BERKAS
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG TENTANG KEPRESIDENAN
|
OLEH:
Jean – Jacques Rousseau
Aji Bagus Pramukti | Moch. Adib Zain | Ananda
Prima Yurista | M. Aprian Wibowo | Yuli Yuliah
|
PADJADARAN LAW FAIR 2012
LEGISLATIVE DRAFTING
|
|
HALAMAN JUDUL
BERKAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG KEPRESIDENAN
OLEH:
Jean –
Jacques Rousseau
Aji
Bagus Pramukti
Moch.
Adib Zain
Ananda
Prima Yurista
M.
Aprian Wibowo
Yuli
Yuliah
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, tiada kata yang patut terucap selain mensyukuri segala nikmat-Nya
yang telah memberikan ketetapan dan keteguhan hati untuk tetap fokus dalam
berikhtiar menyelesaikan berkas legislative
drafting ini. Legislative drafting
tentang Undang-Undang Kepresidenan ini merupakan buah pemikiran beberapa
mahasiswa yang sedang menempuh tugas paripurna dan beberapa mahasiswa yang
lebih junior sebagai ikhtiar untuk senantiasa belajar. Semoga hasil karya ini
dapat kembali mengharumkan semerbak wewangian untuk almamater tercinta. Semoga
segala jerih upaya dicatat oleh-Nya sebagai titian langkah dalam tholibil ‘ilm.
Naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang
Kepresidenan (RUU Kepresidenan) ini adalah benih dari pentingnya lembaga
kepresidenan dalam menjalankan kewenangan membawahi organ-organ di bawahnya.
Selama ini, belum ada pengaturan khusus dan rinci mengenai lembaga
kepresidenan. Dari ketiga cabang kekuasaan yang ada dalam konstitusi yakni,
legislatif, eksekutif dan yudikatif, hanya cabang kekuasaan eksekutif yang
belum memiliki undang-undang tersendiri.
Guna mendukung prakarsa RUU Kepresidenan
maka dibuatlah naskah akademik ini. Naskah akademik ini berisi mengenai hasil
penelitian dan kajian terhadap permasalahan ketatanegaraan khususnya mengenai
lembaga kepresidenan. Naskah akademik ini juga berguna untuk mengisi landasan
filosofis, yuridis dan sosiologis dalam penyusunan RUU Kepresidenan.
Akhir kata, tentu masih terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan berkas legislative
drafting ini. Kami dengan segala kerendahan hati memohon saran perbaikan
yang bersifat konstruktif demi perbaikan ilmu hukum dan perkembangan hukum di
masa yang akan datang. Terimakasih. Viva
Justicia!!!
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Identifikasi Masalah
C.
Tujuan dan Kegunaan Kegiatan
Penyusunan Naskah Akademik
D.
Metode
BAB II KAJIAN
TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS
A.
Kajian Teoritis
B.
Kajian terhadap Asas/Prinsip yang
Terkait dengan Penyusunan Norma
C.
Kajian terhadap Praktik
Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
D.
Kajian terhadap Implikasi Penerapan
Sistem Baru yang Akan Diatur dalam Undang-Undang terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat dan Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional
B.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
C.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI
D.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006
tentang Dewan Pertimbangan Presiden
E.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara
F.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009
tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan
G.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
H.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
I.
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun
2010 tentang Sekretariat Kabinet
J.
Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun
2010 tentang Kementerian Sekretariat Negara
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A.
Landasan Filosofis
B.
Landasan Sosiologis
C.
Landasan Yuridis
BAB V JANGKAUAN, ARAH
PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A.
Ketentuan Umum
B.
Materi yang Diatur
C.
Ketentuan Sanksi
D.
Ketentuan Peralihan
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEPRESIDENAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara berdasarkan
hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Dimana dalam suatu negara
hukum kekuasaan tertinggi adalah hukum itu sendiri. Dalam penyelenggaraan
negara sebagai negara kesejahteraan (welfare
state) harus berpijak pada hukum dan undang-undang. Sebagaimana ribuan
tahun yang lalu para filsuf, yakni baik Plato dan Aristoteles telah memikirkan
teori negara hukum, dimana negara harus berdasarkan hukum dan konstitusi.
Konstitusi memberikan kewenangan kepada lembaga negara sebagai bentuk wewenang
atributif dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengatur mengenai kewenangan
lembaga negara, diantaranya kewenangan di bidang legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
Cita-cita bangsa Indonesia termuat dalam
alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sementara
itu, untuk mewujudkan cita-cita bangsa tersebut dibutuhkan alat-alat
kelengkapan negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum
negara meliputi; (1) Kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau
perdana menteri atau raja; (2) Kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut
parlemen atau dengan nama lain, seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan (3)
kekuasaan yudikatif, yaitu Mahkamah Agung atau Supreme Court. Setiap alat kelengkapan
negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan
fungsinya.
Negara Indonesia menganut sistem
pemerintahan Presidensial yang tercermin dalam UUD NRI Tahun 1945. Menurut C.F. Strong,
ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensial yang disebutnya sebagai fixed executive, sebagai berikut: (1)
Presiden selain berkedudukan sebagai kepala negara juga sebagai kepala
pemerintahan; (2) Presiden mempunyai wewenang mengangkat para menteri dan
merupakan bawahannya; (3) Presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu,
sehingga Presiden dalam masa jabatan tidak bisa dijatuhkan oleh parlemen; (4)
Sebagai imbangannya Presiden tidak pula dapat membubarkan parlemen; dan (5)
Presiden bertanggungjawab kepada konstitusi.
Pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan
negara ada di tangan Presiden. Presiden menjalankan pemerintahan berdasarkan
UUD Tahun NRI 1945. Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki kewenangan
untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri serta pembentukan kabinet
(Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)). Sementara itu Presiden sebagai
kepala negara memegang kekuasaan untuk: (i) menjadi panglima tertinggi Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; (ii) menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan menandatangani perjanjian dengan negara lain (Pasal 11); (iii)
menyatakan keadaan darurat (Pasal 12); dan (iv) mengangkat duta besar dan
konsul, dan memberi gelar tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya, kecuali
untuk kekuasaan perang, membuat perdamaian dan menandatangani perjanjian
internasional diharuskan dengan persetujuan DPR (Pasal 11).
Dalam pendekatan linguistik, Presiden berbeda
dengan kepresidenan. Presiden berfokus pada jabatan, sedangkan kepresidenan
adalah hal-hal yang berkenaan dengan Presiden. Dalam pembahasan yang
lain, Presiden berhubungan dengan pemangku jabatan (personal, President, ambtsdrager), sedangkan lembaga
kepresidenan berkait dengan lingkungan jabatan (institusional, Presidency, ambt). Kata Presiden berasal dari
bahasa Latin, praesidens, yang
berarti memimpin, bukan raja (monarch). Kepresidenan termasuk
lembaga negara yang berarti juga sebagai alat kelengkapan negara. Kekuasaan
eksekutif misalnya, dalam hal ini lembaga kepresidenan terdiri dari wakil
Presiden dan dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki suatu
departemen atau kementerian tertentu. Secara konseptual tujuan diadakan
lembaga-lembaga negara atau kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan
fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Kewenangan kepresidenan
banyak termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sementara itu
undang-undang yang mengatur secara spesifik belum ada. Seyogyanya kepresidenan
sebagai salah satu cabang kekuasaan negara memiliki undang-undang yang
mengakomodir kepresidenan.
Untuk mengejawantahkan atau menjabarkan
kewenangan kepresidenan, maka perlu kiranya suatu undang-undang sebagai
penjabaran kewenangan kepresidenan yang termuat dalam UUD NRI Tahun 1945. Hal
tersebut dibutuhkan karena belum ada undang-undang yang mengatur seperti halnya
lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Terlebih, dinamika
perkembangan ketatanegaraan saat ini menuntut Presiden tanggap dan responsif
terhadap fakta-fakta yang ada di lapangan. UUD NRI Tahun 1945 memuat
pokok-pokoknya saja, akan tetapi dalam pelaksanaannya, sesuai dengan UU Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal
10 yang mengatur mengenai materi muatan undang-undang, bahwa undang-undang
berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945.
Pengaturan lebih lanjut mengandung makna untuk menjabarkan lebih lanjut
kewenangan Presiden yang telah ada dalam konstitusi.
Dari penjelasan di atas maka dapat
disimpulkan mengenai perlunya untuk dibentuk Undang-Undang tentang Kepresidenan
adalah Pertama, belum adanya
pengaturan khusus setingkat undang-undang mengenai kepresidenan. Kedua, menata regulasi dan organ
kelengkapan di bawah kepresidenan. Ketiga,
menjabarkan lebih lanjut secara lebih mendetail kewenangan Presiden dari
konstitusi.
B.
Identifikasi Masalah
1.
Belum Adanya Peraturan Khusus
terhadap Kepresidenan
Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar. Adanya rumusan demikian di dalam konstitusi menyebabkan kekuasaan
Presiden menjadi sangat luas dan besar. Konsekuensi lebih lanjut dari itu semua
adalah pengaturan mengenai kepresidenan didalami UUD NRI Tahun 1945 mendapat
porsi lebih dari pada cabang kekuasaan lainnya. Besarnya porsi kepresidenan di
dalam konstitusi disebabkan juga oleh banyaknya kewenangan Presiden yang
diatur. Hampir 1/3 materi muatan konstitusi mengatur kewenangan Presiden.
Berikut ini adalah kewenangan-kewenangan Presiden sebagaimana yang diatur
didalami UUD NRI Tahun 1945, yaitu:
1.
Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal
5 ayat (1)]
2.
Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang [Pasal 5 ayat
(2)]
3.
Presiden
memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU [Pasal 10].
4.
Presiden
berwenang untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan
negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 11 ayat (1)].
5.
Membuat
perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
[Pasal 11 ayat (2)]. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional
diatur dengan undang-undang [Pasal 11 ayat (3)].
6.
Menyatakan
keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan
undang-undang [Pasal 12].
7.
Menerima penempatan duta negara
lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 13 ayat (3)].
8.
Memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung [Pasal 14 ayat (1)].
9.
Memberi amnesti dan abolisi
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 14 ayat (2)].
10.
Memberi gelar, tanda jasa, dan
lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang [Pasal 15].
11.
Membentuk suatu dewan
pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden,
yang selanjutnya diatur dengan undang-undang [Pasal 16].
12.
Mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri [Pasal 17 ayat (2)]. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang [Pasal 17 ayat (4)].
Dari berbagai pasal yang mengatur tentang
kewenangan Presiden di atas, banyak yang kemudian dijabarkan lebih lanjut ke
dalam sebuah undang-undang. Berikut akan diuraikan beberapa undang-undang hasil
penjabaran dari pasal-pasal konstitusi di atas:
1.
Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2.
Presiden menetapkan peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
3.
Presiden pemegang kekuasaan tertinggi
atas AD, AL, dan AU sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan
lebih lanjut ke dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 dengan spesifik kewenangan
pengerahan dan penggunaan TNI.
4.
Presiden berwenang untuk membuat
perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri.
5.
Presiden berwenang untuk menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 ayat (1) UUD NRI telah dijabarkan ke dalam UU Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tantang Perjanjian
Internasional.
6.
Presiden berwenang untuk
menyatakan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945 telah
diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor
74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.
7.
Presiden berwenang mengangkat
duta dan konsul sebagaimana diatur Pasal 13 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah
disebutkan kembali ke dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri, namun belum dijabarkan lebih lanjut.
8.
Presiden berwenang memberi
grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat
(1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 5 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dan UU Darurat
Nomor 19 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. UU tentang Amnesti dan Abolisi
sudah tidak berlaku, sementara kewenangan Presiden dalam memberikan rehabilitasi
belum diatur lebih lanjut ke dalam undang-undang.
9.
Presiden berwenang gelar, tanda
jasa, dan tanda kehormatan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUD NRI Tahun
1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan.
10.
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan
yang memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 19 Tahun 2006
tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
11.
Kewenangan Presiden untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara,
12.
Presiden berwenang menetapkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22
UUD NRI Tahun 1945 diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan,
maka ada kewenangan dari Presiden yang telah diatur dan belum diatur. Maka
dalam hal ini perlu adanya sebuah undang-undang yang menjabarkan hal-hal yang
belum diatur tersebut. Dan bagi kewenangan yang sudah diatur maka tetap perlu
dimasukkan dalam Undang-Undang Kepresidenan karena pengaturan yang sudah ada
tersebut masih bersifat parsial. Selain itu, pengaturan yang sudah ada dibuat
bukan dalam perspektif khusus untuk mengatur kewenangan Presiden, tetapi hanya
merupakan bagian dari undang-undang yang mengatur hal lain. Misalnya, dalam
Undang-Undang Hubungan Luar Negeri juga diatur mengenai kewenangan menyatakan
perang, perdamaian, dan pembuatan perjanjian, tetapi tidak dijelaskan lebih
lanjut bagaimana Presiden akan melaksanakan kewenangannya tersebut. Maka dari
itulah, hal yang diatur secara tersebar di berbagai regulasi lain itu harus
dimasukkan dalam Undang-Undang Kepresidenan.
Selain itu, sejak Indonesia merdeka
pengaturan mengenai kepresidenan bisa dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi
saja. Peraturan di
bawah konstitusi (undang-undang) hanya mengatur sebagian kecil saja dari kepresidenan.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan lembaga negara lainnya, seperti
Mahkamah Agung, DPR, atau MPR yang memiliki undang-undang tersendiri. Sebagai
contoh adalah UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang memberikan payung hukum
terhadap kelembagaan Mahkamah Agung, dan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD. Bisa dikatakan hanya kepresidenan-lah satu-satunya cabang
kekuasaan negara yang belum memiliki pengaturan dalam bentuk undang-undang
tersendiri.
2.
Penataan Regulasi dan Organ di Bawah
Kepresidenan
Presiden sebagai lembaga eksekutif yang
memiliki banyak wewenang dan tugas. Sebagai lembaga eksekutif, Presiden mempunyai
kewenangan untuk membentuk organ-organ dalam membantu tugas Presiden itu
sendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika saat ini banyak sekali bermunculan
organ-organ yang ada di bawah lembaga kepresidenan yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi positif bagi pelaksanaan tugas pemerintahan dan
kenegaraan. Jika dibandingkan dengan lembaga yudikatif ataupun legislatif maka
jumlah organ-organ di bawah lembaga kepresidenan jauh lebih banyak. Dalam hal
ini, organ-organ tersebut antara lain adalah:
a) Kementerian Negara, terdiri dari:[14]
1.
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan;
2.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;
3.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
4.
Kementerian Sekretariat Negara;
5.
Kementerian Dalam Negeri;
6.
Kementerian Luar Negeri;
7.
Kementerian Pertahanan;
8.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
9.
Kementerian Keuangan;
10.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
11.
Kementerian Perindustrian;
12.
Kementerian Perdagangan;
13.
Kementerian Pertanian;
14.
Kementerian Kehutanan;
15.
Kementerian Perhubungan;
16.
Kementerian Kelautan dan Perikanan;
17.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
18.
Kementerian Pekerjaan Umum;
19.
Kementerian Kesehatan;
20.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
21.
Kementerian Sosial;
22.
Kementerian Agama;
23.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif;
24.
Kementerian Komunikasi dan Informatika;
25.
Kementerian Riset dan Teknologi;
26.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
27.
Kementerian Lingkungan Hidup;
28.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak;
29.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi;
30.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal;
31.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional;
32.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara;
33.
Kementerian Perumahan Rakyat; dan
34.
Kementerian Pemuda dan Olah Raga.
b) Lembaga Setingkat Menteri, antara lain:[15]
1.
Kejaksaan Agung;
2.
Tentara Nasional Indonesia;
3.
Kepolisian Republik Indonesia; dan
4.
UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan).
c) Lembaga Pemerintah Non Departemen/Kementerian, terdiri dari:[16]
1.
Lembaga Administrasi Negara disingkat LAN;
2.
Arsip Nasional Republik Indonesia disingkat ANRI;
3.
