Selasa, 30 April 2013

hadiah ulang tahun hari pendidikan nasional



oleh Mochamad Adib Zain (Catatan) pada 2 Mei 2010 pukul 14:33




Pesantren Jawaban atas Tantangan Masa Depan Pendidikan Indonesia

Tanggal 2 mei merupakan salah satu hari istimewa bagi negara ini. Karena di tanggal ini diperingati hari untuk mengenang tonggak awal sejarah pendidikan kita. Adalah Ki Hajar Dewantara salah se’orang pahlawan yang terlibat aktif dalam perjuangan pergerakan Revolusi yang mula-mula merintis lembaga pendidikan modern bergaya barat. Lembaga ini dinamakannya oleh beliau taman siswa. Artinya tempat belajar bagi murid-murid yang ngudi ilmu. Pada tanggal ini setiap tahun kita peringati. Bahkan merupakan salah satu hari nasional kita sehingga bertepatan pada tanggal ini dikalender dengan warna merah artinya harus libur dari setiap kegiatan. Pada tanggal ini pula instansi-instansi negara melakukan upacara bendera untuk memperingati salah satu hari bersejarah dalam upaya membangun manusia indonesia yang berpendidikan waktu itu.
Terlepas dari sakralnya hari ini bahwa dalam sistm pendidikan kita yang sekarang masih harus menghadapi masalah-masalah serius untuk menggapai cerahnya masa depan pendidikan negeri ini. jadi bisa tidak ada relevansi yang signifikan untuk menggambarkan pengaruh dari Hari Pendidikan Nasional ( HARDIKNAS) dengan sisitem pendidikan kita dimasa sekarang. Dari seabrek masalah itulah akhirnya penulis mencoba merefleksikan apa sebenarnya pokok masalah yang sedang melanda sistem pendidikan kita. Dalam refleksi tersebut akhirnya penulis menemukan akar masalah dari hal tersebut serta memperoleh alternative solusi yang terbaik untuk menyelesaikannya.
Adalah pondok pesantren yang selama ini kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Dalam arti bahwa keberadaannya dipandang sebelah mata. Begitu pula sepuluhan tahun akhir-akhir ini baru mencuat namanya setelah peristiwa-peristiwa sejarah besar dalam keamanan negeri ini yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan. Pengeboman-pengoboman serta aksi teroris lainnya yang dilakukan oleh Alumni pesantren ini mampu membuat namanya terkenal. Begitu pula secara tidak langsungpesantr lembaga pendidikan yang menggemblengnya ini juga ikut menjadi sasaran kecurigaan Pemerintahan, baik pesantren secara khusus dimana ia pernah belajar maupun pesantren-pesantren lainnya. Dan kondisi ini bisa dirasakan kalangan pesantren pasca kejadian tersebut dan sikap masyarakat yang berubah terhadap kelompok masyarakat keagamaan ini.
Lalu mengapa dipilih pesantren? Apa istimewanya dibanding dengan instansi pendidikan yang lain. Bukankah dari segi manajamen kurang adanya dukungan yang menjamin hal tersebut? Mungkin pertanyaan itu yang timbul untuk menyikapi tawaran ini. dan itu wajar kalau melihat sekilas tentang kondisi-kondisi pesantren yang ada saat ini. terutama yang masih memperhatikan cirri khasnya sebagai pesantren salaf. Stigma negative akan secara langsung tersematkan terhadap lembaga penndidikan ini. Pendidikan warga kelas dua, tempat buangan anak-anak nakal, kumuh, kotor, kudisan dan segudang prestasi negative lainnya. Dan memang inilah cara pandang sebagian masyarakat kita terhadap lembaga pendidikan keagamaan ini. 
Dan tidak aneh kalau gambaran diatas akhirnya menjadi landasan untuk mempertanyakan alternative penyelesaian masalah-masalah pendidikan dengan sistem yang digunakan pesantren. Memang kalau dari luarnya demikian adanya dan itu juga dirasakan penulis yang kebetulan lama mendiami “penjara suci ini”. namun lebih mendalam akan ditemukan kelebihan-kelebihan yang luar biasa yang tidak bisa akan diketemukan dalam lembaga pendidikan lain diamanapun di Negara ini. 
Ia adalah lembaga yang mula-mula dipilih oleh penyebar islam di nusantara ini, bahkan oleh para sejarawan dikatakan merupakan lembaga yang telah ada jauh sebelum penyebar islam datang di negeri ini. ia adalah lembaga yang berakar sesuai kebudayaan masyarakat. Dan ia lahir dan didirikan ditengah masyarakat dengan tugas utama pelayanan. Oleh karena itu merupakan kebijakan yang sangat tepat mengadopsi sistem ini untuk dipakai dalam penyebaran agama di kala itu. Maka tidak mengherankan jika para da’I yang pada waktu itu berlatar belakang kebudayaan yang berbeda sukses melakuakn da’wahnya justru dengan membaur kebudayaan setempat dengan dukungan sarana lembaga pendidikan bercorak lokal.
Pesantren dimasa sekarang gaya dan sistem yang dipakai adalah masih sama denga gaya dan sistem diwaktu penyebar islam mula-mula menggunakannya sebagai sarana, walaupun sudah mengalami kodifikasi tetapi secara keseluruhan bisa dikatakan demikian. Hal ini bukan berarti bahwa dengan sistem selalu harus dikatakan bahwa pesantern mengalami stagnasi ( kemandegan ) dengan hal demikian justru sebenarnya pesantren adalah lembaga yang dinamis. Ia tidak hanya dituntut meneruskan sistem yang diwariskan tetapi juga harus sesuai dengan kondisi perubahan masyarakat disekitarnya. Karena rasion de etre pesantren adalah dibentuk sebagai pelayanan masyarakat. Maka sudah menjadi semacam ketentuan bahwa keberadaan pesantren harus member manfaat terhadap masyarakat dalam lingkungannya. Dan juga orientasi santri-santri lulusannya diharapkan menjadi tenaga siap pakai dan siap mengabdi kepada masyarakat setelah ia purna belajar di pesantren tersebut. Dan ini merupakan salah satu hal yang menjadi kelebihan pesantren karena tidak ada instansi pendidikan yang mengharuskan alumninya yang mengabdi masyarakat selain pesantren. 
Orientasi pesantren yang seperti hal tersebut di atas itu lah yang dibutuhkan masyarakat dan Negara disaat ini. ketika instansi formal pendidikan hanya mengejar pemuasan kepentingan individu pelakunya baik pendidik maupun anak didik maka pesantren tampil dengan wajah baru yaitu anfa_uhum li al-nas ( member manfaat terhadap kemanusiaan). Dan inila yang menjadikan keberadaanya mampu bertahan ratusan tahun ( dalam sejarah keberadaannya terlacak sejak tahun 1596). Berangkat dari hal ini maka akan menarik jikalau kita bandingkan dengan institusi yang lain. Bahwa dengan orientasi tersebut maka pada akhirnya lulusan dari pesantren mau tidak mau harus kembali ke daerah asalnya untuk mengabdikan ilmunya dan pada kenyataanya ilmu yang diperolehnya selalu dibutuhkan di masyatrakatnya ia berasal. Selain dibekelai ilmu agama biasanya santri selama tinggal di pesantren juga belajar cara mempertahankan hidupya, sederhana memang misalnya mencangkul, bertani, tukang namun hal itu cukup membantu ketika ia kembali ke asalnya dan dari hal yang sederhana tersebut membuat mereka yang telah lulus dan siap mengabdi tidak harus bergantung kehidupannya dari belas kasihan masyarakat. Dan setidaknya ini yang tidak dapat diperoleh di institusi lainnya. Kebanyakan di sekolan formal akan diajarkan teori-teori yang terkadang teori tersebut jauh dari kehidupan sehari-hari. Kehidupan perkotaan menjadi tolok ukur dari kurikulum yang di buat dan memang kurikulum di buat oleh orang yang tinggal di kota. Maka tidak heran jika kemudian ia yang mempelajarinya melihat kehidupan perkotaan adalah segalanya bagi masa depannya. Sehingga akibatnya lulusan dari sekolah formal enggan untuk hidup di asalnya apalagi mengabdi pada masyarakatnya.
