Senin, 14 Mei 2012

Hubungan Eksekutif legislatif


HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL

A.    Pendahuluankan
Dewasa ini tidak satupun Negara di dunia yang melepasakan diri dari berhubungan dengan Negara lain. Setiap Negara perlu menjalin hubungan dengan Negara lain baik hanya sebatas pengakuan atau lebih lanjut diwujudkan dalam bentuk kerja sama. Menurut konvensi Montevidio tahun 1933 bahwa suatu Negara berdiri bila terpenuhi empat syarat, pertama adanya rakyat kedua adanya wilayah tertentu ketiga adanya pemerintah yang berdaulat dan ke empat adalah kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Syarat pertama sampai ke tiga adalah syarat perlu dalam mendirikan sebuah Negara sebab hal ini berhubungan dengan internal suatu Negara yang harus terpenuhi keberadaanya. Dengan 3 syarat tersebut hanya menjadikan Negara secara de facto eksistensinya, sehingga masih diperlukan adanya syarat cukup yang ke empat yaitu kemampuan mengadakan hubungan  dengan Negara lain. Lebih jauh menurut Leuterpach dan Oppenheim[1] untuk syarat berdirinya Negara unsure yang ke empat adalah pengakuan dari Negara lain sebagai unsure declarative berdirinya Negara.
Kemampuan mengadakan hubungan internasional ini di bedakan menjadi dua, yaitu hubungan internasional biasa dan hubungan internasional luar biasa. Hubungan internasional biasa terjadi dimana suatu Negara mengadakan hubungan internasional dengan mempertimbangkan kondisi negara secara normal dan kapasitasnya yang mampu mengambil kebijakan tanpa adanya desakan, jenis bhubungan internasional ini dibagi menjadi dua yaitu hubungan internasional dalam hal perutusan dan penempatan diplomatic dan hubungan internasional dalam hal perjanjian internasional dengan Negara lainnya. kedua jenis hubungan itu saling berkorelasi satu sama lainnya. Tidak mungkin suatu Negara mampu mengadakan perjanjian internasional tanpa terlebih dahulu menempatkan perwakilan diplomatiknya pada Negara pihak perjanjian, begitu pula sebaliknya untuk menempatkan perutusan diplomatic hanya bisa dilakukan dengan perjanjian bagi Negara penerima utusan diplomatic Negara tersebut. Perkembangan hukum internasional sejauh ini menempatkan perjanjian internasional tidak hanya sebatas dengan satu Negara tetapi sekaligus bias dengan banyak Negara dalam satu perjanjian, bahkan juga pada entitas selain Negara, seperti pada organisasi internasional. Jenis hubungan internasional yang luar biasa adalah dengan mempertimbangkan kondisi Negara yang menghadapi ancaman dari Negara lainnya yang di wujudkan dengan pernyataan perang atau dengan peperangan terhadap Negara lainnya.
Permasalahan hubungan internasional yang dilakukan sebagai bentuk kebijakan politik luar negeri tidak di pandang sebagai permasalahan dalam hukum internasional semata, tetapi penting juga dilihat dari perspektif hukum tata Negara. Dari hukum internasional, hubungan antara Negara dengan Negara lainnya hanya sebatas hak dan kewajiban yang timbul dari hubunga tersebut, sedangkan dari tinjauan hukum tata Negara menyoal kewenangan untuk mengadakan perjanjian tersebut dan tentunya sejauh mana kewenangan itu diatur dan kelembagaan apa saja yang dilibatkan. Terutama dalam hukum tata negara membahas pemerintahan suatu negara maka tidak bisa terlepas dari hubungan antara eksekutif dan legislative Negara tersebut.
Dalam makalah ini penulis hanya menfokuskan pada satu jenis hubungan internasional yaitu perjanjian internasional dari perspektif hukum tata Negara. Lebih khusus pada hubungan eksekutif dan legislative dalam perjanjian internasional.  Mulai dari pembuatan sampai produk yang dihasilkannya.


B.     Pokok Permasalahan
1.      Bagaimana pengaturan perjanjian internasional?
2.      Bagaimana hubungan antara eksekutif dan legislative dalam perjanjian internasional?

