanan politik dalam hal memilih dan di pilih dalam pemilu sudah di bolehkan dengan adanya putusan MK nomor 011-017/PUU-I/2003 tentang pengujian pasal 60 UU no 12 tahun 2003 yang menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hokum yang mengikat.  Putusan tersebut merupakan catatan emas sejarah perkembangan penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pasalnya selama 30 tahun mantan Tapol atau keluarganya yang hanya sebagai pemilih pasif di perkenankan menjadi pemilih aktif sehingga bisa mencalonkan diri dalam pemilihan umum sebagai DPR atau DPD dan DPRD. Dampak dari putusan ini juga beberapa peraturan yang diskriminatif di cabut dan peraturan yang baru di terbitkan.
Namun sangat di sayangkan, ibarat mengobati suatu penyakit ia hany a baru luarnya saja belum sama sekali mengena pada pokok penyakitnya. Upaya menghilangkan diskriminasi tersebut baru saja hembusan angin yang tiada artinya bila pokok dari diskriminasi itu tetap di pertahankan. Sumber dari segala upaya untuk melegalisasi perlakuan diskriminatif tersebut adalah pada TAP MPRS nomor XV/MPRS/1966 tentang PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DI SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNISME/MARXISME-LENINISME. Cukup simple muatan materi peraturan ini. Hanya terdiri dari 4 pasal namun sekarang dan masa lalu tentunya berbeda. Sebelum amandemen UUD TAP Mempunyai kekuatan layaknya UUD itu sendiri bahkan bisa melampaunya sebagai peraturan dasar. Alasannya jelas MPR adalah lembaga tertinggi Negara, merupakan penjelmaan dari pemegang kedaultan rakyat. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara “Tuhan”. Oleh karenanya sebagai kelembagaan kewenangannya bisa menentukan hitam putihnya Negara laksana Tuhan menunjukkan titahnya.
TAP MPRS inilah yang menjadi alasan serta pembenaran segala peraturan yang bersifat dikriminatif itu. Sebagai aturan dasar  maka sudah  konsekwensi untuk di jabarkan dalam peraturan di bawahnya dan juga aturan di bawahnya itu tidak boleh bertentangan dengannya. Aturan itu di mulai dengan pasal 12 UU no 10 tahun 1966 “untuk menjadi anggota MPRS/DPR-GR harus di penuhi syarat-syarat sebagai berikut : d. tidak terlibat langsung maupun tidak langsung, dalam gerakan kontra revolusi, G 30 S/PKI dan atau organisasi-organisasi terlarang/terbubar lainnya:”. dalam penjelasan pasal tersebut di jelaskan bahwa Ayat (1) sub d Yang dimaksud dengan terlibat secara langsung dalam G-30-S/PKI ialah: 1) Mereka yang merencanakan atau mengetahuinya perencanaan Gerakan Kontra Revolusi itu tetapi tidak melaporkan kepada pejabat yang berwajib. 2). Mereka yang dengan kesadaran akan tujuannya melakukan kegiatan-kegiatan dalam pelaksanaan Gerakan Kontra Revolusi tersebut. Yang dimaksud dengan terlibat secara tidak langsung dalam G-30-S/PKI ialah: 1). Mereka yang menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan maupun dalam ucapan-ucapan yang bersifat menyetujui Gerakan Kontra Revolusi tersebut. 2). Mereka yang secara sadar menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan maupun ucapan yang menentang usaha Gerakan Penumpasan G-30-S. Tidak berhenti di sini, implementasi TAP MPR ini pada masa orde baru
Dalam UU Pemilu selanjutnya selama orde baru, tak mungkin bagi Tapol untuk bermimpi menjadi anggota dewan atau pejabat public lainnya. di dalam KTP mereka harus rela statusnya di tambah Ex TAPOL. Untuk hak memperoleh penghidupan berupa pekerjaan saja harus di nyatakan bersih sesuai Dalam keputusan Pangkopkamtib No. 06/Kopkam/XI/1975 Pasal 1, menyatakan bahwa Surat Keterangan ini adalah surat otentik yang diberikan/dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan berisi keterangan bahwa hingga saat dikeluarkan/diberikannya kepada Penduduk Indonesia yang pada saat meletusnya peristiwa G 30 S/PKI (1 Oktober) telah berumur 12 tahun penuh atau seorang yang sudah/pernah kawin, yang bersangkutan dinyatakan tidak terlibat dalam G 30 S/PKI. Surat keterangan ini wajib dilampirkan bagi setiap orang Indonesia yang mempunyai keperluan-keperluan diantaranya: 1). Untuk menjadi pegawai/anggota pada lembaga-lembaga/Badan-badan/Instansi-instansi/Dinas-dinas pemerintahan dan perusahaan-perusahaannya serta pada perusahaan-perusahaan swasta vital yang ditetapkan oleh Pemerintah. 2). Untuk pendaftaran masuk pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah guna menjadi pegawai negeri termasuk ABRI.
Bayangkan misalkan kita dalam kehidupan ini dalam kehidupan selalu di atur, di batasi dan tak jarang di persulit akses terhadap kebutuhan maka betapa sedihnya jadinya. Belum lagi cap sebagai keturunan anggota partai terlarang semua itu bukan atas kehendak kita, semua itu adalah semata alat memukul lawan politik bagi penguasa serta upaya menciptakan musuh bersama agar memperoleh simpati rakyat. Namun apa daya TAP MPRS yang menjadi segala pokok sampai saat ini masih dengan gagah terpampang dalam aturan hokum negeri ini, apalagi dalam UU yang baru saja di sahkan pada bulan agustus lalu tepatnya UU no 12 tahun 2011 yang menggantikan peraturan perundangan yang lama yaitu UU no 10n tahun 2004 ia menjadi bagian dari sitem hirarki (tata urut) peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD dan di atas lebih tinggi dari UU maka barang tentu akan menjadi acuan serta rujukan dalam melanggengkan kejahatan berupa perbuatan diskriminatif yang di legalkan di negeri ini.
Agaknya perjuangan Presiden kita yang ke 4, Almarhum K.H Abdurrahman Wachid (Gus Dur) harus segala di ambil alih. Tidak selayaknya berpangku tangan apalagi ambil bagian dari kejahatan ini. dan kerja kemanusiaan ini tidak akan mudah, untuk hasil yang luar biasa maka di perlukan upaya yang biasa.


Jogja Pagi hari dengan di temani secangkir kopi dan sebatang rokok.
22 Agustus 2011