Dalam perjuangan merebut kemerdekaan pesantren memiliki peran sentral yang tidak bisa dipungkiri lagi. Karena kedekatan dengan masyarakat maka ia menjadi basis perjuangan masyarakat waktu itu. Adanya hal demikian maka pesantren selama masa kolonialisme mengalami perlakuan yang berbeda dengan elemen masyarakat yang lain. Dalam masa penjajahan penduduk di bedakan seperti yang kita tahu ada tiga golongan, kaum eropa/belanda, kaum arab dan cina menempati peringkat kedua dan bangsa pribumi sebagai golongan terakhir. Pertanyaannya adalah mengapa harus dibedakan kedalam ketiga golongan tersebut. Bukankah ordonantie yang mengatur tentang kewarga negaraan Hindia-Belanda waktu itu mulai di terapkan Nusantara hampir secara keseluruhan telah dikuasainya maka harusnya jika kita pakai logika sederhana maka cukup di bedakan antara orang eropa dan non eropa selesai lah sudah urusan namun perpolitikan lebih cerdik dari pada itu. Mereka menyadari bahwa perlawanan rakyat tidak akan pernah efektif jika elemen-elemen mereka dipisiahkan. Terbukti dalam beberapa perlawanan waktu itu banyak terjadi karena pertemuan kekuatan bumi putra dengan golongan timur asing tersebut ( arab, china). Jadi alasan pemisahan bedasar golongan tersebut bukan semata dilandasi karena alasan persaingan perdagangan tapi juga politis. Dalam konteks ini lebih spesifik bahwa orang arab adalah penyebar islam dan sebagian dari mereka adalah golongan intelektual ( ulama ). Dalam masyarakat indonesia islam sudah di peluk oleh sebagian terbesar dari penduduknya maka mereka harus dipisahkan mereka dari kaum cendekiawannya agar tidak terjadi perlawanan. Bukankah kemampuan intelektual yang tidak diimbangi oleh dukungan masa hanya menjadi singa ompong yang tidak berbahaya, dan bukankah masa yang besar tanpa adanya intelektual akan tidak berarti apa-apa karena tidak punya arah tujuan yang jelas.
Alasan di atas akhirnya juga berimplikasi terhadap kehidupan sistem pesantren. Bagaimana tidak? pesantren adalah satu-satunya lembaga yang di milki masyarakat waktu itu. Di dalamnya banyak aktor-aktor intelektual yang potensial untuk mencapai syarat terjadinya suatu penelitian. Lebih spesifik lagi bahwa hubungan masyaraakat indonesia dengan timur tengah tidak hanya terbatas pada masalah perdagangan saja, lebih dari itu hubungan yang terjadi juga masalah intelekual. Setelah lulus dari pesantren bagi para santri yang punya kemampuan berpikir lebih maka mereka tidak hanya mencukupkan dirinya hanya pada pesantren indonesia mereka akan berangkat ketimur tengah misal arab Saudi, mesir, irak dan negara-negara islam lainnya menjadi tempat tujuan selanjutnya untuk memperdalam ilmu keagamaannya. Oleh karena itu politik pemisahan golongan akhirnya juga di tujukan kepada pesantren sebagai lembaga pencetak intelektual yang berbasis masyarakat. Akibatnya maka perlakuan diskriminatif sudah pasti diterimanya bahkan laju geraknya dihambat rezim di kala itu. Dan mudah di pahami jika akhirnya pesantren memilih tempat perlawanannya di daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota dan berada di tempat pedalaman yang sulit tersentuh oleh pemerintah colonial waktu itu. Di tempat yang seperti itulah pesantrena akhirnya menjaankan kegiatan rutinitasnya mengajarkan agama sekaligus mempersiapkan kader-kader pejuangnya yang dikemudian hari sangat berguna bagi bangsa ini untuk merebut kemerdekaan dan mempertahnkannya dan korp tentara salah satunya dari elemen santri dalam jajaran Hisbulloh.
Keberadaan pesantren hingga saat ini tidak terlepas dari unsure kyai, santri, Masjid/Mushola , asrama dan kitab kuning. Elemen-elemen tersebut diatas adalah hal terpenting yang harus ada dalam setiap pesantren bagaimana pun keadaannya, salaf atau modernnya. Kyai adalah orang yang mengasuh pesantren itu sekaligus sebagai penguasa atasnya. Bukan berarti kemudian menimbulkan feodalisme seperti yang dinyatakan orang selama ini. asalnya se’orang kyai adalah santri juga. Setelah lulus nyantri ia akan balik ke daerah asalnya untuk menngajarkan ilmunya sebagai bentuk pengabdian masyarakat. Maka berbondong-bondong masyarakat sekitar belajar ilmu padanya. Mula-mula proses ajar mengajar berlangsung dirumah sang kyai, kemudian karena bannyaknya santri yang datang untuk menimba ilmu maka perlu sebuah bangunan yang terpisah dari rumah sang Kyai. Kemudian bangunan itu pada nantinya juga dimanfaatkan sebagai sarana ibadah dan juga kegiatan lain dan kemudian tempat tersebut dikenal sebagai langgar, surau, mushola atau masjid. Santri yang belajar tidak hanya terbatas pada masyarakat sekitar namun juga dari luar daerah tersebut maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut didirikanlah bangunan-bagunan lagi sebagai tempat pemukiman bagi santri yang jauh asalnya. Untuk pengajaran kyai tidak hanya menyampaikannya secara lisan akan tetapi juga menggunakan literature yang telah lama pula di pelajarinya di pesntren. Literature itu umumnya mengguankan bahasa arab dan berasal dari timur tengah yang berisikan ajaran agama. Karena warna kertas yang dipakai umumnya maka kemudian literature itu disebut kitab kuning.
Dalam sistem pembelajaran pesantren ada yang unik, yang tidak lazim di pakai dalam sistem pendidikan modern. Ada yang namanya sorogan yaitu ketika tiap santri belajar langsung di hadapan Kyai maka yang di butuhkan adalah kemampuan individual santri tersebut untuk mempersiapkan apa yang telah di pelajarinya untuk di uji langsung oleh sang Kyai sebagai pemegang otoritas tertinggi ataupun di serahkan kepada ustadz-ustadz yang telah ditunjuknya. Kedua adalah badongan sutu sistem yang dipakai Kyai dalam mengajar santri-santrinya secara keseluruhan. Kyai menjelaskan suatu ilmu kepada santri-santrinya dalam sutu majelis. santri biasanya akan memahami apa yang disampaikan Kyai. Mereka hanya mendengarkan dan mema’nai sesuai dengan penyampaian tersebut dan yang terakhir adalah bahtsul masa’il. Para santri di hadapkan pada masalah yang nyata di hadapi masyrakat kemudian mereka di tuntut untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sering kali dalam karena perbedaan perspektif dalam menyikapi suatu masalah terjadi perdebatan yang alot di antara mereka, dan pada penyikapan ini mereka juga dituntut untuk berytanggung jawab dalam menyampaikan pendapatnya sehingga landasan literature mutlaq diperlukan. Dan kitab kuninglah yang menjadi acuanya. Tujuan dari bahtsul masail ini bahwa para santri di harapkan mampu menghadapi masalah yang sedang di alami oleh masyarakat sehingga apa yang mereka pelajari bukanlah hal yang mengawang dilangit akan tetapi merupakan realitas nyata dan oleh karena itu problem yang di ajukan juga selalu terkait dengan masyarakat. 
Diluar ketiga sistem belajar itu santri juga dibudayakan dalam hari-harinya untuk mutholaah terhadap apa yang di pelajarinya. Bahkan tidak jarang mereka harus menghafalkannya. Cara menuju ke jenjang selanjutnya juga berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain. Dalam belajar mereka tidak terikat batasan waktu. Misalnya untuk naik kelas bukan tahun yang di hitung tapi kemampuan apakah dia sudah layak untuk mengikuti jenjang selanjutnya, begitu juga untuk kelulusan biasanya sebelum meninggalkan pondok santri harus mengabdi dulu baik kepada pondok itu sendiri maupun kepada masyarakat lingkungan pondok. hal ini menjadikan mereka lebih siap untuk kembali ke masyarakatnya dengan bekal ilmu yang di perolehnya.

