Rabu, 20 Juni 2012

Ngaji Yuk

hikmah belajar Ilmu Shorof
 
Fi'il itu pada hakikatnya ada dua yaitu Fi'il madhi dan fi'il mudhori'
adapun yang lain adalah turunan dari fi'il mudhori'

fi'il madhi itu mabni hukumnya (tidak bisa berubah) sedangkan fi'il mudhori' itu mu'rob (berubah)
adakah rahasia di balik itu semua dalam mema'nai kehidupan kita???
sebagaimana kita ketahui bahwa dalam fi'il madhi mengandung zaman (waktu) madhi yang menunjukkan masa lampau sedangkan dalam fi'il mudhori' terkandung zaman yang menunjukkan hal (masa sekarang) dan istiqbal (masa yang akan datang).

lalu apa hubungan dengan hukum mabni dan mu'rob???

kita bisa mengambil i'tibar bahwa dalam hidup ini terikat dengan waktu. yaitu waktu lampau dan waktu akan datang. yang mempertemukan dua waktu itu adalah masa sekarang. waktu yang lampau sudah barang tentu tidak akan berubah apapun yang kita lakukan untuk mengupayakan hal itu dan dia ibaratnya fi'il madhi yang dihukumi mabni. lain halnya dengan masa sekarang dan masa akan datang, kita memiliki kesempatan untuk mengubahnya dengan suatu upaya. kita bisa memutuskan untuk membuat waktu kita bermanfaat atau tidak untuk sekarang dan merencanakan memanfaatkan waktu sebaik mungkin di masa mendatang, hal ini ibaratnya fi'il mudlori', jika kita memasukinya dengan amil nawasib atau amil jawazim maka ia akan berubah sesuai dengan amilnya.

hikmahnya adalah jangan pernah menyia-nyiakan waktu sahabat/i, mari sendiri ataupun bersama-sama untuk menjadikan waktu kita bermanfaat. bukankah sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi (ke) manusi (an). dan selalu ingat betapa berharganya waktu sehingga dalam adagium barat dikatakan bahwa waktu adalah uang atau i'tibar arob bahwa waktu itu ibarat pedang yang jika tidak kita gunakan dengan baik maka akan melukai kita sendiri.

Demi Masa
Sesungguhnya Manusia dalam kerugian. Kecuali Orang-orang yang beramal shaleh dan saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. (QS : Al-Ashr 1-3)

Independensi KPU


Independensi Komisi Pemilihan Umum

A.   Pendahuluan

Indonesia adalah Negara demokratis, hal ini tercermin dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2  yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.  Dalam Negara demokrasi dikenal adanya 3 konsepsi mendasar yaitu “ dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”. Yang pada dasarnya rakyatlah yang berdaulat, rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi, sehingga dalam segala kebijakan rakyat harus turut serta dalam menentukan dan dilibatkan dalam keseluruhan prosesnya. Robert Dahl dalam karya monumentalnya poliarchy (1971: 1-3) menuliskan delapan jaminan konstitusi sebagai syarat perlu untuk demokrasi yaitu pertama adanya kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi ke dua adanya kebebasan berekspresi ketiga adanya hak memebrikan suara keempat adanya eligibilitas dalam menduduki jabatan public kelima adanya hak pemimpin politik untuk berkompetisi sehat dalam memperebutkan suara keenam tersedianya sumber-sumber informasi alternative ketujuh adanya pemilu yang bebas dan adil dan kedelapan adanya adanya institusi-institusi yang menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara-suara (pemilih,rakyat) dan ekspresi pilihan (politik ) lainnya[1].
Dalam karakteristik yang disampaikan tersebut dapat disimpulkan unsure terpenting adalah adanya partai politik dan pemilihan umum. Partai politik penting bagi tolok ukur sebuah demokrasi di sebabkan peranannya dalam upaya memajukan demokrasi itu sendiri, ia sebagai sarana partisipasi yang terpenting bagi masyarakat karena keberadaanya bisa langsung bersinggungan dengan pemerintahan serta mampu mempengaruhi kebijakan yang diambil. Kedua adalah adanya pemilihan umum (pemilu). Pemilu dimaksudkan untuk memberikan pemenuhan hak bagi rakyat untuk dipilih dan memilih, pemilu dapat dimaknai sebagai siklus pergantian kekuasaan, yang dilakukan secara periodic yang ditentukan berdasarkan jadwal ketatanegaraan. Pemilu juga sebagai sebagai salah satu cara mendapatkan legitimasi dari rakyat, karena disanalah rakyat memilih dan mempercayakan suaranya kepada wakil baik di parlemen maupun dalam pemerintah untuk megurusi hak-haknya sebagai warga Negara.
Begitu pentingnya pemilu bagi suatu Negara yang demokratis maka dalam pelaksanaannya harus benar-benar dilakukan oleh suatu kelembagaan yang punya kapasitas memadai, tentunya juga bekerja secara professional dan kinerjanya dapat dipertanggung jawabkan. Untuk konteks Indonesia penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Merupakan lembaga yang lahir adanya amandemen UUD. Kelembagan Komisi Pemilihan Umum diamanatkan oleh konstitusi sebagai lembaga yang sifatnya nasional, tetap dan mandiri.  Sifat nasional dan tetap tidak banyak menimbulkan perdebatan baik secara teoritis maupun yuridis, tetapi pemaknaan kata mandiri berbeda untuk masing-masing kepentingan. Dalam historis yuridis kata mandiri memiliki pengaturan yang berbeda baik pada pemilu pertama setelah reformasi pada 2004 atau pemilu 2009.

B.   Pokok Permasalahan
1.      Bagaimana kedudukan KPU dalam struktur ketatanegaraan Indonesia?
2.      Bagaimanakah Indepensi Komisi Pemilihan Umum dalam pelaksanaan Pemilu?

C.   Pembahasan

A.    Kedudukan KPU dalam struktur ketatanegaraan Indonesia
Adanya reformasi yang menandai berakhirnya rezim orde baru yang otoriter menghendaki perombakan mendasar baik dalam system hokum maupun struktur ketatanegaraan yang ada pada masa itu. Ketidak percayaan pada rezim yang berkuasa tidak hanya ditumpahkan pada orang yang memegang tampuk kekuasaan, tetapi juga pada apa yang mendasari penyelewengan dalam mempergunakan kekuasaan. Tentu yang menjadi sasaran reformasi adalah system hokum dan struktur kelembagaan Negara pada saat itu. Amandemen UUD dari perubahan pertama tahun 1999 sampai  perubahan keempat mengalami perubahan mendasar yang sangat banyak pada muatan materi hukumnya. Perubahan mencapai 3 kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah dapat dikatakan merupakan Konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[2].
Perubahan yang paling mendasar adalah pada struktur kelembagaan Negara, jika sebelum amandemen UUD di kenal adanya lembaga tertinggi yang di pegang kewenangannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menjelma juga sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan juga lembaga tinggi Negara yang masing-masing terbatas pada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR untuk eksekutif dan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman. Maka setelah adanya amandemen UUD  Perubahan tersebut yang  sangat penting dan pengaruhnya cukup signifikan dalam perkembangan dan hubungan antar lembaga-lembaga negara di kemudian hari. Perubahan UUD 1945 juga memperbaharui kelembagaan negara, antara lain dihapuskannya posisi lembaga tertinggi menjadi setara, pembatasan kewenangan Presiden yang sebelumnya terlalu besar dan juga perubahan-perubahan tersebut telah melahirkan kewenangan baru bagi lembaga yang sudah ada, misalnya Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki kewenangan membentuk undang-undang, dan melahirkan lembaga-lembaga baru, misalnya dalam kekuasaan kehakiman dibentuk Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dan dalam legislative diadakan sebuah lembaga baru Dewan Perwakilan daerah.
Pada aspek kelembagaan, yang terpenting adalah mengenai hakikat kekuasaan yang diorganisasikan dalam struktur kenegaraan. Apa dan siapakah yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang disebut sebagai pemegang kedaulatan dalam Negara[3] UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Kedaulatan rakyat yang menjadi dasar pelaksanaan demokrasi, oleh UUD 1945 telah diatur cara pelaksanaannya dengan 2 (dua) cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung diejawantahkan dengan pelaksanaan pemilihan umum, sedangkan demokrasi tidak langsung adalah pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga-lembaga negara yang implementasinya harus mendasarkan pada ketentuan UUD 1945.
Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui 2 (dua) pilihan cara, yaitu melalui system pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power).[4] Pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisahpisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembagalembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances)[5]. Dalam pemerintahan yang bersistem pemisahan kekuasaan, harus terdapat mekanisme checks and balances dari sesama lembaga negara. Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi Negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa dalam membicarakan organisasi negara, ada 2 (dua) unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan fungsi. Dalam UUD 1945, organ-organ yang dimaksud atau lembaga-lembaga negara ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit fungsinya. Ada pula lembaga yang baik nama dan fungsi atau kewenangannya di dalam UUD 1945. Akan tetapi di dalam UUD 1945 terdapat 34 organ yang disebutkan keberadaannya di dalam UUD 1945, yaitu:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (2) Presiden; (3) Wakil Presiden; (4) Menteri dan Kementerian Negara; (5) Dewan Pertimbangan Presiden; (6) Duta; (7) Dewan Perwakilan Rakyat; (8) Dewan Perwakilan Daerah; (9) Mahkamah Agung; (10) Mahkamah Konstitusi; (11) Badan Pemeriksa Keuangan; (12) Komisi Pemilihan Umum; (13) Komisi Yudisial; (14) Badan-Badan lain yang fungsinya terkait dengan Kehakiman seperti Kejaksaan; (15) Bank Sentral; (16) Tentara Nasional Indonesia; (17) Kepolisian Negara Republik Indonesia; (18) Menteri Luar Negeri; (19) Menteri Dalam Negeri; (20) Menteri Pertahanan; (21) Konsul; (22) Pemerintahan Daerah Provinsi; (23) Gubernur; (24) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi; (25) Pemerintahan Daerah Kabupaten; (26) Bupati; (27) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten; (28) Pemerintahan Daerah Kota; (29) Walikota; (30) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota; (31) Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa; (32) Angkatan Darat (TNI AD); (33) Angkatan Laut (TNI AL); (34) Angkatan Udara (TNI AU).[6]
Jimly Asshiddiqie memperluas pengertian lembaga-lembaga negara, yaitu lembaga-lembaga yang pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan pada undang-undang tetapi memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.30 Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ada yang bersifat primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).[7]
 Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 Perubahan Ketiga menyatakan bahwa: ”pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Pembuat undang-undang menetapkan bahwa lembaga yang menyelenggarakan pemilu diberi nama ”Komisi Pemilihan Umum” atau KPU, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Artinya, KPU termasuk salah satu lembaga-lembaga yang memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945[8]. Kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada lembaga KPU bersifat kewenangan atributif, yaitu kewenangan yang diberikan langsung kepada suatu lembaga. Dalam perspektif hokum administrasi negara, kewenangan atributif adalah kewenangan yang diberikan kepada suatu lembaga untuk melaksanakan sesuatu hal yang diatur di dalam peraturan, dan dimungkinkan melahirkan diskresi. Diskresi yang dimiliki oleh KPU diatur secara jelas di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yaitu kewenangan electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation, adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilu yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process, dimaksudkan bahwa seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilu yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilu baik administratif, maupun pidana.
Dalam pelaksanaan tugasnya, kelembagaan KPU diberikan sifat nasional, tetap, dan mandiri. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundangundangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya; KPU memberikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.

