Rabu, 01 Mei 2013

landasan berfikir aksi HARDIKNAS 2013


Deskripsi Singkat Liberalisasi Pendidikan.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu………
            Demikianlah bunyi pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke empat yang dengan secara tegas menyebutkan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan dan pendirian negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai tanggung jawab dalam pelaksanaan pencerdasan adalah pemerintahan Negara. Hal ini berkesesuaian dengan theori “du contrat social” dari JJ. Rosseau  bahwa setiap orang pada asalnya bebas, kemudian mereka saling bersekutu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam sebuah lembaga yang mengurus kebutuhan dan juga disepakati menyelesaikan sengketa diantara mereka. Dalam proses pembentukan lembaga itu yang kemudian disebut negara, individu yang asalnya bebas menyerahkan sebagian haknya untuk diurus lembaga tersebut dengan konsekwensi dia mematuhinya begitu pula berjalan secara timbal balik lembaga tersebut harus memenuhi hak individu tersebut. Hak yang diserahkan berupa suatu yang sifatnya besar dan sulit yang akan lebih mudah bila diselenggarakan oleh suatu institusi.  Dalam konteks Indonesia Hak mencerdaskan adalah salah satu hak yang diserahkan dan menjadi tanggung jawab negara serta dilaksanakan melalui saluran bernama pendidikan.
            Memahami makna dari amanah konstitusi yang tertuang dalam alinea ke empat, perlu dipahami dua hal mendasar pertama, pembukaan  UUD adalah ide besar para founding father tentang nasib negara bangsa ke depan, oleh karenanya kedudukan pembukaan menjadi landasan filosofis serta landasan yuridis bagi keseluruhan substansi UUD. Keberadaan pembukaan UUD sebagai ide dasar hukum tertinggi tidak bisa diganggu gugat, sebab mengubahnya sama dengan mengganti negara. Kedua, dalam menggali makna yang terkandung dalam alinea ke empat sebagai tujuan bernegara, haruslah dilihat secara keseluruhan sebagai kesatuan makna. Dari perlindungan atas segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia masing-masing saling berkorelasi antara satu dengan yang lain. Dalam konteks pendidikan haruslah dimaknai bahwa selain dalam kerangka besar pencerdasan kehidupan bangsa juga pendidikan sebagai wujud perlindungan atas segenap bangsa dengan tujuan kesejahteraan umum serta hasil manusia Indonesia yang memiliki kesadaran untuk ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia. Oleh karenanya pendidikan sebagai upaya sadar dan terencana harus lah diarahkan pada pencapaian tujuan negara tersebut.
            Apa yang menjadi cita-cita mulia tersebut sayangnya dalam realitasnya kian jauh panggang dari api. Pendidikan yang seharusnya sebagai perwujudan pencerdasan oleh negara kepada setiap anak bangsa hanyalah mentok sebagai sebuah impian. Faktanya terjadi ambiguitas yang luar biasa antara keharusan dengan implementasi riil di lapangan. Pendidikan sebagai hak yang sehaarusnya dinikmati oleh setiap warga negara justru menjadi hal yang sangat susah untuk diakses. Negara yang seharusnya menyediakan layanan publik berupa pendidikan justru terjebak dalam setting global liberalisasi yang menjadikan negara mengambil jarak sejauh mungkin dari keterlibatan mengurus pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas jasa yang dilepaskan bebas dalam pasar, siapa kuat membayar lebih ia akan mendapatkan fasilitas istimewa dalam pendidikan.
Liberalisasi pendidikan di indonesia sudah begitu mengakar dan begitu parahnya. Ekses yang ditimbulkan sangat terasa dalam setiap kebijakan pendidikan yang diambil negara yang mengarah pada pelepasan tanggung jawabnya dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Liberalisasi bukan lagi konsep-konsep abstrak yang ada dalam benak pikiran, tetapi sudah dioperasionalkan segitu rupa dengan dukungan regulasi dengan seperangkat supporting system didalamnya. Kasus undang-undang badan hukum pendidikan yang menyeragamkan kelembagaan institusi penyelenggara pendidikan, RSBI/SBI sebagai sistem pendidikan yang diimpor dan menciptakan kastanisasi serta mengikis nasionalisme pembelajar hanyalah sedikit kasus dari liberalisasi. Keduanya sudah di batalkan oleh MK dan dinyatakan tidak berlaku. Lalu bagaimana akar liberalisasi itu muncul di Indonesia?