Secercah Harapan Masa Depan Pendidikan
Di tengah ketidak pastian bangsa ini, maka dibutuhkan upaya yang sungguh sungguh untuk mengatasi krisis multi dimensi yang sedang melanda indonesia. Tidak hanya menunggu untuk berhentinya masalah tersebut, harus di mulai sekarang dengan melibatkan semua pihak. Politik ekonomi budaya dan juga ilmu pengetahuan adalah masalah-masalah komplek yang dihadapi negeri ini. upaya mencari alternative penyelesaian harus segera di galakkan. Kita tidak hanya mengharapkan cara-cara konvensional untuk membuat formula jitu dalam proses tersebut.
Salah satu dari problem serius diatas adalah pendidikan, dalam konstitusi Negara kita. Pendidikan adalah hak dan ia terdapat dalam pembukaan UU yang kedudukannya bagi Negara ini adalah ruh dan ia tak akan pernah bisa di ubah selama bangsa ini masih bernama indonesia. Ya memang demikian adanya akan tetapi sampai saat ini masalah pendidikan adalah masalah yang selalu santer menjadi perbincangan public. isu sistem pendidikan yang masih jelas bagaimana ke depannya, liberalisasi pendidikan sampai yang terjadi tiap tahun UAN misalnya selalu saja menjadikan timbulnya konflik di Negara ini.
Pesantran adalah salah satu alteranatif terbaik dalam memberikan solusi atas permasalahan pendidikan di indonesia. Wajah pesantren indonesia yang terbukti mampu bertahan sejak asalnya hingga saat ini adalah kelebihan yang luar biasa. Ia mampu bertahan adalah karena kedekatannya dengan masyarakat, ia berperan aktif sebagai pelayan ummat di tiap periode sejarah bangsa ini. sistem yang jelas, orientasi yang jelas dan sesuai dengan jangkauan masyarakat membuatnya survive hingga saat ini. dan kalau di bandingkan lebih jauh lagi sebenarnya sistem pesantren setara dengan sistem yang dipakai di Negara-negara maju. Misalnya universitas terbaik di dunia ini dalam peringakatnya Harvard adalah sejak berdirinya menggunakan sistem ini, ia mewajibkan mahasiswa-mahasiswanyanya untuk tinggal di asrama, sistem pembelajaran kurang lebih sama serta ia juga mandiri terhadap kekuasaan pemerintah. Begitu juga jepang misalnya di sana jam belajar kira hampir seperti pesantren yaitu di mulai pagi hari sampai sore hari. Begitu juga bisa kita lihat di Negara-negara lain standar yang seperti pesantren lah yang terbukti mampu menjadikan kualitas pendidikan mereka berada di puncak.
Terakhir dari tulisan ini adalah bahwa pesantren adalah lembaga yang asli di miliki oleh bangsa ini. ia tetap eksis walaupun zaman berubah, rezim berganti-ganti memegang kekuasaan Negara ini. keberadaanya sangat di butuhkan terutam sebagai alternative pendidikan. Ia lembaga yang punya peranan besar sebagaimana amanat konstitusi. Walaupun ia sering kali mendapat perlakuan diskriminatif ia tak hentinya untuk berkonstribusi dalam pembangunan sumber daya manusia indonesia. Pesantren engkaulah harapan bagi pendidikan masa depan. 
VIVA PESANTREN