Badan Kepegawaian Negara disingkat BKN;
4.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia disingkat
PERPUSNAS;
5.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional disingkat
BAPPENAS;
6.
Badan Pusat Statistik disingkat BPS;
7.
Badan Standardisasi Nasional disingkat BSN;
8.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional disingkat
BAPETEN;
9.
Badan Tenaga Nuklir Nasional disingkat BATAN;
10.
Badan Intelijen Negara disingkat BIN;
11.
Lembaga Sandi Negara disingkat LEMSANEG;
12.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
disingkat BKKBN;
13.
Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional disingkat
LAPAN;
14.
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
disingkat BAKOSURTANAL;
15.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan disingkat
BPKP;
16.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia disingkat LIPI;
17.
Badan Pengajian dan Penerapan Teknologi disingkat
BPPT;
18.
Badan Koordinasi Penanaman Modal disingkat BKPM;
19.
Badan Pertanahan Nasional disingkat BPN;
20.
Badan Pengawas Obat dan Makanan disingkat BPOM;
21.
Lembaga Ketahanan Nasional disingkat LEMHANAS;
22.
Badan Meteorologi dan Geofisika disingkat BMG.
d) Sekretaris Negara, terdiri dari:[17]
1.
Rumah Tangga Kepresidenan;
2.
Sekretariat Wakil Presiden;
3.
Sekretariat Militer Presiden;
4.
Sekretariat Kementerian;
5.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan;
6.
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia;
7.
Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan
Kemasyarakatan;
8.
Deputi Bidang Perundang-undangan;
9.
Staf Ahli Bidang Politik, Pertahanan dan Keamanan;
10.
Staf Ahli Bidang Hukum, dan Hak Asasi Manusia;
11.
Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat;
12.
Staf Ahli Bidang Komunikasi dan Informatika; dan
13.
Staf Ahli Bidang Aparatur Negara dan Otonomi Daerah.
e) Sekretaris Kabinet, terdiri dari:[18]
1.
Wakil Sekretaris Kabinet;
2.
Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
3.
Deputi Bidang Perekonomian;
4.
Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat;
5.
Deputi Bidang Persidangan Kabinet;
6.
Deputi Bidang Administrasi;
7.
Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Internasional;
8.
Staf Ahli Bidang Tata Ruang dan Wilayah Perbatasan;
9.
Staf Ahli Bidang Riset, Teknologi, Komunikasi dan
Informasi;
10.
Inspektorat; dan
11.
Pusat.
f) Lembaga yang diamanatkan UUD NRI Tahun 1945 untuk membantu kinerja
Presiden, antara lain:
1.
Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan (Pasal 15);[19]
dan
2.
Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal
16);[20]
Organ-organ tersebut kemudian diatur dalam
berbagai macam regulasi. Hal ini menyebabkan regulasi tentang organ-organ
tersebut masih tersebar dan bersifat parsial. Selain itu, banyaknya organ dan
regulasi tersebut tidak jarang menyebabkan adanya redundansi dalam pelaksanaan
tugas organ itu sendiri, sehingga adanya organ-organ tersebut tidak dapat
mencapai tujuan yang diharapkan. Redundansi yang ditimbulkan tersebut
menyebabkan pelaksanaan tugas-tugas organ tidak berjalan secara efektif, sehingga
dibutuhkan sebuah solusi untuk mengatasinya. Sebagai sebuah langkah nyata untuk
menanggulangi adanya redundansi tersebut, maka Undang-Undang Kepresidenan menjadi
hal yang penting untuk direalisasikan. Dengan adanya Undang-Undang
Kepresidenan, organ-organ yang lahir dari kewenangan Presiden dapat diatur
dengan lebih spesifik, sehingga menjadi jelas landasan hukum keberadaan
organ-organ tersebut. Dengan begitu akan menjamin kepastian hukum organ
tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diberikan oleh Presiden.
Undang-Undang Kepresidenan dapat menjadi induk regulasi yang menjabarkan lebih
lanjut kewenangan konstitusional Presiden yang diberikan pada UUD NRI Tahun
1945.
3.
Penjabaran Lebih Lanjut
Kewenangan Presiden dalam Konstitusi
Dalam konstitusi telah dijabarkan beberapa
kewenangan Presiden. Kewenangan-kewenangan tersebut dijabarkan dalam
undang-undang. Ada beberapa kewenangan Presiden yang telah dijabarkan dalam
undang-undang. Namun, di sisi lain juga ada kewenangan Presiden yang belum
dijabarkan dalam undang-undang. Kewenangan-kewenangan yang belum diatur dalam
undang-undang, antara lain:
1.
Presiden berwenang untuk
menyatakan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945
telah disebutkan kembali ke dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri, namun belum dijabarkan lebih lanjut.
2.
Presiden berwenang mengangkat
duta dan konsul sebagaimana diatur Pasal 13 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah
disebutkan kembali ke dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri, namun belum dijabarkan lebih lanjut.
3.
Presiden berwenang memberi
grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat
(1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 22 Tahun 2002
tantang Grasi dan UU Darurat Nomor 19 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
UU tentang Amnesti dan Abolisi sudah tidak berlaku, sementara kewenangan
Presiden dalam memberikan rehabilitasi belum diatur lebih lanjut ke dalam
undang-undang.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Undang-Undang
Kepresidenan menjadi hal yang sangat mendesak untuk dibuat. Dengan
Undang-Undang Kepresidenan tersebut, maka kewenangan-kewenangan Presiden yang
belum dijabarkan dan diatur secara spesifik dalam undang-undang dapat
diakomodir dan diperinci dalam Undang-Undang Kepresidenan.
C.
Tujuan dan Kegunaan Kegiatan
Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi
masalah yang dikemukakan di atas, tujuan dan kegunaan penyusunan Naskah
Akademik RUU Kepresidenan adalah:
1.
Tujuan
Naskah akademik ini merupakan dasar ilmiah
bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kepresidenan. Naskah akademik
merupakan naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, terutama
mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang
ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan objek atau arah pengaturan substansi rancangan
undang-undang. Naskah akademik ini juga merupakan naskah hasil penelitian atau
pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya, terhadap suatu masalah tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu rancangan undang-undang, sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam pandangan Hikmahanto Juwana, naskah
akademik diperlukan untuk menjawab sejumlah pertanyaan mendasar, yaitu:
1.
Apa yang menjadi masalah di masyarakat?
2.
Apa yang seharusnya diatur?
3.
Apakah ketentuan yang hendak diatur cukup realistis?
4.
Bagaimana infrastruktur pendukung untuk menegakkan
aturan?
5.
Adakah peraturan perundang-undangan yang berpotensi
untuk berbenturan?
6.
Bagaimana keberlakuannya di negara lain?
Informasi serta pertanyaan demikian penting
untuk dijawab agar pembentuk peraturan perundang-undangan lebih realistis dalam
membuat peraturan perundang-undangan. Jawaban atas semua pertanyaan demikian
amat logis untuk dicantumkan dalam sebuah naskah akademik, dengan demikian
penyusunan naskah akademik ini merupakan dasar dan pijakan yang terpenting
dalam tahapan rancangan peraturan perundang-undangan. Seiring dengan perkembangan
dan perubahan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia, urgensi sebuah naskah
akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang tepat guna,
komprehensif dan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan, menjadi sangat penting. Tujuannya antara lain adalah agar
undang-undang yang dihasilkan sejalan dengan sistem hukum nasional, sesuai
dengan (tuntutan) kehidupan masyarakat, dan dapat meminimalisir permasalahan di
kemudian hari.
Dalam penyusunan naskah akademik melalui
suatu proses penelitian hukum dan penelitian lainnya secara cermat,
komprehensif dan sistematis. Naskah akademik ini merupakan potret atau peta
tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin dipecahkan melalui
undang-undang yang akan dibentuk dan disahkan. Oleh karenanya,
penyusunan naskah akademik ini merupakan dasar dari dibentuknya Rancangan
Undang-Undang Lembaga Kepresidenan. Naskah akademik dari Rancangan
Undang-Undang Kepresidenan ini memiliki tujuan, yaitu: Pertama, untuk mengatur kepresidenan dalam peraturan spesifik. Kedua, untuk melakukan penataan
terhadap organ-organ yang berada di bawah kepresidenan Ketiga, untuk melakukan penjabaran lebih lanjut kewenangan
Presiden yang telah diberikan oleh konstitusi. Maksud penyusunan naskah akademik
ini untuk memberikan gambaran terhadap kondisi lembaga kepresidenan di
Indonesia yang sejatinya sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan ketertiban
pelaksanaan lembaga kepresidenan yang diwujudkan melalui bentuk peraturan
perundang-undangan yaitu Undang-Undang Lembaga Kepresidenan.
2.
Kegunaan
Penyusunan naskah akademik merupakan
pondasi dasar dalam membangun kerangka pembentukan sebuah rancangan
undang-undang, oleh karenanya dalam tahapan penyusunan naskah akademik ini
merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Arti penting dalam proses penyusunan naskah akademik adalah
mengetahui dan memahami benar kondisi yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat
baik itu terkait dengan permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat,
relevansi pengaturan dan segala bentuk aturan yang dibutuhkannya, kondisi
infrastrukturnya ketika suatu kebijakan dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dan potensi berbenturan tidaknya dengan peraturan
perundang-undangan yang lainnya serta lain sebagainya yang sangat relevansi
dalam rangka meningkatkan pemahaman kondisi lingkungan masyarakat terhadap
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka kegunaannya, naskah akademik
ini dirancang sebagai dasar dan pijakan terhadap Rancangan Undang-Undang
Kepresidenan. Naskah akademik ini merupakan sebuah dokumen resmi yang tertulis
dengan segala pemenuhan terhadap pengonsepannya sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni
dengan disatukan menjadi sebuah bagian dari Rancangan Undang-Undang
Kepresidenan yang nantinya akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI), sebagaimana dicantumkan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Tidak hanya itu, penyusunan naskah akademik
ini akan menjadi pedoman pembentukan peraturan pelaksanaan di bawah
undang-undang ini. Dengan demikian perjuangan semangat (spirit) dan
nilai (value) yang dibangun dalam undang-undang ini dapat terus menjadi
arah pelaksanaan Undang-Undang Kepresidenan, sehingga segala permasalahan, baik
dari hal penataan terhadap peraturan dan organ di bawah kepresidenan,
pengaturan khusus terhadap kepresidenan, serta penjabaran lebih lanjut dari
kewenangan Presiden akan terarah dengan adanya Naskah Akademik Undang-Undang
Kepresidenan ini.
D.
Metode
Dalam mengawali penelitian hukum ini ada
beberapa langkah atau tahapan. Langkah tersebut antara lain mengidentifikasi
permasalahan dan menetapkan permasalahan yang relevan, mengumpulkan bahan-bahan
hukum, baik primer, sekunder dan tersier serta melakukan kajian terhadap isu
hukum yang diajukan sebagai permasalahan dalam penelitian berdasarkan
bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Kepresidenan menggunakan beberapa metode penelitian, yaitu metode
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Metode penelitian
ini diperlukan guna memahami kepresidenan secara komprehensif.
a)
Metode Yuridis Normatif
Metode yuridis
normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, dan penelitian
terhadap taraf sinkronisasi hukum. Penelitian terhadap sistematika hukum
dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis. Pada taraf ini yang
diteliti, antara lain kewenangan kepresidenan dan nomenklatur organ di bawah
kepresidenan, sehingga dengan mengetahui itu semua dapat diketahui sistematika
dan rumusan yang tepat dalam menyusun RUU Kepresidenan. Penelitian terhadap
sinkronisasi hukum bertujuan untuk meneliti sampai sejauh mana hukum positif
tertulis yang ada sinkron atau serasi satu sama lainnya baik secara vertikal
maupun horizontal. Hal tersebut guna menjamin bahwa RUU Kepresidenan ini tidak
bertentangan satu sama lain, baik terhadap peraturan perundang-undangan di atasnya
maupun dengan peraturan yang sejajar. Metode yuridis normatif dilakukan melalui
studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa
perundang-undangan. Adapun peraturan perundang-undangan yang menjadi bahan
penelitian, yaitu:
1.
Undang-Undang Darurat Nomor 19
Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
2.
Perppu Nomor 23 Tahun 1959
tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan
Bahaya.
3.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
4.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tantang Perjanjian Internasional.
5.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
6.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
7.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara.
8.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
9.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
10.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b)
Metode Yuridis Empiris
Pendekatan
yuridis empiris mencakup penelitian terhadap efektifitas hukum. Penelitian
terhadap efektifitas hukum merupakan penelitian yang membahas bagaimana hukum
beroperasi dalam masyarakat, penelitian ini sangat relevan di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, penelitian ini mensyaratkan bahwa di samping
mengetahui ilmu hukum juga mengetahui ilmu sosial, dan memiliki pengetahuan
dalam penelitian ilmu sosial (social
science research). Relevansinya dengan
kepresidenan adalah dalam menjalankan kewenangannya apakah sudah efektif dalam
kehidupan ketatanegaraan. Implikasi efektifitas lembaga kepresidenan dalam
menjalankan roda pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung
berakibat pada kehidupan masyarakat. Penelitian ini dibutuhkan sebagai sarana menyesuaikan
antara norma yang diatur dengan undang-undang dengan praktik yang terjadi
secara nyata dalam lingkungan kepresidenan.
Adapun
kewenangan kepresidenan dalam kehidupan ketatanegaraan yang dapat diamati, antara
lain:
1)
Kewenangan yang bersifat eksekutif
atau menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar (to govern based on the constitution);
2)
Kewenangan yang bersifat
legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum/publik (to regulate public affairs based on the law and the constitution);
3)
Kewenangan yang bersifat
judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan
pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan ataupun
penghapusan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan;
4)
Kewenangan yang bersifat
diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum
internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri baik dalam keadaan
perang maupun damai; dan
5)
Kewenangan yang bersifat
administratif untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan
kenegaraan dan jabatan administrasi.
Kewenangan di
atas merupakan kewenangan yang lazim dipraktikkan oleh kepresidenan. Maka dari
itu, dengan melihat praktik kewenangan tersebut dapat dinilai kendala dalam
menjalankan kewenangan tersebut di atas. UU Kepresidenan diperlukan untuk
memberikan kepastian hukum pelaksanaan kewenangan kepresidenan tersebut.
Pendekatan praksis empiris diperlukan untuk memahami antara kebutuhan hukum
dengan idealita pengaturan yang hendak diatur dalam UU Kepresidenan.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A.
Kajian Teoritis
Kepresidenan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia merupakan pemegang kekuasaan eksekutif. Lembaga negara secara
definitif, yaitu institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan
fungsi-fungsi negara. Mengikuti ajaran
pemisahan kekuasaan (Trias Politica) yang diajukan oleh pemikir hukum dari
Prancis, Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu dalam
buku L’espirit des Lois yang membagi
kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebelumnya, John Locke
juga membagi kekuasaan menjadi tiga fungsi yaitu legislatif, eksekutif dan
federatif. Terhadap cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif kedua pemikir
tersebut memiliki kesamaan. Yang membedakan adalah pada fungsi ketiga, Montesquieu
memisahkan sebagai fungsi yudikatif, sedangkan John Locke ke dalam federatif.
Perbedaan tersebut lantaran titik tolak yang digunakan juga berbeda. Montesquieu
lebih melihat pembagian atau pemisahan tersebut dari segi hak asasi manusia
setiap warga negara, sedangkan John Locke melihatnya dari segi hubungan keluar
dengan negara-negara lain.
Dalam perkembangannya teori pemisahan kekuasaan
ini sulit dilaksanakan secara mutlak, sebab tidak mungkin negara dijalankan
oleh tiga lembaga yang terpisah dan tidak memiliki hubungan sama sekali. Justru
ketika hal itu terjadi, tujuan pemisahan kekuasaan, yaitu untuk membatasi
kekuasaan absolut seorang raja tidak akan tercapai, tetapi justru akan
mengakibatkan tirani cabang kekuasaan. Oleh karena itu, sebagai modifikasi
dimunculkan pula konsep check and
balances yang menghendaki cabang-cabang kekuasaan tersebut dapat saling mengontrol
saling mengimbangi.