C.     Pembahasan
1.      Pengaturan perjanjian internasional
Indonesia adalah Negara hukum sebagaiamana dicantumkan pada pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Konsep Negara hukum di samakan dengan istilah asing rectstaat bagi system continental atau rule of law bagi system hukum anglosaxon. Negara hukum atau rule of law menurut Thomas Pain[2] sebagai tidak ada satupun yang berada di atas hukum. Negara hukum adalah suatu konsep yang melibatkan prinsip dan aturan yang member pedoman pada mekanisme tertib hukum. Lebih jauh dalam mema’nai cita Negara hukum bias  merujuk pada tulisannya Jimly Asshidiqiu[3] yang menyatakan :
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep  ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan  ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip  “rule of law”  yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon  “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”. jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya  telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno
      Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1) Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha negara. Sedangkan menurut A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law“, yaitu : (1) Supremacy of Law. (2) Equality before the law. (3) Due Process of law.
      Berdasarkan konsepsi Negara hukum maka segala sesuatunya diatur dalam hukum, di Negara ini hukum tertinggi yang menjadi sumber segala hukum, dan yang merupakan consensus warga Negara dalam mendirikan Indonesia adalah UUD 1945. Pengaturan perjanjian internasional dalam hukum positif Negara Indonesia adalah pasal 11 UUD 1945. Yaitu pasal 1 sampai dengan pasal 3 yang berbunyi :
 (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
 (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan  akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undangundang.
Pengaturan ini merupakan hasil dari amandemen UUD.  Sebelumnya pengaturan perjanjian internasional hanya pada pasal 11 saja tanpa dipecah menjadi beberapa pasal.
      Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia yang beberapa kali mengalami perubahan system ketatanegaraan, baik dalam system pemerintahan secara umum maupun hanya pada hubungan dan kewenangan diantara kelembagaan negaranya. Dalam pengaturan perjanjian internasionalpun demikian. Perubahan pengaturan pertama pada konstitusi RIS atau lebih tepatnya Keputusan Pres. RIS 31 Djan. 1950 Nr. 48.(c) LN 50–3) (du. 6 Peb. ’50) pada bagian ke 5 perhubungan luar negeri dari pasal 174 sampai 176 yang berbunyi 
Pasal 174
Pemerintah memegang pengurusan perhubungan luar-negeri.
Pasal 175
(1) Presiden mengadakan dan mensahkan segala perdjandjian (traktat)  danpersetudjuan lain dengan negara2 lain. Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan djika sudah disetudjui dengan undang-undang.
(2) Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain, hanja dilakukan oleh Presiden dengan kuasa undang-undang federal.
Pasal 176
Berdasarkan perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 175, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia Serikat kedalam organisasi2 antarnegara.
Konstitusi RIS di berlakukan tidak lebih dari satu tahun, dengan perubahan system pemerintahan yang dianut dari sistem pemerintahan parlementer kembali kepada presidensil maka Undang-Undang Dasar pun diubah menyesuaikan kondisi ketatanegaraan yang berlaku, adalah dengan UU no 7 tahun 1950 yang kemudian di tetapkan sebagai UUD sementara. Pengaturan tentang Perjanjian internasional pada Bab V pasal 120 dan yang berbunyi :
Pasal 120
1. Presiden mengadakan dan mengesahkan perdjandjian (traktat) dan persetujuan lain dengan Negara-negara lain. Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang, perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetudjui dengan undang-undang.
2. Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain, dilakukan oleh Presiden hanja dengan kuasa undang-undang.
Pasal 121
Berdasarkan perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 120, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia kedalam organisasi-organisasi antara negara.
      Setelah upaya merumuskan UUD dari tahun 1950 sampai 1959 tidak membuahkan hasil yang memuaskan, presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit presiden pada tanggal 5 juli 1959 yang isinya membubarkan dewan konstituante dan kembali pada UUD 1945. Dari peralihan itu pengaturan perjanjian internasional di atur dalam pasal 11 UUD sebagaimana yang belum di lakukan amandemen yaitu  Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Sedangkan pengaturan di bawah UUD sampai tahun 2000 tidak pernah dibuatkan dalam bentuk format Undang-Undang maupun bentuk Peraturan Pemerintah, pengaturan perjanjian internasional diatur  dalam surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 yang menjadi rujukan dalam konsideran setiap perjanjian Internasional yang dibuat. Pada UU no 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri di atur didalamnya mengenai Perjanjian internasional akan tetapi hanya secara umum, sedangkan pengaturan lebih lanjut mengamanatkan dengan UU sendiri.  Secara khusus pengaturan tentang perjanjian internasional dituangkan dalam UU no 24 tahun 2000. Dengan memperitmbangkan pedoman pengaturan perjanjian internasional sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi.      