Wallohu a”lam bisshowab
2 mei 2010

PETANI JUGA PERLU DI BELA

LAGI-LAGI PETANI yang RUGI

Judul tulisan di atas adalah bentuk keprihatinan saya terhadap realitas yang terjadi pada nasib yang dialami para petani di Indonesia. akan mudah di tebak ketika membicarakan mereka pasti akan terlihat bagaimana kondisi penghidupan mereka sehari-hari yang pastinya tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan, keterbelakangan pendidikan dan juga permasalahan-permasalahan lain. Yang lebih memperihatinkan adalah kondisi tersebut kini sudah di anggap sebagai permasalahan klasik yang sampai sekarang belum bisa di selesaikan. Belum bisa di selesaikan bukan berarti memang masalah tersebut tidak dapat diselesaikan akan tetapi lebih disebabkan keengganan pemerintah selaku pemegang kewenangan dari masyarakat dalam menentukan kebijakan untuk berupaya sungguh-sungguh dalam memberikan solusi terhadap masalah ini. sehingga apa yang terjadi terhadap keadaan yang di tanggung mereka bukan karena alami akan tetapi lebih oleh structural ( sistem yang berlaku memang menghendaki demikian)
Sewaktu saya masih usia SD-SMP ada pernyataan berkesan dari orang tua yang sampai sekarang masih selalu teringat di benak saya. Bahwa begini, selepas membantu mereka dari sawah Bapak bilang : “ le nek iso ojo dadi wong tani, cukup aku karo ibumu seng ngelakoni penggawean koyo ngene “ (nak kalau bisa jangan jadi petani, cukup saya sama ibumu yang melakukan pekerjaan kayak gini. Cukup aneh saya rasakan waktu itu, apa sebenarnya jeleknya jadi petani. Bukankah petani adalah pekerjaan yang dilakukan orang-orang mulia (dalam ukuran saya). Tidak bayangkan bahwa jika misalnya para petani tidak mau menggarap sawahnya maka mau makan apa nanti kalau tidak dari mereka. Hal ini mungkin wajar dirasakan seorang anak waktu itu yang hanya tau bahwa dunia sekitarnya yaitu pertanian adalah sesuatu yang menyenangkan, setiap hari bergelut dengan duia tersebut serta factor lingkungan bahwa profesi tani adalah warisan yang diturunkan dari mbah buyut (leluhur) saya kemudian diturunkan ke anaknya dan di turunan lagi sampai kakek saya dan sekarang juga Bapak saya akhirnya mau tidak mau saya juga akan mewarisinya untuk menekuni profesi tersebut.
Dalam usia kedewasaan ini, saya baru memahami apa sebenarnya ma’na yang disampaikan oleh orang tua saya itu. Setelah melihat realitas yang ada saya tafsirkan bahwa beliau seperti itu bukan karena tidak menginginkan pekerjaan tersebut. Hal itu terucap lebih dikarenakan perlakuan tidak adil yang diterimanya begitu juga bila ruang lingkupnya lebih luas yaitu pada petani-petani pada umumnya. Sedangkan kondisi dimana terdapat ketidak adilan ini berlangsung terus menerus keadaannya. Yang berarti mereka merasa selalu tertindas dalam menjalankan profesinya. Sehingga kemudian jika dilihat maka pernyataan seperti yang di sampaikan Bapak saya itu adalah suatu bentuk protes tersamar dari orang-orang tani yang tidak berharap anak-anaknya jatuh dalam keadaan yang menimpa orang tua-tua mereka. Dan pada kenyataan yang saya lihat proses demikian telah mulai kelihatan adanya.
Jika keadaan yang seperti ini dibiarkan berlangsung terus-menerus maka tidak terelakan lagi di kemudian hari akan menimbulkan masalah-masalah yang lebih banyak dan tentunya bagi negaralah yang akan menanggung semua masalah ini. kenyataan sampai saat ini menunjukkan bahwa sector masih memegang peranan terpenting bagi perekonaomian bangsa kita. Dikatakan penting sebab harus di akui bahwa sebagian terbesar rakyat di Negara ini masih menggantungkan mata pencaharian hidunya dengan mengandalkan sector tersebut. Oleh karena demikian maka masih layak jika Indonesia mendapat julukan sebagai Negara agraris. Hal yang menjadi problem kemudian adalah jika para petani tersebut bosan dengan kehidupan bertaninya dan akhirnya mencari pekerjaan alternative selain pertanian maka mau tidak mau mereka harus keluar dari desanya sebab tidak mugkin lagi tinggal di tempat yang hanya menawarkan pekerjaan yang sifatnya homogeny, dan kemudian mau tidak mau mereka harus melakukan urbanisasi ke kota sebagai pelarian untuk mencapai keinginan mereka.
Bahwa sudah menjadi sifat umum bagi siapa saja yang mengharapkan hidup di kota harus punya keterampilan atau keahlian lebih, hal seperti ini jauh berbada dengan hidup di desa yang hanya ada sedikit jenis pekerjaan. Sehingga persaingan hidup diperkotaan juga sangat terasa akibatnya bagi penghuni tempat tersebut. Profesionalisme adalah harga mati bagi mereka yang hendak cari hidup di sana. Sementara itu arus urbanisasi yang terjadi besar-besaran ( bisa dilihat dalam sepuluh tahun terakhir) akan menjadi masalah dalam kehidupan perkotaan. Pada umumnya mereka yang dari desa pindah ke kota karena ingin cari kehidupan yang lebih baik karena sudah tidak mampu lagi untuk bertani pada umumnya adalah jenis orang yang tidak punya banyak keterampilan lain. Mereka hanya bermodal untung-untungan untuk bertahan. Sesampainya mereka dikota tak akan dapat segera kembali walaupun tau persaingan sebagaimana di atas, banyak alasan mungkin karena kehabisan bekal atau Karena mali pulang sebelum membawa kesuksesan ke desanya. Keputusan yang diambil akhirnya mereka hanya puas jadi kuli-kuli di pasar, tukang sapu di jalan atau pekerjaan rendahan lainnya. Itu pun bukan tanpa persaingan bahkan pekerjaan kelas rendahan seperti itu yang tidak membutuhkan keahlian lebih justeru sangat besar persaingannya.