Kepresidenan dikatakan sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif melihat pada UUD NRI Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1) yang
berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar”. Dalam pasal tersebut harus dimaknai Presiden tidak hanya sebagai
pejabat tetapi harus juga sebagai lingkungan jabatan. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Bagir Manan bahwa,
Presiden
dipergunakan dalam dua arti, yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambstdrager).
Dalam bahasa asing seperti bahasa Inggris, dipergunakan istilah yang berbeda.
Untuk lingkungan jabatan digunakan istilah Presidency atau kalau sebagai adjektif Presidential, seperti Presidential
government. Sebagai pejabat dipergunakan istilah President. Perbedaan istilah ini memudahkan
pemahaman mengenai lingkungan jabatan dan pemangku jabatan.
Secara konsep apa
yang disebutkan oleh Bagir Manan mirip dengan pendapat Al-Mawardi tentang imamah, yang membedakan imam sebagai jabatan bagi kepala negara
sedangkan imamah sebagai lingkungan
jabatan kepala negara.
Definisi tentang kepresidenan diberikan
oleh Jimly Asshiddiqie yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepresidenan
adalah institusi atau organisasi jabatan yang dalam sistem pemerintahan
berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 berisi dua jabatan, yaitu Presiden dan wakil
Presiden.
Definisi tersebut benar jika membaca secara tekstual konstitusi, namun juga
perlu dilihat bahwa dalam pengertian secara luas cakupan lembaga kepresidenan
tidak hanya Presiden dan wakil Presiden saja, melainkan juga kelembagaan lain
yang berada di bawahnya seperti Kementerian, Dewan Pertimbangan Presiden, Sekretaris
Kabinet dan Sekretaris Negara serta kelembagaan lain. Hal tersebut dikembalikan
kepada kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara. C.F.
Strong dalam kaitannya dengan kekuasaan eksekutif oleh Presiden, meliputi:
1.
Kekuasaan diplomatik, yaitu
berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.
2.
Kekuasaan administratif, yaitu
berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang dan administrasi negara.
3.
Kekuasaan militer, yaitu
berkaitan dengan organisasi angkatan bersenjata dan pelaksanaan perang.
4.
Kekuasaan yudikatif, yaitu
menyangkut pemberian pengampunan, penangguhan hukuman, dan sebagainya terhadap narapidana
atau pelaku kriminal.
5.
Kekuasaan legislatif, yaitu
berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang dan mengatur proses pengesahan
menjadi undang-undang.
Masing-masing kekuasaan tersebut dalam
ketatanegaraan Indonesia dicantumkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Kekuasaan
diplomatik meliputi kekuasaan mengadakan perjanjian internasional, menyatakan
perang dengan negara lain, menyatakan perdamaian dengan negara lain, mengangkat
duta dan konsul serta menerima duta dan konsul. Kekuasaan administratif dalam
hal ini melaksanakan undang-undang dan administrasi negara dengan dibantu kementerian
dan lembaga-lembaga di bawah kepresidenan. Dalam kekuasaan militer Presiden memegang
kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara. Dalam kekuasaan
yudikatif, meliputi pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Sedangkan kekuasaan legislatif dalam konsep yang diterapkan sekarang, yaitu
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang serta turut dalam pembahasan
setiap rancangan undang-undang di parlemen bahkan untuk peraturan di bawah
undang-undang Presiden berhak membuat aturan pelaksanaan, seperti peraturan
pemerintah, peraturan Presiden dan jika dinilai sebagai kondisi yang memaksa
bisa dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang materi
muatan dan kedudukannya setingkat undang-undang, namun berbentuk peraturan
pemerintah.
Dalam memahami kedudukan Presiden dan juga
hubungannya dengan lembaga parlemen maka perlu diperhatikan bahwa sistem
pemerintahan di Indonesia menggunakan sistem Presidensial, dan sistem inilah
yang dipilih dan dipertahankan pada amandemen UUD NRI Tahun 1945. Dalam sistem ini
dijelaskan bagaimana kedudukan Presiden dalam negara serta bagaimana
hubungannya secara kelembagaan dengan lembaga negara lainnya. Ciri-ciri sistem
Presidensial yang penting adalah:
1.
Presiden memiliki masa jabatan
tertentu, misalnya 4 tahun, 5 tahun dan biasanya boleh dipilih kembali dengan
batasan tertentu, misalnya 2 kali berturut-turut, atau boleh dipilih kembali
setelah diselingi.
2.
Presiden dan wakil Presiden tidak
bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu yang biasanya dikenal sebagai
parlemen, melainkan bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Presiden dan
wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya karena alasan
pelanggaran hukum yang biasanya dibatasi pada kasus-kasus tertentu.
3.
Presiden dan wakil Presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat atau melalui mekanisme perantara tertentu yang
tidak bersifat perwakilan permanen sebagaimana hakikat lembaga permanen.
4.
Dalam hubungannya dengan
lembaga parlemen, Presiden tidak tunduk kepada Parlemen, tidak dapat
membubarkan parlemen dan sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan
Presiden dan membubarkan kabinet.
5.
Kepala negara dan kepala
pemerintah pada satu jabatan yaitu Presiden
6.
Presiden mengangkat
menteri-menteri negara yang berfungsi sebagai Presiden dan memegang kekuasaan
eksekutif dalam bidang masing-masing dan secara individual bertanggung jawab
kepada Presiden.
Tanggung jawab pemerintah berada dipundak
Presiden, dan oleh karena itu Presiden pada prinsipnya berwenang membentuk
pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan menteri serta
pejabat-pejabat publik yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan melalui
political appointment. Karena itu
dalam sistem ini dikatakan concentration
of governing power and responsibility upon the President. Oleh karenanya
tidak ada institusi yang lebih tinggi di atasnya, sehingga secara politik
bertanggung jawab kepada rakyat sedangkan secara hukum bertanggung jawab kepada
konstitusi. Hal ini berbeda jika melihat kedudukan Presiden dalam sistem
parlementer. Parlemen adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Presiden atau
perdana menteri pada hakikatnya adalah organ parlemen yang melaksanakan
pemerintahan, dan lazimnya merangkap sebagai anggota dari parlemen tersebut.
Pembentukan dan pembubaran kabinet sepenuhnya digantungkan pada parlemen.
Melihat dari landasan pemikiran teoritis di atas, maka
menjadi wajar kemudian jika UU Kepresidenan dibentuk dalam rangka untuk
memberikan jaminan kepastian hukum kepada Presiden dan organ di bawahnya untuk
melaksanakan fungsinya sebagaimana ditentukan oleh konstitusi. Terlebih memang
selama ini seluruh kewenangan konstitusional Presiden belum dijabarkan secara
spesifik dan belum terdapat pengaturan yang spesifik mengenai kepresidenan yang
menjabarkan lebih lanjut kewenangan Presiden dalam konstitusi.
B.
Kajian terhadap Asas/Prinsip
yang Terkait dengan Penyusunan Norma
Pengaturan kepresidenan dalam suatu
undang-undang harus dimaknai sebagai landasan dan pedoman oleh Presiden dalam
menjalankan pemerintahan, bagaimana Presiden harus mengkoordinasikan kelembagaan
di bawahnya, bagaimana Presiden bisa menjalankan kewenangannya tanpa adanya
gugatan legitimasi kewenangan tersebut. Oleh karenanya dalam penyusunan
Undang-Undang Kepresidenan perlu untuk memperhatikan asas-asas serta prinsip
yang menjadi jiwa dan semangat bagi undang-undang ini, yaitu:
1.
Asas Demokratis
Pengaturan kepresidenan merupakan peneguhan
kembali kedudukan Presiden dalam sistem kenegaraan. Presiden sebagai hasil
pemilihan langsung oleh rakyat diberikan mandat yang besar untuk menjalankan
pemerintahan negara. Senada dengan hal tersebut pandangan Rousseau menyatakan
bahwa rakyat merupakan pelaksana dari kehendak umum (volunte generale). Kehendak umum ini merupakan suatu kontrak bagi
masyarakat yang bersangkutan untuk mengikatkan diri dan patuh pada pemerintah
yang dipilih oleh rakyat, sebaliknya pemerintah juga terikat dengan kontrak
sosial untuk melaksanakan kehendak rakyat, sehingga tujuan adanya
negara adalah untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh warga negara
yang mengikatkan diri kepadanya. Jika dipandang secara umum maka adanya
demokrasi menghendaki terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat secara
menyeluruh. Masih menurut Rousseau, dalam demokrasi bahwa rakyat yang memegang
kekuasaan pemerintah dengan mengutamakan kepentingan umum melalui prinsip
kemerdekaan dan kebebasan, sehingga institusi yang
lahir dari sistem demokrasi wajib memenuhi kehendak tersebut karena sejatinya
institusi tersebut hanya perwakilan bagi rakyat yang bertugas untuk memenuhi
kebutuhan secara umum.
Pilihan atas sistem demokrasi karena dalam
sistem ini memiliki keunggulan dalam hal mengatur tata cara pembuatan keputusan
bersama yang paling sedikit kelemahannya dibanding sistem yang lain. Dalam
implementasinya sistem pemerintahan demokrasi ditandai dengan pemilihan umum
secara berkala dimana rakyat bebas menentukan calon-calon pemimpin dan
wakilnya. Karakteristik lainnya adalah konsep pembagian kekuasaan antara
eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga mencegah terjadinya penumpukan
kekuasaan pada satu institusi. Pembagian kekuasaan ini diikuti mekanisme check and balances di antara
institusi-institusi yang ada, serta mekanisme kelembagaan bagi masyarakat untuk
mengontrol pelaksanaan kekuasaan. Salah satu ciri dari masyarakat demokrasi
adalah adanya lembaga eksekutif yang memikul semua tanggung jawab mulai dari
administrasi sederhana sebuah program sampai menggerakkan angkatan bersenjata
untuk bela negara dari ancaman peperangan. Dari hal tersebut maka diperlukan
suatu pengaturan terhadap kewenangan kepresidenan, hubungan kepresidenan dengan
kelembagaan lain, tata organ kepresidenan serta menjadi aturan pokok bagi
kepresidenan.
2.
Asas Tujuan
Tujuan dari kepresidenan haruslah mampu
untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial sebagaimana termaktub dalam alinea ke empat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Sebagai pelaksanaan tujuan dari negara tersebut maka kepresidenan paling banyak
berperan. Hal tersebut mengingat kedudukan Presiden secara jabatan dan institusional
merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan yang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.
Sebagai
perwujudan dari dianutnya sistem pemerintahan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945
adalah sistem Presidensial di mana tanggung jawab pemerintahan ada di pundak
Presiden menempatkannya dalam kedudukan utama untuk melaksanakan segala
kebijakan yang secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan seluruh rakyat dan
keberlanjutan negara. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan
kekuasaan tersebut sangat dipengaruhi perkembangan demokrasi dan ketatanegaraan
termasuk di dalamnya check and balances. Konsepsi
check and balances dalam
pelaksanaannya ditujukan untuk mengimbangi sekaligus saling mengawasi agar
tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Namun, pada praktiknya tidak jarang
kewenangan tersebut digunakan untuk upaya menjatuhkan karena perbedaan
pandangan politik. Hal tersebut tentu sangat tidak sehat dan merugikan bagi
upaya menciptakan suasana kondusif agar agenda pemerintahan berjalan dengan
baik. Oleh karenanya pengaturan tentang antar hubungan ketatanegaraan begitu
pula wewenang perlu dalam suatu undang-undang agar menjadi rambu-rambu
pelaksanaan kewenangan kepresidenan.
3.
Asas Kepastian Hukum
Walaupun langit runtuh, hukum harus tetap
ditegakkan. Suatu adagium yang menggambarkan pentingnya untuk menjamin
kepastian hukum. Suatu hukum idealnya dibuat untuk menyelesaikan permasalahan
yang ada sekaligus untuk menyelesaikan permasalahan serupa yang terjadi di masa
yang akan datang. Oleh karenanya hukum menjadi pijakan bagi setiap entitas
untuk melakukan perbuatan hukum. Terlebih dalam melaksanakan penyelenggaraan
negara maka setiap kebijakan yang diambil harus berdasarkan aturan hukum. Kepresidenan
dengan peran yang sentral dalam penyelenggaraan negara sampai saat ini belum
ada pengaturan spesifik yang melingkupi secara keseluruhan. Akibatnya ketiadaan
aturan tersebut dapat menimbulkan dua akibat yang tidak diinginkan, yaitu: Pertama, ketakutan akan adanya penyalahgunaan
wewenang atau melampaui wewenang yang diberikan; Kedua, adalah legitimasi dari perbuatan hukum pemerintah terkait
kelembagaan. Hal ini tersebut penting disusunnya Undang-Undang Kepresidenan
yang mampu untuk memberi kepastian hukum bagi setiap pelaksanaan wewenang
konstitusi yang masih perlu diturunkan.
4.
Asas Efektifitas Pemerintahan
Dalam mencapai tujuan negara maka hal yang
sangat diperlukan adalah menciptakan tata kelola organisasi pemerintahan yang
optimal. Optimalisasi tata kelola secara langsung akan berdampak pada
optimalisasi kinerja dan realisasi program yang telah direncanakan. Prinsip
yang menekankan pada sebuah penciptaan sebuah tata pemerintahan yang efektif
bagi peningkatan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat harus mendasari
perumusan substansi kepresidenan. Upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif
mengandung konsekuensi keharusan menciptakan pemerintahan yang berorientasi
pada rakyat, transparan akuntabel, responsif, partisipatif dan menjamin
kepastian hukum. Oleh karenanya keberadaan Undang-Undang Kepresidenan memiliki
fungsi utama salah satunya untuk menata kelembagaan tersebut. Mengatur
wewenang, pelaksanaannya sekaligus mengkoordinasikan antar lembaga. Keterpaduan
kinerja atas masing-masing lembaga akan menghindarkan overlapping pada suatu agenda atau di sisi yang lain akan lepas
tangan atas suatu agenda dengan alasan tidak adanya dasar wewenang.
5.
Asas Kepentingan Nasional
Dalam Undang-Undang Kepresidenan semata
haruslah diletakkan kepentingan nasional sebagai dasar. Pengaturan kepresidenan
tidak bisa dijadikan alasan untuk mengekang kewenangan Presiden dalam
menjalankan roda pemerintahan apalagi membatasi kewenangan konstitusionalnya. Undang-undang
ini haruslah mampu mengakomodasi latar belakang yang menjadi landasan untuk
mengaturnya. Pembenahan terhadap struktur kelembagaan pada kepresidenan serta
aturan yang ditujukan untuk menjadi payung yang melingkupi seluruh kelembagaan
dan mengatur kewenangan konstitusionalnya ke dalam aturan yang berupa
undang-undang. Undang-undang ini haruslah memberikan jaminan bahwa dengan
penataan kembali organ kekuasaan eksekutif maka akan menjadi input bagi
pelaksanaan pemerintahan sehingga menghasilkan output sesuai harapan, bahkan
manfaat dan dampak yang lebih luas bagi kepentingan nasional.
C.
Kajian terhadap Praktik
Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
Berdasarkan identifikasi permasalahan dan latar
belakang permasalahan urgensi pembentukan Undang-Undang Kepresidenan adalah:
(1) Belum
adanya peraturan khusus terhadap kepresidenan; (2) Penataan regulasi dan organ
di bawah kepresidenan; dan (3) Penjabaran lebih lanjut kewenangan Presiden dalam
konstitusi. Mengenai masing-masing permasalahan tersebut, berikut elaborasi
masing-masing permasalahan berdasarkan penyelenggaraan serta kondisi yang ada:
1.
Belum Adanya Peraturan Khusus
terhadap Kepresidenan
Berbeda dengan lembaga negara lain yang
sama-sama diatur dalam konstitusi, lembaga Presiden sebagai lembaga negara
tidak ada diatur secara menyeluruh dalam konsep yang utuh dengan suatu
undang-undang.