A.      UU nomor 7 tahun 1994 dan cengkeraman WTO.
Asal muasal liberalisasi di Indonesia dengan anak sahnya berupa kapitalisasi bukanlah barang baru di negeri ini. Sejarah penjelajahan samudra untuk mencari pulau penghasil rempah pada hakikatnya adalah embrio dari liberalisasi tersebut. Semangat eksploitasi demi keuntungan sebesar-besarnya untuk pribadi atau kelompok adalah prinsip yang tak pernah berubah sejak kelahirannya. Perbedaan yang ada adalah dulu bangsa kita sebagai objek yang dengan terpaksan masuk dalam liberalisasi itu karena kolonialisasi asing sedangkan saat ini dengan kesadaran kita melibatkan diri didalamnya. Jeratan liberalisasi masuk ke Indonesia pasca tumbangnya orde lama ke orde baru. Orde lama yang sangat menonjol perlawanannya terhadap neo kolonialisme dan imperialisme menjadi berubah 180 % pada rezim orde baru sesudahnya yang adaptif dan adoptif terhadap liberalisasi di segala bidang. UU nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing adalah pintu gerbang masuknya liberalisasi di Indonesia. Dalam pengalaman panjang tersebut dampak dari liberalisasi pada kenyataannya tidak memberikan keuntungan bagi rakyat negara Indonesia dan justru menjauhkan dari tujuan Indonesia.
Dalam pendidikan, liberalisasi pendidikan dikuatkan dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO. Sebagai sebuah lembaga internasional WTO sebelumnya adalah GATT (general agreement on Trade and tarif) yang didirikan tahun 1947 oleh negara-negara pemenang perang dunia II. Dalam perkembangannya, pasca berakhirnya konfrensi negara-negara dalam putaran Uruguay (uruguay arround) bertrasformasi menjadi WTO tahun 1994 dan Indonesia masuk sebagai anggota didalamnya dengan ratifikasi “UU nomor 7 tahun 1994”. Prinsip yang tertuang dalam WTO melarang negara-negara anggota untuk membatasai perdagangan yang bersifat kuantitatif seperti penerapan quota impor atau ekspor. Tanpa memandang kondisi riil negara anggota WTO berusaha menghapus proteksi yang dilakukan oleh negara anggota kepada perekonomian negaranya. Hal tersebut berdampak ketimpangan dan ketidak adilan antara negara maju vs negara miskin.
Dari perkembangannya GATT menjadi GATS (general agreement on trade in service) memasukkan pendidikan sebagai komoditas jasa yang diperdagangkan. Didalamnya terdapat 12 jasa  yaitu 1. Business 2. Communication 3. Construction and Engineering 4. Distribution 5. Education 6. Environment 7. Financial 8. Health 9. Tourism and Travel 10. Recreational, Cultural and Sporting 11. Transport 12. Other dan berlaku tahun 2005. Dalam GATS inilah yang menjadi akar segala masalah pendidikan di Indonesia. Pendidikan dalam amanah konstitusi yang merupakan hak bagi setiap warga negara berubah menjadi komoditas privat. Negara posisinhya dilemahkan untuk memajukan pendidikan, dan parahnya hal tersebut diterima tanpa pemikiran kritis oleh para pemangku kebijakan di negeri ini. Pendidikan dilaksanakan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi dilihat dari aspek seberapa memberikan keuntungan bagi para pelaku ekonomi melintasi batas negara-negara.

B.     Ekses-ekses (Dampak) pendidikan akibat WTO (liberalisasi pendidikan)
·         Akses Pendidikan bagi rakyat
Konsep aksesibilitas memiliki dua acuan dasar yaitu 1. Sistem Kebijakan seharusnhya dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan 2. sistem kebijakan seharusnya dapat menghasilkan ketentuan maupun keputusan yang adil bagi semua kalangan, baik secara individual maupun kelompok. Dalam hal ini pendidikan sebagai hak terlebih pengaturan konstitusi menjadikannya hak khusus dengan Bab tersendiri (pasal 31 UUD). Kewajiban negara terhadap hak asasi manusia menempatkan pada tiga tanggungh jawab yaitu to protect, to respect, to fullfil. Pada tanggung jawab negara yang pertama, melindungi diberi pemaknaan untuk melakukan pengakuan terhadap entitas pemegang hak serta melakukan perlindungan hukum terhadapnya, hal ini mengingat entitas penyelenggara pendidikan di Indonesia sangatlah unik, tidak hanya diselenggarakan oleh negara tapi peran lembaga pendidikan oleh masyarakat memiliki akar historis terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa, semisal pesantren, Muallimin, Seminari, Taman Siswa dll. Kedua aspek untuk menghargai, yaitu keberagaman entitas tersebut tidak sekedar dilindungi kemudian diintervensi semau pemerintah. Tetapi harus diberi ruang dan keluasaan untuk mengembangkan karakteristik model pendidikan yang dimiliki. Dan ketiga untuk pemenuhan,  perlu upaya lebih dari negara untuk mewujudkan pendidikan yang  dapat diakses oleh setiap warga negara.