Akibat lagi dari adanya urbanisasi yang besar-besaran adalah meningkatkan angka pengangguran dikehidupan kota. Seperti paparan di atas bahwa walaupu jenis pekerjaan kelas bawah di kota besar tetap menghendaki adanya persaingan, maka akibatnya belum tentu setiap urban dapat pekerjaan disana. Lalu kemudian dari adanya pengangguran ini akan memicu pula berbagai tindak criminal missal copet, pencurian, perampokan, maraknya tempat-tempat prostitusi juga eksploitasi anak-anak di jalanan. Tentunya masalah-masalah ini akan menjadi beban yang membutuhkan waktu lama dalam penyelesaiannya. Tindak hanya seebatas kriminalitas saja namun juga akhirnya Pemerintahan kota akan tetap bersinggungan dengan para penduduk desa yang berurbanisasi ke kota. Adanya penertiban oleh SATPOL PP, penangkapan gelandangan, penggusuran rumah-rumah liar jika di telusuri juga merupakan akibat dari arus urbanisasi tersebut. Dampak dari urbanisasi petani dari desa ke kota ini tidak hanya menjadi masalah bagi kehidupan perkotaan tapi juga terasa bagi kehidupan pedesaan asal. Utopia bahwa di kota akan banyak peluang sukses materiil akan menjadi pemicu motivasi orang berurbanisasi maka sudah pasti pekerjaan di desa akan terbengkelai serta banyak tanah-tanah pertanian yang harusnya di garap ditinggalkan akibatnya hasil produksi di desa tersebut akan berkurang. Akibat lainnya adalah masuknya gaya hidup perkotaan yang berlawanan kultur pedesaan maka akan membuat kemapanan yang telah ada menjadi amburadul sehingga desa pun semakin terkiskis kebudayaannya.
Untuk meminimalkan dampak akibat dari permasalahan ini adalah harus mengetahui keadaan riil dari pola kehidupan petani itu sendiri sehingga kebijakan akan dapat diambil dalam tahap penyelesaian masalah ini. hal mendasar yang selalu dihadapi petani adalah harga pupuk yang selalu melambung tinggi, anjlognya harga gabah dimusim panen dan tingginya harga gabah di waktu paceklik. Belum lagi masalah-masalah diluar pertanian seperti harga kebutuhan pokok, kebutuhan pelayanan kesehatan atau juga akses terhadap pendidikan. Di bawah ini akan disampaikan ilustrasi riil yang terjadi dalam pengelolaan pertanian dari keluarga penulis.
Luas tanah yang di miliki ukuran seperempat ( kurang lebih 2500 m2) dari tanah seluas ini butuh 40 kg bibit dengan harga Rp 120 ribu, pupuk yang dibutuhkan dari mulai penyemaian sampai padi di panen adalah 4 kwintal. Harganya bila di rinci ( harga pupuk yang sudah tidak bersubsidi dan sampai sekarang naik turun ) adalah jenis UREA Rp. 90 ribu perkarung, jenis TSp 85 ribu perkarung, jenis Garem 100 ribu, dan pupuk campuran jenis PONSKA 120 ribu satu karungnya. Dari penanaman butuh 5 orang yang cabut benih masing-masing di upah 20 ribu dan konsumsi untuk mereka kurang lebih 75 ribu. Untuk yang tanam benih butuh 12 orang masing2 di upah 15 ribu konsumsi untuk mereka kira-kira 150 ribu pada waktu menyiangi rumput butuh tenaga kerja 12 orang lagi upah dan kosumsinya sama dengan waktu tanam benih. Untuk penyiangan rumput tahap ke dua butuh 8 orang. Dari masa tanam ini butuh pestisida misalnya ketika terjadi penyakit daun karena serangga atau ulat ( jawa, slundep) harga obat 95 ribu, obat agar daun hijau 7 ribu dengan berkali-kali semprot. Obat belalang perbotol 15 ribu ( berkali-kali semprot), obat untuk serangga sejenis kupu-kupu kecil 17 ribu ( berkali2 semprot) dan pestisida lainnya. Pada musim panen dari tanah seluas ini membutuhkan tenaga kerja penuai padi 12 orang masing-masin pekerja sehari 40 ribu serta konsumsi bagi mereka adalah 150 ribu. Hasil yang di peroleh adalah sebesar 25kwintal sedangkan harga perkilo gabah adalah 2.200 rupiah. Dari 26 kwintal itu masih dipotong seperlima sebagai biaya pengairan.
Dari ilustrasi di atas dapat di ringkas sebagai berikut :
Kebutuhan bibit 40 kg : Rp. 120 ribu
Kebutuhan pupuk 4 kw : Rp. 790 ribu
Kebutuhan obat tanaman : Rp .150 ribu
Pencabut benih : Rp. 175 ribu
Penanam benih : Rp. 330 ribu
Penyiang rumput 1dan 2 : Rp. 400 ribu
Penuai padi : Rp. 630 ribu total : Rp. 2595 ribu
Dari semua biaya yang di keluarkan maka akan dijadikan pengurang hasil pertanian dalam hal ini padi adalah hasil total gabah-biaya pengairan = 27 kw : 0,5 = 27 kw - 5 kw 20 kg =21 kw 60 kg.
Hasil bersih padi adalah 21 kw 60 kg x Rp 2.200 = 2.160 x 2.500 = Rp 5.400.000,-
Hasil ini di kurangi dari biaya selama produksi padi adalah Rp 5.400.000 – Rp. 2.595.000 = Rp. 2.805.000,-
Jika mau kita hitung lebih lanjut bahwa hasil panen ini bisa kita lihat perharinya yaitu hasil bersih padi di bagi hari tanam selam 4 bulan Rp.2.805.000 : 120 hari = Rp 2.337,5- perhari
Sungguh angka yang mengejutkan jika kita lihat betapa sebagian besar rakyat yang menggantungkan hidupnya dari sector pertanian hanya mencukupkan diri dari penghasilan seperti itu. Maka kalau di pikir secara akal kita, tidak akan sanggup membayangkan kapan kesejahteraan petani akan terpenuhi mereka hanya mendapatkan penghasilan 20,5 ribu maksimal dalam satu hari itupun bukan penghasilan yang ajeg selalu didapat dan biasanya pada musim tanam padi kedua maka hasil yang di capai tidak akan semaksimal itu belum lagi resiko gagal panen maka tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk memenuhi walau hanya sekedar kebutuhan pokok. Adalah jauh dari harapan mereka untuk mendapatkan akses pendidikan dengan mudah ( formal maupun informal sampai tingkat perguruan tinggi) juga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal belum lagi jika nanti permainan spekulasi pemborong tebas maka di sini sudah jelas posisi petani adalah harus segera di selesaikan permasalahan yang selama ini membelenggu kehidupan mereka.
Dari masalah-masalah dasar tersebut sebetulnya peranan pemerintahlah yang dapat memberikan solusi terbaik. Kebijakan yang diambil harus seefektif mungkin dengan pertimbangan sepenuhnya mengacu pada kebutuhan petani. Memang perlu di akui bahwa Negara juga tidak terlepas sama sekali dengan masalah-maslah ini hal ini bisa kita lihat dalam kebijakan-kebijakan terkait pertanian salah satu misalnya adalah UU No 5 th 1960 tentang Pokok Agraria. Namun sampai saat ini belum ada lagi tindakan yang revolusioner dalam kebijakan perundangan setelah itu. Yang menjadi muatan dalam UU ini hanyalah masalah yang menyangkut pembagian hak-hak tanah sedang mekanisme bagaimana pengelolaan sampai bagaimana hasil itu di pergunakan belum di atur. Oleh karena itu maka sekali lagi harusnya yang mengambil inisiatif dalam penyelesaian problem ini, bukan hanya memberati mereka dengan segala peraturan yang menjadi beban bagi kehidupan mereka.

