Deskripsi Singkat Liberalisasi Pendidikan.
Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu………
Demikianlah
bunyi pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke empat yang dengan secara tegas
menyebutkan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan dan pendirian negara adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai tanggung jawab dalam pelaksanaan
pencerdasan adalah pemerintahan Negara. Hal ini berkesesuaian dengan theori “du
contrat social” dari JJ. Rosseau
bahwa setiap orang pada asalnya bebas, kemudian mereka saling bersekutu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam sebuah lembaga yang mengurus kebutuhan
dan juga disepakati menyelesaikan sengketa diantara mereka. Dalam proses
pembentukan lembaga itu yang kemudian disebut negara, individu yang asalnya
bebas menyerahkan sebagian haknya untuk diurus lembaga tersebut dengan
konsekwensi dia mematuhinya begitu pula berjalan secara timbal balik lembaga
tersebut harus memenuhi hak individu tersebut. Hak yang diserahkan berupa suatu
yang sifatnya besar dan sulit yang akan lebih mudah bila diselenggarakan oleh
suatu institusi. Dalam konteks Indonesia
Hak mencerdaskan adalah salah satu hak yang diserahkan dan menjadi
tanggung jawab negara serta dilaksanakan melalui saluran bernama
pendidikan.
Memahami makna dari amanah
konstitusi yang tertuang dalam alinea ke empat, perlu dipahami dua hal mendasar
pertama, pembukaan UUD adalah ide besar para founding father tentang nasib negara
bangsa ke depan, oleh karenanya kedudukan pembukaan menjadi landasan filosofis
serta landasan yuridis bagi keseluruhan substansi UUD. Keberadaan pembukaan UUD
sebagai ide dasar hukum tertinggi tidak bisa diganggu gugat, sebab mengubahnya
sama dengan mengganti negara. Kedua, dalam
menggali makna yang terkandung dalam alinea ke empat sebagai tujuan bernegara,
haruslah dilihat secara keseluruhan sebagai kesatuan makna. Dari perlindungan
atas segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia masing-masing saling berkorelasi antara satu
dengan yang lain. Dalam konteks pendidikan haruslah dimaknai bahwa selain dalam
kerangka besar pencerdasan kehidupan bangsa juga pendidikan sebagai wujud
perlindungan atas segenap bangsa dengan tujuan kesejahteraan umum serta hasil
manusia Indonesia yang memiliki kesadaran untuk ikut serta dalam menjaga
ketertiban dunia. Oleh karenanya pendidikan sebagai upaya sadar dan terencana
harus lah diarahkan pada pencapaian tujuan negara tersebut.
Apa yang menjadi cita-cita
mulia tersebut sayangnya dalam realitasnya kian jauh panggang dari api. Pendidikan
yang seharusnya sebagai perwujudan pencerdasan oleh negara kepada setiap anak
bangsa hanyalah mentok sebagai sebuah impian. Faktanya terjadi ambiguitas yang
luar biasa antara keharusan dengan implementasi riil di lapangan. Pendidikan
sebagai hak yang sehaarusnya dinikmati oleh setiap warga negara justru menjadi
hal yang sangat susah untuk diakses. Negara yang seharusnya menyediakan layanan
publik berupa pendidikan justru terjebak dalam setting global liberalisasi yang
menjadikan negara mengambil jarak sejauh mungkin dari keterlibatan mengurus
pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas jasa yang dilepaskan bebas dalam
pasar, siapa kuat membayar lebih ia akan mendapatkan fasilitas istimewa dalam
pendidikan.
Liberalisasi pendidikan di indonesia sudah begitu
mengakar dan begitu parahnya. Ekses yang ditimbulkan sangat terasa dalam setiap
kebijakan pendidikan yang diambil negara yang mengarah pada pelepasan tanggung
jawabnya dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Liberalisasi bukan lagi
konsep-konsep abstrak yang ada dalam benak pikiran, tetapi sudah
dioperasionalkan segitu rupa dengan dukungan regulasi dengan seperangkat supporting system didalamnya. Kasus undang-undang
badan hukum pendidikan yang menyeragamkan kelembagaan institusi penyelenggara
pendidikan, RSBI/SBI sebagai sistem pendidikan yang diimpor dan menciptakan
kastanisasi serta mengikis nasionalisme pembelajar hanyalah sedikit kasus dari
liberalisasi. Keduanya sudah di batalkan oleh MK dan dinyatakan tidak berlaku.
Lalu bagaimana akar liberalisasi itu muncul di Indonesia?
A.
UU
nomor 7 tahun 1994 dan cengkeraman WTO.
Asal muasal liberalisasi di Indonesia dengan anak sahnya berupa
kapitalisasi bukanlah barang baru di negeri ini. Sejarah penjelajahan samudra
untuk mencari pulau penghasil rempah pada hakikatnya adalah embrio dari
liberalisasi tersebut. Semangat eksploitasi demi keuntungan sebesar-besarnya
untuk pribadi atau kelompok adalah prinsip yang tak pernah berubah sejak
kelahirannya. Perbedaan yang ada adalah dulu bangsa kita sebagai objek yang
dengan terpaksan masuk dalam liberalisasi itu karena kolonialisasi asing
sedangkan saat ini dengan kesadaran kita melibatkan diri didalamnya. Jeratan
liberalisasi masuk ke Indonesia pasca tumbangnya orde lama ke orde baru. Orde
lama yang sangat menonjol perlawanannya terhadap neo kolonialisme dan
imperialisme menjadi berubah 180 % pada rezim orde baru sesudahnya yang adaptif
dan adoptif terhadap liberalisasi di segala bidang. UU nomor 1 tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing adalah pintu gerbang masuknya liberalisasi di
Indonesia. Dalam pengalaman panjang tersebut dampak dari liberalisasi pada
kenyataannya tidak memberikan keuntungan bagi rakyat negara Indonesia dan
justru menjauhkan dari tujuan Indonesia.
Dalam pendidikan, liberalisasi pendidikan dikuatkan dengan keikutsertaan
Indonesia sebagai anggota WTO. Sebagai sebuah lembaga internasional WTO
sebelumnya adalah GATT (general agreement
on Trade and tarif) yang didirikan tahun 1947 oleh negara-negara pemenang
perang dunia II. Dalam perkembangannya, pasca berakhirnya konfrensi
negara-negara dalam putaran Uruguay (uruguay arround) bertrasformasi menjadi
WTO tahun 1994 dan Indonesia masuk sebagai anggota didalamnya dengan ratifikasi
“UU nomor 7 tahun 1994”. Prinsip
yang tertuang dalam WTO melarang negara-negara anggota untuk membatasai
perdagangan yang bersifat kuantitatif seperti penerapan quota impor atau
ekspor. Tanpa memandang kondisi riil negara anggota WTO berusaha menghapus
proteksi yang dilakukan oleh negara anggota kepada perekonomian negaranya. Hal
tersebut berdampak ketimpangan dan ketidak adilan antara negara maju vs negara
miskin.
Dari perkembangannya GATT menjadi GATS (general
agreement on trade in service) memasukkan pendidikan sebagai komoditas jasa
yang diperdagangkan. Didalamnya terdapat 12 jasa yaitu 1. Business 2. Communication 3. Construction and Engineering 4. Distribution 5. Education 6. Environment 7. Financial 8. Health 9.
Tourism and Travel 10.
Recreational, Cultural and Sporting 11.
Transport 12. Other dan berlaku tahun 2005. Dalam GATS inilah yang menjadi
akar segala masalah pendidikan di Indonesia. Pendidikan dalam amanah konstitusi
yang merupakan hak bagi setiap warga negara berubah menjadi komoditas privat.
Negara posisinhya dilemahkan untuk memajukan pendidikan, dan parahnya hal
tersebut diterima tanpa pemikiran kritis oleh para pemangku kebijakan di negeri
ini. Pendidikan dilaksanakan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi
dilihat dari aspek seberapa memberikan keuntungan bagi para pelaku ekonomi
melintasi batas negara-negara.
B.
Ekses-ekses
(Dampak) pendidikan akibat WTO (liberalisasi pendidikan)
·
Akses
Pendidikan bagi rakyat
Konsep aksesibilitas memiliki dua acuan dasar yaitu 1. Sistem Kebijakan
seharusnhya dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan 2. sistem
kebijakan seharusnya dapat menghasilkan ketentuan maupun keputusan yang adil
bagi semua kalangan, baik secara individual maupun kelompok. Dalam hal ini pendidikan sebagai hak terlebih
pengaturan konstitusi menjadikannya hak khusus dengan Bab tersendiri (pasal 31
UUD). Kewajiban negara terhadap hak asasi manusia menempatkan pada tiga
tanggungh jawab yaitu to protect, to
respect, to fullfil. Pada tanggung jawab negara yang pertama, melindungi
diberi pemaknaan untuk melakukan pengakuan terhadap entitas pemegang hak serta
melakukan perlindungan hukum terhadapnya, hal ini mengingat entitas
penyelenggara pendidikan di Indonesia sangatlah unik, tidak hanya
diselenggarakan oleh negara tapi peran lembaga pendidikan oleh masyarakat
memiliki akar historis terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa, semisal
pesantren, Muallimin, Seminari, Taman Siswa dll. Kedua aspek untuk menghargai,
yaitu keberagaman entitas tersebut tidak sekedar dilindungi kemudian
diintervensi semau pemerintah. Tetapi harus diberi ruang dan keluasaan untuk
mengembangkan karakteristik model pendidikan yang dimiliki. Dan ketiga untuk
pemenuhan, perlu upaya lebih dari negara
untuk mewujudkan pendidikan yang dapat
diakses oleh setiap warga negara.
Dengan liberalisasi menghancurkan segala pranata yang ada, pendidikan
sebagai komoditas privat akhirnhya terseret masuk ranah ekonomi. Untuk
mendapatkannya harus mengeluarkan biaya berlebih. Itulah yang terjadi dengan
pendidikan saat ini, harga mahal harus dibayar untuk memperolehnya. Akibatnya
yang kaya semakin pintar dan yang miskin semakin bodoh. Lebih parah dari itu
pranata pendidikan yang berkembang dimasyarakat yang tujuan awalnya adalah pengabdian
dipaksa untuk mengkonsumsi liberalisasi pendidikan tersebut.
Pesantren-pesantren menjadi mahal, madrasah tidak lagi didirikan untuk
pengabdian tetapi bagaimana mengeruk keuntungan. Pendidikan tidak untuk
mencerdaskan, tidak memberikan penyadaran hakikat manusia dan kemanusiaan
tetapi bergantungh permintaan pasar dan perusahaan. Akibatnya mereka menjadi
seragam, tidak menumbuhkan aspek khas dari masing-masing instansi.
·
Pendidikan
berbasis lokalitas dan keberagaman
Apa yang anda
ingat ketika awal mulai mengenyam pendidikan. Pelajaran ini ibu budi, ibu ani
dll tentu menjadi materi pokok yang dijejalkan pada otak kita. Begitu pula
dalam menggambar pastinya tidak jauh dari dua gunung dengan matahari ditengah,
burung yang mirip dengan huruf “M” dan dibawahnya ada persawahan dnegan tanaman
huruf “V” seperti itulah gambaran pendidikan yang mungkin masih bertahan hingga
saat ini. Tanpa terasa sistem sentralisasi tersebut menciptakan banyak efek
buruk bagi kehidupan negara kita. Budi mungkinlah akrab di telinga kita tetapi
apakah bukan suatu pemaksaan ketika disuruh menghafal bagi saudara-saudara kita
yang ada diwilayah timur kita. Hal tersebut menyebabkan superioritas pusat atas
daerah, serta menyebabkan pusat sebagai dunia impian yang menjadi tujuan.
Mereka dijauhkan dari akar budaya lokalnya dan merasa tidak cukup untuk
memenuhi kehidupannya dari kampung halaman. Urbanisasi yang besar menyebabkan
keruwetan yang tidak mudah diurai di ibu kota, ironisnya sumber daya alam
didaerah di kuasai oleh asing dalam pengelolaannya. Kita melihat di
Kalimanatan, Sumatra dan lainnya perusahaan yang bercokol adalah multi nasional
sedangkan petani tak lagi menggarap tanahnya karena diajarkan untuk tidak
bangga terhadap profesinya. Mereka menjadi buruh di rumah sendiri. Hal tersebut
memang menjadi tujuan dari liberalisasi pada umumnya dengan cara meliberalisasi
pendidikan yaitu untuk menguasai sumber daya alamnya dan memperbudak
penduduknya. Pendidikan harus dikembalikan untuk menguatkan harga diri bangsa,
menyadari lingkungan hidupnya dan aspek khas berdasar local wishdom harus
ditumbuhkan.
·
Ujian
Nasional dan Segala Problematikanya
Ujian Nasional tahun 2013 adalah Ujian terkacau
yang pernah ada dalam sejarah Ujian. Dengan segala kebebalan pemerintah masih
mempertahankan sistem yang tidak cocok diterapkan. Penundaan pelaksanaan UN di
11 Profinsi, LJK dari kertas photo kopi dan berbagai kecurangan didalam
pelaksanaannya menjadi informasi yang dikonsumsi publik saat ini. Terlebih ada
indikasi penyelewengan di dalamnya, yaitu pemenangan tender yang terpusat yang
sebelumnya terdesentralisasi didaerah-daerah dan juga segala karut marut lainnya.
Jika pemerintah mau jujur dan mengakui kegagalannya, berbekal putusan MA Nomor
Register 2596 K/PDT/2008
yang menolak kasasi yang diajukan oleh pemerintah harusnya UN tidak lagi
dilaksanakan. Gugatan yang diajukan oleh para penggugat tidak lebih karena
keprihatinan terhadap UN, telah menelan korban tidak saja beban mental tetapi
juga merenggut banyak jiwa akibat pemaksaan UN tersebut. Dalam pertimbangan
mendasar yang diambil oleh peradilan, UN boleh dilaksanakan dengan syarat
ketentuan ada peningkatan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana
sekolah dan akses informasi yang lengkap di seluruh Republik Indonesia. Selain
itu pemerintah harus memperhatikan aspek kemanusiaan dengan mengambil
langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan mental dan psikologi peserta
didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan ujian nasional. Berdaarkan
pengalaman tersebut maka menjadi suatu fakta bahwa UN hendaknya dihapuskan.
·
Kurikulum
2013
Dalam sejarahnya kurikulum pendidikan
mengalami beberapa kali perubahan untuk mencari bentuk yang ideal. Dari
perubahan rezim satu ke rezim yang lain adakalanya mengandung muatan politis,
seperti halnya peralihan dari zaman belanda pada pemerintahan RI yang merdeka
begitu pula masa transisi dari orde lama pada orde baru dan terakhir ke masa
reformasi yang seringkali kesemuanya ditandai dengan penyangkalan pada sistem
sebelumnya. Secara periodik pasca kemerdekaan kurikulum di Indonesia
digambarkan sebagai berikut: Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran
Terurai 1952, Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1984,
Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004, KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan). Menyikapi hal
tersebut sering terdengar pameo yang menyebutkan bahwa setiap ganti menteri
akan ganti kurikulum pendidikan.
Untuk
kurikulum 2013 ibarat anak yang dipaksa lahir sebelum waktunya. Ia terkesan
tergesa-gesa dalam pengkonsepan dan dipaksakan dalam pemberlakuannya. Dalam
draft awal tidak melibatkan para pemangku kepentingan penyelenggara pendidikan
oleh instansi semacam NU, Muhammadiyah, Katholik dll untuk terjadi proses
dialog dan negoisasi dalam pengambilan keputusan terbaik, sangat terlihat murni
Top Down dari Pemerintah dalam
mendesaign pendidikan. Selain problem prosedur juga substansi yang ditawarkan
tidak akan mampu memecahkan masalah pendidikan. Dengan visi pendidikan
berkarakter namun cara menempuhnya salah sejak dalam pikiran. Pendidikan
karakter terbentuk oleh proses dialektika pembelajar dengan lingkungan
sekitarnya, tidak cukup dibentuk oleh mata pelajaran yang diberikan. Titik
tekan membentuk karakter individu oleh mata pelajaran sekali lagi akan membuat
terjebak pada rutinitas lama yang kolot konvensional, guru mengajar murid
menghafal. Jika hendak membuat perubahan kurikulum seharusnya dilakukan
perombakan total yang memenuhi setiap sistem yang terkandung didalamnya mulai kesiapan
murid, kualitas pendidik, suasana belajar dan pada arasy filosofis pendidikan
tentunya harus diarus utamakan.
·
UKT
dan pengawalan realisasi anggaran 20%
Kata UKT
mungkin baru-baru ini terdengar dikalangan Mahasiswa, khususnya UGM dan UNY
untuk wilayah DIY. UKT adalah suatu sistem pembiayaan pendidikan dengan model
baru yang akan dibebankan kepada Mahasiswa. Semangat yang diterapkan adalah
pembiayaan pendidikan tidak lagi ada pungutan “liar” diawal yang bernama
Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (semaca Uang gedung hehehe) yang tidak
terukur. Sebagai contoh untuk masuk kedokteran maka menjadi rahasia umum sampai
harus merogoh 200 juta dengan tarif masing-masing kepala berbeda. Konsepnya
nanti disama ratakanuntuk masing-masing mahasiswa tanpa melihat kemampuan
ekonomi lagi. Seakan-akan semangat tersebut bagus tetapi bagi orang yang kurang
mampu justru akan menjadi beban lebih. Suatu gambaran jika rata-rata SPMA suatu
Universitas misalnya adalah 40 juta kemudian dibebankan menjadi 8 semester maka
hasilnya adalah 5 juta, sedangkan sekarang biaya yang harus dikeluarkan untuk
per sks adalah 75 ribu (ambil yang tinggi, eksakta) sedangkan per semester
didorong untuk 24 sks plus 500 ribu untuk SPP maka biaya hyang harus
dikeluarkan oleh mahasiswa setiap bulan adalah 7 juta tiga ratus ribu rupiah.
Biaya yang mahal jika disama ratakan, dan sangat potensial untuk lebih tinggi
pada beberapa fakultas.
Kalau berbasis
pada fakta tiap tahun, banyak sekali organ gerakan (semisal PMII) yang harus
mengadvokasi mahasiswa baru yang keberatan dengan SPMA sehingga meminta
keringanan. Membayangkan dengan model pukul rata seperti itu maka hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi, pertama Mahasiswa miskin
akan semakin langka ditemukan di Universitas dan kedua mahasiswa hanya akan
berorientasi pada lulus 4 tahun (artinya akan semakin sedikit orang yang
seperti saya heheheheh) dan semakin sedikit pula yang akan mengembangkan
paradigma dan skill melalui organisasi pergerakan. Hal tersebut akan sangat
berbahaya dengan masa depan pendidikan, karena hanya akan mencetak manusia yang
berorientasi pada perusahaan dan pasar. Lalu apa bedanya saat ini dengan
politik etis belanda? Pada awalnya gagasan ini hanya untuk mengakali ketentuan
di UU Dikti yang melarang adanya pungutan liar oleh PT semisal SPMA namun dalam
hitung-hitungan bebabn biaya sama saja tanpa bergeming sedikitpun. Idealnya
pendidikan ditanggung negara dan yang riil saja yang harus dibebankan pada
peserta didik.
Dalam hal
pembiayaan perlu sekiranya dipaparkan politik anggaran pendidikan sejak kita
masuk dalam jebakan Liberalisasi pendidikan tahun 2005 berdasarkan upaya hukum
yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi.[1]
a. Putusan
Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia
nomor 011/PUUIII/ 2005 tentang pengujian
Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam
putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon
dengan menyatakan penjelasan pasal 49 ayat (1) bertentangan dengan UUD. Dari
putusan tersebut maka kata “dapat dilakukan secara bertahap tidak lagi memiliki
kekuatan hukum” artinya anggaran harus dipenuhi secara langsung saat itu sesuai
amanah koonstitusi
b. Putusan
Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUUIII/ 2005 tentang
Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2004 tentang APBN
Tahun Anggaran 2005 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan
para pemohon tidak dapat diterima. Terdapat alasan yang menarik dari
konsideran Mahkamah konstitusi terhadap
hal tersebut. Menimbang
bahwa berdasarkan UU MK dalam hal perkara pengujian UU, apabila Mahkamah
berpendapat permohonan beralasan, maka amar putusannya menyatakan permohonan
dikabulkan. Dengan dasar uraian sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berpendapat
bahwa permohonan para Pemohon adalah beralasan, namun apabila Mahkamah
menyatakan permohonan dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945
akan berlaku ketentuan APBN tahun yang lalu. Hal tersebut tidak mungkin
diterapkan pada permohonan a quo, karena akan menimbulkan kekacauan (governmental
disaster) dalam administrasi keuangan negara, yang dapat mengakibatkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan akibatnya dapat akan
lebih buruk apabila ternyata anggaran pendidikan pada APBN sebelumnya lebih
kecil jumlahnya.
c. Putusan
Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 026/PUUIII/2005 pengujian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun
Anggaran 2006 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Pada intinya menyatakan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2006 sepanjang
menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% (sembilan koma satu persen) sebagai
batas tertinggi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. Putusan
Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 026/PUUIV/2006. Pengujian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2006 tentang APBN Tahun
Anggaran 2007 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam Putusan tersebut Mahkamah
Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya dan menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2007 (LN RI Tahun 2006, Nomor 94, TLN RI Nomor 4662) sepanjang menyangkut anggaran pendidikan
sebesar 11,8% (sebelas koma delapan persen) sebagai batas tertinggi,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
e. Putusan
Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUUV/2007 tentang Pengujian UU
Sisdiknas dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2006 Tentang APBN 2007 terhadap UUD
NRI Tahun 1945. Dalam
putusan ini, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU
Sisdiknas sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan”
bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
f. Putusan
Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia Nomor 13/PUUVI/2008 tentang Pengujian
Undang-Undang No. 16 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 45
Tahun 2007 Tentang APBN tahun anggaran 2008 terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam
putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan Menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Ketika bercermin dari pengalaman tersebut maka Negara
(pemerintah pusat dan pemerintah daearah) harusnya secara konsisten dan
komitmen untu mengalokasikan anggaran 20%. Menjadi pertanyaan besar selanjutnya
adalah, jika semisal anggaran tersebut terealisasi maka alokasi yang besar atas
suatu bidang akan memakan alokasi pada bidang lainnya. Agar alokasi tersebut
tepat guna dan sesuai sasaran yang ditargetkan maka perlu pengawalan atas
penggunaan tersebut. Disinilah peran kita sebagai manusia yang tersadarkan
secara pribadi maupun institusi untuk melakukan pengawalan tersebut.
Oleh M. Adib zain
Ketua Umum PMII Cabang Sleman
Tulisan ditujukan sebagai bahan diseminasi
wacana dan aksi
Hardiknas 2 Mei 2013.
[1] Disarikan dari Darmawan Wicaksono, 2008, Skripsi, Peranan Mahkamah
Konstitusi dalam Pengimplementasian Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Melalui Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara.
Skripsi, FH UGM Jogjakarta hlm 11. Dan juga data yang diolah penulis dalam berbagi tulisan
Lihat juga Putusan Mahkamahh Konstitusi Republik Indonesia nomor 011/PUUIII/ 2005 tentang pengujian Penjelasan
Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas terhadap UUD NRI Tahun 1945 hlm 102