2.      Hubungan antara Eksekutif dan Legislatif dalam perjanjian internasional.
1.      Hubngan Eksekutif Dan Legislatif pada umumnya
Indonesia adalah Negara Hukum, salah satu ciri Negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan. Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan dilakukan dengan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam fungsi-fungsi yang berbeda-beda[4]. Tujuan adanya pembatasan kekuasaan ini adalah menghindari penumpukan kekuasaan pada satu orang yang memperbesar peluang adanya tirani penguasa. Konsep pembatasan kekuasaan pertama di kenalkan oleh John Locke dengan memisahkan cabang kekuasaan berdasarkan fungsi yang dimliki. Ia membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu Eksekutif, Legislatif dan Federatif. Teori pembatasan kekuasaan yang paling terkenal adalah yang di sampaikan oleh Montesquieu dengan “Trias Politika” dalam bukunya L’Espirit des Lois” (1784) yang terjemahan dalam bahasa inggrisnya “The Spirit Of The Law” membagi cabang kekuasaan menjadi tiga yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Dari pemisahan kekuasaan ini melahirkan bermacam-macam jenis system pemerintahan, yang secara garis besar di bedakan menjadi tiga yaitu Parlementer, presidensil dan semi presidensil. System pemerintahan parlementer kekuasaan lagislatif lebih besar daripada eksekutif, yang duduk di kursi pemerintahan adalah orang-orang dari legislative, kepala Negara dipisahkan dari kepala pemerintahan dan eksekutif bertanggung jawab kepada legislative. Hal ini berbanding terbalik dengan system pemeritahan presidensil, yang antara eksekutif dan legislative dipisah dengan tegas secara fungsi dan strukturnya, kepala pemerintahan dan kepala Negara dipegang oleh satu orang. Antara pemerintah dan parlemen tidak saling bertanggung jawab dan tidak pula bisa saling menjatuhkan. Masing-masing di pilih secara langsung rakyat. Sedangkan system pemerintahan semi presidensil adalah gabungan di antara kedua system sebelumnya dengan mengambil yang baik dari masing-masing.
 Dalam konstitusinya menegaskan bahwa system pemerintahan yang di anut adalah system presidensil. Lebih-lebih setelah adanya amandemen UUD maka sitem presidensial yang dipilih semakin jelas dan mendekati pemurnian sebagaiaman dalam teorinya. Menurut Rod Hague pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu: 1. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. 2. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling smenjatuhkan. 3. Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.  Sedangkan Giovanni Sartori memberikan karakteristik system pemerintahan Presidensil yaitu kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan, adanya pemilihan presiden secara langsung, dua legitimasi yaitu eksekutif dan legislative masing-masing mempunyai mempunyai kewenangan sendiri dan adanya Fixed term yaitu adanya  masa jabatan yang tetap.  Cirri-ciri system presidensil tersebut terakoodasi dalam konstitusi pada Bab tiga UUD pasal 4 sampai pasal 15 dan juga pasal 19 sampai 22 yaitu tentang Sewan perwakilan rakyat, Dewan perwakilan Daerah dan Pemilihan Umum.
Pembahasan  mengenai system pemerintahan yang berlaku maka tidak hanya  mengenai pemisahan kekuasaan dan pemberian fungsi pada masing-masing cabang kekuasaan. Pemerintahan adalah unsure-unsur kelembagaan dalam suatu Negara dan hubungan antara masing-masing kelembagaan tersebut dalam menjalankan fungsi serta kewenangannya yang saling mengawasi dan mengimbangi antara satu sama lainnya. Indonesia dalam hal ini bias di lihat dalam kewenangan masing-masing cabang kekuasaan misalnya legislative mempunyai kewenangan membentuk UU bersama presiden (Legislasi), mempunyai kewenangan mengawasi pelaksanaan UU tersebut oleh kekuasaan eksekutif (control) dan juga kewenangan menetapkan anggaran (Budget). Eksekutif memiliki kewenangan dalam menjalankan Pemerintah berdasar UU, dan juga eksekutif memiliki kewenangan mengusulkan rancangan UU. Sedangkan kewenangan yudikatif di Indonesia di lakukan oleh dua kekuasaan ekhakiman yaitu Mahkamah konstitusi dan Mahkamah Agung serta lingkungan peradilan di bawahnya.  Kewenangannya adalah melakukan keuasaan kehakiman dengan independensinya.