Dalam pembahasan mengenai Undang-Undang Kepresidenan terdapat tiga pandangan
tentang urgensi eksistensi pengaturan ini. Pandangan pertama menyatakan bahwa UU
ini tidak perlu diadakan sebab semua kewenangan Presiden sudah diatur secara
rinci dalam UUD NRI Tahun 1945, dari sana tidak membutuhkan penjabaran lebih
lanjut pada pengaturan berupa undang-undang. Pandangan yang kedua
adalah menganggap perlunya adanya UU yang berhubungan dengan kepresidenan, namun
tidak harus secara utuh, cukup pengaturan secara parsial atau sektoral.
Sedangkan, pandangan ketiga adalah pengaturan yang bersifat implementatif yang
menyangkut keseluruhan aspek mengenai materi yang sudah diatur dalam UUDNRI Tahun 1945.
Saat ini yang dipakai untuk mengatur
kepresidenan adalah pandangan yang kedua. Pengaturan yang digunakan bersifat
parsial dan tidak menyeluruh pada semua aspek dalam satu undang-undang.
Misalnya Undang-Undang Kementerian Negara, Undang-Undang Dewan Pertimbangan
Presiden, Undang-Undang Perjanjian internasional, Undang-Undang Pemberian Grasi
Amnesti dan Abolisi dan lain sebagainya. Sedangkan apabila terdapat suatu
kewenangan yang belum ada pengaturan turunan dari konstitusi Presiden melakukan
diskresi untuk menafsirkan sekaligus melaksanakan kewenangan tersebut.
2.
Penataan Regulasi dan Organ di
Bawah Kepresidenan
Pengaturan yang berhubungan dengan lembaga
kepresidenan bersifat sektoral, biasanya diadakan dengan dua kondisi, Pertama, dengan konsep yang jelas dan
pengaturan bersifat permanen, seperti misalnya Undang-Undang Kementerian Negara
dan Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden, tetapi ada pula yang peraturan
yang sifatnya reaktif-permanen, semisal Komisi Hukum Negara, dan juga reaktif-ad hoc, seperti pembentukan Satuan Tugas
REDD+. Dari segi bentuknya pengaturan tentang kepresidenan tersebar dalam
berbagai bentuk secara hierarkis seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
Presiden/keputusan Presiden, dan lain sebagainya. Kondisi dari masing-masing
peraturan tersebut satu sama lain ada yang memiliki keterkaitan dan ada yang
berdiri sendiri. Akibat dari kondisi tersebut seringkali terjadi overlapping pengaturan atas suatu
lembaga yang mengurusi bidang yang sama. Semua hal tersebut terjadi akibat
tidak adanya pengaturan induk kepresidenan yang berupa undang-undang yang
mengakomodir secara komprehensif.
Akibat dari ketidakjelasan pengaturan di
atas, organ di bawah Presiden masing-masing berdiri sendiri dengan
urusan-urusan yang dilimpahkan kepadanya untuk dikerjakan. Belum ada grand design bagaimana struktur
kelembagaan dan bagaimana hubungan antar kelembagaan di bawah kepresidenan
tersebut. Ketiadaan cetak biru kepresidenan tersebut mengakibatkan tumpang
tindih kewenangan, dikarenakan pendekatan sektoral terhadap suatu permasalahan,
sehingga tidak terkoordinasikan dengan baik antar lembaga di bawah
kepresidenan.
Pelaksanaan tugas pemerintah yang
seharusnya menjadi agenda yang saling terhubung satu sama lain. Praktiknya masing-masing
lembaga menonjolkan kinerja kelembagaannya, sehingga tidak bisa dinilai kinerja
pemerintahan secara menyeluruh. Dari kondisi demikian mengakibatkan in-efisiensi
dan in-efektifitas pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam penyelesaian
permasalahan menjadi lambat karena tidak terkondisikan dan terkoordinasikan
dengan baik. Pendekatan sektoral menjadikan birokrasi menjadi gemuk dan
cenderung menghabiskan banyak anggaran.
3.
Penjabaran Lebih Lanjut
Kewenangan Presiden dalam Konstitusi
Pengaturan kepresidenan dalam UUD NRI Tahun
1945 secara spesifik terdapat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 17. Dari Bab
III Kekuasaan Pemerintahan Negara sampai Bab V tentang Kementerian Negara, dan
juga masih tersisip pada Bab lainnya misalnya Bab VII tentang DPR yang berkaitan
dengan pembahasan bersama rancangan undang-undang dan Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman dalam hal menetapkan hakim agung. Dalam masing-masing kewenangan
tersebut belum semua diturunkan dalam undang-undang, hanya sebagian yang sudah
dijabarkan ke dalam bentuk undang-undang. Hal tersebut berkaitan dengan
pelaksanaan kewenangan dalam praktik ketatanegaraan, seberapa sering kewenangan
tersebut digunakan. Misalnya kewenangan membuat perjanjian internasional karena
sering digunakan, maka ada undang-undang yang mengaturnya. Berbeda halnya
dengan kewenangan menyatakan perang atau membuat perdamaian, belum ada
undang-undang yang mengaturnya, jika suatu saat ada keadaan bahaya atau
peperangan, maka tidak ada aturan turunan bagaimana Presiden melakukan
tersebut, oleh karenanya kewenangan tersebut hanya bisa dilakukan melalui
diskresi. Undang-undang yang mengatur tentang penjabaran atas kewenangan
konstitusional sifatnya terpisah-pisah. Padahal, masing-masing tidak berdiri
sendiri melainkan merupakan kewenangan konstitusional Presiden secara
keseluruhan. Undang-undang yang mengatur tentang kewenangan konstitusional
Presiden tersebut seharusnya diatur dalam satu undang-undang tersendiri, yaitu
Undang-Undang Kepresidenan.
D.
Kajian terhadap Implikasi
Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur Dalam Undang-Undang terhadap Aspek
Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
Sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan
dalam identifikasi masalah, maka implikasi pada penerapan sistem baru ini akan
didasarkan pada indikator yang ada di atas dengan rumusan implikasi meliputi, dampak
penerapan, peluang untuk diterapkan, dan risiko apabila diterapkannya sistem
baru tersebut.
1.
Adanya Peraturan Khusus
terhadap Kepresidenan
Dari adanya UU Kepresidenan maka akan memberikan
dampak adanya sistem hukum baru bagi pengaturan kepresidenan dan menggantikan
sistem hukum yang ada selama ini. Sistem tersebut akan menjadi pengaturan
secara utuh bagi kepresidenan sebagaimana cabang kekuasaan yang lain.
Keberadaan Undang-Undang Kepresidenan menjadi pijakan dasar bagi Presiden untuk
menjalankan pemerintahan dan melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. Selain
itu, undang-undang ini menjadi payung hukum bagi Presiden dalam lingkup
kepresidenan dan bagi masyarakat luas menjadi tolok ukur dalam melaksanakan
agenda-agenda pemerintahan. Peluang untuk pembentukan UU Kepresidenan ini untuk
terwujud sangat tinggi, karena dukungan diperoleh dari Dewan Perwakilan Rakyat
sebab agenda untuk penyusunan undang-undang ini merupakan agenda dalam penguatan
sistem Presidensial dan penerapan check
and balances. Jika Undang-Undang Kepresidenan ini ada, maka memiliki risiko
akan terbatasinya kewenangan konstitusional yang dimiliki Presiden. Dalam hal
menjalankan kewenangan konstitusionalnya Presiden bisa menjalankan diskresi
dalam menerjemahkan kewenangan tersebut, maka dengan diatur kewenangan tersebut
dalam undang-undang, Presiden terikat hanya pada apa yang tertulis dalam UU.
2.
Penataan Regulasi dan Organ di
Bawah Kepresidenan
Dengan adanya Undang-Undang Kepresidenan
sebagai induk bagi segala pengaturan kepresidenan, maka hal ini akan memberikan
dampak dalam sistem hukum dalam pengaturan semua lembaga yang berada di bawah
lingkup kepresidenan. Semua pengaturan akan mengacu dan merujuk pada
undang-undang ini. Sebagai aturan kepresidenan yang utuh, maka segala pokok
pengaturan yang terpisah dalam lingkup sektoral akan masuk menjadi muatan dalam
pengaturan Undang-Undang Kepresidenan. Dampak yang lebih luas adalah
menghilangkan overlapping dalam
pengaturan dan organ di bawah kepresidenan. Peluang untuk menjadikan
Undang-Undang Kepresidenan sebagai induk dari semua pengaturan kepresidenan dapat
diwujudkan. Selama ini pengaturan tentang kepresidenan yang dibuat dengan sifat
reaktif dan sektoral. Dengan menjadikannya sebagai aturan induk maka setiap
permasalahan regulasi dan organ kepresidenan akan didesain secara menyeluruh. Resiko
dari Undang-Undang Kepresidenan dijadikan sebagai induk pengaturan kepresidenan
adalah terhadap undang-undang yang sudah ada maka harus masuk materi muatannya
pada undang-undang ini. Padahal undang-undang yang mengatur tersebut notabene adalah
undang-undang yang baru dan belum lama berlakunya. Selain itu, penataan
kepresidenan ini akan membuat perombakan struktur yang sudah mapan, sehingga
harus memulai dengan yang baru dan sangat dimungkinkan untuk menghapus atau
menggabung organ yang sudah ada. Akibatnya harus pula memikirkan tenaga yang
sebelumnya menempati lembaga yang dihapus atau digabungkan akan dipindahkan ke
mana dan penyesuaian kualifikasi kemampuan yang dimiliki.
3.
Penjabaran Lebih Lanjut
Kewenangan Presiden dalam Konstitusi
Dengan keberadaan UU Kepresidenan yang
materi muatannya menjabarkan kewenangan Presiden yang ada di konstitusi hal
tersebut akan memberikan kepastian hukum bagi Presiden untuk melaksanakan
kewenangannya. Hal tersebut karena undang-undang ini mengatur bagaimana
mekanisme melakukan kewenangan tersebut tanpa harus melakukan penafsiran terhadap
kewenangan konstitusional tersebut. Dengan mengatur materi muatan sebagai
penjabaran kewenangan konstitusi maka akan menjadikan kewenangan tersebut utuh
dalam satu kesatuan, tidak lagi terpecah-pecah ke dalam berbagai undang-undang
dan mengharuskan semua kewenangan untuk diatur di dalamnya. Peluang untuk
melakukan penjabaran kewenangan konstitusional Presiden ke dalam undang-undang
sangat besar terlaksana. Dengan penjabaran kewenangan konstitusional Presiden ke
dalam Undang-Undang Kepresidenan, maka berisiko untuk membatasi ruang gerak
Presiden. Penjabaran dari kewenangan sangat dimungkinkan untuk mempersempit
makna dari kewenangan itu sendiri, sehingga dalam hal ini kebijakan yang
dihasilkan karena penyempitan kewenangan itu tidak memberikan hasil yang
maksimal. Maka dari itu, penjabaran lebih lanjut kewenangan konstitusional
Presiden harus tetap sejalan dengan semangat konstitusi.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT
Dalam ketentuan hukum positif di Indonesia
terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur atau memiliki
keterkaitan dengan kepresidenan. Pada bab ini akan dimuat analisis dan kajian
terhadap peraturan perundang-undangan lain yang sekiranya memiliki keterkaitan
dengan kepresidenan.
A.
UU Darurat Nomor 19 Tahun 1954
tentang Amnesti dan Abolisi
Pembentuk undang-undang di Indonesia pernah
mengeluarkan sebuah undang-undang yang khusus mengatur tentang Amnesti dan
Abolisi. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1945 tentang Amnesti adalah
undang-undang yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1954 untuk
memberikan dasar hukum dalam pemberian amnesti dan abolisi. Undang-undang
darurat ini dibuat untuk melaksanakan Pasal 107 ayat 3 Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia. Secara materi
undang-undang darurat ini terdiri dari 5 pasal saja.
Setelah dilakukan analisis terhadap
Undang-Undang Darurat Amnesti dan Abolisi, ada beberapa hal yang patut untuk
dikritisi dari peraturan ini. Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954
menyatakan bahwa Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan
abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.
Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari
Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.
Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 2 bahwa amnesti dan abolisi diberikan
kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan
sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara
Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda. Undang-Undang Darurat
Amnesti dan Abolisi memiliki hubungan yang sangat erat dengan kepresidenan.
Kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi merupakan wujud tugas
dan tanggung jawabnya di bidang yudisial.
Berdasar pada ketentuan Pasal 1 UU Darurat
Nomor 11 Tahun 1954, amnesti dan abolisi diberikan oleh Presiden setelah
mendapat nasehat dari Mahkamah Agung. Sementara dalam konstitusi yang saat ini
berlaku, yakni UUD NRI Tahun 1945, dinyatakan pada Pasal 14 ayat (2) bahwa
Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dapat dikatakan bahwa ketentuan yang ada dalam Pasal 1 UU Darurat Nomor
11 Tahun 1954 telah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 tepatnya Pasal 14
ayat (2). Telah terjadi disharmoni dan ketidaksinkronan secara vertikal antara UU
Darurat Nomor 54 Tahun 1954 dengan UUD NRI Tahun 1945. Berpijak pada Pasal 2 UU
Darurat Amnesti dan Abolisi, maka dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini
sudah tidak berlaku lagi. Dikatakan tidak berlaku lagi karena undang-undang ini
hanya melegalisasi pemberian amnesti dan abolisi terhadap orang-orang yang
melakukan tindakan pidana akibat persengketaan politik antara Indonesia dengan
Kerajaan Belanda sebelum tanggal 27 Desember 1949. Artinya, Presiden saat ini
tidak bisa menggunakan undang-undang untuk dijadikan dasar hukum dalam setiap
pemberian amnesti dan abolisi.
B.
Perppu Nomor 23 Tahun 1959
tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan
Bahaya
<sedang dikerjakan Aji>
C.
UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri
Penjelasan Umum UU Nomor 37 Tahun 1999
menguraikan bahwa UU Hubungan Luar Negeri merupakan pelaksanaan dari ketentuan
dasar yang tercantum di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar
1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan
hubungan luar negeri. Dasar pembentukan undang-undang ini adalah adanya
pemikiran bahwa penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik
luar negeri memerlukan ketentuan-ketentuan yang secara jelas mengatur segala
aspek yang menyangkut sarana dan mekanisme pelaksanaan kegiatan tersebut.
UU Hubungan Luar Negeri sampai saat ini
masih berlaku dan menjadi landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan
hubungan luar negeri dan peraturan politik luar negeri. Keberadaan undang-undang
ini memiliki relevansi dan korelasi dengan kepresidenan. Hal ini karena
diaturnya beberapa kewenangan Presiden dalam Undang-Undang Kepresidenan.
Beberapa hal terkait dengan kepresidenan yang diatur dalam Undang-Undang
Hubungan Luar Negeri adalah sebagai berikut:
1.
Kewenangan penyelenggaraan hubungan
luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah Republik Indonesia
berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
2.
Presiden dapat menunjuk pejabat
negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan
hubungan luar negeri di bidang tertentu.
3.
Pembukaan dan pemutusan
hubungan diplomatik atau konsuler dengan negara lain serta masuk ke dalam atau
keluar dari keanggotaan organisasi internasional ditetapkan oleh Presiden dengan
memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat.
4.
Pengiriman pasukan atau misi
pemeliharaan perdamaian ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat.
5.
Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden selaku Kepala Negara.
6.
Untuk melaksanakan tugas
diplomatik di bidang khusus, Presiden dapat mengangkat pejabat lain setingkat
Duta Besar.
Bersandar kepada beberapa ketentuan yang
ada dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri, maka dapat dikatakan bahwa
undang-undang ini mengatur banyak tentang kepresidenan. Kewenangan Presiden dalam
mengangkat duta, konsul, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
internasional secara jelas diatur dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri.