di akhir tulisan ini saya akan sampaikan kutipan dri salah satu ucapan ustadz saya yaiotu : "Bahwa pemerintah yang menjadikan rakyatnya sebagai teman terbaik maka ia akan bertindak Menurut kehendak rakyat dan pasti Pemerintahan tersebut akan sukses sedangkan pemerintah yang memusuhi rakyatnya dan ia menjadikan yang asing sebagai temannya maka bisa di pastikan reakyatlah yang akan tertindas."

WaAllhu a'lam bishowab.
tulisan ini pernah dimuat dalam akun FB 21 April 2010
http://www.facebook.com/notes/mochamad-adib-zain/salahkah-kalau-petani-memperoleh-haknya/383185438726

Hai Buruh!!! Bagaiamana kabarmu?

Buruh, tani, mahasiswa,, rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokasi
Gegap gempita dalam satu suara
demi tugas suci yang mulia.
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyaraka
Indonesia baru tanpa orba

Sepenggal lagu di atas adalah mantra sakti yang digunakan sekitar 12 tahun yang lalu, yang mampu membangkitkan semangat masyarakat yang berpuluh-puluh tahun tertindas untuk melawan. Tertindas bukan oleh orang lain akan tetapi oleh bangsanya sendiri yang menjadi penguasa rezim. Mustahil sekali untuk melawan dan menang waktu itu dengan melihat bagaimana rezim begitu kuat dan bertindak represif serta mendapat dukungan penuh dari militer. Merupakan suatu yang mengejutkan ternyata sepuluh tahun yang lalu mampu memotong sejarah kediktatorn se’orang penguasa dan menjadi tonggak sejarah baru bagi kelanjutan kehidupan bangsa.
Ada suatu adagium yang populer menyatakan bahwa segala sesuatu ada zamannya dan setiap zaman akan berbeda untuk setiap sesuatu. Mungkin ini juga berlaku bagi mantra sakti diatas yang digunakan oleh ribuan demonstran yang dengan bahu-membahu menggulingkan masa orde baru. Walalupun masih banyak dinyanyikan, didengung-dengungkan terutama oleh mahasiswa dan dipaksakan jadi lagu wajib ketika ospek atau juga masih bisa didengar ketika lagi demo kenaikan harga BBM atau KPK kemaren misalnya akan tetapi ia tak lebih dari nostalgia masa lalu dan pada kenyataannya bahwa lagu tersebut kehilangan daya pendobrak masa untuk melawan musuh-musuh rakyat yang lebih sakti lagi. Bahkan menyanyikan lagu ini hanya sekedar formalitas tanpa ma’na.
Terlepas dari lagu ini apakah masih sakti atau tidak sebagai mantra penyemangat sebagaimana dalam liriknya. Kehidupan tidak berubah yang miskin tetap miskin dan orang-orang kaya baru bermunculan dan menjadi elit yang menggantikan kedudukan penguasa yang lalu. Namun masih ada baiknya pula mencermati bahwa didalam lagu ini sang pengarang menyebutkan kesuksesan perlawanan itu dilakukan bersama-sama oleh segenap element masyarakat: buruh, tani mahasiswa dan lain-lain pula. Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menyoroti elemen yang pertama bertepatan dengan momentum yang dirasa sangat pas yaitu 1 mei sebagai hari buruh internasional.
Dalam konstitusi Negara kita yang semua sumber hukum bermuara padanya dan menjadi tolok ukur terakhir dan utama bagi setiap aturan menyebutukan didalam pasal-pasal tentang hak asasi manusia terutama pasal 28 D ayat 2 “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Ya secara normative demikian adanya akan tetapi dari hak yang diatur dalam norma dasar tersebut masih butuh seperangkat norma lagi untuk melaksanakannya dan sebenarnya yang terpenting adalah perlu komparasi antara UUD tersebut ( ground norm) dengan peraturan pelaksananya yang mestinya berada dibawahnya dan tidak boleh bertentangan dengannya.


Kebijakan Yang Tidak Memihak

Sebagaimana umumnya negara didunia, Indonesia juga mengalami sejarah perburuhan yang panjang. Bahkan bisa dikatakan sejarah perburuhan indonesia adalah bagian dari sajarah perburuhan didunia. Walaupun Indonesia adalah negara agraris akan tetapi proses industrialisasi juga mampu mencapai sudut-sudut terdalam wilayah indonesia. Bahkan awal proses industrialisasi tersebut jika kita menengok beberapa puluh tahun kebelakang akan terlihat bahwa industrialisasi itu diawali dari bidang agrarian ini. kita masih ingat akan karya penting zaman kolonialis yang ditulis oleh multatuli dalam judul maax havelaar bagaimana ia menggambarkan sistem tanam paksa di daerah lebak banten yang menindas bangsa pribumi putra ( orang asli indonesia).
Kolonialisasi yang pastinya juga menerapkan ideology kapitalis sebagai patokan utama dalam mengambl kebijakan sudah barang tentu mereka akan mengeruk keuntungan dari Negara yang dikuasai. Bukan hanya wilayah yang mereka rebut akan tetapi juga manusia-manusianya mereka kuasai dan mereka perbudak. Pada masa indonesia dibawah jajahan ini maka mereka dipaksa bekerja tanpa dibayar. Dalam masa ini dikenal adanya sistem kerja paksa baik untuk menyerahkan tenaganya karena tidak punya lahan atau bagi yang punya anah untuk menanami tanah pertaniannya dengan komoditi ekspor belanda.
Mungkin agaknya berlebihan jika kita memulai sejarah perburuhan dari konteks kolonialisasi karena adanya perburuhan pasti memuat buruh dan majikan. Sedangkan zaman colonial adalah budak dengan tuannya. Tapi disitu sebenarnya kita bisa melihat satu kesepahaman bahwa walaupun dalam sistem yang berbeda dalam hubungan antara buruh dan majikan akan tetapi motifnya kira-kira sama.
Prinsip dalam ekonomi yang sejak SMP diajarkan adalah kira-kira berbunyi seperti ini MELAKUKAN PENGELUARAN SEKECIL-KECILNYA UNTUK MENDAPATKAN PENGHASILAN SEBESAR-BESARNYA. Prinsip ini mungkin jika hanya kita lihat sekilas merupakan suatu teori semata akan tetapi lebih dalam ketika kita coba lihat bagaimana mengaplikasikannya maka hasilnya akan bisa kita saksikan dalam sistem perekonomian Negara kita dan Negara-negara didunia sekarang. Simple memang namun bahwa adanya eksploitasi manusia dan juga sumber daya alam bisa dimulai dari prinsip ini.
Prinsip yang tersebut diatas maka bisa diterjemahkan bahwa pengusaha harus untung sebesar-besarnya. Untuk memperoleh keuntungan maka ia harus meminimalisir pengeluarannya dan salah satu pengeluaran adalah gaji buruh-buruhnya. Begitu juga dengan gaji buruh yang murah mereka masih harus memaksa buruh-buruh tersebut untuk bekerja sekeras-kerasnya untuk memperoleh hasil yang besar dan keuntungan juga akan besar pula. Maka dari deskripsi diatas bisa dipahami kalau kita coba baca sejarah maka itu terjadi pada mulanya dinegara yang menuju industrialisasi dan terutama dimulai dari inggris. Yang mana untuk mensukseskan agenda industrialisasinya maka disana jam kerja sangat lama dan juga tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Maka tidak heran kemudian di Negara-negara ini yang mula-mula dituntut adalah pengaturan jam kerja, masalah anak-anak lalu juga masalah jamoinan sosial.
Balik lagi pada sejarah indonesia bahwa pasca kolonialisasi bukan berarti maslah perburuhan menjadi membaik. Disana pertentangan-pertentangan sangat besar terutama waktu itu Negara muda yang namanya insdonesia juga sedikit banyak terkena pengaruh dua kekuatan ideology besar dunia waktu itu. Disatu sisi barat yang dipimpin Amerika serikat tampil dengan wajah kapitaisnya yang mana suatu kebijakan negara agar bisa eksis dalam kancah internasional tergantung pada modal yang dimilikinya implikasinya juga bahwa modal adalah yang paling berperan dari Negara tersebut dan juga Negara harus mengikuti kemauan sistem ini. Sebaliknya di eropa timur juga menjalar kesebagian besar dunia muncul ideology sosialis yang kemudian dalam perkembangannya muncul juga komunis sebagai partai-partainya. Dalam ideology ini memberikan kewenangan yang sangat besar bagi negara untuk mengatur kehidupan rakyatnya sehingga pemerintahan negara yang menganut ini banyak yang menjadi otoriter.
Dalam masa ini nasib buruh pun banyak tidak berubah terutama karena kondisi politik negara yang tidak stabil namun cukup menggembirakan bahwa waktu itu posisi buruh cukup mendapat perhatian Pemerintahan terutama karena adanya partai yang memang secara tegas punya perhatian disitu. Walaupun bagi sebagian orang dinegeri ini PKI dianggap sebagai partai yang jahat akan tetapi jika kita cermati PKI lah yang punya banyak perhatian terhadap buruh, kaum tani dan rakyat miskin waktu itu. Dan juga pada waktu itu juga adanya sistem land reform yang tentunya juga memberi keuntungan bagi buruh tani dengan adanya pemerataan kepemilikan tanah.
Setelah orde lama tumbang maka munculah orde dengan presiden baru. Namun salah satu yang melatar belakangi tumbangnya rezim lama adalah salah satunya karena adanya upaya coup de etat ( kudeta) oleh PKI. Maka dari asal itu kemudian kita mengalami masa-masa sejarah yang kelam bahwa PKI melakukan pembantaian dalam upayanya akan tetapi karena kekalahannuya dalam upaya tersebut maka terjadi pembantaian balik pada orang PKI, simpatisan atau yang di PKI_kan.dalam perkembanganya Karena sentiment ideology maka hal-hal yang berbau kegiatan PKI di curigai akibatnya kaum buruh juga menerima dampak ini Karena seperti paparan diatas agenda PKI salah satunya difokuskan pada penghidupan kaum buruh.
Dalam masa orba ini maka kebijakan yang diambil berbanding terbalik 100% dengan rezim sebelumnya. Jika masa sebelumnya Pemerintahan lebih condong ke sosialis maka untuk orde baru sebaliknya akibatnya indonesia membuka diri seluas-luasnya terhadap barat sehingga indonesia. Pada masa itu indonesia juga membuk Hubungan ekonomi dengan Negara-negara tersebut, maka Negara barat yang corak ideologinya capital maka mereka secara besar-besaran menanamkan investasinya dinegara indonesia dan memang hal itu yang dikehendaki indonesia syarat mereka menanamkan infestasinya di indonesia. Untuk kenyamanan berinfestasi salah satunya adalah harus tersedianya buruh yang upahnya murah.

Buruh dan harapan

Pada hari ini buruh dimana-mana berhak memperingati hari yang diperuntukkan bagi mereka. Hari buruh dimulai sejak 1890 sedangkan di indonesia mulai 1920 namun apa yang menjadi peringatan tahunan ini hanya seremonial belakanya. Faktanya bahwa kebijakan yang diambil oleh negara kebanyakan lebih memihak pada pemodal daripada para buruh. Hal ini wajar terjadi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia bahwa investasi asing adalah hal yang mewah serta untuk mendapatkannya haruslah dengan usaha yang maksimal karenanya jika mereka telah masuk maka mereka harus dijaga jangan sampai mereka pergi lagi. sedangkan mereka yang mau menanamkan infestasinya bukan tanpa syarat. Dua syarat utamanya adalah upah buruh yang rendah dan keamanan usaha.
Sementara di posisi yang lain kaum buruh tidak memiliki posisi tawar sama sekali. Jika dilihat dari motif mereka bekerja maka kebanyakan karena factor kemiskinan ekonomi, apalagi industry-industri yang ada diindonesia kebanyakan berbentuk usaha padat karya maka disisi lain banyak menyerap tenaga kerja juga banyak menuntut mereka untuk kerja yang maksimal. Sedangkan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan benar-benar ketat terutama di sector-sektor bawah maka mau tidak mau mereka akan diam saja jika terjadi penindasan. Sebab jika mereka melawan maka mereka harus siap diganti dengan buruh yang lain. Dan akibatnya mereka akan kehilangan pekerjaannya padahal dari menjadi buruh itulah satusatunya mata pencaharian.
Hal seperti diatas adalah kondisi umum dalam kehidupan perburuhan, terakhir CAFTA ( China Asean Free Trade Area) adalah contoh yang membuktikan hal tersebut maka bisa dipastika dampaknya kedepan sudah bisa diprediksi, masuknya barang2 produksi China akan mematikan industry lokal dan bisa dipastikan bakal banyak buruh yang di PHK .
Padahal selain masalah-masalah itu hal-hal dasar perburuhan belum terlaksana. Taruhlah misalnya jaminan sosial, Upah minimum, jam kerja dan lain2. Selain itu yang sampai saat ini masih menjadi ganjalan adalah setiap buruh melakukan aksi masih cenderung ada kecurigaan dari pemerintah bahwa meraka orang-orang kiri ( komunis) padahal aksi yang dilakukan murni semata-mata menuntut hak. Selain itu bahwa regulasi yang ada belum mendukung untuk berpihak kepada kaum buruh dari pada kepada kapitalis. Harapannya kedepan perlu ada perlakuan yang lebih fair dari pemerintah. UU no 13 tahun 2003 perlu untuk diubah melihat muatan dr UU tersebut sebenarnya belum memberikan peluang bagi buruh untuk mendapatkan hak-haknya. Dan bahwa sedikit agak membingingkan karena dalam klausula yang menyebutkan hak akan tetapi malah pasal-pasal yang mengaturnya muatannya adalah kewajiban.

Wallohu a’lam bishowab

Tulisan ini sudah dibuat sejak 1 mei 2010 dalam Akun FB
http://www.facebook.com/notes/mochamad-adib-zain/buruh-dari-masa-ke-masa/385912883726