2.      Hubungan Eksekutif dan legislative dalam pembuatan Perjajian Internasional.
A.    Dasar Hukum
Dasar hukum perjanjian internasional di atur dalam pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
 (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan  akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undangundang
Pasal ini merupakan hasil amandemen perubahan ke empat Undang-Undang Dasar. Sebelumnya pengaturan ini berupa pasal tunggal yang tidak berayat. berbunyi:“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian denganNegara lain”, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalamPasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan PerwakilanRakyat”, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi: “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi:“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat(1) tersebut terjadi pengalihan pembuatanUndang-Undang dari tangan Presiden ke DPR.
Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab IIIUUD. Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi:
(1)   kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2)   kekuasaan membentuk Undang-Undang(vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan);
(3)    kekuasaan sebagai kepala Negara.
Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam BabIII menjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1)   kekuasaan eksekutif;
(2)    kekuasaan sebagai kepala Negara.
Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden Untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan Presiden dalam System presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara lainnya.

B.     Bentuk Hukum
Sebuah Perjanjian Internasional padaha kekatnya adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak,dalam hal ini antar Negara yang membuatnya. Dengan demikian dalam sebuah Perjanjian Internasional tercerminkan kehendak dua pihak. Setiap Negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili Negara tersebut dan dari wakil itu pula lah pihak Negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyiPasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presidenlah yang akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengen lembaga Negara lain untuk mengetahui maksud dan kehendak Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan Negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang-undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja PeraturanPresiden.
Pasal 11 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk Undang-Undang. Pasal 11 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah Undang-Undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan Undang-Undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain,namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dalam bentuk hukum Undang-Undang.
Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain diwadahi bentuk hukum Undang-Undang maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan Undang-Undang dan hal yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain mempunyai karakteristik yang berbeda.Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan Negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian terpaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau proses pembuatan Undang-Undang harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu RancanganUndang-Undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak.
Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara Negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan diantara keduanya adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak.Praktik pengesahan dengan Undang-Undang menimbulkan persoalan. Undang-Undang adalah bagian dari Hukum Nasional sedangkan perjanjian dengan Negara lain merupakan kesepakatan antar Negara yang berada di luar ranah urusan internal Negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lainyang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.
Praktik pengesahan Perjanjian Internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal Negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan Negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya.
Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari Perjanjian Internasional. Dalam sebuah Perjanjian Internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran Perjanjian Internasional yang disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional yang telah disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional dituangkan dalam bentuk hukum Undang-Undang dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan dengan yang disahkan dalamUndang-Undang apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran Undang-Undang tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah Negara lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalamUndang-Undang Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah PerjanjianInternasional yang dilampirkan dalam Undang-Undang ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal Undang-Undang telah diundangkan sebagaimana mestinya.
Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang Juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional. Dalam ketentuan UUD Pasal 20 ayat (5) dinyatakan: “Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkah oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui RancanganUndang-Undang  tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”. Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini.Presiden telah mengajukan naskah Perjanjian Internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanisme pembuatan Undang-Undang, maka ketentuanPasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi Undang-Undang terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian menyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk Tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam Perjanjian Internasional karena dapatmenimbulkan kerugian yang lebih besar dankemungkinan juga pihak Negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuanPasal 20 ayat (5) UUD akan menimbulkan masalah dalam kasus yang demikian.
  Bentuk perjanjian dalam Undang-Undang juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan Negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presidenakan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional dapat dilakukan di luar mekanisme  Pembuatan Undang-Undang.
Dalam banyak Undang-Undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usulan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk Undang-Undang, sebagai missal pengangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di Negara lain tidak selalu member bentuk Perjanjian Internasional sebagai Undang-Undang atau statute/law, Amerika Serikat menentukan dalam Konstitusi bahwa Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk Undang-Undang, karena Undang-Undang dibuat oleh Congress  namun demikian Perjanjian Internasional tetap mengikat Negara tersebut.