Berhubung UU Nomor 37 Tahun 1999 mengatur banyak tentang lembaga kepresidenan,
maka sudah sepatutnyalah Undang-Undang Hubungan Luar Negeri dijadikan rujukan
dalam penyusunan Undang-Undang Kepresidenan. Hal ini supaya terjadi
sinkronisasi antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain.
D.
UU Nomor 24 Tahun 2000 tantang
Perjanjian Internasional
Undang-Undang Perjanjian Internasional
merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 yang memberi kewenangan
kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Jika diamati, ketentuan Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 masih
bersifat ringkas dan umum. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat
perundang-undangan yang secara tegas mendefinisikan kewenangan lembaga
eksekutif dan legislatif dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional serta aspek-aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan
yang dinamis antara kedua lembaga tersebut. Perjanjian internasional yang
dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum
publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan
negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.
Sampai saat ini UU Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional masih berlaku dan menjadi dasar hukum bagi
Presiden dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi
internasional atau subyek hukum internasional lainnya. Undang-Undang Perjanjian
Internasional sangat penting artinya untuk menciptakan kepastian hukum dan
pedoman yang jelas bagi pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional oleh
Pemerintah. Artinya dalam undang-undang tersebut, peran dan posisi Presiden
dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional sudah diatur sedemikian
rupa.
Terkait dengan kewenangan Presiden dalam
membuat perjanjian internasional ada beberapa hal yang patut dikritisi dari
undang-undang perjanjian internasional. Pertama,
Pasal 11 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain. Namun, perlu dicatat bahwa dalam Undang-Undang
Perjanjian Internasional tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan bahwa
Presiden membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR. Kedua, Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun
1945 menyatakan bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Keterlibatan
DPR dalam pembuatan perjanjian internasional dirasa perlu hanya sekedar untuk
meminta “persetujuannnya” saja. Sementara dalam Pasal 2 UU Perjanjian
Internasional frasa yang dipakai bukan “persetujuan, melainkan “konsultasi”. Ketiga, ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD
NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dibutuhkan
sepanjang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang. Sementara pada UU Perjanjian Internasional konsultasi dengan DPR
dibutuhkan sepanjang menyangkut kepentingan publik.
Dalam konteks kepresidenan sebenarnya telah
terjadi ketidaksinkronan antara ketentuan yang ada dalam konstitusi dengan
ketentuan yang ada dalam UU Perjanjian Internasional. Hal ini bisa dipahami
karena UU Perjanjian Internasional lahir pada tahun 2000, tepatnya pada masa
amandemen kedua UUD 1945. Sementara Pasal 11 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun
1945 lahir saat amandemen ketiga UUD 1945, yakni pada tahun 2001. Oleh karena
itu adanya Undang-Undang Kepresidenan sebenarnya merupakan sebuah jembatan agar
ketentuan yang ada dalam UU Perjanjian Internasional sinkron dengan materi yang
dikandung dalam konstitusi.
E.
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia merupakan ketentuan yuridis baru pengganti dari UU
Nomor 28 Tahun 1997. Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua UUD NRI Tahun 1945 Bab
XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000
dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi
perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara
Republik Indonesia serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi
masing-masing.
Definisi Kepolisian sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan,
“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Sementara pimpinan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan
fungsi kepolisian adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau biasa
disebut dengan Kapolri.
Seperti diketahui Kepolisian Negara
Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. Secara kedudukan, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berada di bawah Presiden dan bertanggungjawab secara
langsung kepada Presiden. Konsekuensi dari kedudukan Polri yang ada di bawah
Presiden maka Kapolri selaku pimpinan Polri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden. Dalam setiap pengangkatan ataupun pemberhentian Kapolri, Presiden
haruslah meminta persetujuan DPR. Hal ini penting karena DPR sebagai representasi
dari rakyat wajib dimintai persetujuannya.
Terkait dengan ruang lingkup lembaga
kepresidenan, Presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat maupun
memberhentikan Kapolri, Namun demikian, dalam menjalankan kewenangannya
tersebut Presiden wajib meminta pertimbangan dari DPR. Dimasukkannya pengaturan
mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang terdapat di dalam
Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia ke dalam Undang-Undang
Kepresidenan merupakan suatu upaya untuk menata kewenangan Presiden yang
tersebar di berbagai undang-undang supaya lebih terpadu dan holistik dalam satu
wadah pengaturan Undang-Undang Kepresidenan.
F.
UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia
Tanggal 16 Oktober menjadi hari yang
bersejarah bagi TNI, dikarenakan pada hari itu undang-undang yang mengatur TNI
secara kelembagaan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. UU Nomor 34 Tahun
2004 tentang TNI dibentuk guna menggantikan UU Nomor 2 Tahun 1988 tentang
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang tidak lagi sesuai dengan
perubahan kelembagaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. UU TNI merupakan
penjabaran lebih lanjut berbagai ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yakni Pasal 5
ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 27 ayat (3), dan Pasal
30.
Kaitannya dengan kepresidenan, UU TNI
adalah salah satu undang-undang yang mengatur sebagian kecil lembaga
kepresidenan. Ada beberapa alasan mengapa UU TNI dikatakan mengatur sebagian
kecil kepresidenan. Pertama, dalam
UU TNI dinyatakan secara eksplisit bahwa kedudukan TNI berada di bawah Presiden.
Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer. Kedudukan TNI di bawah
Presiden di sini diartikan bahwa keberadaan TNI ada di bawah kekuasaan Presiden.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan Presiden maka ia juga termasuk
dalam ruang lingkup lembaga kepresidenan. Kedua,
TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan yang dipimpin oleh seorang
Panglima.
Panglima TNI adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan dari DPR. Kewenangan Presiden untuk mengangkat dan
memberhentikan Panglima TNI merupakan cakupan dari kewenangan Presiden sebagai
kepala negara yang merupakan ruang lingkup lembaga kepresidenan. Ketiga, Presiden memiliki kekuasaan
yang tertinggi atas TNI. Hal ini dapat terlihat dari kewenangan Presiden dalam
mengerahkan kekuatan TNI. Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman
militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan
kekuatan TNI. Kekuasaan untuk menggerakkan kekuatan TNI ini merupakan
kewenangan Presiden yang notabene merupakan bagian dari lembaga kepresidenan. Keempat, UU TNI ini telah mengatur
secara jelas kewenangan Presiden dalam mengangkat Panglima TNI. Kewenangan untuk
mengangkat Panglima TNI merupakan bagian dari kewenangan Presiden sebagai
Kepala Negara.
Namun, begitu ada beberapa hal yang patut
dikritisi dari undang-undang ini, yakni tidak diaturnya penggunaan kekuatan TNI
oleh Presiden dalam situasi non-perang. Dalam UU TNI hanya dikatakan bahwa
penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain
perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka
mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini masih menimbulkan
pertanyaan, yakni kepentingan pertahanan negara dan kepentingan nasional
seperti apakah sehingga kekuatan TNI dapat digerakkan oleh Presiden. Terhadap
permasalahan seperti itu maka dibutuhkan semacam pengaturan yang lebih
komprehensif lagi untuk mengatur kewenangan Presiden dalam menggunakan kekuatan
TNI, baik ketika operasi militer untuk perang maupun selain perang. Hadirnya UU
Kepresidenan diharapkan mampu menjawab dan mengurai permasalahan tersebut.
G.
UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang
Dewan Pertimbangan Presiden
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, tugas pemberian nasihat dan pertimbangan kepada
Presiden telah dikenal dan telah berlangsung sejak lama, yang dilakukan oleh
Dewan Pertimbangan Agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
pelaksanaannya diatur dengan UU Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan
Agung sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1978 tentang Perubahan
dan Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan
Agung.
Pasca perubahan keempat UUD NRI Tahun 1945,
Dewan Pertimbangan Agung merupakan salah satu lembaga negara yang dihapuskan
dalam perubahan keempat. Sebelum perubahan, Dewan Pertimbangan Agung diatur
dalam bab tersendiri, yakni Bab IV Dewan Pertimbangan Agung. Setelah perubahan,
keberadaan Dewan Pertimbangan Agung diganti dengan suatu dewan pertimbangan
yang ditempatkan dalam satu rumpun bab yang diatur dalam Bab III Kekuasaan
Pemerintahan Negara. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan suatu
dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden
masih tetap diperlukan, tetapi statusnya menjadi bagian dari kekuasaan
pemerintahan negara.
UU Nomor 19 Tahun 2006 merupakan perwujudan
atau amanah yang tercantum dalam Pasal 16 UUD NRI Tahun 1945, yakni “Presiden
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”.
Status peraturan perundang-undangan ini adalah masih tetap berlaku dan
merupakan salah satu instrumen alat kelengkapan negara yang berada di bawah
kepresidenan. Fungsi undang-undang ini sudah jelas yakni melengkapi amanat
Pasal 16 UUD.
UU Nomor 19 Tahun 2006 mengatur kedudukan,
tugas, fungsi, susunan dan keanggotaan, pengangkatan dan pemberhentian,
mekanisme kerja, serta pembiayaan dan hak keuangan Dewan Pertimbangan Presiden.
Undang-undang ini sudah harmonis secara vertikal dengan UUD NRI Tahun 1945.
Hadirnya Undang-Undang Kepresidenan diharapkan mampu menyatukan organ-organ di
bawah Presiden supaya lebih tertata dan terkendali di bawah kekuasaan Presiden
sebagai pemegang pemerintahan. Oleh karena itu, Dewan Pertimbangan Presiden
layak untuk kemudian diatur dalam Undang-Undang Kepresidenan.
H.
UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara
UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara merupakan penjabaran lebih lanjut dari amanat Pasal 17 ayat (4) UUD NRI
Tahun 1945 yang menghendaki supaya pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang. Seperti disebutkan dalam
konstitusi dan UU Kementerian Negara bahwa pengangkatan dan pemberhentian
menteri merupakan hak prerogatif Presiden, artinya itu semua merupakan hak
Presiden yang tidak dapat diintervensi. Dewasa ini kewenangan Presiden dalam
melakukan pengangkatan, pemberhentian dan reshuffle
menteri menjadi topik yang seringkali diperdebatkan. UU Kementerian Negara
telah mensyaratkan seorang untuk dapat diangkat menjadi seorang menteri harus
memenuhi beberapa kriteria. Terhadap hal tersebut muncul sebuah pertanyaan,
sejauh mana undang-undang boleh mengatur hak prerogatif Presiden? Apakah betul
pengaturan tentang syarat dan kriteria menjadi seorang menteri merupakan
pembatasan bagi Presiden dalam menentukan pilihannya?
Dalam penjelasan umum UU Kementerian Negara
dikatakan bahwa keberadaan UU Kementerian Negara sama sekali tidak mengurangi
apalagi menghilangkan hak Presiden dalam menyusun kementerian negara yang akan
membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Sebaliknya,
undang-undang ini justru dimaksudkan untuk memudahkan Presiden dalam menyusun
kementerian negara karena secara jelas dan tegas mengatur kedudukan, tugas,
fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara. Pengaturan
mengenai syarat dan kriteria seseorang untuk menjadi menteri bukanlah pembatasan
hak prerogatif Presiden, namun merupakan payung hukum bagi Presiden dalam
menjalankan kewenangannya untuk memilih siapa yang akan duduk di kursi menteri.
Hal demikian bisa dipahami karena persyaratan menjadi menteri seperti yang
diatur dalam UU Kementerian Negara masih bersifat umum dan bisa diterima.
Persoalan lain yang patut dikritisi dari UU
Kementerian Negara adalah keberadaan Wakil Menteri. Selama ini keberadaan Wakil
Menteri masih menjadi polemik. Hal ini karena konstitusi UUD NRI Tahun 1945
tidak mengatur perihal Wakil Menteri dalam Pasal 17. Dalam UU Nomor 39 Tahun
2008 disebutkan pada Pasal 10 bahwa dalam hal terdapat beban kerja yang
membutuhkan beban kerja khusus, Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri pada
kementerian tertentu. Sementara pada Penjelasan
Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Wakil
Menteri adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet. Untuk menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut sesuai dengan perintah Pasal 11 UU Kementerian Negara,
maka dibentuklah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
Lebih lanjut Pasal 70 ayat 3 Perpres Nomor 47 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
wakil menteri harus pegawai negeri dan menduduki jabatan struktural eselon I/a.
Faktanya ketika Presiden mengangkat para wakil menteri, banyak di antara mereka
yang pegawai negeri, namun belum menduduki jabatan struktural eselon I/a.
Berdasar pada hal tersebut, jelas dapat dikatakan bahwa wakil menteri yang
diangkat oleh Presiden legalitas kedudukannya dipertanyakan. Belakangan
kemudian keluarlah Perpres Nomor 76 Tahun 2011 untuk mengakomodasi calon
menteri pilihan Presiden, sekaligus untuk menyelesaikan polemik pengangkatan
Wakil Menteri. Kini keberadaan wakil menteri telah absah karena didukung oleh
Perpres Nomor 76 Tahun 2011 sebagai dasar legalitas pengangkatan wakil menteri.
Lantas apa
keterkaitan dua masalah di atas dengan kepresidenan. Pengangkatan menteri dan
wakil menteri adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dari kepresidenan. Kedua
jabatan tersebut, baik menteri maupun wakil menteri merupakan hak prerogatif
Presiden. Sementara Presiden sendiri adalah aktor penting dalam lembaga
kepresidenan. Oleh karena itu, pengaturan kewenangan Presiden untuk mengangkat
menteri dan wakil menteri harus diatur dalam Undang-Undang Kepresidenan sebagai
bagian yang tak terpisahkan.
I.
UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang
Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan
UU Nomor 20 Tahun 2009 merupakan penjabaran
wewenang Presiden sebagai kepala negara, sebagaimana termuat dalam Pasal 15 UUD
NRI Tahun 1945 yang bunyinya, “Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan
lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang”. UU Gelar, Tanda jasa, dan
Tanda Kehormatan ini dimaksudkan sebagai unifikasi dan kodifikasi peraturan
perundang-undangan yang saat ini terdiri atas 17 (tujuh belas) undang-undang. Dengan adanya UU Gelar,
Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, maka pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda
kehormatan oleh Presiden sebagai kepala negara mempunyai landasan hukum yang
lebih kuat dan kepastian hukum yang lebih terjamin.
Keterkaitan UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan dengan UU Kepresidenan adalah karena kedua undang-undang tersebut
memberikan pengaturan mengenai kewenangan Presiden dalam memberikan gelar,
tanda jasa, dan tanda kehormatan. UU Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan
mengatur bagaimana mekanisme Presiden dalam memberikan gelar, tanda jasa, dan
tanda kehormatan. Sementara pada UU Kepresidenan diatur pula hal-hal yang
berkaitan dengan kewenangan Presiden sebagai kepala negara termasuk dalam hal
ini kewenangannya untuk memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. UU
Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dapat dikatakan selaras dan harmonis
dengan UU Kepresidenan. Hanya saja UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan
mengatur lebih spesifik substansi dan bersifat teknis. Sementara UU Kepresidenan
hanya mengatur garis besarnya saja, yakni menyangkut kewenangan Presiden yang
diberikan konstitusi dalam memberikan gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan.
J.
UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan
atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi merupakan turunan dari pada Pasal 14
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden memberikan grasi
dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dulunya
pengaturan tentang grasi diatur pada UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan
Grasi. Akan tetapi, undang-undang tersebut substansinya sudah tidak sesuai
dengan kondisi ketatanegaraan Indonesia dan perkembangan masyarakat saat ini,
sehingga dibuatlah UU Nomor 22 Tahun 2002 yang kemudian direvisi lagi menjadi
UU Nomor 5 Tahun 2010. Ketentuan yang ada dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 masih
berlaku sepanjang tidak dinyatakan sebaliknya oleh UU Nomor 5 Tahun 2010.
Dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 yang dimaksud
dengan grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pemberian grasi bukan
merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak
prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Undang-undang ini mengatur
mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan
penyelesaian permohonan grasi. Keterkaitan UU Grasi dengan kepresidenan adalah
karena grasi diberikan oleh Presiden selaku pilar utama kepresidenan, sehingga
dalam menjalankan kewenangannya tersebut, dibentuklah UU Grasi. Kehadiran UU Kepresidenan
diharapkan mampu mendukung, melengkapi, dan menjadi harmonis dengan UU Grasi.