Dengan liberalisasi menghancurkan segala pranata yang ada, pendidikan sebagai komoditas privat akhirnhya terseret masuk ranah ekonomi. Untuk mendapatkannya harus mengeluarkan biaya berlebih. Itulah yang terjadi dengan pendidikan saat ini, harga mahal harus dibayar untuk memperolehnya. Akibatnya yang kaya semakin pintar dan yang miskin semakin bodoh. Lebih parah dari itu pranata pendidikan yang berkembang dimasyarakat yang tujuan awalnya adalah pengabdian dipaksa untuk mengkonsumsi liberalisasi pendidikan tersebut. Pesantren-pesantren menjadi mahal, madrasah tidak lagi didirikan untuk pengabdian tetapi bagaimana mengeruk keuntungan. Pendidikan tidak untuk mencerdaskan, tidak memberikan penyadaran hakikat manusia dan kemanusiaan tetapi bergantungh permintaan pasar dan perusahaan. Akibatnya mereka menjadi seragam, tidak menumbuhkan aspek khas dari masing-masing instansi.

·         Pendidikan berbasis lokalitas dan keberagaman
Apa yang anda ingat ketika awal mulai mengenyam pendidikan. Pelajaran ini ibu budi, ibu ani dll tentu menjadi materi pokok yang dijejalkan pada otak kita. Begitu pula dalam menggambar pastinya tidak jauh dari dua gunung dengan matahari ditengah, burung yang mirip dengan huruf “M” dan dibawahnya ada persawahan dnegan tanaman huruf “V” seperti itulah gambaran pendidikan yang mungkin masih bertahan hingga saat ini. Tanpa terasa sistem sentralisasi tersebut menciptakan banyak efek buruk bagi kehidupan negara kita. Budi mungkinlah akrab di telinga kita tetapi apakah bukan suatu pemaksaan ketika disuruh menghafal bagi saudara-saudara kita yang ada diwilayah timur kita. Hal tersebut menyebabkan superioritas pusat atas daerah, serta menyebabkan pusat sebagai dunia impian yang menjadi tujuan. Mereka dijauhkan dari akar budaya lokalnya dan merasa tidak cukup untuk memenuhi kehidupannya dari kampung halaman. Urbanisasi yang besar menyebabkan keruwetan yang tidak mudah diurai di ibu kota, ironisnya sumber daya alam didaerah di kuasai oleh asing dalam pengelolaannya. Kita melihat di Kalimanatan, Sumatra dan lainnya perusahaan yang bercokol adalah multi nasional sedangkan petani tak lagi menggarap tanahnya karena diajarkan untuk tidak bangga terhadap profesinya. Mereka menjadi buruh di rumah sendiri. Hal tersebut memang menjadi tujuan dari liberalisasi pada umumnya dengan cara meliberalisasi pendidikan yaitu untuk menguasai sumber daya alamnya dan memperbudak penduduknya. Pendidikan harus dikembalikan untuk menguatkan harga diri bangsa, menyadari lingkungan hidupnya dan aspek khas berdasar local wishdom harus ditumbuhkan.

·         Ujian Nasional dan Segala Problematikanya
Ujian  Nasional tahun 2013 adalah Ujian terkacau yang pernah ada dalam sejarah Ujian. Dengan segala kebebalan pemerintah masih mempertahankan sistem yang tidak cocok diterapkan. Penundaan pelaksanaan UN di 11 Profinsi, LJK dari kertas photo kopi dan berbagai kecurangan didalam pelaksanaannya menjadi informasi yang dikonsumsi publik saat ini. Terlebih ada indikasi penyelewengan di dalamnya, yaitu pemenangan tender yang terpusat yang sebelumnya terdesentralisasi didaerah-daerah dan juga segala karut marut lainnya. Jika pemerintah mau jujur dan mengakui kegagalannya, berbekal putusan MA Nomor Register 2596 K/PDT/2008 yang menolak kasasi yang diajukan oleh pemerintah harusnya UN tidak lagi dilaksanakan. Gugatan yang diajukan oleh para penggugat tidak lebih karena keprihatinan terhadap UN, telah menelan korban tidak saja beban mental tetapi juga merenggut banyak jiwa akibat pemaksaan UN tersebut. Dalam pertimbangan mendasar yang diambil oleh peradilan, UN boleh dilaksanakan dengan syarat ketentuan ada peningkatan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah dan akses informasi yang lengkap di seluruh Republik Indonesia. Selain itu pemerintah harus memperhatikan aspek kemanusiaan dengan mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan mental dan psikologi peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan ujian nasional. Berdaarkan pengalaman tersebut maka menjadi suatu fakta bahwa UN hendaknya dihapuskan.