C.     Persetujuan DPR dalam pembuatan perjanjian Internasional
Pasal 11 UUD tidak mengatur hubungan antar hukum nasional dengan hukum internasional namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat Perjanjian internasional dalam system UUD 1945. Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensiil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakili Pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat Perjanjian Internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek Hukum Internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibatke luar yaitu dalam konteks hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan Negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia.
Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah Perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyaiakibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga Negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.
Pasal 11 menetapkan syarat yang harusdipenuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan denganNegara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR.Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat tersebut. Disamping membuat perdamaian dan membuat perjanjiandengan Negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat”Perjanjian Internasional lainnya” yang: (1) menimbulkan akibat yang luas dan mendasarbagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang.Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan kontrak bisnis internasional yang dilakukan Negara sebagai subyek Hukum Perdata. UUD mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban Negara harus dengan persetujuan DPR.
 Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah Perjanjian Internasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian denganNegara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional lainnya. Pengertian“yang lain” tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian denganNegara lain. Dengan demikian termasuk dalam pengertian Perjanjian Internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan Subyek Hukum Internasional lain selain Negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan Subyek Hukum Internasional lain yang memerlukan persetujuan DPR adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara”. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik Hukum Internasional.
Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat,DPR diperlukan persetujuannya untukmembuat perjanjian yang disebutkan dalamPasal 11 ayat (2) UUD, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karena menyangkut kepentingan bangsa. Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan Organisasi Internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karenapihaknya bukan Negara dan karena bersifatperdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu Perjanjian Internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja dikemudian hari timbul perselisihan antara Negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasioal lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar Negara sehingga bukan menjadi bagian Hukum Publik Internasional.
Pertimbangan konstitusionalitasnya karenaisi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada Negara dan bangsa,baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada Negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan Negara atau Bangsa karena jelasakan mengurangi kemampuan finansial Negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya.

D.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Sebelum amandemen UUD 1945 pengaturan perjanjian internasional secara konstitusional hanya pada pasal 11 yang intinya dalam membuat perjanjian internasional adalah kewenangan presiden yang membutuhkan persetujuan DPR.
b.      Dalam pembuatan perjanjian internasional hubungan antara eksekutif dan legislative untuk jenis perjanjian internasional yang penting di wujudkan dalam bentuk UU sebagaimana biasanya.

2.      Saran
Bahwa persetujuan DPR yang selalu berbentuk UU ternyata memiliki kerancuan baik secara teoritis maupun secara yuridis. Sebab dalam perjanjianinternasional tidak hanya menggunakan konsep Hukum Nasional (Tata Negara) tetapi juga Hukum internasional. Oleh karena sebaiknya persetujuan tersebut sebatas konfirmasi sebagaimana pengangkatan Kepala TNI atau KAPOLRI
E.     Daftar Pustaka
Buku

Istanto, Soegeng . Huku Internasional, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 1994

Mertokusumo, Sudikno.  Mengenal hukum suatu pengantar , ed.ke-3 cet.ke-1
Yogyakarta: Liberty, 1991


L. Oppenheim, H. Lautevpacht, International law a treatise, 8th ed.
New York: Longman, Green And Co., 1955
Website

http://tebar-ilmu.blogspot.com/2010/08/unsur-unsur-negara.htm

http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/08/apa-itu-negara-hukum.html

http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf

http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan

Jurnal dan Peraturan Perundang-Undangan

Jurnal Konstitusi UMY edisi 1 Vol 2

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012)


[1] http://tebar-ilmu.blogspot.com/2010/08/unsur-unsur-negara.html dengan judul UNsur-Unsur Negara, di akses pada 15 juli 2011 jam 11.10 WIB
[2] http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/08/apa-itu-negara-hukum.html oleh wawan Junaidi di akses pada 15 juli 2011 pada pukul 12.51 WIB.
[3] http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf Oleh Jimly Asshidiqiu di akses pada  15 juli 2011 pada pukul 13.08
[4] http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan/ oleh Gunawan Tauda dengan judul Pembatasan kekuasaan. Di akses 5 juli 2011 pada jam 20.58