Selain itu, melalui UU Kepresidenan ini, segala kewenangan Presiden yang
tersebar dalam berbagai undang-undang, termasuk UU Grasi dapat terkumpul dalam
satu wadah pengaturan yang terpadu dan komprehensif. Maka dari itu, kewenangan
Presiden dalam memberikan grasi wajib dimasukkan dalam materi UU Kepresidenan.
K.
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pada tanggal 12 Agustus 2011, Pemerintah bersama
dengan DPR secara resmi telah menyetujui bersama Rancangan Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi UU Nomor 12 Tahun
2011. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
merupakan ketentuan yuridis baru pengganti dari UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan diundangkannya UU Nomor 12
Tahun 2011, maka UU Nomor 10 Tahun 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
lagi.
UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan
undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Namun, ruang lingkup
materi muatan UU ini diperluas tidak saja undang-undang tetapi mencakup pula peraturan
perundang-undangan lainnya, selain UUD NRI Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Artinya di dalam
undang-undang ini disebutkan tentang tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
presiden, peraturan daerah provinsi dan juga peraturan daerah kabupaten/kota.
UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara substansi memiliki
keterkaitan dengan kepresidenan. Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan
hanya domain lembaga legislatif saja, melainkan Presiden sebagai eksekutif pun
terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. UU Nomor 12
Tahun 2011 menggambarkan secara jelas bagaimana kewenangan dan peran Presiden dalam
membuat peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang
melibatkan Presiden dalam proses pembuatannya adalah undang-undang/peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan
Presiden. Kewenangan Presiden dalam membentuk peraturan perundang-undangan
merupakan hal yang patut untuk diatur juga dalam UU Kepresidenan. Hal ini
sangat penting, selain untuk mengumpulkan seluruh kewenangan Presiden dalam
satu wadah pengaturan juga untuk mensinkronkan dengan UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A.
Landasan Filosofis
Menurut Hugo Krabbe, dalam teori kedaulatan
hukum atau Rechts-souvereniteit,
disebutkan bahwa yang memiliki kekuasaan atau kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara adalah hukum itu sendiri. Hukum menjadi panglima
dalam sebuah kehidupan berbangsa dan negara. Hukum menjadi kekuasaan tertinggi,
sehingga penguasa dari suatu negara pun harus tunduk pada hukum. Hukum menjadi
sebuah kekuasaan yang mempunyai legitimasi untuk mengatur semua sendi kehidupan
suatu negara. Dalam sebuah negara, siapapun harus tunduk pada kedaulatan hukum,
baik rakyat maupun penguasa.
Teori negara hukum memiliki dua pilar yang
paling penting yaitu teori negara hukum dan teori konstitusi. Istilah negara hukum
berkaitan dengan paham rechtsstaat atau
the rule of law, juga berkaitan
dengan paham nomocracy yang berasal
dari kata nomos dan cratos, nomos berarti norma, sedangkan cratos
adalah kekuasaan, ialah kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum. Dalam bukunya Nomoi, Plato mulai memberikan perhatian
dan arti yang lebih tinggi pada hukum. Menurutnya, penyelenggaraan pemerintahan
yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Sedangkan menurut
Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan
konstitusi dan berkedaulatan hukum. Berdasarkan dua pendapat
di atas penyelenggaraan pemerintahan suatu negara harus diatur dan dibatasi
oleh hukum. Agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesewenang-wenangan yang
dilakukan oleh penyelenggara negara atau penguasa.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara
dikatakan sebagai negara hukum jika di dalam wilayah negara tersebut terdapat: (1)
semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari
Pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam
saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus
memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku; dan (2) semua orang
(penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan
hukum yang berlaku.
Berdasarkan pengertian dan unsur-unsur
negara hukum di atas disyaratkan adanya peraturan perundang-undangan sebagai
sebuah dasar penyelenggaraan negara oleh alat-alat negara. Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud yaitu sebuah konstitusi. Constitution menurut Ivo D. Duchacek, “identity the source, purpose, uses, and restraints of public power”,
yang artinya mengidentifikasi sumber, tujuan, penggunaan, dan pembatasan kekuasaan
umum”. Dari pendapat tersebut
konstitusi adalah sebuah instrumen untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam
suatu negara untuk agar kekuasaan tersebut digunakan sebagaimana mestinya,
untuk mencapai sebuah tujuan yang mulia.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh
Walton H. Hamilton yang berjudul “Constitutionalism”
dikatakan bahwa “Constitutionalism is the
name given to the trust which men repose in the power of word engrossed on
parchment to keep a government in order”, dari hal tersebut
dijelaskan bahwa perlu adanya sebuah pengaturan agar proses pemerintahan dapat
dibatasi dan diatur sebagaimana mestinya. Menurut William
G. Andrews, “Under constitutionalism, two types of limitations impinge on
government. Power proscribe and procedures prescribed”[73].
Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama
lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara;
dan Kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan
lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi
konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu: (a) menentukan
pembatasan kekuasaan organ-organ negara; (b) mengatur hubungan antara
lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain; dan (c) mengatur hubungan
kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara. Maka jelas bahwa
kekuasaan yang harus dibatasi ini bukan hanya mengenai satu kekuasaan saja
tetapi lebih. Sesuai dengan teori Trias Politica yang disampaikan oleh Montesquieu
bahwa kekuasaan negara dapat dibagi menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan tersebut tidak akan
muncul secara serta merta, tetapi harus ada sebuah pengaturan yang diamanatkan
dalam konstitusi. Sesuai dengan hal tersebut, suatu konstitusi setidaknya
mengatur mengenai berbagai institusi kekuasaan yang ada dalam negara, kekuasaan
yang dimiliki oleh institusi-institusi tersebut, dan dalam cara seperti apa
kekuasaan tersebut dijalankan.
Bagir
Manan, dengan mengutip pendapat J.T. van den Berg, mengemukakan bahwa Negara
Indonesia sebagai negara hukum harus memiliki syarat minimal (negara hukum
klasik) ialah: (1) Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara
pemerintah dan warganya; (2) Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan
kehakiman yang merdeka; (3) Ada pemencaran kekuasaan negara/pemerintah (spreading van de staatsmacht); (4) Ada
jaminan terhadap hak asasi manusia; (5) Ada jaminan persamaan di muka hukum dan
jaminan perlindungan hukum; (6) Ada asas legalitas, bahwa pelaksanaan kekuasaan
pemerintahan harus didasarkan atas hukum.
Hal-hal tersebut di atas sudah termaktub
dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya tentang pemisahan kekuasaan (separation of power). Namun dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia pemisahan kekuasaan tersebut tidak dilaksanakan secara
mutlak. Pemisahan kekuasaan mutlak menghendaki adanya dinding pemisah yang
jelas antara tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Namun sistem ketatanegaraan kita memungkinkan adanya check and balances antara tiga cabang kekuasaan tersebut. Gagasan
utama dalam check and balances adalah
upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan dengan
tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Dari ketiga cabang
kekuasaan tersebut di Indonesia yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan
yudikatif telah diatur dalam undang-undang secara spesifik. Namun, kekuasaan
eksekutif dalam hal ini lembaga kepresidenan belum diatur dengan undang-undang
secara spesifik.
Pengaturan lembaga kepresidenan dalam
undang-undang merupakan sebuah instrumen pengaturan dan pembatasan yang lebih
rinci yang menjadi penjabaran dari apa yang telah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dengan pengajuan undang-undang lembaga kepresidenan oleh Presiden maka ini
menunjukkan bahwa Presiden membuka diri untuk adanya mekanisme check and balances antara ketiga cabang kekuasaan.
Selain itu, hal ini akan memberikan kepastian hukum bagi cabang kekuasaan eksekutif,
baik Presiden maupun organ-organ yang ada di bawahnya, untuk melaksanakan
fungsinya dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
B.
Landasan Sosiologis
Dalam beberapa puluh tahun terakhir,
persoalan ketatanegaraan yang berhubungan dengan lembaga kepresidenan menjadi
perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia. Persoalan tersebut lebih banyak
mengarah kepada legitimasi atas apa yang dilakukan Presiden dalam menjalankan
pemerintahannya. Seharusnya bagi negara yang menganut dan mempertahankan sistem
pemerintahan presidensial, seorang Presiden mempunyai modal yang kuat untuk
menjalankan pemerintahannya secara efektif guna mencapai kemakmuran rakyatnya.
Hal tersebut karena ciri dari sistem presidensial yang kemudian diatur sebagai
jaminan konstitusional, yaitu Presiden menduduki posisi sebagai kepala negara
dan kepala pemerintah, Presiden dipilih secara langsung, dan memiliki masa
jabatan yang tetap.
Pasca amandemen UUD sampai saat ini, posisi
kepresidenan relatif tidak jelas dibandingkan dengan cabang kekuasaan yang
lain. Berbagai persoalan muncul baik dalam keterkaitan hubungan internal
kelembagaan di bawahnya maupun eksternal dengan lembaga lainnya. Ketiadaan
aturan yang memuat ketentuan tentang kepresidenan secara menyeluruh yang
menjadi pijakan Presiden untuk mengelola lingkungan jabatan di bawahnya
menyebabkan legitimasi atas tindakan ketatanegaraan dalam merespon permasalahan
seringkali menuai gugatan dari berbagai pihak. Kepresidenan sering kali
disoroti pada soal detil hubungan kerja (profesional). Begitu pula dalam
masalah pengangkatan pejabat publik di bawah kepresidenan.
Permasalahan mengenai kepresidenan secara
umum bisa dikategorikan menjadi dua permasalahan mendasar. Pertama, tentang penataan organ di bawah Presiden. Mengenai
penataan kepresidenan, hal ini menjadi penting karena kepresidenan sebagai
lembaga negara memiliki organ kelembagaan yang paling banyak di antara lembaga
negara lainnya. Hal tersebut terjadi karena luasnya lingkup tugas dan wewenang
yang dipegang oleh kepresidenan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas
tersebut dibutuhkan penataan sistem kelembagaan secara menyeluruh dan saling
terkoordinasi.
Kondisi ideal sebagaimana di atas untuk
saat ini belum terpenuhi. Hal tersebut karena di lapangan, organ kepresidenan
belum tertata secara sistematik dan terstruktur. Laporan dari Sekretariat
Negara bisa menjadi gambaran untuk menjelaskan keadaan tersebut, yaitu:
a.
Sejak tahun 1945 belum pernah
diadakan kajian serta diletakkan kebijakan kepresidenan mendasar tentang
bagaimana lembaga kepresidenan itu seharusnya ditata untuk menunaikan empat
tugas utama pemerintahan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
b.
Organisasi dan manajemen
pemerintahan Republik Indonesia selama ini disusun secara fragmentasi, ad hoc, dan tanpa suatu grand design, walaupun Republik
Indonesia telah tumbuh dan berkembang dari sebuah republik sederhana menjadi
sebuah negara besar, dan sedang menghadapi masalah dalam negeri dan masalah
luar negeri yang luar biasa kompleks.
c.
Ada lima akibat dari organisasi
dan manajemen pemerintahan tanpa grand
design tersebut, yaitu:
1)
Timbulnya kecenderungan
pendekatan yang sangat sektoral dari departemen pemerintahan.
2)
Sulitnya koordinasi dan
komunikasi lintas lembaga pemerintahan yang terdiri dari departemen, lembaga
pemerintah non departemen, komisi, dan pemerintahan daerah yang cepat atau
lambat menimbulkan in-efektifitas dan in-efisiensi pemerintahan.
3)
Sulitnya diperoleh gambaran
menyeluruh dari kinerja pemerintahan.
4)
Tidak terpantaunya dan
berlarutnya keresahan dan ketidakpuasan masyarakat di tingkat daerah karena
tidak tertanganinya masalah-masalah dan keluhan daerah pada waktunya.
Lebih jauh soal kelembagaan adalah
memberikan legitimasi bagi Presiden dalam kewenangannya membentuk suatu
kelembagaan guna mengefektifkan jalannya pemerintahan. Hal tersebut penting
sebab dalam keadaan mendesak dan perlu segera adanya tindakan penyikapan maka
Presiden membentuk satuan organ khusus di luar yang sudah ada untuk
melaksanakan tugas tersebut, atau dimungkinkan menambahkan dari yang sudah ada
pada kelembagaan tersebut. Dengan adanya kewenangan ini maka tindakan Presiden akan
ada landasan yuridisnya dan tidak bertentangan dengan hukum. Sehingga ke depan
penolakan atas kebijakan tersebut bukan lagi pada alasan kewenangan
pembentukannya.
Kedua, dalam penggunaan kewenangan
Presiden. Permasalahan kepresidenan
tidak saja berkaitan dengan internal namun juga secara eksternal. Hal tersebut
tentang kewenangan konstitusional Presiden baik ke dalam negeri maupun ke luar.
Disana hanya diatur tentang kewenangan dan hak prerogatif Presiden, namun
mekanismenya masih menjadi penafsiran bebas. Dalam hal ini misalkan kewenangan
Presiden dalam Pasal 12, dalam menyatakan bahaya seperti apa dan bagaimana
penyikapannya, hal tersebut belum dijelaskan. Sedangkan kondisi bahaya sendiri
dalam pengertian, meliputi: keadaan bahaya perang, yang menyangkut external intervention/aggression
(perang/agresi dari luar), keadaan bahaya karena adanya internal disturbance (gangguan bersifat internal-state of tension), dan yang terakhir keadaan luar biasa
lainnya.
Perincian bahaya tersebut dikenal dengan istilah darurat sipil, darurat militer
dan keadaan perang. Begitu pula dengan hak prerogatif
Presiden lainnya yang dalam pelaksanaannya membutuhkan persetujuan ataupun pertimbangan
lembaga negara lain, misal Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung. Oleh
karena untuk menjalankan check and
balances hal tersebut perlu diatur untuk memperjelas hubungan kelembagaan negara.
Pengaturan hak-hak prerogatif Presiden tersebut merupakan upaya penguatan
terhadap sistem yang dianut. Sebab jika konsisten dengan sistem tersebut maka
Presiden memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menggunakan hak prerogatifnya.
Oleh karenanya melihat hal tersebut di atas maka penyusunan UU Kepresidenan merupakan
suatu yang sangat dibutuhkan. Mengingat posisi kepresidenan sebagai aktor utama
dalam menggerakkan negara. Dalam UU Kepresidenan tersebut akan diatur dengan
jelas kewenangan, kewajiban, hak dan tanggung jawab Presiden serta organ-organ
di bawahnya.
C.
Landasan Yuridis
Berbicara tentang kepresidenan tidak dapat
dipisahkan dari sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Kepresidenan di Indonesia
memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan umur republik ini. Dikatakan
hampir sama sebab pada saat dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah
sehari kemudian, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia
memiliki konstitusi (UUD
1945) yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan dan lembaga kepresidenan
yang menjadi roda penggerak pemerintahan. Sejak Indonesia merdeka pengaturan
mengenai kepresidenan bisa dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi
saja. Peraturan di
bawah konstitusi (undang-undang) hanya mengatur sebagian kecil saja
kepresidenan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan lembaga negara lainnya,
seperti Mahkamah Agung, DPR, dan MPR. Bisa dikatakan hanya kepresidenan
satu-satunya cabang kekuasaan yang tidak memiliki pengaturan dalam bentuk
undang-undang tersendiri. Peraturan dasar dan perundang-undangan yang berlaku
belum memberikan pengaturan yang lebih lanjut tentang kepresidenan. Pun, jika
selama ini terdapat berbagai macam aturan yang mengatur tentang kepresidenan,
itu semua letaknya tersebar dalam berbagai jenis dan tingkatan peraturan.
Beberapa undang-undang yang mengatur maupun memiliki keterkaitan dengan
kepresidenan dalam tingkatan undang-undang di antaranya:
1.