·         Kurikulum 2013
Dalam sejarahnya kurikulum pendidikan mengalami beberapa kali perubahan untuk mencari bentuk yang ideal. Dari perubahan rezim satu ke rezim yang lain adakalanya mengandung muatan politis, seperti halnya peralihan dari zaman belanda pada pemerintahan RI yang merdeka begitu pula masa transisi dari orde lama pada orde baru dan terakhir ke masa reformasi yang seringkali kesemuanya ditandai dengan penyangkalan pada sistem sebelumnya. Secara periodik pasca kemerdekaan kurikulum di Indonesia digambarkan sebagai berikut: Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Menyikapi hal tersebut sering terdengar pameo yang menyebutkan bahwa setiap ganti menteri akan ganti kurikulum pendidikan.
Untuk kurikulum 2013 ibarat anak yang dipaksa lahir sebelum waktunya. Ia terkesan tergesa-gesa dalam pengkonsepan dan dipaksakan dalam pemberlakuannya. Dalam draft awal tidak melibatkan para pemangku kepentingan penyelenggara pendidikan oleh instansi semacam NU, Muhammadiyah, Katholik dll untuk terjadi proses dialog dan negoisasi dalam pengambilan keputusan terbaik, sangat terlihat murni Top Down dari Pemerintah dalam mendesaign pendidikan. Selain problem prosedur juga substansi yang ditawarkan tidak akan mampu memecahkan masalah pendidikan. Dengan visi pendidikan berkarakter namun cara menempuhnya salah sejak dalam pikiran. Pendidikan karakter terbentuk oleh proses dialektika pembelajar dengan lingkungan sekitarnya, tidak cukup dibentuk oleh mata pelajaran yang diberikan. Titik tekan membentuk karakter individu oleh mata pelajaran sekali lagi akan membuat terjebak pada rutinitas lama yang kolot konvensional, guru mengajar murid menghafal. Jika hendak membuat perubahan kurikulum seharusnya dilakukan perombakan total yang memenuhi setiap sistem yang terkandung didalamnya mulai kesiapan murid, kualitas pendidik, suasana belajar dan pada arasy filosofis pendidikan tentunya harus diarus utamakan.


·         UKT dan pengawalan realisasi anggaran 20%
Kata UKT mungkin baru-baru ini terdengar dikalangan Mahasiswa, khususnya UGM dan UNY untuk wilayah DIY. UKT adalah suatu sistem pembiayaan pendidikan dengan model baru yang akan dibebankan kepada Mahasiswa. Semangat yang diterapkan adalah pembiayaan pendidikan tidak lagi ada pungutan “liar” diawal yang bernama Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (semaca Uang gedung hehehe) yang tidak terukur. Sebagai contoh untuk masuk kedokteran maka menjadi rahasia umum sampai harus merogoh 200 juta dengan tarif masing-masing kepala berbeda. Konsepnya nanti disama ratakanuntuk masing-masing mahasiswa tanpa melihat kemampuan ekonomi lagi. Seakan-akan semangat tersebut bagus tetapi bagi orang yang kurang mampu justru akan menjadi beban lebih. Suatu gambaran jika rata-rata SPMA suatu Universitas misalnya adalah 40 juta kemudian dibebankan menjadi 8 semester maka hasilnya adalah 5 juta, sedangkan sekarang biaya yang harus dikeluarkan untuk per sks adalah 75 ribu (ambil yang tinggi, eksakta) sedangkan per semester didorong untuk 24 sks plus 500 ribu untuk SPP maka biaya hyang harus dikeluarkan oleh mahasiswa setiap bulan adalah 7 juta tiga ratus ribu rupiah. Biaya yang mahal jika disama ratakan, dan sangat potensial untuk lebih tinggi pada beberapa fakultas.