B.     Indepensi Komisi Pemilihan Umum dalam pelaksanaan Pemilu
Jimly asshidiqie dalam bukunya Pengantar Hukum Tata Negara ( :175) menyebutkan fungsi dari adanya pemilihan umum ada 4 yaitu
1.      Untuk memungkinkan adanya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai
2.      Terjadinya pergantian pejabat yang mewakili kepentingan rakyat dalam lembaga perwakilan
3.      Melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat
4.      Melaksanakan prinsip hak –hak asasi warga Negara
Lebih jauh ia memberikan rasionalisasi dengan 4 fungsi tersebut[9], bahwa kemampuan seseorang bersifat terbatas, di samping itu jabatan berisi amanah beban tanggung jawab yang harus dilaksanakn, bukan hak yang harus dinikmati. Oleh karena itu seseorang tidak boleh duduk dalam suatu jabatan tanpa ada kepastian batasnya untuk dilakukan pergantian. Tanpa siklus kekuasaan yang dinamis, kekuasaan itu dapat mengeras menjadi sumber malapetaka. Sebab, dalam setiap jabatan, dalam dirinya selalu ada kekuasaan yang cenderung berkembang menjadi sumber kesewenang-wenangan bagi siapa saja yang memagangnya. Untuk itu pergantian pemimpin harus dipandang sebagai suatu yang niscaya untuk memelihara amanah yang terdapat dalam kekuasaan itu sendiri.
Melihat pentingnya fungsi pemilu sebagaimana disebutkan di atas. Maka dalam mensukseskan pelaksanaannya diperlukan suatu mekanisme baik secara tahapan-tahapan proses yang benar maupun pelaksana yang dapat dipertanggung jawabkan. Kesuksesan proses dalam pemilu diukur sesuai pasal 22 E yang berbunyi Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari bagaimana pelaksananya melakukan kinerja. Dalam hal ini pelaksana pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum yang dalam pasal 22 E ayat 5 yang yang dinyatakan sebagai bersifat nasional, tetap dan mandiri. Bersifat nasional artinya bahwa wilayah kerja KPU adalah seluruh Negara kesatuan Republik Indonesia dan tetap dimaksudkan bahwa pembentukannya hendak di permanenkan. Sedangkan makna mandiri masih ada perdebatan mandiri seperti apakah yang dimaksudkan, apakah di analogikan dengan kekuasaan kehakiman atau ada criteria lainnya.
A.    Kemandirian KPU dalam historis ketatanegaraan Indonesia
Untuk mengetahui penyelenggara pemilu dalam historis ketatanegaraan maka rujukan satu-satunya adalah dengan merujuk pada pengaturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. Konteks Indonesia penyelenggara pemilu pertama adalah Badan penyelenggara pemilu Untuk menyelenggarakan Pemilu dibentuk Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23 April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu:
a. Panitia Pemilihan Indonesia (PPI): mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5 (lima) orang dan sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, dengan masa kerja 4 (empat) ta­hun.
b. Panitia Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu persia­pan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. Susunan keanggotaan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang anggota, dengan masa kerja 4 (empat) tahun.
c. Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) dibentuk pada tiap kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri yang bertugas membantu panitia pemilihan mempersiapkan dan menyeleng­garakan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR.
d. Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri dengan tugas mensahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan ang­gota Konstituante dan anggota DPR serta menyelenggarakan pemungutan suara. Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan Camat karena jaba­tannya menjadi ketua PPS merangkap anggota. Wakil ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas nama Menteri Dalam Negeri.[10]
Setelah adanya Badan penyelenggaraan Pemilu maka di bentuklah Lembaga Pemilihan Umum. Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan.
Struktur organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (ad­hoc)[11]
Dari lembaga Penyelenggar pemilu tersebut bertahan sejak 1970 sampai pada tahun 1999 pada era reformasi. Dari pelaksana pemilu tersebut berada di bawah eksekutif, baik itu menteri kehakiman maupun mentri dalam negeri. Pada pemilu 1999 dengan rezim UU no 3 tahun 1999 penyelenggara pemilu dilakukan oleh KPU dan secara kelembagaan dinyatakan mandiri sebagaiaman pasal 8 ayat 2 menyatakan Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden. Namun kata mandiri di situ hanya sebatas klaim yang tidak sesuai dengan keberadaan sesungguhnya, ia hanya di pisah kelembagaanya dari mentri dalam negeri tetapi tetap pertnggung jawaban kepada presiden. Selain itu KPU secara keanggotaan juga berasal dari pemerintah dan partai politik.
Berbeda dengan pengaturan sebelumnya pada pemilu 2004 yaitu dengan rezim UU no 12 tahun 2003 KPU di nyatakan mandiri Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, sebagaiamana bunyi pasal 1 ayat 3 UU no 12 tahun 2003 yaitu Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, untuk menyelenggarakan Pemilu. Juga keanggotaannya terbebas dari Unsur perwakilan pemerintah maupun partai. Sebagaimana dibuktikan pasal 18 I tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik dan pada 18 k yang berbunyi tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri; hal ini juga berlaku pada pemilu 2009 dengan UU no 22 tahun 2007 dengan memperberat pencalonan untuk menjadi anggota pemilu yaitu tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan  dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan;

B.     Kemandirian KPU

A.    Kemandirian Lembaga
Parameter mandiri tidaknya KPU dapat dilihat dari beberapa hal:  a. Ketergantungan lembaga KPU dengan lembaga lain atau tidak, saling mempengaruhi dalam melaksanakan tugasnya, dapat dilihat dari: (1) kemandirian organisasi;(2) kemandirian kepemimpinan; dan (3) kemandirian dalam anggaran;
b. Hubungan lembaga KPU dengan lembaga Negara lainnya.

(1)   Kemandirian Organisasi
Struktur organisasi penyelenggara pemilihan umum terdiri atas KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, sebagai unit pelaksana teknis pemilihan umum. Kewenangan-kewenangan ini mengejawantahkan bahwa sudah seharusnya lembaga KPU. Keleluasaannya tersebut dalam implementasinya oleh anggota KPU harus dipahami bahwa keleluasaan itu hanya sebatas normatif, artinya bahwa keleluasaan dan kewenangan KPU dalam penyelenggaraan pemilu dilekati dengan kewajiban-kewajiban yang harus pertanggungjawabkan secara normatif, dan dibatasi oleh ketentuan normatif juga.
Dalam pemilihan umum, KPU merupakan penyelenggara tertinggi, dan bertanggungjawab melaksanakan fungsi electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement, sebagai konsekuensi struktural. Sedangkan KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS hanya melaksanakan fungsi electoral process.

(2)   Kemandirian Kepemimpinan
KPU dapat menentukan sendiri pemilihan Ketua dan anggota KPU tanpa campur tangan dari Pemerintah. Selain itu, KPU dapat membentuk unsur pelaksana teknis pemilu tanpa tergantung dengan pihak lain. KPU sebagai leader dalam penyelenggaraan pemilu, sehingga KPU harus dapat melakukan supervisi, koordinasi dan kerjasama serta mengawasi tiap-tiap unit teknisnya (sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang). Konsekuensi dari kedudukan struktural tersebut, maka KPU melaksanakan dan bertanggungjawab terhadap seluruh fungsi dalam proses pemilu, yaitu pembuatan peraturan pemilihan (electoral regulation), proses pemilihan atau tahap-tahap pemilihan (electoral process), dan penegakan hukum pemilihan (electoral law enforcement). Dalam fungsi electoral regulation, KPU berwenang membuat peraturan dan keputusan mengenai pelaksanaan pemilu yang kekuatan hukumnya mengikat dan sejalan dengan ketentuan perundang-undangan yang lain. Dalam fungsi electoral process, KPU berkewajiban menangani persoalanpersoalan teknis, administratif, dan logistik sehingga penyelenggaraan pemilu berjalan lancar. Dalam fungsi electoral law enforcement, KPU berwenang melakukan tindakan-tindakan hukum yang berfungsi memaksimalkan pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu.