UU Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. UU Perjanjian Internasional
merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan
kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional.
2.
UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU Kepolisian Negara
Republik Indonesia merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 30 ayat (4) dan (5)
UUD NRI Tahun 1945 di mana Polri adalah alat negara dan Presiden berwenang
untuk mengangkat Kapolri.
3.
UU Nomor 34
Tahun 2004 tentang TNI. UU TNI merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 30 ayat
(3) dan (5) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk menggerakkan
kekuatan TNI dan mengangkat Panglima TNI.
4.
UU Nomor 19
Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. UU Dewan Pertimbangan Presiden merupakan
penurunan dari Pasal 16 UUD NRI Tahun 1945 yang mewajibkan kepada Dewan
Pertimbangan Presiden untuk memberikan nasehat kepada Presiden.
5.
UU Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. UU Kementerian Negara merupakan
penjabaran lebih lanjut Pasal 17 UUD ayat (2) dan (4) UUD NRI Tahun 1945 yang
memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan
menteri, selain itu dalam undang-undang ini diatur pula kewenangan Presiden untuk
membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian negara.
6.
UU Nomor 20
Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. UU Gelar, Tanda Jasa
dan Tanda Kehormatan merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 15 UUD NRI Tahun
1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden memberikan gelar, tanda jasa
dan tanda kehormatan.
7.
UU Nomor 5
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi merupakan turunan dari pada Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
yang menyebutkan bahwa Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
8.
UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya merupakan penjabaran
lebih lanjut Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada
Presiden untuk terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Keberadaan undang-undang di atas merupakan
bukti nyata bahwa peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan
kepresidenan tersebar dan berserakan tanpa adanya penataan yang terpadu,
menyeluruh dan komprehensif. Keinginan untuk membentuk UU Kepresidenan pada
hakikatnya merupakan salah satu upaya untuk menata sekaligus mensinkronisasi
berbagai macam peraturan yang sudah ada dan tersebar tadi agar terpadu dan
komprehensif. Dengan adanya UU Kepresidenan maka berbagai macam peraturan
perundang-undangan yang mengatur lembaga kepresidenan dapat terintegrasi
menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Dorongan untuk membentuk UU Kepresidenan
sangat kuat utamanya pasca amandemen UUD 1945. Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Atas dasar pasal itulah ruang lingkup
kekuasaan kepresidenan menjadi sangat luas. Secara implisit pengaturan
kekuasaan kepresidenan terdapat dalam Bab III UUD NRI Tahun 1945. Namun
demikian, pengaturan kepresidenan di dalam konstitusi tidak hanya diatur pada
Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara, pada bab-bab lain pun bisa ditemui
pasal-pasal yang memiliki keterkaitan dengan kepresidenan. Contoh bahwa
pengaturan kepresidenan tidak hanya diatur di dalam Bab III dapat dilihat pada Bab
V tepatnya, Pasal 17 yang mengatur tentang Kementerian Negara. Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri.
Jika ditelaah lebih lanjut dari 73 pasal
yang ada dalam konstitusi hampir 1/3 materi UUD NRI Tahun 1945 memberikan
pengaturan tentang kepresidenan. Hal demikian terjadi selain karena sentralnya
kedudukan kepresidenan dalam suatu negara, juga karena konstitusi sebagai hukum
dasar tertinggi ingin membatasi kekuasaan Presiden supaya tidak absolut. Akan
tetapi, dari 1/3 materi UUD yang mengatur tentang kekuasaan kepresidenan tidak
banyak yang memerintahkan untuk dijabarkan lebih lanjut ke dalam undang-undang.
Ruang lingkup kekuasaan kepresidenan, seperti yang diatur dalam UUD NRI Tahun
1945 dapat dilihat pada pasal-pasal konstitusi di bawah ini:
1.
Memegang
kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 4 ayat (1)].
2.
Memegang
kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU [Pasal 10].
3.
Menyatakan
perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 11 ayat (1)].
4.
Membuat
perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
[Pasal 11 ayat (2)]. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional
diatur dengan undang-undang [Pasal 11 ayat (3)].
5.
Menyatakan
keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan
undang-undang [Pasal 12].
6.
Menerima penempatan duta negara
lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 13 ayat (3)].
7.
Memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung [Pasal 14 ayat (1)].
8.
Memberi amnesti dan abolisi
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 14 ayat (2)].
9.
Memberi gelar, tanda jasa, dan
lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang [Pasal 15].
10.
Membentuk suatu dewan
pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden,
yang selanjutnya diatur dengan undang-undang [Pasal 16].
11.
Mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri [Pasal 17 ayat (2)]. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian
negara diatur dalam undang-undang [Pasal 17 ayat (4)].
Merujuk pada pasal-pasal konstitusi di atas
dapat dikatakan bahwa muatan materi UUD yang mengatur kekuasaan lembaga
kepresidenan lebih banyak didominasi oleh pengaturan kewenangan Presiden, baik
sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Mengamati kewenangan Presiden
yang ada dalam konstitusi bisa dikatakan bahwa kewenangan Presiden sangatlah
banyak dan luas. Selama ini, kewenangan Presiden yang sangat banyak tersebut
umumnya hanya diatur di dalam konstitusi saja, tanpa kemudian dijabarkan lebih
lanjut ke dalam sebuah undang-undang. Ketentuan tentang kewenangan Presiden seperti
yang termuat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinilai belum
mencukupi, dan masih diperlukan rincian ketentuan mengenai berbagai aspek
pelaksanaan tugas dan kewenangan Presiden dalam bentuk undang-undang.
Tidak adanya penjabaran lebih lanjut
kewenangan Presiden ke dalam peraturan setingkat undang-undang menyebabkan
Presiden harus menterjemahkan secara langsung apa yang tertulis di konstitusi.
Hal inilah yang kemudian menyulitkan Presiden karena harus membaca dan mengartikan
satu persatu pasal-pasal yang ada dalam konstitusi. Kesulitan Presiden dalam
menterjemahkan pasal-pasal yang sifatnya masih umum itulah yang kemudian
menyebabkan kepresidenan berjalan lamban dalam memberikan respon terhadap
segala permasalahan negara. Oleh karena itu, pasal-pasal konstitusi yang
mengatur tentang kewenangan Presiden dan kepresidenan secara umum, seyogyanya
diatur lebih lanjut ke dalam sebuah UU Kepresidenan. Pada titik inilah
sebenarnya UU Kepresidenan menjadi sesuatu yang sangat urgent untuk segera dibentuk. Dibentuknya UU Kepresidenan akan
memperkuat kepastian hukum kewenangan Presiden baik sebagai kepala negara
maupun kepala pemerintahan.
Selain itu, patut untuk disadari bahwa
salah satu kelemahan Presiden dalam menyelenggarakan roda pemerintahan karena
belum tertatanya organ-organ di bawah Presiden. Selama ini organ seperti
komisi, badan, komite, dan lembaga kurang terkoordinasi dengan baik dan tidak
memiliki hubungan yang sinergis antara satu dengan yang lainnya. Akibatnya, Presiden
kurang mampu mengorganisir organ-organ yang berada di bawah kendalinya. Organisasi dan manajemen pemerintahan Republik
Indonesia selama ini disusun secara fragmentaris, ad hoc, dan tanpa adanya suatu grand
design. Hal ini terjadi karena
masing-masing organ pemerintahan berdiri sendiri tanpa adanya suatu kesatuan
pengaturan yang sifatnya holistik dalam satu wadah peraturan.
Pengaturan yang sifatnya sektoral tersebut
telah menimbulkan berbagai kelemahan dalam koordinasi antar lembaga-lembaga
pemerintahan di bawah Presiden. Sulitnya
koordinasi dan komunikasi lintas lembaga-lembaga pemerintahan yang terdiri dari
kementerian, lembaga pemerintah non-departemen dan organ-organ lainnya secara cepat atau lambat akan menimbulkan in-efektivitas dan
in-efisiensi pemerintahan. Dalam konteks ini
perwujudan pengaturan kepresidenan dalam sebuah undang-undang menjadi hal yang
sangat relevan di samping untuk menata dan mensinkronisasi berbagai macam
peraturan perundang-undangan yang tersebar tadi juga untuk menata lembaga-lembaga
pemerintahan yang berada di bawah naungan kepresidenan. Terwujudnya sebuah UU Kepresidenan
yang di dalamnya memberikan pengaturan tentang lembaga-lembaga pemerintahan di
bawah Presiden akan memberikan kemudahan bagi Presiden dalam mengkoordinasi
satu lembaga dengan lembaga yang lain. Jika penataan lembaga-lembaga pemerintah
di bawah kekuasaan Presiden melalui satu wadah undang-undang telah dilakukan,
maka setiap lembaga mampu menjalankan wewenangnya sesuai dengan kedudukannya
masing-masing. Hal tersebut akan mewujudkan kerja sama dan hubungan yang
harmonis antar lembaga pemerintahan di bawah komando Presiden.
Berdasar pertimbangan-pertimbangan di atas,
UU Kepresidenan memiliki kaitan yuridis dengan berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya. Peraturan perundang-undangan yang memiliki
pertautan dengan kepresidenan haruslah menjadi landasan yuridis bagi
pembentukan UU Kepresidenan. Pertama,
Bab III UUD NRI Tahun 1945 yang materinya mengatur tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara. Kedua,
undang-undang yang mengatur sebagian kecil kepresidenan, seperti UU Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU
Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, UU Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara, UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa
dan Tanda Kehormatan, UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22
Tahun 2002 tentang Grasi dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A.
Sistematika
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Asas-asas, Tujuan, dan Kedudukan Lembaga Kepresidenan
Bab III Tugas dan Wewenang
Bagian
Kesatu Tugas dan Kewenangan Eksekutif
Bagian
Kedua Tugas dan Kewenangan Legislatif
Bagian
Ketiga Tugas dan Kewenangan Yudisial
Bagian
Keempat Tugas dan Kewenangan Diplomatik
Bagian
Kelima Tugas dan Kewenangan Administratif
Bab IV Hak, Kewajiban, dan Larangan
Bagian
Kesatu Hak
Bagian
Kedua Kewajiban
Bagian
Ketiga Larangan
Bab V Kekebalan Presiden dan Wakil Presiden
Bab VI Organ di Bawah Lembaga Kepresidenan
Bagian
Kesatu Kementerian Negara
Bagian
Kedua Lembaga Setingkat Menteri
Bagian
Ketiga Lembaga Pemerintah Non Kementerian
Bagian
Keempat Lembaga Penunjang Kinerja Presiden
Bab VII Ketentuan Peralihan
Bab VIII Ketentuan Penutup
A. Ketentuan Umum
1. Lembaga Kepresidenan adalah lembaga negara yang
mengatur organisasi dan tata kerja kepresidenan yang dijalankan oleh Presiden dan
Wakil Presiden dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di bidang
kenegaraan dan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
2. Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
yang menjadi penyelenggara Pemerintah.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut MPR.
4. Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPR adalah
Lembaga Tinggi Negara yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.
5. Panglima TNI adalah perwira tinggi militer yang
memimpin TNI
6. Kementrian adalah perangkat pemerintah yang membidangi
urusan tertentu dalam pemerintahan.
7. Sekretaris Kabinet adalah lembaga pemerintah yang
berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
8. Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga pemerintah
yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9. Kapolri adalah pimpinan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian.
10. Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk
dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
B. Materi Muatan yang Diatur
Materi muatan yang
tercantum dalam Undang-undang antara lain sebagai berikut :
1. Asas-asas, Tujuan, dan Kedudukan Lembaga Kepresidenan
a. Asas-asas
Penyelenggaraan Lembaga Kepresidenan
1. Asas
Demokratis
Presiden terpilih berdasarkan hasil pemilihan
umum. Dari hal tersebut jelas bahwa Presiden memegang amanat dari rakyat untuk
melaksanakan pemerintahan. Berdasarkan pada konsep sederhana demokrasi yang
menyatakan bahwa demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka
pelaksanaan pemerintahan tersebut harus mengakomodir aspirasi rakyat untuk
kemudian mencapai kesejahteraan rakyat.
2. Asas Tujuan
Penyelenggaraan
lembaga kepresidenan harus didasarkan untuk mencapai tujuan negara yang
termaktub dalam pembukaan alinea ke empat UUD 1945, yaitu untuk melindungi
segenap tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3. Asas
Kepastian Hukum
Adanya pengaturan tentang lembaga kepresidenan
diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi proses pelaksanaan
pemerintahan sehingga permasalahan-permasalah hukum yang belum diatur
sebelumnya dapat terselesaikan.
4. Asas
Efektifitas Pemerintahan
Pengaturan lembaga kepresidenan dimaksudkan untuk
memberikan batasan dan aturan agar proses pelaksanaan pemerintahan dapat
dijalankan sebagaimana mestinya secara efektif untuk mencapai tujuan negara
tersebut.
5. Asas
Kepentingan Nasional
Dengan adanya pengaturan lembaga kepresidenan akan
memberikan input bagi pelaksanaan pemerintahan yang mencakup kepentingan
nasional sebuah negara.
b. Tujuan
Tujuan
penyelenggaraan lembaga kepresidenan adalah untuk melaksanakan proses
pemerintahan yang sesuai dengan tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945. Khususnya dalam hal mewujudkan pemerintahan yang
memihak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.
c. Kedudukan Lembaga Kepresidenan
Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang. Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan
eksekutif. Maksudnya, Presiden mempunyai kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, Presiden dan wakil Presiden tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945. Presiden dan wakil Presiden menjalankan
pemerintahan sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD
1945.
2. Tugas dan Wewenang
1. Presiden Sebagai
Kepala Negara
a. Presiden memegang
kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, laut, dan Angkatan Udara
Tentara
Nasional Indonesia (TNI) terdiri dari TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut,
dan TNI Angkatan Udara. Berdasarkan Pasal 10 ayat 1, Undang-undang Dasar 1945,
yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Hal ini menjelaskan bahwa, ketiga
angkatan tersebut berada di bawah Presiden. Hal ini bersesuaian dengan Pasal 3
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyatakan
bahwa dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer TNI berada di bawah
Presiden. Susunan TNI diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden. Sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan
udara maka Presiden pun mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan
Panglima TNI. Yang dimaksud dengan Panglima TNI adalah perwira tinggi militer
yang memimpin TNI. Dalam Pasal 13 ayat 2, Undang-undang Nomr 34 Tahun 2004
tentang TNI dinyatakan bahwa Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini bersesuaian dengan
apa yang ada dalam UUD 1945 yaitu tanggung jawab penggunaan kekuatan militer
ada pada Panglima TNI. Panglima TNI bertanggung jawab pada Presiden terkait
penggunaan kekuatan tersebut. Proses pengangkatan dan pemberhentian tersebut
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
b. Presiden berwenang
dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Dalam Pasal 8
ayat 1,Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dinyatakan bahwa Kepolisian Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
Kepolisian dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung
jawab pada Presiden. Dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa Kapolri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden berdasarkan persetujuan DPR. Tentang susunan
organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan
dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
c. Presiden berwenang
mengeluarkan pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain.
Pada Pasal 11
Ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa, Presiden berwenang mengeluarkan pernyataan
perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Dalam hal
kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI ada pada Presiden. Dalam hal
keadaan memaksa yaitu adanya ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata maka
Presiden dapat langsung melakukan pengerahan kekuatan TNI. Pengerahan kekuatan
TNI tersebut selanjutnya harus ditindak lanjuti dengan adanya penggunaan
kekuatan TNI dalam rangka operasi militer. Yang dimakusd dengan operasi militer
adalah segala bentuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI, untuk melawan
kekuatan militer negara lain yang melakukan agresi terhadap Indonesia, dan/atau
dalam konflik bersenjata dengan suatu negara lain atau lebih, yang harus
didahului pernyataan perang. Selain mengeluarkan pernyataan perang Presiden juga
berwenang dalam pembuatan perdamaian. Hal ini bersesuaian dengan
pengejawantahan tujuan negara yaitu ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya
Presiden juga berwenang untuk membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam
Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 menyatakan bahwa Seseorang
yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerima atau
menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian
internasional, memerlukan Surat Kuasa. Namun selanjtnya dalam Pasal 7 Ayat 2
hal tersebut dikecualikan untuk Presiden dan Menteri. Pengesahan perjanjian
yang dibuat kemudian disahkan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Pada Pasal 15 disebutkan bahwa
selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau
keputusan Presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian
internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen
perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati
oleh para pihak pada perjanjian tersebut.
d. Presiden mengangkat
dan menerima penempatan duta besar.