Kalau berbasis pada fakta tiap tahun, banyak sekali organ gerakan (semisal PMII) yang harus mengadvokasi mahasiswa baru yang keberatan dengan SPMA sehingga meminta keringanan. Membayangkan dengan model pukul rata seperti itu  maka hanya ada dua kemungkinan  yang akan terjadi, pertama Mahasiswa miskin akan semakin langka ditemukan di Universitas dan kedua mahasiswa hanya akan berorientasi pada lulus 4 tahun (artinya akan semakin sedikit orang yang seperti saya heheheheh) dan semakin sedikit pula yang akan mengembangkan paradigma dan skill melalui organisasi pergerakan. Hal tersebut akan sangat berbahaya dengan masa depan pendidikan, karena hanya akan mencetak manusia yang berorientasi pada perusahaan dan pasar. Lalu apa bedanya saat ini dengan politik etis belanda? Pada awalnya gagasan ini hanya untuk mengakali ketentuan di UU Dikti yang melarang adanya pungutan liar oleh PT semisal SPMA namun dalam hitung-hitungan bebabn biaya sama saja tanpa bergeming sedikitpun. Idealnya pendidikan ditanggung negara dan yang riil saja yang harus dibebankan pada peserta didik.
Dalam hal pembiayaan perlu sekiranya dipaparkan politik anggaran pendidikan sejak kita masuk dalam jebakan Liberalisasi pendidikan tahun 2005 berdasarkan upaya hukum yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi.[1]

a.    Putusan Mahkamahh Konstitusi  Republik Indonesia nomor  011/PUUIII/ 2005 tentang pengujian Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon dengan menyatakan penjelasan pasal 49 ayat (1) bertentangan dengan UUD. Dari putusan tersebut maka kata “dapat dilakukan secara bertahap tidak lagi memiliki kekuatan hukum” artinya anggaran harus dipenuhi secara langsung saat itu sesuai amanah koonstitusi
b.    Putusan Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUUIII/ 2005 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2004 tentang APBN Tahun Anggaran 2005 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam putusan tersebut  Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima. Terdapat alasan yang menarik dari konsideran  Mahkamah konstitusi terhadap hal tersebut. Menimbang bahwa berdasarkan UU MK dalam hal perkara pengujian UU, apabila Mahkamah berpendapat permohonan beralasan, maka amar putusannya menyatakan permohonan dikabulkan. Dengan dasar uraian sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon adalah beralasan, namun apabila Mahkamah menyatakan permohonan dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 akan berlaku ketentuan APBN tahun yang lalu. Hal tersebut tidak mungkin diterapkan pada permohonan a quo, karena akan menimbulkan kekacauan (governmental disaster) dalam administrasi keuangan negara, yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan akibatnya dapat akan lebih buruk apabila ternyata anggaran pendidikan pada APBN sebelumnya lebih kecil jumlahnya.  
c.    Putusan Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 026/PUUIII/2005 pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun Anggaran 2006 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Pada intinya menyatakan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% (sembilan koma satu persen) sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.    Putusan Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 026/PUUIV/2006. Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2006 tentang APBN Tahun Anggaran 2007 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam Putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya dan menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 (LN RI Tahun 2006, Nomor 94, TLN RI Nomor 4662) sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 11,8% (sebelas koma delapan persen) sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
e.    Putusan Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUUV/2007 tentang Pengujian UU Sisdiknas dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2006 Tentang APBN 2007 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
f.     Putusan Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 13/PUUVI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang No. 16 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 45 Tahun 2007 Tentang APBN tahun anggaran 2008 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan Menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008   bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketika bercermin dari pengalaman tersebut maka Negara (pemerintah pusat dan pemerintah daearah) harusnya secara konsisten dan komitmen untu mengalokasikan anggaran 20%. Menjadi pertanyaan besar selanjutnya adalah, jika semisal anggaran tersebut terealisasi maka alokasi yang besar atas suatu bidang akan memakan alokasi pada bidang lainnya. Agar alokasi tersebut tepat guna dan sesuai sasaran yang ditargetkan maka perlu pengawalan atas penggunaan tersebut. Disinilah peran kita sebagai manusia yang tersadarkan secara pribadi maupun institusi untuk melakukan pengawalan tersebut.
Oleh M. Adib zain
Ketua Umum PMII Cabang Sleman
Tulisan ditujukan sebagai bahan diseminasi
 wacana dan aksi Hardiknas 2 Mei 2013.


[1] Disarikan dari Darmawan Wicaksono, 2008,  Skripsi, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Pengimplementasian Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Melalui Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara. Skripsi, FH UGM Jogjakarta hlm 11. Dan juga data yang diolah penulis dalam  berbagi tulisan
 Lihat juga Putusan Mahkamahh Konstitusi  Republik Indonesia nomor  011/PUUIII/ 2005 tentang pengujian Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas terhadap UUD NRI Tahun 1945 hlm 102