(3)   Kemandirian Dalam Anggaran
Penggunaan anggaran yang diterima KPU dari APBN diperiksa secara periodik oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat. Terkait dengan penggunaan anggaran, KPU diberikan kewajiban untuk melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B.     Kemandirian Proses Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Pemilihan Umum diselenggarakan oleh KPU. KPU dalam menjalankan tugasnya, bersifat mandiri. Prinsip yang dijalankan KPU di dalam penyelenggaraan pemilu bersifat self-rule. Konsekuensi dari prinsip self-rule adalah bahwa KPU dibentuk dan bertanggung jawab terhadap publik atau bersifat mandiri. Konsekuensi kedudukan KPU melaksanakan dan bertanggungjawab terhadap seluruh fungsi dalam proses pemilu, meliputi:
a.    Electoral Regulation
Kewenangan yang dilimpahkan oleh undang-undang merupakan atribusi, yaitu kewenangan yang langsung diberikan oleh undang-undang kepada KPU untuk menetapkan berbagai peraturan-peraturan teknis yang mengatur pelaksanaan pemilu. Di dalam ranah Hukum Administrasi Negara, atribusi merupakan tingkatan yang paling tinggi pendistribusian kewenangan kepada suatu lembaga. Konsekuensi yuridis atribusi kewenangan adalah bahwa lembaga yang menerima atribusi kewenangan tersebut dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya kepada penerima wewenang. Pelekatan tanggung jawab dalam pemberian kewenangan ini, merupakan salah satu prinsip di dalam negara hukum yaitu: “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban” (there is no authority without responsibility). Peraturan KPU yang secara teknis merupakan penjabaran dari Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
Produk hukum yang dapat dikeluarkan oleh KPU ada 2 (dua) bentuk yaitu:
1) Peraturan KPU; diterbitkan sebagai pelaksanaan atribusi kewenangan dari undang-undang dalam rangka penyelenggaraan pemilu dan untuk kepentingan pengaturan pelaksanaan tahap-tahap pemilu;
2) Keputusan KPU; diterbitkan karena adanya kebutuhan khusus yang sifatnya menunjang kegiatan opreasional. Sebagian lagi dikeluarkan untuk kepentingan penetapan (beschiking) atas suatu produk yang akan dikeluarkan KPU. Pembedaan 2 (dua) produk hukum itu didasarkan pada materi dan ruang lingkupnya. Untuk materi yang bersifat mengatur dituangkan dalam bentuk peraturan. Sedangkan produk hukum yang materinya bersifat penetapan/individual dituangkan dalam bentuk keputusan.

b.   Electoral Process
Di dalam pelaksanaan pemilu KPU sangat berperan dan bahkan pada tahap pelaksanaan merupakan tanggung jawab KPU untuk menyelenggarakan dengan baik. Pada tahap pelaksanaan ini ada kemungkinan intervensi masuk, mengingat terdapat stakeholder yang juga terlibat di dalam proses pemilu, misalnya keterlibatan partai politik dalam menyusun DPT. Kemandirian KPU dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: situasi politik lokal maupun nasional, regulasi pemerintah yang kadang-kadang tidak jelas, personal sekretariat yang merupakan aparat pemerintah daerah. Akan tetapi masih juga diperlukan peraturan lain untuk menjamin kemandirian KPU dalam penyelenggaraan pemilu terutama dalam hal regulasi yang mengatur tentang teknis pendaftaran calon pemilih, karena belajar dari pengalaman bahwa peraturan yang sudah ada masih belum bisa mengatur secara spesifi k. Kemandirian yang ideal lembaga KPU adalah apabila semua rangkaian tahapan-tahapan pemilu bisa dilaksanakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, dan juga dilihat dari keberhasilan KPU dalam menyelenggarakan pemilu bisa berjalan lancar tanpa ada problem yang signifi kan.

c.    Electoral Law Enforcement
Penegakan hukum terkait dengan penyelesaian pelanggaran pemilu juga menjadi tanggung jawab KPU. Dalam pemilu dikenal 2 (dua) jenis pelanggaran yaitu: (1) pelanggaran pidana, dan (2) pelanggaran administratif. Kompetensi KPU hanya dalam menyelesaikan pelanggaran administratif saja, sedangkan pelanggaran pidana menjadi kewenangan Penyidik Kepolisian R.I.
Adapun sengketa hasil pemilu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian yang dilakukan oleh KPU lebih pada penyelesaian non-litigasi atau dengan mediasi, dan sanksi yang dikeluarkan oleh KPU bersifat administratif.

C.     Kemandirian Anggota KPU
Parameter mandiri anggota KPU dilihat dari kemampuan dan ketahanan anggota KPU dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Profesional dan menjaga netralitas serta menolak segala bentuk intervensi, namun terbuka atas masukan-masukan dari masyarakat. Kemandirian anggota KPU didukung pula dengan masuknya para anggota KPU tidak sebagai duta atau wakil partai politik atau organisasi lainnya, melainkan mewakili diri sendiri atau atas nama pribadi yang tidak diperbolehkan berafi liasi dengan salah satu partai politik atau organisasi lainnya, untuk menjaga netralitas para anggota KPU, dan memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Persyaratan tersebut di atas, di samping mensyaratkan kualifi kasi anggota KPU dari segi intelektualitas, moralitas, dan integritas, juga mensyaratkan tidak adanya afiliasi (netralitas) anggota KPU dengan lembaga-lembaga publik maupun lembaga


D.   Penutup
1.      Kesimpulan
a.       Kedudukan KPU dalam struktur ketatanegaraan setelah adanya amandemen UUD merupakan lembaga Negara yang mandiri, terpisah dari eksekutif
b.      Kemandirian KPU secara historis mulai pada pemilu 1999 dan dengan adanya amandemen yang mengamanatkan kemandirian yang diimplementasikan pada pemilu 2004 dan 2009. Letak kemandiriannya adalah pada 1.kelembagaan yang meliputi organisai, kepemimpinan dan anggaran.  2. Pada pelaksanaan pemilu dan 3. pada anggotanya
2.      Saran
Ada beberapa saran dalam membenahi KPU saat ini dalam melakukan tugasnya terutama dalam mensukseskan pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia Jujur dan adil. harus ada pengawasan KPU yang lebih optimal terutama soal independensinya sehingga kecurangan pemilu baik secara administrative maupun proses pemilunya dapat diminimalisir. Selain itu harus ada elaborasi dengan kelembagaan lain yang terkait dengan proses pemilihan umum semisal Banwaslu dan Mahkamah Konstitusi
E.    Daftar Pustaka
Buku
Asshidiqiu Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi serpihan pemikiran, media dan HAM : KONpress  Jakarta
………..………..Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2004,
………..……….. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006
Makalah, Modul jurnal
Asshidiqie Jimly Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945 makalah di sampaikan pada symposium Nasional yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003
modul KPU dengan Judul Pemilu di Indonesia
mujiyana Makna Kemandirian Komisi Pemilihan Umum Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dalam jurnal Konstitusi UMY Vol 2 no 1
Modul KPU, Pemilu Di Indonesia
Peraturan Perundang-Undangan
UUD NRI 1945
UU no 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
UU no 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
UU no 20 tahun 2007 tentang Pemilihan Umum
Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23 April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953


[1] Jimly asshidiqiu, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi serpihan pemikiran, media dan HAM : KONpress  Jakarta Hlm VII
[2] Jimly Asshidiqiu,   Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945 makalah di sampaikan pada symposium Nasional yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003
[3] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 9.
[4] Ibid hlm 35
[5] Ibid hlm 11
[6] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 99-104.
[7] Ibid hlm.105
[8] Makna Kemandirian Komisi Pemilihan Umum Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum, mujiyana dalam jurnal Konstitusi UMY Vol 2 no 1. Hlm 108
[9] Ibid
[10] http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf modul KPU dengan Judul Pemilu di Indonesia hlm 8

[11] Ibid hlm 8

pengujian TAP MPR PKI

PERMOHONAN PENGUJIAN
LARANGAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNISME/MARXISME-LENINISME
DALAM
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966
(DISETARAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG)
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945


OLEH:
1.    Prof. Dr. YUDI LENIN MARSIANTO, M.Phil.
2.    Dr. (HC) SAMA’OEN MUNIKARTO HADIKUSUMO
3.    Dr. ROBERT HUTAGAOL, S.H., M.Hum.
4.    LAFALD INITIATIVE
5.    ALIANSI MASYARAKAT PEDULI HUKUM (AMPUH)
6.    PUSAT STUDI KONSTITUSI DAN TATA NEGARA (PUSKANTARA) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DEMOKRASI

Jakarta, 23 September 2011
Kepada Yth.
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6
Jakarta Pusat 10110.

Hal      : Permohonan Pengujian Larangan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 (Disetarakan dengan Undang-Undang) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lamp. : 1 (satu) berkas.

Dengan hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1.   Syarif Fatahillah Harahap, S.H., M.Hum.
2.   Wahyudi, S.H., M.Hum
3.   Cipuk Wulan Adhasari, S.H.
4.   Akhyaroni Fuadah, S.H.
5.   Ametta Diksa Wiraputra, S.H.
Masing-masing adalah Advokat yang berdomisili di Jalan Daan Mogot No. 50F Jakarta Barat 11520, berdasarkan Surat Kuasa Khusus masing-masing tertanggal 20 September 2011 (asli terlampir), karenanya bertindak untuk dan atas nama:
1.   Prof. Dr. Yudi Lenin Marsianto, M.Phil., WNI, berkedudukan di Jalan Kyai Tapa Nomor 24 Grogol, Jakarta 11440, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON I.
2.   Dr. (HC) Sama’oen Munikarto Hadikusumo, WNI, berkedudukan di Jalan Srengseng Sawah Nomor 55 Jagakarsa Jakarta Selatan 12640, selanjutnya disebut PEMOHON II.
3.   Dr. Robert Hutagaol, S.H., M.Hum., WNI yang berkedudukan di Jalan Surga Gang Neraka Nomor 14A, Cilincing Jakarta Utara, selanjutnya disebut PEMOHON III.
4.   Lembaga Swadaya Masyarakat “Lafadl Initiative”, dalam hal ini diwakili oleh Haliman Efriansyah, S.I.P., WNI, sebagai Ketua Umum, berkedudukan di Jalan Raya Kalimalang Blok S Nomor 17C Jakarta 13440, selanjutnya disebut PEMOHON IV.
5.   Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH), dalam hal ini diwakili oleh Lailita Khoirunnisa, S.H., WNI, sebagai Sekretaris Umum, berkedudukan di Jalan Sultan Iskandar Muda 67K, Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan 12240, selanjutnya disebut PEMOHON V.
6.   Pusat Studi Konstitusi dan Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Demokrasi (PUSKANTARA), dalam hal ini diwakili oleh Fajar Faishal, S.H., M.Hum., WNI, sebagai Direktur, berkedudukan di Jalan Kyai Tapa Nomor 73 Grogol, Jakarta 11440, selanjutnya disebut PEMOHON VI.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasa hukumnya tersebut di atas, yang selanjutnya disebut sebagai PARA PEMOHON, dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (disetarakan dengan Undang-Undang) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya disebut Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.


PERSYARATAN FORMIL PERMOHONAN PENGUJIAN
LARANGAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNISME/MARXISME-LENINISME
DALAM
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966
(DISETARAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG)
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

A.        PENDAHULUAN
1.         Bahwa salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
a.   Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
b.   Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
2.         Bahwa pada tanggal 13 Agustus 2003 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (bersama Pemerintah) telah menyetujui Rancangan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dan kemudian pada tanggal 20 Juli 2011 telah menyetujui Rancangan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi untuk disahkan menjadi UU.
3.         Bahwa pada tanggal 5 Juli 1966 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia telah mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
4.         Bahwa pada tanggal 12 Agustus 2011 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (bersama Pemerintah) telah menyetujui Rancangan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk disahkan menjadi UU.

B.        KEDUDUKAN DAN KEPENTINGAN HUKUM PARA PEMOHON
1.         Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip Negara Hukum. Jimly Asshiddiqie dalam tulisannya “Judicial Review”, menjelaskan hakikat pengujian UU sebagai berikut: “... judicial review merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Pemberian kewenangan untuk pengujian tersebut kepada hakim merupakan proses check and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (yang dapat dipercaya dapat lebih menjamin perwujudan gagasan demokrasi dan cita-cita negara hukum-rechstaat maupun rule of law).”
2.         Melihat pernyataan tersebut maka tidak berlebihan apabila dikatakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi sebagai “guardian” dari “constitutional rights” setiap warga negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional warga negara. Dengan kesadaran inilah PARA PEMOHON kemudian memutuskan untuk mengajukan permohonan pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang dalam pemahaman PARA PEMOHON dapat disetarakan dengan UU berdasarkan alasan-alasan hukum yang diuraikan dalam permohonan ini, bertentangan dengan semangat dan jiwa serta pasal-pasal yang dimuat dalam UUD NRI Tahun 1945.
3.         Bahwa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU, yaitu:
a.   Perseorangan Warga Negara Indonesia.
b.   Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan Undang-Undang.
c.   Badan Hukum Publik atau Privat.
d.   Lembaga Negara.
4.         Sementara itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 telah memberikan penjelasan mengenai hak konstitusional dan kerugian konstitusional sebagai berikut:
a.   Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945;
b.   Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c.   Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.   Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e.   Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
B.1.    PEMOHON PERSEORANGAN
1.         Bahwa PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III merupakan pemohon-pemohon individu Warga Negara Republik Indonesia yang merupakan pihak yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi dirugikan hak-hak konstitusinya atau terkena dampak dan/atau dirugikan keberadaannya secara langsung akibat adanya pasal-pasal dalam Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966;
2.         Bahwa PEMOHON I, Prof. Dr. Yudi Lenin Marsianto, M.Phil., merupakan Warga Negara Republik Indonesia, berprofesi sebagai Rektor Universitas Kemerdekaan 45 Jakarta, Mantan Rektor Universitas Kebangasaan Yogyakarta, Mantan Staf Ahli Kementrian Negara Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas (2000-2001), dan Anggota Majelis Kehormatan PERADI (Persatuan Advokat Indonesia). PEMOHON I aktif dalam berbagai forum, baik nasional maupun internasional di bidang perlindungan HAM dan perdamaian;
3.         Bahwa PEMOHON II, Dr. (HC) Sama’oen Munikarto Hadikusumo merupakan Warga Negara Republik Indonesia, berprofesi sebagai penulis di bidang sastra, khususnya novel dan buku-buku sejarah. PEMOHON II mendapatkan gelar kehormatan dari Universitas Lomonosov, Moscow pada tahun 1970, penghargaan itu diberikan atas karangan-karangannya di bidang sejarah masa lampau mengenai keyakinan dan perlindungan HAM. Semasa hidupnya PEMOHON II pernah ditangkap dan dipenjarakan di Pulau Buru pada tahun 1967 sampai dengan tahun 1989 karena keanggotaannya dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang diindikasikan oleh Pemerintah sebagai organisasi yang bernaung di bawah Partai Komunis. PEMOHON II juga merupakan penggiat perlindungan dan penegakan HAM, sosial, keagamaan, keyakinan, serta kebudayaan yang sepanjang hidupnya telah memperjuangkan hak-hak asasi manusia, mengembangkan toleransi, dan mengampanyekan kebebasan beragama dan berkeyakinan;
4.         Bahwa PEMOHON III, Dr. Robert Hutagaol, S.H., M.Hum., merupakan seorang Warga Negara Indonesia, berprofesi sebagai seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Tobaraya, khususnya di bidang hukum tata negara. Selain itu, aktif dalam melakukan berbagai kegiatan terkait dengan hukum yang khususnya hukum tata negara dalam bentuk:
a.   Melakukan pengkajian dan penelitian di bidang hukum tata negara;
b.   Melakukan pendidikan, diseminasi, dan publikasi tentang hukum;
c.   Terlibat dalam berbagai advokasi mendorong penegakan hak asasi manusia;
d.   Membangun jaringan nasional dan internasional terkait dengan hukum dan penegakannya.
5.         Dalam kegiatannya itu, PEMOHON III aktif dalam menyoroti peraturan perundang-undangan yang diindikasikan melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
6.         Bahwa dengan demikian, dengan diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang khususnya Pasal 10 dalam hal pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tidak memberi kejelasan tentang pengujian Tap MPR. Terlebih dengan diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf b yang meletakkan Tap MPR di bawah UUD dan di atas UU, semakin berpotensial melanggar hak konstitusional PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III baik secara langsung maupun tidak langsung merugikan berbagai macam usaha dari PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III yang telah dilakukan secara terus-menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan untuk perlindungan pemajuan dan pemenuhan HAM yang dilarang dalam Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Untuk itu PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III mengajukan pengujian Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.
B.2.    PEMOHON BADAN HUKUM
1.         Selanjutnya, bahwa PEMOHON IV dan PEMOHON V sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi merupakan badan hukum privat yang memiliki legal standing dan menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan ini dengan menggunakan prosedur organization standing sebagai kedudukan hukumnya;
2.         Bahwa PEMOHON IV dan PEMOHON V memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon pengujian UU karena terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) berlakunya Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sehingga menyebabkan hak konstitusionalnya dirugikan;
3.         Bahwa doktrin organization standing merupakan sebuah prosedur beracara yang tidak hanya dikenal dalam doktrin tetapi juga telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 23 Tahun 1997;
4.         Bahwa pada praktik peradilan di Indonesia, organization standing telah diterima dan diakui menjadi mekanisme dalam upaya pencarian keadilan yang mana dibuktikan, antara lain:
a.   Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 060/PUU-II/2004 tentang Pengajuan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap UUD NRI Tahun 1945;
b.   Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 tentang pengujian UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU terhadap UUD NRI Tahun 1945;
c.   Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap UUD NRI Tahun 1945.
5.         Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum adalah organisasi yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu:
a.   Berbentuk badan hukum atau yayasan;
b.   Dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut; dan
c.   Telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasarnya.
6.         Bahwa PEMOHON IV dan PEMOHON V adalah organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian terhadap penegakan hukum dan memberikan perlindungan serta penegakan HAM di Indonesia.
7.         Bahwa tugas dan peranan PEMOHON IV dan PEMOHON V dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan penyadaran hukum serta pemantauan terhadap penegakan dan perlindungan hukum, pembelaan HAM serta pemajuan di bidang sosial, keagamaan, kemasyarakatan dan pendidikan, dalam hal ini mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam memperjuangkan pelaksanaan dan penegakan hukum yang adil serta sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, ras, agama, dan lain-lain. Hal ini tercermin di dalam Anggaran Dasar dan/atau Akta Pendirian dari PEMOHON IV dan PEMOHON V.
8.         Bahwa dasar dan kepentingan hukum PEMOHON IV dan PEMOHON V dalam mengajukan permohonan pengujian Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dapat dibuktikan dengan AD/ART lembaga tersebut. Dalam AD/ART tersebut menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi, serta telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.
9.         Dalam Pasal 6 Anggaran Dasar dari PEMOHON IV, Lafadl Initiative, disebutkan maksud dan tujuan perhimpunan ini untuk:
a.   Melayani kebutuhan bantuan hukum bagi Warga Negara Indonesia yang hak asasinya dilanggar;
b.   Mewujudkan negara dengan sistem pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita Negara Hukum;
c.   Mewujudkan sistem politik yang demokratis dan berkeadilan sosial;
d.   Mewujudkan sistem hukum yang memberikan perlindungan luas atas hak-hak asasi manusia;
10.      Dalam Pasal 5 Anggaran Dasar dari PEMOHON V, Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH) mempunyai maksud dan tujuan adalah untuk memajukan pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai negara hukum, penegakan hukum dan pembaruan hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia serta memajukan dan mengembangkan program-program yang mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan gender dengan fokus tetapnya pada bidang hukum.
11.      Bahwa untuk mencapai maksud dan tujuannya PEMOHON IV dan PEMOHON V telah melakukan berbagai kegiatan yang dilakukan secara terus menerus yang telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten). Adapun bentuk kegiatan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
a.   Melakukan penelitian dan menerbitkan laporan terkait perkembangan dan kemajuan tata hukum di Indonesia;
b.   Melakukan pengkajian dan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan (policy) dan/atau hukum (laws and regulations), penerapannya, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya;
c.   Melakukan advokasi serta kajian-kajian dalam rangka pemenuhan hak-hak, kebebasan serta keadilan bagi masyarakat.
12.      PEMOHON VI adalah pemohon badan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf c UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, PEMOHON VI merupakan pusat studi yang fokus menyoroti perkembangan konstitusi dan perkembangan ketatanegaraan yang berkembang di Indonesia.
13.      Bahwa dengan demikian, dengan diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang khususnya Pasal 10 dalam hal pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tidak memberi kejelasan tentang pengujian Tap MPR. Terlebih dengan diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf b yang meletakkan Tap MPR di bawah UUD dan di atas UU, semakin berpotensial melanggar hak konstitusional PEMOHON IV, PEMOHON V, PEMOHON VI baik secara langsung maupun tidak langsung merugikan berbagai macam usaha dari PEMOHON IV, PEMOHON V, PEMOHON VI yang telah dilakukan secara terus-menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan untuk perlindungan pemajuan dan pemenuhan HAM yang dilarang dalam Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Untuk itu PEMOHON IV, PEMOHON V, PEMOHON VI mengajukan pengujian Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.

C.        PERNYATAAN PEMBUKA
1.         Bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaats), bukan negara kekuasaan (machstaats). Makna ini tersurat dengan jelas dalam Penjelasan UUD 1945. Penjelasan ini merupakan bagian integral dari hukum dasar tertinggi yang berlaku di negara ini. Sekarang bagian Penjelasan UUD 1945 sudah tidak lagi ada namun materi muatannya telah dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945. Secara eksplisit tampak pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Penegasan ini berarti bahwa hukum adalah sarana pengendali dan pengontrol kehidupan berbangsa dan bernegara, sarana pengawas penyalahgunaan kekuasaan, dan sarana pemenuhan hak asasi semua warga negara. Dengan kata lain, hukum tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sebagai sarana pembenaran dari penyalahgunaan kekuasaan.
2.         Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada hasil amandemen UUD 1945 yang sudah berlangsung selama 4 (empat) kali, bahwa fungsi saling kontrol saling imbang (check and balances) terjadi di setiap cabang kekuasaan negara, baik itu eksekutif (Presiden), legislatif (DPR dan DPD), maupun yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi).
3.         Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan pengawasannya bertindak sebagai benteng terakhir untuk mempertahankan tegaknya hukum dan keadilan. Disinilah Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar tertinggi (the supreme law of the land).
4.         Bahwa salah satu produk peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan berpotensi melanggar hak konstitusional adalah Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Secara lebih rinci PARA PEMOHON akan menguraikan pasal yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dalam uraian tersendiri yang lebih spesifik.
5.         Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menengakan keadilan substantif karena hakim konstitusi tidak boleh hanya menjadi corong UU. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

D.        FAKTA HUKUM DAN ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
1.         Bahwa bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah menempatkan MPR tidak lagi dalam posisi sebagai lembaga tertinggi negara. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya sehingga bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan UUD telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama dalam hal kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
2.         Bahwa dengan perubahan struktur ketatanegaraan yang menjadikan MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara maka kewenangan yang diatur di dalam UUD juga mengalami perubahan. Sebelum amandemen UUD, kewenangan MPR meliputi:
a.   Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara.
b.   Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.
Sedangkan, setelah amandemen kewenangan MPR adalah:
a.   Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b.   Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c.   Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
d.   Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e.   Memilih Wakil Presiden jika terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden;
f.    Memilih Presiden dan Wakil Presiden jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
3.         Bahwa dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana diatur UUD 1945 sebelum amandemen, MPR dapat mengeluarkan Tap MPR/MPRS, sedangkan setelah kewenangan MPR tersebut dihapuskan, maka MPR tidak mempunyai kewenangan lagi untuk membuat produk hukum berupa Tap.
4.         Bahwa dasar pengaturan Tap MPR sebagai hierarki peraturan perundang-perundangan pertama kali diatur dalam Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Republik Indonesia yang Mengatur Tata Urutan, sebagai berikut:
1)  Undang-Undang Dasar;
2)  Ketetapan MPR;
3)  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4)  Peraturan Pemerintah;
5)  Keputusan Presiden;
6)  Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
-      Peraturan Menteri;
-      Instruksi Menteri;
-      dan lain-lainnya.
5.         Bahwa pengaturan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah pada Tap MPR No. III/MPR/2000 dengan urutan sebagai berikut:
1)  Undang-Undang Dasar;
2)  Ketetapan MPR;
3)  Undang-Undang;
4)  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5)  Peraturan Pemerintah;
6)  Keputusan Presiden;
7)  Peraturan Daerah.
6.         Bahwa dalam Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen mengamanatkan kepada MPR untuk meninjau status dari Tap MPR/MPRS untuk kemudian diambil keputusan pada sidang MPR tahun 2003. Menindaklanjuti Aturan Tambahan tersebut pada tahun 2003 diterbitkan Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai Tahun 2002, yang memberikan batasan ketentuan terahadap Tap MPR RI sebagai berikut:
1)  Kategori I   :  Tap MPR/MPRS yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan);
2)  Kategori II  :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan);
3)  Kategori III :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan);
4)  Kategori IV :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan);
5)  Kategori V  :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru oleh MPR hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan); dan
6)  Kategori VI :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan).
7.         Bahwa pada UU Nomor 10 Tahun 2004, Tap MPR tidak lagi masuk dalam hierarki peraturan peundang-undangan, sedangkan urutan hierarki peraturan perundangan-undangan menurut UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1)  Undang-Undang Dasar;
2)  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
3)  Peraturan Pemerintah;
4)  Peraturan Presiden;
5)  Peraturan Daerah.
Kemudian aturan lain yang termasuk di dalamnya Tap MPR diwadahi dalam penjelasan Pasal 7 ayat (4) yang berbunyi: “Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
8.         Bahwa pada UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menggantikan UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan, dalam Pasal 7 ayat (1) mengatur mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:
1)  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3)  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4)  Peraturan Pemerintah;
5)  Peraturan Presiden;
6)  Peraturan Daerah Provinsi;
7)  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
9.         Bahwa Ketetapan MPR yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa, “Yang dimaksud dengan ‘Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat’ adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”
10.      Bahwa dalam Tap MPR Nomor I/MPR/2003 terdapat salah satu Tap yang masih berlaku saat ini adalah Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang dalam pengaturannya membatasi HAM yang akan di jelaskan dalam uraian selanjutnya.
11.      Bahwa pada akhir Bulan September 1965 terjadi coup d’etat yang dilakukan Partai Komunis Indonesia yang dikenal dengan G30S/PKI. Gerakan ini menculik dan membunuh Dewan Jendral TNI AD serta mengambil alih kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia, namun upaya pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh militer yang bekerja sama dengan paramiliter dari berbagai organisasi kemasyarakatan. Peristiwa ini menandai pergantian rezim kekuasaan dari Orde Lama Soekarno ke Orde Baru Soeharto.
12.      Bahwa menindaklanjuti upaya pemberontakan PKI yang gagal, kemudian Presiden Soeharto berdasarkan mandat Surat Perintah Sebelas Maret 1966 membubarkan PKI, yang dalam Sidang MPR 1966 diwadahi dengan Tap a quo yang menegaskan pembubaran PKI beserta pelarangan terhadap faham/ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia.
13.      Bahwa Tap a quo kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan tersebut ditujukan bukan hanya untuk mencegah dan menangkal berdirinya kembali PKI tetapi juga ditujukan kepada anggota, mantan anggota dan orang-orang yang dinyatakan terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaturan tersebut antara lain:
1)     UU Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung
Pasal 4e berbunyi, “Untuk menjadi anggota DPA, tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang.”
2)     UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat
Pasal 2 berbunyi, “WNI bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang lainnya tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih.”
3)     UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum
Pasal 11 ayat (2a) berbunyi, “Untuk dapat dari daftar dalam pemberi pendapat rakyat, harus dipenuhi syarat-syarat bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung.”
4)     UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Pasal 7 ayat (1d) berbunyi, “Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi syarat: bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya.”
5)     UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 14 ayat (1d) berbunyi, “Untuk diangkat menjadi hakim pada pengadilan TUN, seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
6)     UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 13 ayat (1d) berbunyi, “Untuk diangkat menjadi hakim pada pengadilan agama, seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
7)     UU Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Pasal 8d berbunyi, “Untuk dapat menjadi anggota setiap calon bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
8)     UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Negeri
Pasal 9d berbunyi, “Syarat untuk diangkat menjadi jaksa tidak boleh bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
9)     UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
Pasal 43 ayat (1f) berbunyi, “Seorang calon anggota DPP, DPRD I, DPRD II adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
10)   UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susuna Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 3 ayat (1d) berbunyi, “Bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
14.      Bahwa frasa “terlibat langsung/tidak langsung” di semua peraturan tersebut dalam penjelasan masing-masing UU disebutkan bahwa:
a)  Dianggap terlibat secara langsung dalam "Gerakan 30 September/PKI" ialah mereka yang:
1)  merencanakan, turut merencanakan atau mengetahui adanya perencanaan gerakan kontra revolusi itu, tetapi tidak melaporkan kepada pejabat yang berwajib.
2)  dengan kesadaran akan tujuannya, melakukan kegiatan-kegiatan dalam pelaksanaan gerakan kontra revolusi tersebut.
b)  Dianggap terlibat secara tidak langsung dalam "Gerakan 30 September/PKI" ialah mereka yang:
1)  menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan atau dalam ucapan-ucapan yang bersifat menyetujui gerakan kontra revolusi tersebut;
2)  secara sadar menunjukkan sikap baik dalam perbuatan atau dalam ucapan, yang menentang usaha/gerakan penumpasan "Gerakan 30 September/PKI."
Dimana sudah barang tentu UU tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya.
15.      Bahwa selain dalam hak berpolitik, pelarangan terhadap orang-orang yang diduga terlibat tersebut juga dalam hal kebebasan berpikir dan berpendapat, serta dalam hak memperoleh pekerjaan dan kesamaan di muka hukum. Pengaturan tersebut antara lain:
a)  Keputusan Pangkopkamtib Nomor 06/Kopkam/XI/1975 tentang Penyempurnaan Ketentuan Tata Cara Pemberian “Surat Keterangan Tidak Terlibat G30S/PKI” dalam Pasal 1 menyatakan bahwa, “Surat Keterangan ini adalah surat otentik yang diberikan/dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan berisi keterangan bahwa hingga saat dikeluarkan/diberikannya kepada Penduduk Indonesia yang pada saat meletusnya peristiwa G30S/PKI (1 Oktober) telah berumur 12 tahun penuh atau seorang yang sudah/pernah kawin, yang bersangkutan dinyatakan tidak terlibat dalam G30S/PKI.” Surat keterangan ini wajib dilampirkan bagi setiap orang Indonesia yang mempunyai keperluan-keperluan diantaranya:
1)  Untuk menjadi pegawai/anggota pada lembaga-lembaga/badan-badan/instansi-instansi/dinas-dinas pemerintahan dan perusahaan-perusahaannya serta pada perusahaan-perusahaan swasta vital yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2)  Untuk pendaftaran masuk pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah guna menjadi pegawai negeri termasuk ABRI.
b)  Keputusan Kejaksaan Agung yang mendasarkan kewenangannya pada UU Nomor 4 PNPS 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum yang selanjutnya dalam masa Orde Baru memasukkan faham/ajaran Komunisme di dalamnya.
16.      Bahwa dengan adanya reformasi yang telah menjatuhkan rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan berpikir, berpendapat dan HAM lainnya, maka dalam amandemen UUD, jaminan perlindungan dan penegakan HAM semakin dikukuhkan dengan Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Selain itu, upaya untuk jaminan HAM tersebut juga dengan meninjau peraturan perundang-undangan yang merugikan HAM termasuk di dalamnya Tap MPRS ­a quo. Tap MPRS a quo pernah hendak dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid semasa menduduki jabatannya, namun menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Kemudian, dilanjutkan dengan mengundangkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mengamanahkan kepada negara untuk melakukan upaya-upaya penyelidikan berkenaan dengan pelanggaran HAM masa lalu termasuk korban akibat pemberontakan PKI ataupun korban atas penumpasan anggota PKI sendiri. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang menguji Pasal 60 UU Nomor 12 Tahun 2003 yang dalam putusannya MK mengembalikan hak memilih atau dipilih mantan tahanan politik PKI.
17.      Bahwa mencemati fakta-fakta hukum di atas sudah seharusnya Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji Tap MPR a quo karena secara nyata merugikan HAM baik di masa lampau maupun berpotensi untuk masa yang akan datang dikarenakan ditempatkan di atas UU. Namun, karena kewenangan Mahkamah Konstitusi terbatas pada UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka PARA PEMOHON juga memohon untuk menguji Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

E.        PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
1.         Bahwa sebelum mengujikan TAP MPR tersebut di atas maka hendaknya diperhatikan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan letak kedudukan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia. Oleh karenanya perlu dilakukan pengujian terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi untuk meminta tafsir bahwa TAP a quo setara dengan UU sehingga Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk mengujinya.
2.         Bahwa dalam pembahasan Panitia Ad Hoc (PAH) yang didokumentasikan dalam Naskah Komprehensif Buku 3 Jilid 2, sebagian terbesar fraksi yang membahas perubahan UUD menyetujui bahwa TAP MPR bukanlah peraturan perundang-undangan. Dalam bab pendahuluan disebutkan bahwa, “perubahan-perubahan penting antara lain susunan dan kedudukan MPR, menghapuskan kewenangan menetapkan garis-garis besar haluan negara, pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD) secara langsung, pembatasan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden, memberikan landasan Pemilu, peran Partai Politik, otonomi daerah yang diperluas, anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen, Hak Asasi Manusia, yang dirumuskan secara lengkap dan rinci, dicantumkannya wilayah negara, pengaturan impeachment, lambang negara, dipertahankannya Pasal 29 UUD 1945, ditetapkannya sistem perekonomian nasional, tidak dimungkinkan berubahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pasal perubahan UUD diatur lebih rinci, penegasan UUD adalah Pembukaan dan Pasal-Pasal dan dihapuskannya Tap-Tap MPR, dihapuskannya DPA sebagai lembaga tinggi negara dan fungsinya masuk ranah eksekutif, penyebutan resmi UUD 1945 dan Pembukaan, tidak memberlakukannya Penjelasan, dibentuknya beberapa lembaga baru (Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, dan Komisi Yudisial), meneguhkan paham kedaulatan rakyat sesuai konstitusi, menegaskan Indonesia sebagai negara hukum.” Dalam kutipan tersebut di atas tampak perubahan kedudukan dan kewenangan MPR yang diatur dalam amandemen UUD 1945.
3.         Bahwa Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang memasukkan Tap MPR ke dalam hierarki adalah sebuah kekeliruan karena kedudukan dan status dari Tap itu sendiri dikarenakan sejatinya sudah tidak diakui sebagai peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan alasan sebagai berikut:
a.   Dalam UUD NRI Tahun 1945 peraturan di bawah UUD adalah UU. Hal ini secara implisit diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 24C ayat (1) yang menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Pasal tersebut menunjukkan bahwa dalam hal pengujian UU terhadap UUD adalah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana pendapat Moh. Mahfud MD dalam bukunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara” yang mempersoalkan tentang Kedudukan Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, ditegaskan bahwa “peraturan perundang-undangan yang langsung berada di bawah UUD adalah UU. Kalau ada seandainya Tap MPR di bawah UUD maka ketentuan pengujiannya tentu akan menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi menguji Tap MPR terhadap UUD dan/atau menguji UU terhadap Tap MPR. Dengan demikian jelaslah bahwa Tap MPR bukan peraturan perundang-undangan.”
b.   Dalam Pasal (1) Aturan Tambahan UUD 1945, menentukan “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.” Hal ini sesuai dengan kedudukan MPR yang dalam amandemen ke-III tahun 2001 pada Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa MPR bukan lagi sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Dalam kedudukannya sebagai kelembagaan MPR bukan lagi lembaga yang memberi mandat serta memilih presiden sebagai kepala negara, sehingga kedudukannya sama dengan kelembagaan negara yang lain bukan lagi yang tertinggi dan tidak lagi menetapkan GBHN. Oleh karenanya segala peraturan yang dikeluarkan ditinjau status dan materinya. Hal ini menunjukkan bahwa Tap MPR bukan lagi Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan sesuai yang ditulis oleh Moh. Mahfud MD dalam buku PERDEBATAN HUKUM TATA NEGARA yang menyatakan bahwa, “Ketentuan Aturan Tambahan ini dibuat karena Tap MPR bukan lagi sebagai peraturan perundang-undangan sehingga harus dibuat status baru untuk yang sudah ada dan terlanjur menjadi peraturan perundang-undangan.”
4.         Bahwa Tap MPR yang masih ada keberlakuannya disetarakan dengan UU oleh Tap MPR. Hal ini berdasarkan atribusi yang diberikan oleh UUD kepada MPR pada Pasal 1 Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945, yaitu “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”, maka pada sidang MPR tahun 2003 ditetapkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tersebut, seluruh Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang berjumlah 139 dikelompokkan ke dalam 6 pasal (kategori) sesuai dengan materi dan status hukumnya sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
5.         Bahwa mendasarkan pada Tap MPR tersebut di atas maka yang masih berlaku saat ditetapkannya Tap tersebut adalah ketentuan kategori 2, kategori 3, kategori 4 dan kategori 5. Saat ini, dari keseluruhan kategori Tap tersebut hanya menyisakan kategori 2 dan 4 yang masih berlaku. Untuk kategori 2 tersisa 2 Tap, sedangkan kategori 4 terdapat 6 Tap sehingga keseluruhan yang masih berlaku ada 8 Tap. Mengenai kedudukan kedelapan Tap tersebut sesuai dengan Tap Nomor I/MPR/ 2003, Jimly Asshiddiqie memberikan pendapat dalam bukunya “Perihal Undang-Undang” yang menegaskan bahwa,
Jika dipandang dari segi bentuknya dan lembaga yang berwenang menetapkannya, jelas bahwa ketetapan MPR/MPRS sama sekali bukanlah Undang-Undang. Kedelapan Ketetapan MPR/MPRS itu dapat dinilai lebih tinggi dari Undang-Undang dan karena itu setara dengan Undang-Undang Dasar, karena beberapa alasan. Pertama, secara historis sampai dengan pelaksanaan sidang tahun 2003, kedudukannya memang pernah lebih tinggi dari pada Undang-Undang seperti yang ditentukan oleh Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. Kedua, dari segi bentuknya, kedelapan Ketetapan MPR/MPRS itu jelaslah bukan berbentuk Undang-Undang sehingga tidak dapat disetarakan dengan Undang-Undang. Ketiga, dari segi lembaga pembentuk atau lembaga negara yang menetapkannya, jelas pula bahwa ketetapan MPR/MPRS tidak ditetapkan oleh pembentuk undang-undang, yaitu DPR bersama Presiden, melainkan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Akan tetapi, dengan telah diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan dengan demikian Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat untuk umum, maka berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca perubahan keempat (2002), sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia dengan ini tidak lagi mengenal produk hukum yang bersifat mengatur yang kedudukannya berada di bawah Undang-Undang Dasar (grondwet, gerundgeset constitution), tetapi mempunyai status di atas Undang-Undang (wet statute, legislative act).
Untuk memastikan status hukum kedelapan Tap MPR/MPRS tersebut di atas, pilihannya hanya dua kemungkinan itu saja, yaitu dinilai sebagai status Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang. Apabila kedelapan ketetapan itu disetarakan dengan Undang-Undang Dasar, berarti kedelapan ketetapan tersebut tidak dapat diubah atau dicabut kecuali melalui mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Sedangkan, apabila ketetapan–ketetapan tersebut diberi status setara dengan undang-undang, berarti kedelapannya dapat dicabut dan/atau diubah oleh DPR bersama-sama dengan Presiden, yaitu dengan undang-undang.
Dalam Ketetapan Nomor I/MPR/2003, MPR sendiri juga menentukan adanya 11 (sebelas) Ketetapan MPR/MPRS yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang yang mengatur ketetapan tersebut. Artinya, kesebelas Ketetapan MPR/MPRS itu ditundukan derajatnya oleh MPR sendiri, sehingga dapat diubah dengan atau oleh Undang-Undang, sehingga untuk selanjutnya ketetapan-ketetapan yang tersisa tersebut harus dipandang sederajat dengan undang-undang. Jika demikian halnya, maka lembaga negara yang berwenang membahas Undang-Undang ada empat lembaga, yaitu (i) DPR, (ii) Presiden, (iii) DPD, dan (iv) Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya masing-masing.
Maka dari tulisan tersebut jelas bahwa Tap itu hendaknya segera dibuatkan UU untuk mewadahi materi muatannya agar jika bertentangan dengan hak konstitusional warga negara dapat diujikan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, menjadi problematik kemudian ketika Tap MPR/MPRS tidak segera diwadahi materi muatannya dalam UU, dikarenakan dapat menimbulkan potensi kerugian konstitusional warga negara. Hal tersebut menjadi logika yang wajar dikarenakan apabila belum diwadahi dalam UU materi muatannya maka Tap tersebut akan menjadi sebuah entitas norma yang tidak dapat diuji oleh lembaga negara manapun, terlebih dengan kedudukannya di atas UU dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011.
6.         Bahwa untuk menegaskan kesetaraan antara Tap MPR dengan UU maka harus melihat pada Pasal 22A UUD UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan Undang-Undang.” Perintah UUD ini diwadahi dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur tentang materi pembuatan UU adalah Pasal 10 yang berbunyi, “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a.   pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.   perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c.   pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.   tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.   pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Ketentuan tersebut di atas menjelaskan bahwa UU tidak mengambil rujukan dari Tap MPR untuk materi muatannya, sehingga dapat dipastikan bahwa materi muatan UU tidak merujuk pada materi muatan Tap MPR. Hal ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan, “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, yang dalam logika sederhana seharusnya materi muatan yang harus diatur dalam UU adalah pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Tap MPR sebagai tingkatan norma hierarki di atasnya. Oleh karenanya kedudukan Tap MPR seharusnya disamakan dengan UU dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
7.        Bahwa dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak diberikan ketentuan mekanisme pengujian Tap MPR. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketiadaan mekanisme pengujian tentu akan menyebabkan sebuah norma menjadi “kebal” dan untouchable untuk disesuaikan materi muatannya dengan nilai-nilai konstitusi. Sejatinya hukum senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat. Tujuannya agar dapat melindungi kepentingan masyarakat yang berkembang tersebut. Oleh karena itulah, mekanisme pengujian menjadi cara agar hukum dapat tetap sesuai dengan perkembangan masyarakat.
8.        Bahwa konsepsi negara hukum Indonesia seperti yang ditegaskan oleh Muh. Yamin, sebagaimana dikutip oleh Azhary, diartikan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat goverment of laws) dimana keadilan berlaku, bukan negara kekuasaan (maschstaat) tempat kekuatan melakukan kesewenang-wenangan. Julius Stahl memperinci dengan menyebutkan adanya (1) perlindungan HAM, (2) pembagian kekuasaan, (3) pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan (4) adanya peradilan tata usaha negara. Sedangkan, ciri penting negara hukum (the rule of law) menurut A.V. Dicey, yaitu: (1) supremacy of law, (2) equality of law, (3) due process of law. The International Commission of Jurist merangkum dengan menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum adalah (1) negara harus tunduk pada hukum, (2) pemerintahan menghormati hak-hak individu, dan (3) peradilan yang bebas dan tidak memihak. Lebih mendetail Jimly Asshiddiqie menyatakan terdapat 12 prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman sekarang ini yang merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Kedua belas prinsip pokok tersebut adalah:
1)     supremasi hukum (supremacy of law);
2)     persamaan dalam hukum (equality before the law);
3)     asas legalitas (due process of law)
4)     pembatasan kekuasaan;
5)     organ-organ eksekutif yang bersifat independen;
6)     peradilan yang bebas dan tidak memihak (impartial and independent judiciary);
7)     peradilan tata usaha negara (administrative court);
8)     peradilan tata negara (constitusional court);
9)     perlindungan hak asasi manusia;
10)   bersifat demokratis (democratische rechstaat);
11)   berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan kesejahteraan (welfare rechtsstaat);
12)   transparansi dan kontrol sosial.
Dalam semua konsepsi negara hukum tersebut terdapat kesamaan, yaitu supremasi hukum dan perlindungan HAM. Dengan supremasi hukum maka segala tindakan pelaksana negara harus berpedoman pada hukum, termasuk relasi antara pejabat negara dengan rakyatnya. Dengan perlindungan HAM maka harus ada jaminan baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam perbuatan pelaksana negara untuk melindunginya. Oleh karena itu, maka hendaknya harus ada mekanisme peradilan untuk melaksanakan jaminan perlindungan tersebut. Dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, kewenangan menguji ada pada MPR sebagaimana Pasal 5 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan saat ini, setelah dirubahnya kedudukan dan kewenanangan MPR maka tidak berwenang lagi untuk melakukan pengujian tersebut. Sedangkan, kewenangan menguji UU terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi berdasar Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang juga menyiratkan bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan di bawah UUD selain UU, oleh karenanya dapat disimpulkan dikarenakan tata urutan Tap MPR berada di bawah UUD maka kewenangan pengujian menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
9.         Bahwa seharusnya berdasarkan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 1 Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 dan alasan permohonan lainnya sebagaimana dijelaskan di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji Tap MPR terhadap UUD karena statusnya yang dipersamakan dengan UU.

F.         PENGUJIAN TAP MPRS NOMOR XXV/MPRS/1966 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
1.         Bahwa dalam Pasal 2 Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berbunyi, “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
2.         Bahwa dengan mengacu Pasal a quo maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa pada pokoknya memberikan larangan kepada setiap orang untuk:
a.   Melakukan kegiatan menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya di Indonesia
b.   Menggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut.
3.         Bahwa dengan memperhatikan Pasal 1 di atas, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan pokok perlu diperhatikan, yaitu:
a.   Faham/Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
Bahwa faham atau ajaran sifatnya adalah gagasan yang abstrak dan bebas tanpa dapat dikekang, seperti halnya ideologi. Pada umumnya bahwa faham dan ajaran bisa dibatasi namun tidak akan pernah mati sebagai suatu ide besar bagi manusia. Justru dengan pembatasan terhadap ajaran atau faham akan menumbuhkan semangat untuk mengembangkan dan selalu menimbulkan resistensi terhadap penganut pandangan ajaran tersebut. Pengekangan pada faham seperti ini lazim terjadi dengan karakter negara-negara yang berlandaskan otoritarianisme pada pemerintahannya. Seorang pemimpin diktator akan cenderung mencari musuh bersama untuk mendapatkan simpati dari rakyatnya. Ia akan menggunakan idiologi negaranya sesuai apa yang ditafsirkannya untuk memberangus lawan-lawan politiknya. Itu semata dilakukan untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Contoh dari hal ini adalah Adolf Hitler dengan Partai Nazi yang melarang faham Yahudi untuk tumbuh di Negara Jerman pada masa menjelang Perang Dunia ke-2. Sudah seharusnya suatu ajaran dibiarkan tumbuh bebas guna bersejajar dengan faham/ajaran lain. Supaya memperkaya pemahaman manusia yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman, baik dalam prinsip hidupnya atau untuk menganalisis permasalahan kemasyarakatan yang ada di lingkungan hidupnya. Tak terkecuali ajaran/faham komunis. Dengan memperbandingkan antar ajaran/faham tersebut, pada akhirnya yang bersangkutan akan memilih mana yang lebih baik diantaranya atau bahkan dimungkinkan terjadi peleburan antara satu ajaran dengan yang lainnya, sehingga apabila negara membatasi suatu ajaran untuk hidup dan berkembang, maka selain telah melakukan tindakan otoriter juga telah melakukan diskriminasi bagi orang yang memiliki faham tersebut.
b.   Tentang menyebarkan dan mengembangkan faham/ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
Bahwa sudah menjadi kecenderungan bahwa lahirnya faham/ajaran suatu idiologi memberikan tawaran kepada manusia untuk menjadi lebih baik dalam kehidupannya. Dengan pertimbangan bahwa faham/ajaran yang dianut mempunyai kelebihan maka ia akan mempertahankan serta menganjurkan untuk diikuti oleh sebanyak-banyaknya manusia. Maka jika sebatas ajakan dan pengembangan tentunya hal itu bukan masalah yang harus dibatasi dengan suatu norma hukum. Jika ajaran itu menimbulkan masalah dikemudian hari maka cukup pelaku masalahnya yang harus diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku, sedangkan suatu ajaran tidak bisa dihilangkan dari seseorang karena hal tersebut merupakan bagian terintegral dalam dirinya juga dalam hal penyebarannya.
4.         Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28F, Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945
a.   Bahwa selain bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan:
1)  Pasal 28E ayat (2) dan (3) yang berbunyi:
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
2)  Pasal 28F yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
3)  Pasal 28I ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2)   Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
b.   Bahwa ketentuan mengenai hak untuk mengajarkan serta mengembangkan faham sebagai ekspresi dari hak kebebasan fikiran, hak menyatakan pendapat serta hak memberikan dan menerima informasi selain diakui oleh Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 juga diakui oleh hukum internasional sebagai HAM yang dijabarkan dalam:
1)  Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
a)  Pasal 18
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance. (Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, mempraktikannya, melaksanakan ibadahnya dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.)
b)  Pasal 19
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. (Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.)
2)  Pasal 19 International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik), berbunyi:
(1)   Everyone shall have the right to hold opinions without interference.
(2)   Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.
(3)   The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:
(a)   For respect of the rights or reputations of others;
(b)   For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.
Terjemahan:
(1)   Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.
(2)   Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
(3)   Pelaksanaan hak-hak yang di cantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karena itu dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:
(a)   menghormati hak atau nama baik orang lain
(b)   melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
3)  UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (sebagai bentuk penyerapan materi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam sistem hukum nasional)
a)  Pasal 23 menyatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
b)  Pasal 25 menyatakan, “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
c.   Bahwa mengacu pada ketentuan nasional dan internasional sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat dijelaskan bahwa hak kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat adalah termasuk menganut suatu faham yang notabene merupakan hasil dari daya pikir manusia serta meyebarkan faham tersebut baik secara perorangan maupun kelompok, baik di tempat terbuka maupun tertutup beserta manifestasinya berupa pelaksanaan faham beserta penyebarluasannya.
d.   Bahwa sebagaimana dijelaskan Pasal 19 ICCPR dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengenai kebebasan berfikir, menyatakan pendapat dan termasuk di dalamnya menganut suatu faham idiologi sesuai Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan kebebasan yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sementara untuk memanifestasikan suatu faham ideologi tersebut hanya dapat dibatasi dengan pertimbangan UU, nilai agama, ketertiban umum dan prinsip moral.
e.   Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28F, Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 dan sepatutnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
5.         Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) mengenai kepastian hukum yang adil dan persamaan di muka hukum.
a.   Bahwa Pasal 2 Tap a quo bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil dan hak persamaan di muka hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
b.   Bahwa asas kepastian hukum yang adil dapat dimaknai sebagai “a legal system in which rules is clear, well-understood, and fairly enforced”. Kepastian hukum ini mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
c.   Bahwa prinsip-prinsip pembentukan hukum yang adil menurut Lon Fuller dalam bukunya The Morality of Law, yaitu:
1)  Hukum-hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa. Fuller juga menamakan hal ini juga sebagai hasrat untuk kejelasan;
2)  Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
3)  Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga setiap orang tidak lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya;
4)  Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya.
d.   Bahwa keberadaan Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, merupakan bentuk ketidakkonsistenan aturan hukum, mengingat adanya fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang di dalam Pasal 18 dinyatakan melindungi kebebasan berpikir, berhati-nurani dan beragama.
e.   Bahwa keberadaan Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan tidak adanya persamaan di muka hukum dan kepastian hukum bagi kelompok tertentu di masyarakat yang dianggap berbeda faham idiologinya sebagai penganut Komunisme/Marxisme-Leninisme. Rumusan Pasal 2 a quo merupakan rumusan yang diskriminatif dan bukan ditujukan untuk melakukan tindakan affirmative action untuk melindungi kelompok minoritas.
f.    Bahwa di dalam pemberlakuannya, Pasal 2 a quo akan sangat bergantung pada tafsir rezim yang berkuasa, sebagaimana yang mendasari munculnya Tap ini yaitu pada awal Orde Baru. Faham tersebut dilarang karena mengadakan pemberontakan terhadap penjajah, pada masa kemerdekaan dan Orde Lama dibiarkan hidup dan diikuti hampir seperempat Warga Negara Indonesia, namun pada masa Orde Baru dilarang dan dijadikan musuh bersama. Hal ini mengakibatkan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara yang sebelumnya pernah menganut faham ini.
g.   Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) sepatutnya dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
6.         Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengenai negara hukum.
a.   Bahwa pengertian dan prinsip-prinsip umum dalam suatu negara hukum sampai saat ini terdapat pengertian yang berbeda-beda. Berbagai pakar hukum misalnya Anne Marie Baros, Manuel Carascalao Burkens, Theodor Maunz sampai pada M. Scheltema memberikan pandangan yang berbeda tentang pengertian dari negara hukum, baik itu rechtsstaat maupun rule of law. Namun, secara umum asas-asas yang harus ada pada suatu negara hukum tidak dapat dilepaskan dari ada dan berfungsinya demokrasi, kerakyatan, beserta paradigma-paradigmanya. Dengan kata lain, wawasan negara hukum dan wawasan demokrasi berada dalam satu keterkaitan;
b.   Bahwa di dalam negara hukum, aturan perundangan-undangan yang tercipta harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Seperti yang dikatakan Wolfgang Friedman dalam bukunya “Law in a Changing Society”, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, membedakan antara organized public power (negara hukum dalam arti formil) dengan the rule of just law (negara hukum dalam arti materiil). Negara hukum dalam arti formil (klasik) menyangkut pengertian hukum dalam arti sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, dan belum tentu menjamin keadilan substanstif. Negara hukum dalam arti materiil (modern) atau the rule of just law merupakan perwujudan dari negara hukum dalam luas yang menyangkut pengertian keadilan di dalamnya, yang menjadi esensi daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit.
c.   Bahwa dalam negara hukum yang demokratis salah satu pilar yang sangat penting adalah perlindungan dan penghormatan terhadap HAM. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. A.V. Dicey bahkan menekankan isi konstitusi harus terdapat perumusan hak-hak dasar manusia (constitution based on human rights).
d.   Bahwa kepastian hukum dan perlakuan yang sama di muka hukum merupakan ciri dari negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dimana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tidak bisa ditiadakan.
e.   Bahwa dengan demikian, prinsip kepastian hukum, persamaan di muka hukum, dan perlindungan HAM, dalam hal ini hak atas kebebasan berpikir dan berpendapat sesuai hati nurani menjadi salah satu prinsip pokok dari suatu negara hukum, prinsip-prinsip tersebut di atas telah dilanggar oleh Pasal 2 Tap a quo;
f.    Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sehingga sepatutnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.

G.        ALAT-ALAT BUKTI YANG DIAJUKAN OLEH PARA PEMOHON
Bahwa dalam permohonan a quo, PARA PEMOHON mengajukan alat-alat bukti, antara lain: (i) Surat dan Tulisan, (ii) Keterangan Ahli, serta (iii) Keterangan PARA PEMOHON yang akan hadir dalam persidangan. Oleh karena itu, alat-alat bukti yang diajukan PARA PEMOHON telah sesuai dengan Pasal 36 UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Untuk melengkapi surat permohonan yang diajukan, PARA PEMOHON juga melampirkan alat-alat bukti berupa surat dan tulisan sebagai berikut:
1.         Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen).
2.         Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3.         Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undnag-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
4.         Fotokopi Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Dr. (HC) Sama’oen Munikarto Hadikusumo.
5.         Fotokopi Anggaran Dasar Lafald Initiative.
6.         Fotokopi Anggaran Dasar Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH).
7.         Fotokopi buku-buku yang terkait.
Di samping alat bukti tulisan, PARA PEMOHON juga akan mengajukan alat bukti berupa Keterangan Ahli, yaitu:
1.         Dr. Muhammad Adib Zein, S.H., M.H.


H.        PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan bukti-bukti yang telah diuraikan di atas, dengan ini PARA PEMOHON, memohon kepada yang terhormat Majelis Hakim Konstitusi agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
1.         Menerima dan mengabulkan Permohonan Pengujian Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seluruhnya;
2.         Menafsirkan Pasal 7 ayat 1 huruf b bahwa kedudukan TAP MPR/MPRS dapat disetarakan dengan Undang-Undang;
3.         Menafsirkan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan pengujian Tap MPR/MPRS terhadap Undang-Undang Dasar;
4.         Menyatakan bahwa Pasal 2 Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Hormat Kami,
KUASA HUKUM PEMOHON


               Irine Handika, S.H.                                          Sandra Dini, S.H.
                              

Andriansyah Muhammad, S.H., M.Hum.         Damari Pranowo, S.H., M.Hum.
Dr. Harsono, S.H., LL.M.