Dalam Pasal 29
ayat 1, Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
disebutkan bahwa Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara
yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara. Duta Besar
Luar Biasa dan Berkuasa Penuh mewakili negara dan bangsa Indonesia dan menjadi
wakil pribadi Presiden Republik Indonesia di suatu negara atau pada suatu
organisasi internasional. Presiden juga berwenang menerima penempatan duta besar
dengan tujuan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama ini telah
melaksanakan hubungan luar negeri dengan berbagai negara dan organisasi
regional maupun internasional.
e. Pemberian Grasi,
Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi
Pasal 1
Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
menyebutkan, Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan
abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.
Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari
Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.
Dalam hal pemberian Rehabilitasi disebutkan dalam Pasal 35 Ayat 1,
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal
Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya
dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Dalam hal pemberian
Grasi Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyatakan
bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi
kepada Presiden. Grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan
pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi
manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
f. Presiden memberi
gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan
Dalam Pasal 1
point (1), point (2), point (3), Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang
Gelar, Tanda Jasa, dan Gelar Kehormatan, dijelaskan bahwa gelar, tanda jasa,
dan tanda kehormatan diberikan oleh Presiden. Pemberian gelar, tanda jasa, dan
tanda kehormatan diberikan berdasarkan pertimbangan dari Dewan Gelar yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
2. Presiden Sebagai
Kepala Pemerintah
a. Presiden berwenang
mengangkat dan memberhentikan Menteri Negara.
Menteri
diangkat oleh Presiden. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dalam
melaksanakan urusan pemerintahan. Setiap menteri membidangi urusan tertentu.
Menteri diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden karena; a. mengundurkan
diri atas permintaan sendiri secara tertulis; b. tidak dapat melaksanakan tugas
selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut; c. dinyatakan bersalah berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d.
melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan; e. alasan lain yang ditetapkan oleh
Presiden.
b. Presiden berwenang
membentuk, menggabungkan, dan menghapuskan kementrian.
Pembentukan
Kementerian adalah pembentukan Kementerian dengan nomenklatur tertentu setelah
Presiden mengucapkan sumpah/janji. Pengubahan Kementerian adalah pengubahan
nomenklatur Kementerian dengan cara menggabungkan, memisahkan, dan/atau
mengganti nomenklatur Kementerian yang sudah terbentuk. Pembubaran Kementerian
adalah menghapus Kementerian yang sudah terbentuk. Presiden berwenang untuk menentukan komposisi dan susunan
kementrian dalam masa jabatannya. Untuk pengubahan dan pembubaran kementrian
harus berdasarkan pertimbangan DPR.
c. Presiden berwenang
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Dalam Pasal 5
UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden mempunyai hak untuk mengajukan undang-undang
kepada DPR. Kemudian rancangan undang-undang tersebut dibahas bersama antara
Presiden dan DPR untuk mendapat persetujuan bersama untuk kemudian disahkan
oleh Presiden. Pengajuan rancangan undang-undang oleh Presiden merupakan sebuah
bentuk adanya mekanisme check and
balances antara lembaga eksekutif dan legislatif.
d. Presiden berwenang
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Pasal 22 ayat 1
Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa dalam hal ikhwal kegentingan
yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang. Peraturan pemerintah yang bersangkutan harus mendapat
persetujuan dari DPR. Jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah
tersebut harus dicabut.
e. Presiden berwenang
membuat peraturan perundang-undangan pelaksana undang-undang
Dalam hal ini
misalnya adalah Keputusan Presiden merupakan sebuah instrument yang ada untuk
melaksanakan tugas dari Presiden. Keputusan Presiden bersifat konkret,
individual, final terhadap materi yang diaturnya. Keputusan Presiden berisi
keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945,
Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan
Peraturan Pemerintah.
f. Presiden berwenang
menyampaikan Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Anggaran
pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara
ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka
dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden dan
dibahas dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan
Daerah.
3. Kekebalan Presiden dan Wakil Presiden
Dalam
menjalankan tugas kepresidenan, Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat
dituntut/digugat secara perdata, pidana dan/atau administrasi negara, karena
pernyataan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat kabinet, dalam
rapat-rapat resmi MPR dan/atau dalam rapat-rapat resmi DPR, baik dalam
rapat-rapat resmi yang sifatnya terbuka maupun dalam rapat-rapat resmi yang
sifatnya tertutup, yang diajukan secara lisan dan tertulis.
4. Hak, Kewajiban, dan Larangan
1. Hak
Presiden dan
Wakil Presiden mempunyai hak keuangan dan hak protokoler berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Presiden berkediaman resmi di Istana Negara. Wakil
Presiden berkediaman resmi di Istana Wakil Presiden. Presiden dan Wakil
Presiden beserta keluarga berhak memperoleh perlindungan keamanan. Mantan
Presiden dan Mantan Wakil Presiden berhak memperoleh perlindungan keamanan.
2. Kewajiban
Menjalankan
sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Menjalankan sistem kenegaraan dan sistem pemerintah secara demokratis. Mentaati
dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden berkewajiban
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur pelaksanaan undang-undang.
3. Larangan
Melakukan
kegiatan bisnis secara langsung atau secara tidak langsung. Memberikan
kemudahan dan/atau peluang bisnis kepada keluarga, kroni kelompok politiknya,
dan/atau pihak lain baik secara langsung atau tidak langsung, aktif dalam
kepengurusan badan-badan sosial. Memberikan kemudahan keluarga atau kroninya
yang aktif dalam badan-badan sosial secara langsung atau tidak langsung.
Menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain, yang patut dapat diduga
akan mempengaruhi keputusan pemerintah atau sebagai imbalan atas suatu keputusan
pemerintah yang telah ditetapkan, menerima secara langsung atau tidak langsung
hadiah dalam bentuk apapun yang nilainya lebih dari Rp.25.000.000 (dua puluh
lima juta rupiah) dari pihak lain dan/atau pihak tertentu dari negara lain.
5. Organ-organ di Bawah Lembaga Kepresidenan
1. Kementerian
Kementerian
Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Menteri Negara yang selanjutnya disebut Menteri adalah
pembantu Presiden yang memimpin Kementerian. Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan.
2. Dewan Pertimbangan
Presiden
Dewan
Pertimbangan Presiden berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggungjawab
kepada Presiden. Dewan Pertimbangan Presiden bertugas memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.
Pemberian nasihat dan pertimbangan wajib dilakukan oleh Dewan Pertimbangan
Presiden baik diminta maupun tidak diminta oleh Presiden. Nasihat dan
pertimbangan disampaikan baik secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan
nasihat dan pertimbangan seluruh anggota dewan.
Dalam
menjalankan tugasnya, Dewan Pertimbangan Presiden melaksanakan fungsi nasihat
dan pertimbangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pengangkatan dan pemberhentian anggota Dewan Pertimbangan Presiden ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
3. Sekretaris Kabinet
Sekretariat
Kabinet adalah lembaga pemerintah yang berkedudukan dibawah dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden. Sekretariat Kabinet dipimpin oleh Sekretaris
Kabinet. Sekretariat Kabinet mempunyai tugas memberi dukungan staf,
administrasi, teknis, dan pemikiran kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan.
4. Kementrian
Sekretaris Negara
Kementerian
Sekretariat Negara mempunyai tugas memberikan dukungan teknis dan administrasi
serta analisis kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam menyelenggarakan
kekuasaan negara. Kementerian Sekretariat Negara berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden. Kementerian Sekretariat Negara dipimpin oleh Menteri
Sekretaris Negara.
5. TNI
Tujuan nasional
Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tentara Nasional Indonesia sebagai alat
pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan
pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan
wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk
perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas
pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. TNI
berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan
tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
6. Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Keamanan
dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani
yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. pemeliharaan keamanan dalam negeri
melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
7. Komisi-komisi
Komisi-komisi tersebut
merupakan organ konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang sumber
kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah
undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman
Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya secara hukum hanya didasarkan
atas kebijakan Presiden (presidential policy) atau beleid Presiden. Jika Presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu
Presiden berwenang untuk itu. Pengaturan lembaga kepresidenan dalam tataran
undang-undang sangat penting khususnya dalam memberikan kepastian hukum
terhadap organ konstitusi kelompok ketiga, yang merupakan organ-organ di bawah
lembaga kepresidenan.
8. Staff Khusus
Presiden
Staf Khusus
Presiden melaksanakan tugas tertentu di luar tugas-tugas yang sudah dicakup
dalam susunan organisasi departemen, kementerian, dan instansi pemerintah
lainnya. Staf Khusus Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri ; 1)
Sekretaris Pribadi Presiden; 2) Bidang Hubungan Internasional; 3) Bidang
Informasi/Public Relation; 4) Bidang Komunikasi Politik; 5) Bidang Hukum dan
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 6) Bidang Ekonomi dan Keuangan; 7)
Bidang Pertahanan dan Keamanan; 8) Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi
Daerah; 9) Bidang Teknik dan Industri. Staf Khusus Presiden bertanggung jawab
kepada Sekretaris Kabinet. Presiden dapat mengangkat Staf Khusus Presiden dengan
sebutan Penasehat Khusus Presiden atau Utusan Khusus Presiden yang dalam
pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. Pengangkatan dan tugas
pokok Staf Khusus Presiden ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
9. Pasukan Pengaman
Presiden
Pasukan
Pengaman Presiden atau yang biasa disebut Paspampres bertugas untuk melaksanakan pengamanan fisik langsung jarak dekat
setiap saat kepada Presiden RI, Wakil Presiden RI dan Tamu Negara setingkat
Kepala Negara / Pemerintahan beserta keluarganya serta tugas Protokoler
kenegaraan dalam rangka mendukung tugas pokok TNI. Paspampres adalah oragn di
bawah lembaga kepresidenan yang harus disertakan untuk diatur dalam
undang-undang.
C.
Ketentuan Peralihan
Segala
ketentuan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini
dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang yang terkait dengan Lembaga
Kepresidenan yang bersifat parsial tidak berlaku setelah adanya Undang-undang
Lembaga Kepresidenan ini. Substansi pokok dari setiap undang-undang tersebut
telah dikodifikasikan dalam Undang-undang Lembaga Kepresidenan.
BAB
VI
PENUTUP
A.
Simpulan
Lembaga kepresidenan merupakan lembaga sentral dan
sangat penting keberadaannya dalam mengatur dan menjalankan fungsi serta
tugasnya di dalam berkehidupan bernegara, bersentuhan langsung dengan
masyarakat secara luas. Sehingga tidak heran bahwa lembaga dalam mendominasi
pengaturan dan konstitusi UUD NRI Tahun 1945 dibandingkan dengan lembaga
legisatif ataupu yudikatif. Disamping dengan mendominasinya pengaturan dalam
konstitusi bahwa sejatinya terhadap pengaturan lembaga kepresidenan banyak
memiliki keterbatasan yakni belum terbentuknya pengaturan khusus terhadap
lembaga kepresidenan.
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Lembaga
Kepresidenan ini telah dilakukan upaya-upaya khusus dengan berbagai
landasan-landasan pembentukannya yakni baik landasan filosofis, yuridis, maupun
sosiologis serta dengan dilakukannya pengkajian-pengkajian mendalam lainnya.
Sehingga, dengan demikian didapati berbagai indentifikasi masalah tehadap
lembaga kepresidenan, yaitu:
1. Perlu adanya sebuah penataan peraturan pada lembaga
kepesidenan, sehingga sampai saat ini peraturan-peraturan yang melingkupi ranah
lembaga kepresidenan tersebut berjalan dengan pengaturan masing-masing dan
berdiri sendiri;
2. Perlu adanya pengaturan khusus tentang lembaga kepresidenan,
sehingga dalam pengatur setiap urusannya hanya sebatas berdasarkan pengaturan
yang mengatur bidangnya masing-masing. Padahal pengaturan lembaga kepresidenan
merupakan “pengaturan induk” yang bisa dijadikan rujukan terhadap seluruh ruang
lingkup lembaga kepresidenan, sehingga menjadikannya sebagai satu kesatuan
pengaturan yang sifatnya holistik dalam satu wadah peraturan;
3. Perlu adanya penataan terhadap organ-organ yang berada
di bawah lembaga kepresidenan, yang dalam perkembangannya organ-organ tersebut
menjamur tanpa adanya suatu ketetapan yang pasti terhadap susunan, kedudukan,
fungsi dan tugasnya serta meminimalisir tumpang tindih kewenangan organ satu
dengan yang lainnya yang masih dalam lingkup lembaga kepresidenan;
4. Perlu adanya ada penjabaran lebih lanjut kewenangan
Presiden dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945, sehingga dalam menjalankan
kewenangannya tersebut Presiden tersandung kendala baik dalam segi interpetasi
maupun dalam teknis teknisnya. Oleh karenanya diperlukan penjabarannya yang konkrit
dan rigid sehingga mudah dalam menjalankan pelaksanaannya.
- SARAN
1. Dibentuknya Undang-Undang tentang Kepresidenan,
sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan terhadap pengaturan-pangaturan di
lingkup lembaga kepresidenan, yang sampai saat ini kondisinya tersebar-sebar
dan berdiri sendiri.
2. Pelunya kerangka dasar yang jelas dalam merumuskan
kerangka pengaturan khusus tentang lembaga kepresidenan. Sehingga dapat
dijadikan pijakan dan rujukan pengaturan lingkup lembaga kepresidenan.
menjadikannya sebagai satu kesatuan pengaturan yang sifatnya holistik dalam
satu wadah pengaturan yang jelas dan pasti.
3. Perlu dibentuk perumusan yang jelas dalam rangka
penjabaran kewenangan Presiden yang telah dicantumkan dalam konstitusi UUD NRI
Tahun 1945, sehingga kewenangan Presiden tersebut konkrit dan rigidkan serta
memudahkan dalam menjalankan pelaksanaannya.
4. Konsep perumusan terhadap penataan organ-organ yang
berada di bawah lembaga kepresidenan harus diatur jelas dan pasti baik dari
segi susunan, kedudukan, tugas, fungsi maupun kewenangannya. Sehingga dengan
demikia organ-organ tersebut akan tertata dengan baik posisinya tanpa adanya
ketumpang tindihan tugas, fungsi ataupun kewengannya.
5. Mekanisme
baku dalam lembaga kepresidenan yang bila nantinya dibentuk dalam UU Lembaga
Kepresidenan perlu dukungan yang kuat dan perhatian dari segala pihak dalam
pelaksanaanya. Apabila dalam mekanisme tersebut disimpangi, maka akan berdampak
cukup besar bagi kelembagaan eksekutif atau lembaga kepresidenan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Ali, Zainudin, 2009, Metode
Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Alrasid, Harun, 1999, Pengisian
Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Aristoteles, Politica, yang diterjemahkan dalam bahasa
Inggris The Spirit Of Laws .Benyamin J., trans,, New York: Modern Library Book
William G. Andrews, 1968, Constitutions and Constitutionalism,
3rd edition, New
Jersey: Van Nostrand Company.
Yamin, M, 1950, Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Yayasan
Prapanca
Hendri F. Isnaeni /LEGISLATIF DRAFTING/Hak
Prerogatif Presiden%3b Negara [bukan] Saya %232 « ayikngalah.net.htm. diakses
tanggal 23 Februari 2012 puku14.15.
Dan juga isu aktual gugatan atas jabatan wakil
menteri yang diajukan pada mahkamah konstitusi dengan pengujian pasal 10 UU no
30 tahun 2008 dengan nomor gugatan 79/PUU-IX/2011.
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen.