Selasa, 30 April 2013

hadiah ulang tahun hari pendidikan nasional



oleh Mochamad Adib Zain (Catatan) pada 2 Mei 2010 pukul 14:33




Pesantren Jawaban atas Tantangan Masa Depan Pendidikan Indonesia

Tanggal 2 mei merupakan salah satu hari istimewa bagi negara ini. Karena di tanggal ini diperingati hari untuk mengenang tonggak awal sejarah pendidikan kita. Adalah Ki Hajar Dewantara salah se’orang pahlawan yang terlibat aktif dalam perjuangan pergerakan Revolusi yang mula-mula merintis lembaga pendidikan modern bergaya barat. Lembaga ini dinamakannya oleh beliau taman siswa. Artinya tempat belajar bagi murid-murid yang ngudi ilmu. Pada tanggal ini setiap tahun kita peringati. Bahkan merupakan salah satu hari nasional kita sehingga bertepatan pada tanggal ini dikalender dengan warna merah artinya harus libur dari setiap kegiatan. Pada tanggal ini pula instansi-instansi negara melakukan upacara bendera untuk memperingati salah satu hari bersejarah dalam upaya membangun manusia indonesia yang berpendidikan waktu itu.
Terlepas dari sakralnya hari ini bahwa dalam sistm pendidikan kita yang sekarang masih harus menghadapi masalah-masalah serius untuk menggapai cerahnya masa depan pendidikan negeri ini. jadi bisa tidak ada relevansi yang signifikan untuk menggambarkan pengaruh dari Hari Pendidikan Nasional ( HARDIKNAS) dengan sisitem pendidikan kita dimasa sekarang. Dari seabrek masalah itulah akhirnya penulis mencoba merefleksikan apa sebenarnya pokok masalah yang sedang melanda sistem pendidikan kita. Dalam refleksi tersebut akhirnya penulis menemukan akar masalah dari hal tersebut serta memperoleh alternative solusi yang terbaik untuk menyelesaikannya.
Adalah pondok pesantren yang selama ini kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Dalam arti bahwa keberadaannya dipandang sebelah mata. Begitu pula sepuluhan tahun akhir-akhir ini baru mencuat namanya setelah peristiwa-peristiwa sejarah besar dalam keamanan negeri ini yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan. Pengeboman-pengoboman serta aksi teroris lainnya yang dilakukan oleh Alumni pesantren ini mampu membuat namanya terkenal. Begitu pula secara tidak langsungpesantr lembaga pendidikan yang menggemblengnya ini juga ikut menjadi sasaran kecurigaan Pemerintahan, baik pesantren secara khusus dimana ia pernah belajar maupun pesantren-pesantren lainnya. Dan kondisi ini bisa dirasakan kalangan pesantren pasca kejadian tersebut dan sikap masyarakat yang berubah terhadap kelompok masyarakat keagamaan ini.
Lalu mengapa dipilih pesantren? Apa istimewanya dibanding dengan instansi pendidikan yang lain. Bukankah dari segi manajamen kurang adanya dukungan yang menjamin hal tersebut? Mungkin pertanyaan itu yang timbul untuk menyikapi tawaran ini. dan itu wajar kalau melihat sekilas tentang kondisi-kondisi pesantren yang ada saat ini. terutama yang masih memperhatikan cirri khasnya sebagai pesantren salaf. Stigma negative akan secara langsung tersematkan terhadap lembaga penndidikan ini. Pendidikan warga kelas dua, tempat buangan anak-anak nakal, kumuh, kotor, kudisan dan segudang prestasi negative lainnya. Dan memang inilah cara pandang sebagian masyarakat kita terhadap lembaga pendidikan keagamaan ini. 
Dan tidak aneh kalau gambaran diatas akhirnya menjadi landasan untuk mempertanyakan alternative penyelesaian masalah-masalah pendidikan dengan sistem yang digunakan pesantren. Memang kalau dari luarnya demikian adanya dan itu juga dirasakan penulis yang kebetulan lama mendiami “penjara suci ini”. namun lebih mendalam akan ditemukan kelebihan-kelebihan yang luar biasa yang tidak bisa akan diketemukan dalam lembaga pendidikan lain diamanapun di Negara ini. 
Ia adalah lembaga yang mula-mula dipilih oleh penyebar islam di nusantara ini, bahkan oleh para sejarawan dikatakan merupakan lembaga yang telah ada jauh sebelum penyebar islam datang di negeri ini. ia adalah lembaga yang berakar sesuai kebudayaan masyarakat. Dan ia lahir dan didirikan ditengah masyarakat dengan tugas utama pelayanan. Oleh karena itu merupakan kebijakan yang sangat tepat mengadopsi sistem ini untuk dipakai dalam penyebaran agama di kala itu. Maka tidak mengherankan jika para da’I yang pada waktu itu berlatar belakang kebudayaan yang berbeda sukses melakuakn da’wahnya justru dengan membaur kebudayaan setempat dengan dukungan sarana lembaga pendidikan bercorak lokal.
Pesantren dimasa sekarang gaya dan sistem yang dipakai adalah masih sama denga gaya dan sistem diwaktu penyebar islam mula-mula menggunakannya sebagai sarana, walaupun sudah mengalami kodifikasi tetapi secara keseluruhan bisa dikatakan demikian. Hal ini bukan berarti bahwa dengan sistem selalu harus dikatakan bahwa pesantern mengalami stagnasi ( kemandegan ) dengan hal demikian justru sebenarnya pesantren adalah lembaga yang dinamis. Ia tidak hanya dituntut meneruskan sistem yang diwariskan tetapi juga harus sesuai dengan kondisi perubahan masyarakat disekitarnya. Karena rasion de etre pesantren adalah dibentuk sebagai pelayanan masyarakat. Maka sudah menjadi semacam ketentuan bahwa keberadaan pesantren harus member manfaat terhadap masyarakat dalam lingkungannya. Dan juga orientasi santri-santri lulusannya diharapkan menjadi tenaga siap pakai dan siap mengabdi kepada masyarakat setelah ia purna belajar di pesantren tersebut. Dan ini merupakan salah satu hal yang menjadi kelebihan pesantren karena tidak ada instansi pendidikan yang mengharuskan alumninya yang mengabdi masyarakat selain pesantren. 
Orientasi pesantren yang seperti hal tersebut di atas itu lah yang dibutuhkan masyarakat dan Negara disaat ini. ketika instansi formal pendidikan hanya mengejar pemuasan kepentingan individu pelakunya baik pendidik maupun anak didik maka pesantren tampil dengan wajah baru yaitu anfa_uhum li al-nas ( member manfaat terhadap kemanusiaan). Dan inila yang menjadikan keberadaanya mampu bertahan ratusan tahun ( dalam sejarah keberadaannya terlacak sejak tahun 1596). Berangkat dari hal ini maka akan menarik jikalau kita bandingkan dengan institusi yang lain. Bahwa dengan orientasi tersebut maka pada akhirnya lulusan dari pesantren mau tidak mau harus kembali ke daerah asalnya untuk mengabdikan ilmunya dan pada kenyataanya ilmu yang diperolehnya selalu dibutuhkan di masyatrakatnya ia berasal. Selain dibekelai ilmu agama biasanya santri selama tinggal di pesantren juga belajar cara mempertahankan hidupya, sederhana memang misalnya mencangkul, bertani, tukang namun hal itu cukup membantu ketika ia kembali ke asalnya dan dari hal yang sederhana tersebut membuat mereka yang telah lulus dan siap mengabdi tidak harus bergantung kehidupannya dari belas kasihan masyarakat. Dan setidaknya ini yang tidak dapat diperoleh di institusi lainnya. Kebanyakan di sekolan formal akan diajarkan teori-teori yang terkadang teori tersebut jauh dari kehidupan sehari-hari. Kehidupan perkotaan menjadi tolok ukur dari kurikulum yang di buat dan memang kurikulum di buat oleh orang yang tinggal di kota. Maka tidak heran jika kemudian ia yang mempelajarinya melihat kehidupan perkotaan adalah segalanya bagi masa depannya. Sehingga akibatnya lulusan dari sekolah formal enggan untuk hidup di asalnya apalagi mengabdi pada masyarakatnya.
Dalam perjuangan merebut kemerdekaan pesantren memiliki peran sentral yang tidak bisa dipungkiri lagi. Karena kedekatan dengan masyarakat maka ia menjadi basis perjuangan masyarakat waktu itu. Adanya hal demikian maka pesantren selama masa kolonialisme mengalami perlakuan yang berbeda dengan elemen masyarakat yang lain. Dalam masa penjajahan penduduk di bedakan seperti yang kita tahu ada tiga golongan, kaum eropa/belanda, kaum arab dan cina menempati peringkat kedua dan bangsa pribumi sebagai golongan terakhir. Pertanyaannya adalah mengapa harus dibedakan kedalam ketiga golongan tersebut. Bukankah ordonantie yang mengatur tentang kewarga negaraan Hindia-Belanda waktu itu mulai di terapkan Nusantara hampir secara keseluruhan telah dikuasainya maka harusnya jika kita pakai logika sederhana maka cukup di bedakan antara orang eropa dan non eropa selesai lah sudah urusan namun perpolitikan lebih cerdik dari pada itu. Mereka menyadari bahwa perlawanan rakyat tidak akan pernah efektif jika elemen-elemen mereka dipisiahkan. Terbukti dalam beberapa perlawanan waktu itu banyak terjadi karena pertemuan kekuatan bumi putra dengan golongan timur asing tersebut ( arab, china). Jadi alasan pemisahan bedasar golongan tersebut bukan semata dilandasi karena alasan persaingan perdagangan tapi juga politis. Dalam konteks ini lebih spesifik bahwa orang arab adalah penyebar islam dan sebagian dari mereka adalah golongan intelektual ( ulama ). Dalam masyarakat indonesia islam sudah di peluk oleh sebagian terbesar dari penduduknya maka mereka harus dipisahkan mereka dari kaum cendekiawannya agar tidak terjadi perlawanan. Bukankah kemampuan intelektual yang tidak diimbangi oleh dukungan masa hanya menjadi singa ompong yang tidak berbahaya, dan bukankah masa yang besar tanpa adanya intelektual akan tidak berarti apa-apa karena tidak punya arah tujuan yang jelas.
Alasan di atas akhirnya juga berimplikasi terhadap kehidupan sistem pesantren. Bagaimana tidak? pesantren adalah satu-satunya lembaga yang di milki masyarakat waktu itu. Di dalamnya banyak aktor-aktor intelektual yang potensial untuk mencapai syarat terjadinya suatu penelitian. Lebih spesifik lagi bahwa hubungan masyaraakat indonesia dengan timur tengah tidak hanya terbatas pada masalah perdagangan saja, lebih dari itu hubungan yang terjadi juga masalah intelekual. Setelah lulus dari pesantren bagi para santri yang punya kemampuan berpikir lebih maka mereka tidak hanya mencukupkan dirinya hanya pada pesantren indonesia mereka akan berangkat ketimur tengah misal arab Saudi, mesir, irak dan negara-negara islam lainnya menjadi tempat tujuan selanjutnya untuk memperdalam ilmu keagamaannya. Oleh karena itu politik pemisahan golongan akhirnya juga di tujukan kepada pesantren sebagai lembaga pencetak intelektual yang berbasis masyarakat. Akibatnya maka perlakuan diskriminatif sudah pasti diterimanya bahkan laju geraknya dihambat rezim di kala itu. Dan mudah di pahami jika akhirnya pesantren memilih tempat perlawanannya di daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota dan berada di tempat pedalaman yang sulit tersentuh oleh pemerintah colonial waktu itu. Di tempat yang seperti itulah pesantrena akhirnya menjaankan kegiatan rutinitasnya mengajarkan agama sekaligus mempersiapkan kader-kader pejuangnya yang dikemudian hari sangat berguna bagi bangsa ini untuk merebut kemerdekaan dan mempertahnkannya dan korp tentara salah satunya dari elemen santri dalam jajaran Hisbulloh.
Keberadaan pesantren hingga saat ini tidak terlepas dari unsure kyai, santri, Masjid/Mushola , asrama dan kitab kuning. Elemen-elemen tersebut diatas adalah hal terpenting yang harus ada dalam setiap pesantren bagaimana pun keadaannya, salaf atau modernnya. Kyai adalah orang yang mengasuh pesantren itu sekaligus sebagai penguasa atasnya. Bukan berarti kemudian menimbulkan feodalisme seperti yang dinyatakan orang selama ini. asalnya se’orang kyai adalah santri juga. Setelah lulus nyantri ia akan balik ke daerah asalnya untuk menngajarkan ilmunya sebagai bentuk pengabdian masyarakat. Maka berbondong-bondong masyarakat sekitar belajar ilmu padanya. Mula-mula proses ajar mengajar berlangsung dirumah sang kyai, kemudian karena bannyaknya santri yang datang untuk menimba ilmu maka perlu sebuah bangunan yang terpisah dari rumah sang Kyai. Kemudian bangunan itu pada nantinya juga dimanfaatkan sebagai sarana ibadah dan juga kegiatan lain dan kemudian tempat tersebut dikenal sebagai langgar, surau, mushola atau masjid. Santri yang belajar tidak hanya terbatas pada masyarakat sekitar namun juga dari luar daerah tersebut maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut didirikanlah bangunan-bagunan lagi sebagai tempat pemukiman bagi santri yang jauh asalnya. Untuk pengajaran kyai tidak hanya menyampaikannya secara lisan akan tetapi juga menggunakan literature yang telah lama pula di pelajarinya di pesntren. Literature itu umumnya mengguankan bahasa arab dan berasal dari timur tengah yang berisikan ajaran agama. Karena warna kertas yang dipakai umumnya maka kemudian literature itu disebut kitab kuning.
Dalam sistem pembelajaran pesantren ada yang unik, yang tidak lazim di pakai dalam sistem pendidikan modern. Ada yang namanya sorogan yaitu ketika tiap santri belajar langsung di hadapan Kyai maka yang di butuhkan adalah kemampuan individual santri tersebut untuk mempersiapkan apa yang telah di pelajarinya untuk di uji langsung oleh sang Kyai sebagai pemegang otoritas tertinggi ataupun di serahkan kepada ustadz-ustadz yang telah ditunjuknya. Kedua adalah badongan sutu sistem yang dipakai Kyai dalam mengajar santri-santrinya secara keseluruhan. Kyai menjelaskan suatu ilmu kepada santri-santrinya dalam sutu majelis. santri biasanya akan memahami apa yang disampaikan Kyai. Mereka hanya mendengarkan dan mema’nai sesuai dengan penyampaian tersebut dan yang terakhir adalah bahtsul masa’il. Para santri di hadapkan pada masalah yang nyata di hadapi masyrakat kemudian mereka di tuntut untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sering kali dalam karena perbedaan perspektif dalam menyikapi suatu masalah terjadi perdebatan yang alot di antara mereka, dan pada penyikapan ini mereka juga dituntut untuk berytanggung jawab dalam menyampaikan pendapatnya sehingga landasan literature mutlaq diperlukan. Dan kitab kuninglah yang menjadi acuanya. Tujuan dari bahtsul masail ini bahwa para santri di harapkan mampu menghadapi masalah yang sedang di alami oleh masyarakat sehingga apa yang mereka pelajari bukanlah hal yang mengawang dilangit akan tetapi merupakan realitas nyata dan oleh karena itu problem yang di ajukan juga selalu terkait dengan masyarakat. 
Diluar ketiga sistem belajar itu santri juga dibudayakan dalam hari-harinya untuk mutholaah terhadap apa yang di pelajarinya. Bahkan tidak jarang mereka harus menghafalkannya. Cara menuju ke jenjang selanjutnya juga berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain. Dalam belajar mereka tidak terikat batasan waktu. Misalnya untuk naik kelas bukan tahun yang di hitung tapi kemampuan apakah dia sudah layak untuk mengikuti jenjang selanjutnya, begitu juga untuk kelulusan biasanya sebelum meninggalkan pondok santri harus mengabdi dulu baik kepada pondok itu sendiri maupun kepada masyarakat lingkungan pondok. hal ini menjadikan mereka lebih siap untuk kembali ke masyarakatnya dengan bekal ilmu yang di perolehnya.

Secercah Harapan Masa Depan Pendidikan
Di tengah ketidak pastian bangsa ini, maka dibutuhkan upaya yang sungguh sungguh untuk mengatasi krisis multi dimensi yang sedang melanda indonesia. Tidak hanya menunggu untuk berhentinya masalah tersebut, harus di mulai sekarang dengan melibatkan semua pihak. Politik ekonomi budaya dan juga ilmu pengetahuan adalah masalah-masalah komplek yang dihadapi negeri ini. upaya mencari alternative penyelesaian harus segera di galakkan. Kita tidak hanya mengharapkan cara-cara konvensional untuk membuat formula jitu dalam proses tersebut.
Salah satu dari problem serius diatas adalah pendidikan, dalam konstitusi Negara kita. Pendidikan adalah hak dan ia terdapat dalam pembukaan UU yang kedudukannya bagi Negara ini adalah ruh dan ia tak akan pernah bisa di ubah selama bangsa ini masih bernama indonesia. Ya memang demikian adanya akan tetapi sampai saat ini masalah pendidikan adalah masalah yang selalu santer menjadi perbincangan public. isu sistem pendidikan yang masih jelas bagaimana ke depannya, liberalisasi pendidikan sampai yang terjadi tiap tahun UAN misalnya selalu saja menjadikan timbulnya konflik di Negara ini.
Pesantran adalah salah satu alteranatif terbaik dalam memberikan solusi atas permasalahan pendidikan di indonesia. Wajah pesantren indonesia yang terbukti mampu bertahan sejak asalnya hingga saat ini adalah kelebihan yang luar biasa. Ia mampu bertahan adalah karena kedekatannya dengan masyarakat, ia berperan aktif sebagai pelayan ummat di tiap periode sejarah bangsa ini. sistem yang jelas, orientasi yang jelas dan sesuai dengan jangkauan masyarakat membuatnya survive hingga saat ini. dan kalau di bandingkan lebih jauh lagi sebenarnya sistem pesantren setara dengan sistem yang dipakai di Negara-negara maju. Misalnya universitas terbaik di dunia ini dalam peringakatnya Harvard adalah sejak berdirinya menggunakan sistem ini, ia mewajibkan mahasiswa-mahasiswanyanya untuk tinggal di asrama, sistem pembelajaran kurang lebih sama serta ia juga mandiri terhadap kekuasaan pemerintah. Begitu juga jepang misalnya di sana jam belajar kira hampir seperti pesantren yaitu di mulai pagi hari sampai sore hari. Begitu juga bisa kita lihat di Negara-negara lain standar yang seperti pesantren lah yang terbukti mampu menjadikan kualitas pendidikan mereka berada di puncak.
Terakhir dari tulisan ini adalah bahwa pesantren adalah lembaga yang asli di miliki oleh bangsa ini. ia tetap eksis walaupun zaman berubah, rezim berganti-ganti memegang kekuasaan Negara ini. keberadaanya sangat di butuhkan terutam sebagai alternative pendidikan. Ia lembaga yang punya peranan besar sebagaimana amanat konstitusi. Walaupun ia sering kali mendapat perlakuan diskriminatif ia tak hentinya untuk berkonstribusi dalam pembangunan sumber daya manusia indonesia. Pesantren engkaulah harapan bagi pendidikan masa depan. 
VIVA PESANTREN

Wallohu a”lam bisshowab
2 mei 2010

PETANI JUGA PERLU DI BELA

LAGI-LAGI PETANI yang RUGI

Judul tulisan di atas adalah bentuk keprihatinan saya terhadap realitas yang terjadi pada nasib yang dialami para petani di Indonesia. akan mudah di tebak ketika membicarakan mereka pasti akan terlihat bagaimana kondisi penghidupan mereka sehari-hari yang pastinya tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan, keterbelakangan pendidikan dan juga permasalahan-permasalahan lain. Yang lebih memperihatinkan adalah kondisi tersebut kini sudah di anggap sebagai permasalahan klasik yang sampai sekarang belum bisa di selesaikan. Belum bisa di selesaikan bukan berarti memang masalah tersebut tidak dapat diselesaikan akan tetapi lebih disebabkan keengganan pemerintah selaku pemegang kewenangan dari masyarakat dalam menentukan kebijakan untuk berupaya sungguh-sungguh dalam memberikan solusi terhadap masalah ini. sehingga apa yang terjadi terhadap keadaan yang di tanggung mereka bukan karena alami akan tetapi lebih oleh structural ( sistem yang berlaku memang menghendaki demikian)
Sewaktu saya masih usia SD-SMP ada pernyataan berkesan dari orang tua yang sampai sekarang masih selalu teringat di benak saya. Bahwa begini, selepas membantu mereka dari sawah Bapak bilang : “ le nek iso ojo dadi wong tani, cukup aku karo ibumu seng ngelakoni penggawean koyo ngene “ (nak kalau bisa jangan jadi petani, cukup saya sama ibumu yang melakukan pekerjaan kayak gini. Cukup aneh saya rasakan waktu itu, apa sebenarnya jeleknya jadi petani. Bukankah petani adalah pekerjaan yang dilakukan orang-orang mulia (dalam ukuran saya). Tidak bayangkan bahwa jika misalnya para petani tidak mau menggarap sawahnya maka mau makan apa nanti kalau tidak dari mereka. Hal ini mungkin wajar dirasakan seorang anak waktu itu yang hanya tau bahwa dunia sekitarnya yaitu pertanian adalah sesuatu yang menyenangkan, setiap hari bergelut dengan duia tersebut serta factor lingkungan bahwa profesi tani adalah warisan yang diturunkan dari mbah buyut (leluhur) saya kemudian diturunkan ke anaknya dan di turunan lagi sampai kakek saya dan sekarang juga Bapak saya akhirnya mau tidak mau saya juga akan mewarisinya untuk menekuni profesi tersebut.
Dalam usia kedewasaan ini, saya baru memahami apa sebenarnya ma’na yang disampaikan oleh orang tua saya itu. Setelah melihat realitas yang ada saya tafsirkan bahwa beliau seperti itu bukan karena tidak menginginkan pekerjaan tersebut. Hal itu terucap lebih dikarenakan perlakuan tidak adil yang diterimanya begitu juga bila ruang lingkupnya lebih luas yaitu pada petani-petani pada umumnya. Sedangkan kondisi dimana terdapat ketidak adilan ini berlangsung terus menerus keadaannya. Yang berarti mereka merasa selalu tertindas dalam menjalankan profesinya. Sehingga kemudian jika dilihat maka pernyataan seperti yang di sampaikan Bapak saya itu adalah suatu bentuk protes tersamar dari orang-orang tani yang tidak berharap anak-anaknya jatuh dalam keadaan yang menimpa orang tua-tua mereka. Dan pada kenyataan yang saya lihat proses demikian telah mulai kelihatan adanya.
Jika keadaan yang seperti ini dibiarkan berlangsung terus-menerus maka tidak terelakan lagi di kemudian hari akan menimbulkan masalah-masalah yang lebih banyak dan tentunya bagi negaralah yang akan menanggung semua masalah ini. kenyataan sampai saat ini menunjukkan bahwa sector masih memegang peranan terpenting bagi perekonaomian bangsa kita. Dikatakan penting sebab harus di akui bahwa sebagian terbesar rakyat di Negara ini masih menggantungkan mata pencaharian hidunya dengan mengandalkan sector tersebut. Oleh karena demikian maka masih layak jika Indonesia mendapat julukan sebagai Negara agraris. Hal yang menjadi problem kemudian adalah jika para petani tersebut bosan dengan kehidupan bertaninya dan akhirnya mencari pekerjaan alternative selain pertanian maka mau tidak mau mereka harus keluar dari desanya sebab tidak mugkin lagi tinggal di tempat yang hanya menawarkan pekerjaan yang sifatnya homogeny, dan kemudian mau tidak mau mereka harus melakukan urbanisasi ke kota sebagai pelarian untuk mencapai keinginan mereka.
Bahwa sudah menjadi sifat umum bagi siapa saja yang mengharapkan hidup di kota harus punya keterampilan atau keahlian lebih, hal seperti ini jauh berbada dengan hidup di desa yang hanya ada sedikit jenis pekerjaan. Sehingga persaingan hidup diperkotaan juga sangat terasa akibatnya bagi penghuni tempat tersebut. Profesionalisme adalah harga mati bagi mereka yang hendak cari hidup di sana. Sementara itu arus urbanisasi yang terjadi besar-besaran ( bisa dilihat dalam sepuluh tahun terakhir) akan menjadi masalah dalam kehidupan perkotaan. Pada umumnya mereka yang dari desa pindah ke kota karena ingin cari kehidupan yang lebih baik karena sudah tidak mampu lagi untuk bertani pada umumnya adalah jenis orang yang tidak punya banyak keterampilan lain. Mereka hanya bermodal untung-untungan untuk bertahan. Sesampainya mereka dikota tak akan dapat segera kembali walaupun tau persaingan sebagaimana di atas, banyak alasan mungkin karena kehabisan bekal atau Karena mali pulang sebelum membawa kesuksesan ke desanya. Keputusan yang diambil akhirnya mereka hanya puas jadi kuli-kuli di pasar, tukang sapu di jalan atau pekerjaan rendahan lainnya. Itu pun bukan tanpa persaingan bahkan pekerjaan kelas rendahan seperti itu yang tidak membutuhkan keahlian lebih justeru sangat besar persaingannya.
Akibat lagi dari adanya urbanisasi yang besar-besaran adalah meningkatkan angka pengangguran dikehidupan kota. Seperti paparan di atas bahwa walaupu jenis pekerjaan kelas bawah di kota besar tetap menghendaki adanya persaingan, maka akibatnya belum tentu setiap urban dapat pekerjaan disana. Lalu kemudian dari adanya pengangguran ini akan memicu pula berbagai tindak criminal missal copet, pencurian, perampokan, maraknya tempat-tempat prostitusi juga eksploitasi anak-anak di jalanan. Tentunya masalah-masalah ini akan menjadi beban yang membutuhkan waktu lama dalam penyelesaiannya. Tindak hanya seebatas kriminalitas saja namun juga akhirnya Pemerintahan kota akan tetap bersinggungan dengan para penduduk desa yang berurbanisasi ke kota. Adanya penertiban oleh SATPOL PP, penangkapan gelandangan, penggusuran rumah-rumah liar jika di telusuri juga merupakan akibat dari arus urbanisasi tersebut. Dampak dari urbanisasi petani dari desa ke kota ini tidak hanya menjadi masalah bagi kehidupan perkotaan tapi juga terasa bagi kehidupan pedesaan asal. Utopia bahwa di kota akan banyak peluang sukses materiil akan menjadi pemicu motivasi orang berurbanisasi maka sudah pasti pekerjaan di desa akan terbengkelai serta banyak tanah-tanah pertanian yang harusnya di garap ditinggalkan akibatnya hasil produksi di desa tersebut akan berkurang. Akibat lainnya adalah masuknya gaya hidup perkotaan yang berlawanan kultur pedesaan maka akan membuat kemapanan yang telah ada menjadi amburadul sehingga desa pun semakin terkiskis kebudayaannya.
Untuk meminimalkan dampak akibat dari permasalahan ini adalah harus mengetahui keadaan riil dari pola kehidupan petani itu sendiri sehingga kebijakan akan dapat diambil dalam tahap penyelesaian masalah ini. hal mendasar yang selalu dihadapi petani adalah harga pupuk yang selalu melambung tinggi, anjlognya harga gabah dimusim panen dan tingginya harga gabah di waktu paceklik. Belum lagi masalah-masalah diluar pertanian seperti harga kebutuhan pokok, kebutuhan pelayanan kesehatan atau juga akses terhadap pendidikan. Di bawah ini akan disampaikan ilustrasi riil yang terjadi dalam pengelolaan pertanian dari keluarga penulis.
Luas tanah yang di miliki ukuran seperempat ( kurang lebih 2500 m2) dari tanah seluas ini butuh 40 kg bibit dengan harga Rp 120 ribu, pupuk yang dibutuhkan dari mulai penyemaian sampai padi di panen adalah 4 kwintal. Harganya bila di rinci ( harga pupuk yang sudah tidak bersubsidi dan sampai sekarang naik turun ) adalah jenis UREA Rp. 90 ribu perkarung, jenis TSp 85 ribu perkarung, jenis Garem 100 ribu, dan pupuk campuran jenis PONSKA 120 ribu satu karungnya. Dari penanaman butuh 5 orang yang cabut benih masing-masing di upah 20 ribu dan konsumsi untuk mereka kurang lebih 75 ribu. Untuk yang tanam benih butuh 12 orang masing2 di upah 15 ribu konsumsi untuk mereka kira-kira 150 ribu pada waktu menyiangi rumput butuh tenaga kerja 12 orang lagi upah dan kosumsinya sama dengan waktu tanam benih. Untuk penyiangan rumput tahap ke dua butuh 8 orang. Dari masa tanam ini butuh pestisida misalnya ketika terjadi penyakit daun karena serangga atau ulat ( jawa, slundep) harga obat 95 ribu, obat agar daun hijau 7 ribu dengan berkali-kali semprot. Obat belalang perbotol 15 ribu ( berkali-kali semprot), obat untuk serangga sejenis kupu-kupu kecil 17 ribu ( berkali2 semprot) dan pestisida lainnya. Pada musim panen dari tanah seluas ini membutuhkan tenaga kerja penuai padi 12 orang masing-masin pekerja sehari 40 ribu serta konsumsi bagi mereka adalah 150 ribu. Hasil yang di peroleh adalah sebesar 25kwintal sedangkan harga perkilo gabah adalah 2.200 rupiah. Dari 26 kwintal itu masih dipotong seperlima sebagai biaya pengairan.
Dari ilustrasi di atas dapat di ringkas sebagai berikut :
Kebutuhan bibit 40 kg : Rp. 120 ribu
Kebutuhan pupuk 4 kw : Rp. 790 ribu
Kebutuhan obat tanaman : Rp .150 ribu
Pencabut benih : Rp. 175 ribu
Penanam benih : Rp. 330 ribu
Penyiang rumput 1dan 2 : Rp. 400 ribu
Penuai padi : Rp. 630 ribu total : Rp. 2595 ribu
Dari semua biaya yang di keluarkan maka akan dijadikan pengurang hasil pertanian dalam hal ini padi adalah hasil total gabah-biaya pengairan = 27 kw : 0,5 = 27 kw - 5 kw 20 kg =21 kw 60 kg.
Hasil bersih padi adalah 21 kw 60 kg x Rp 2.200 = 2.160 x 2.500 = Rp 5.400.000,-
Hasil ini di kurangi dari biaya selama produksi padi adalah Rp 5.400.000 – Rp. 2.595.000 = Rp. 2.805.000,-
Jika mau kita hitung lebih lanjut bahwa hasil panen ini bisa kita lihat perharinya yaitu hasil bersih padi di bagi hari tanam selam 4 bulan Rp.2.805.000 : 120 hari = Rp 2.337,5- perhari
Sungguh angka yang mengejutkan jika kita lihat betapa sebagian besar rakyat yang menggantungkan hidupnya dari sector pertanian hanya mencukupkan diri dari penghasilan seperti itu. Maka kalau di pikir secara akal kita, tidak akan sanggup membayangkan kapan kesejahteraan petani akan terpenuhi mereka hanya mendapatkan penghasilan 20,5 ribu maksimal dalam satu hari itupun bukan penghasilan yang ajeg selalu didapat dan biasanya pada musim tanam padi kedua maka hasil yang di capai tidak akan semaksimal itu belum lagi resiko gagal panen maka tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk memenuhi walau hanya sekedar kebutuhan pokok. Adalah jauh dari harapan mereka untuk mendapatkan akses pendidikan dengan mudah ( formal maupun informal sampai tingkat perguruan tinggi) juga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal belum lagi jika nanti permainan spekulasi pemborong tebas maka di sini sudah jelas posisi petani adalah harus segera di selesaikan permasalahan yang selama ini membelenggu kehidupan mereka.
Dari masalah-masalah dasar tersebut sebetulnya peranan pemerintahlah yang dapat memberikan solusi terbaik. Kebijakan yang diambil harus seefektif mungkin dengan pertimbangan sepenuhnya mengacu pada kebutuhan petani. Memang perlu di akui bahwa Negara juga tidak terlepas sama sekali dengan masalah-maslah ini hal ini bisa kita lihat dalam kebijakan-kebijakan terkait pertanian salah satu misalnya adalah UU No 5 th 1960 tentang Pokok Agraria. Namun sampai saat ini belum ada lagi tindakan yang revolusioner dalam kebijakan perundangan setelah itu. Yang menjadi muatan dalam UU ini hanyalah masalah yang menyangkut pembagian hak-hak tanah sedang mekanisme bagaimana pengelolaan sampai bagaimana hasil itu di pergunakan belum di atur. Oleh karena itu maka sekali lagi harusnya yang mengambil inisiatif dalam penyelesaian problem ini, bukan hanya memberati mereka dengan segala peraturan yang menjadi beban bagi kehidupan mereka.

di akhir tulisan ini saya akan sampaikan kutipan dri salah satu ucapan ustadz saya yaiotu : "Bahwa pemerintah yang menjadikan rakyatnya sebagai teman terbaik maka ia akan bertindak Menurut kehendak rakyat dan pasti Pemerintahan tersebut akan sukses sedangkan pemerintah yang memusuhi rakyatnya dan ia menjadikan yang asing sebagai temannya maka bisa di pastikan reakyatlah yang akan tertindas."

WaAllhu a'lam bishowab.
tulisan ini pernah dimuat dalam akun FB 21 April 2010
http://www.facebook.com/notes/mochamad-adib-zain/salahkah-kalau-petani-memperoleh-haknya/383185438726

Hai Buruh!!! Bagaiamana kabarmu?

Buruh, tani, mahasiswa,, rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokasi
Gegap gempita dalam satu suara
demi tugas suci yang mulia.
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyaraka
Indonesia baru tanpa orba

Sepenggal lagu di atas adalah mantra sakti yang digunakan sekitar 12 tahun yang lalu, yang mampu membangkitkan semangat masyarakat yang berpuluh-puluh tahun tertindas untuk melawan. Tertindas bukan oleh orang lain akan tetapi oleh bangsanya sendiri yang menjadi penguasa rezim. Mustahil sekali untuk melawan dan menang waktu itu dengan melihat bagaimana rezim begitu kuat dan bertindak represif serta mendapat dukungan penuh dari militer. Merupakan suatu yang mengejutkan ternyata sepuluh tahun yang lalu mampu memotong sejarah kediktatorn se’orang penguasa dan menjadi tonggak sejarah baru bagi kelanjutan kehidupan bangsa.
Ada suatu adagium yang populer menyatakan bahwa segala sesuatu ada zamannya dan setiap zaman akan berbeda untuk setiap sesuatu. Mungkin ini juga berlaku bagi mantra sakti diatas yang digunakan oleh ribuan demonstran yang dengan bahu-membahu menggulingkan masa orde baru. Walalupun masih banyak dinyanyikan, didengung-dengungkan terutama oleh mahasiswa dan dipaksakan jadi lagu wajib ketika ospek atau juga masih bisa didengar ketika lagi demo kenaikan harga BBM atau KPK kemaren misalnya akan tetapi ia tak lebih dari nostalgia masa lalu dan pada kenyataannya bahwa lagu tersebut kehilangan daya pendobrak masa untuk melawan musuh-musuh rakyat yang lebih sakti lagi. Bahkan menyanyikan lagu ini hanya sekedar formalitas tanpa ma’na.
Terlepas dari lagu ini apakah masih sakti atau tidak sebagai mantra penyemangat sebagaimana dalam liriknya. Kehidupan tidak berubah yang miskin tetap miskin dan orang-orang kaya baru bermunculan dan menjadi elit yang menggantikan kedudukan penguasa yang lalu. Namun masih ada baiknya pula mencermati bahwa didalam lagu ini sang pengarang menyebutkan kesuksesan perlawanan itu dilakukan bersama-sama oleh segenap element masyarakat: buruh, tani mahasiswa dan lain-lain pula. Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menyoroti elemen yang pertama bertepatan dengan momentum yang dirasa sangat pas yaitu 1 mei sebagai hari buruh internasional.
Dalam konstitusi Negara kita yang semua sumber hukum bermuara padanya dan menjadi tolok ukur terakhir dan utama bagi setiap aturan menyebutukan didalam pasal-pasal tentang hak asasi manusia terutama pasal 28 D ayat 2 “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Ya secara normative demikian adanya akan tetapi dari hak yang diatur dalam norma dasar tersebut masih butuh seperangkat norma lagi untuk melaksanakannya dan sebenarnya yang terpenting adalah perlu komparasi antara UUD tersebut ( ground norm) dengan peraturan pelaksananya yang mestinya berada dibawahnya dan tidak boleh bertentangan dengannya.


Kebijakan Yang Tidak Memihak

Sebagaimana umumnya negara didunia, Indonesia juga mengalami sejarah perburuhan yang panjang. Bahkan bisa dikatakan sejarah perburuhan indonesia adalah bagian dari sajarah perburuhan didunia. Walaupun Indonesia adalah negara agraris akan tetapi proses industrialisasi juga mampu mencapai sudut-sudut terdalam wilayah indonesia. Bahkan awal proses industrialisasi tersebut jika kita menengok beberapa puluh tahun kebelakang akan terlihat bahwa industrialisasi itu diawali dari bidang agrarian ini. kita masih ingat akan karya penting zaman kolonialis yang ditulis oleh multatuli dalam judul maax havelaar bagaimana ia menggambarkan sistem tanam paksa di daerah lebak banten yang menindas bangsa pribumi putra ( orang asli indonesia).
Kolonialisasi yang pastinya juga menerapkan ideology kapitalis sebagai patokan utama dalam mengambl kebijakan sudah barang tentu mereka akan mengeruk keuntungan dari Negara yang dikuasai. Bukan hanya wilayah yang mereka rebut akan tetapi juga manusia-manusianya mereka kuasai dan mereka perbudak. Pada masa indonesia dibawah jajahan ini maka mereka dipaksa bekerja tanpa dibayar. Dalam masa ini dikenal adanya sistem kerja paksa baik untuk menyerahkan tenaganya karena tidak punya lahan atau bagi yang punya anah untuk menanami tanah pertaniannya dengan komoditi ekspor belanda.
Mungkin agaknya berlebihan jika kita memulai sejarah perburuhan dari konteks kolonialisasi karena adanya perburuhan pasti memuat buruh dan majikan. Sedangkan zaman colonial adalah budak dengan tuannya. Tapi disitu sebenarnya kita bisa melihat satu kesepahaman bahwa walaupun dalam sistem yang berbeda dalam hubungan antara buruh dan majikan akan tetapi motifnya kira-kira sama.
Prinsip dalam ekonomi yang sejak SMP diajarkan adalah kira-kira berbunyi seperti ini MELAKUKAN PENGELUARAN SEKECIL-KECILNYA UNTUK MENDAPATKAN PENGHASILAN SEBESAR-BESARNYA. Prinsip ini mungkin jika hanya kita lihat sekilas merupakan suatu teori semata akan tetapi lebih dalam ketika kita coba lihat bagaimana mengaplikasikannya maka hasilnya akan bisa kita saksikan dalam sistem perekonomian Negara kita dan Negara-negara didunia sekarang. Simple memang namun bahwa adanya eksploitasi manusia dan juga sumber daya alam bisa dimulai dari prinsip ini.
Prinsip yang tersebut diatas maka bisa diterjemahkan bahwa pengusaha harus untung sebesar-besarnya. Untuk memperoleh keuntungan maka ia harus meminimalisir pengeluarannya dan salah satu pengeluaran adalah gaji buruh-buruhnya. Begitu juga dengan gaji buruh yang murah mereka masih harus memaksa buruh-buruh tersebut untuk bekerja sekeras-kerasnya untuk memperoleh hasil yang besar dan keuntungan juga akan besar pula. Maka dari deskripsi diatas bisa dipahami kalau kita coba baca sejarah maka itu terjadi pada mulanya dinegara yang menuju industrialisasi dan terutama dimulai dari inggris. Yang mana untuk mensukseskan agenda industrialisasinya maka disana jam kerja sangat lama dan juga tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Maka tidak heran kemudian di Negara-negara ini yang mula-mula dituntut adalah pengaturan jam kerja, masalah anak-anak lalu juga masalah jamoinan sosial.
Balik lagi pada sejarah indonesia bahwa pasca kolonialisasi bukan berarti maslah perburuhan menjadi membaik. Disana pertentangan-pertentangan sangat besar terutama waktu itu Negara muda yang namanya insdonesia juga sedikit banyak terkena pengaruh dua kekuatan ideology besar dunia waktu itu. Disatu sisi barat yang dipimpin Amerika serikat tampil dengan wajah kapitaisnya yang mana suatu kebijakan negara agar bisa eksis dalam kancah internasional tergantung pada modal yang dimilikinya implikasinya juga bahwa modal adalah yang paling berperan dari Negara tersebut dan juga Negara harus mengikuti kemauan sistem ini. Sebaliknya di eropa timur juga menjalar kesebagian besar dunia muncul ideology sosialis yang kemudian dalam perkembangannya muncul juga komunis sebagai partai-partainya. Dalam ideology ini memberikan kewenangan yang sangat besar bagi negara untuk mengatur kehidupan rakyatnya sehingga pemerintahan negara yang menganut ini banyak yang menjadi otoriter.
Dalam masa ini nasib buruh pun banyak tidak berubah terutama karena kondisi politik negara yang tidak stabil namun cukup menggembirakan bahwa waktu itu posisi buruh cukup mendapat perhatian Pemerintahan terutama karena adanya partai yang memang secara tegas punya perhatian disitu. Walaupun bagi sebagian orang dinegeri ini PKI dianggap sebagai partai yang jahat akan tetapi jika kita cermati PKI lah yang punya banyak perhatian terhadap buruh, kaum tani dan rakyat miskin waktu itu. Dan juga pada waktu itu juga adanya sistem land reform yang tentunya juga memberi keuntungan bagi buruh tani dengan adanya pemerataan kepemilikan tanah.
Setelah orde lama tumbang maka munculah orde dengan presiden baru. Namun salah satu yang melatar belakangi tumbangnya rezim lama adalah salah satunya karena adanya upaya coup de etat ( kudeta) oleh PKI. Maka dari asal itu kemudian kita mengalami masa-masa sejarah yang kelam bahwa PKI melakukan pembantaian dalam upayanya akan tetapi karena kekalahannuya dalam upaya tersebut maka terjadi pembantaian balik pada orang PKI, simpatisan atau yang di PKI_kan.dalam perkembanganya Karena sentiment ideology maka hal-hal yang berbau kegiatan PKI di curigai akibatnya kaum buruh juga menerima dampak ini Karena seperti paparan diatas agenda PKI salah satunya difokuskan pada penghidupan kaum buruh.
Dalam masa orba ini maka kebijakan yang diambil berbanding terbalik 100% dengan rezim sebelumnya. Jika masa sebelumnya Pemerintahan lebih condong ke sosialis maka untuk orde baru sebaliknya akibatnya indonesia membuka diri seluas-luasnya terhadap barat sehingga indonesia. Pada masa itu indonesia juga membuk Hubungan ekonomi dengan Negara-negara tersebut, maka Negara barat yang corak ideologinya capital maka mereka secara besar-besaran menanamkan investasinya dinegara indonesia dan memang hal itu yang dikehendaki indonesia syarat mereka menanamkan infestasinya di indonesia. Untuk kenyamanan berinfestasi salah satunya adalah harus tersedianya buruh yang upahnya murah.

Buruh dan harapan

Pada hari ini buruh dimana-mana berhak memperingati hari yang diperuntukkan bagi mereka. Hari buruh dimulai sejak 1890 sedangkan di indonesia mulai 1920 namun apa yang menjadi peringatan tahunan ini hanya seremonial belakanya. Faktanya bahwa kebijakan yang diambil oleh negara kebanyakan lebih memihak pada pemodal daripada para buruh. Hal ini wajar terjadi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia bahwa investasi asing adalah hal yang mewah serta untuk mendapatkannya haruslah dengan usaha yang maksimal karenanya jika mereka telah masuk maka mereka harus dijaga jangan sampai mereka pergi lagi. sedangkan mereka yang mau menanamkan infestasinya bukan tanpa syarat. Dua syarat utamanya adalah upah buruh yang rendah dan keamanan usaha.
Sementara di posisi yang lain kaum buruh tidak memiliki posisi tawar sama sekali. Jika dilihat dari motif mereka bekerja maka kebanyakan karena factor kemiskinan ekonomi, apalagi industry-industri yang ada diindonesia kebanyakan berbentuk usaha padat karya maka disisi lain banyak menyerap tenaga kerja juga banyak menuntut mereka untuk kerja yang maksimal. Sedangkan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan benar-benar ketat terutama di sector-sektor bawah maka mau tidak mau mereka akan diam saja jika terjadi penindasan. Sebab jika mereka melawan maka mereka harus siap diganti dengan buruh yang lain. Dan akibatnya mereka akan kehilangan pekerjaannya padahal dari menjadi buruh itulah satusatunya mata pencaharian.
Hal seperti diatas adalah kondisi umum dalam kehidupan perburuhan, terakhir CAFTA ( China Asean Free Trade Area) adalah contoh yang membuktikan hal tersebut maka bisa dipastika dampaknya kedepan sudah bisa diprediksi, masuknya barang2 produksi China akan mematikan industry lokal dan bisa dipastikan bakal banyak buruh yang di PHK .
Padahal selain masalah-masalah itu hal-hal dasar perburuhan belum terlaksana. Taruhlah misalnya jaminan sosial, Upah minimum, jam kerja dan lain2. Selain itu yang sampai saat ini masih menjadi ganjalan adalah setiap buruh melakukan aksi masih cenderung ada kecurigaan dari pemerintah bahwa meraka orang-orang kiri ( komunis) padahal aksi yang dilakukan murni semata-mata menuntut hak. Selain itu bahwa regulasi yang ada belum mendukung untuk berpihak kepada kaum buruh dari pada kepada kapitalis. Harapannya kedepan perlu ada perlakuan yang lebih fair dari pemerintah. UU no 13 tahun 2003 perlu untuk diubah melihat muatan dr UU tersebut sebenarnya belum memberikan peluang bagi buruh untuk mendapatkan hak-haknya. Dan bahwa sedikit agak membingingkan karena dalam klausula yang menyebutkan hak akan tetapi malah pasal-pasal yang mengaturnya muatannya adalah kewajiban.

Wallohu a’lam bishowab

Tulisan ini sudah dibuat sejak 1 mei 2010 dalam Akun FB
http://www.facebook.com/notes/mochamad-adib-zain/buruh-dari-masa-ke-masa/385912883726

Rabu, 09 Januari 2013

Semuanya diperuntukan bagi orang kota.

Hoi wong ndeso
Olok-olokan yang seharusnya tak bisa dibenarkan untuk dilakukan, apa salahnya jadi orang desa? Seakan orang desa adalah aib. Apa jeleknya hidup di desa? Tak tahulah, seakan sampai sekarang desa masih diasumsikan sebagai masyarakat tertinggal yang hidup dalam koloni-koloni yang primitif tak beradab.

Salah Siapa?
Tentu kalau kita bicara siapa yang salah maka akan tunjuk si ini yang bertanggung jawab si itu yang benar dan si anu yang menyebabkan semua, akhirnya berakhir dengan saling menyalahkan dan sling mencari pembenar sendiri. Ujung-ujungnya permasalahan yang sedang dihadapi lagi-lagi tak terselesaikan, terbengkalai seperti masalah-masalah lainnya.

Problem kota desa memang bukan problem yang baru muncul. ini merupakan persoalan yang sudah terjadi sejak turun temurun. Terlepas dari kelemahan serta yang dimiliki oleh masing-masing setidaknya harus ada upaya menajadikan keduanya setara. Dalam posisi, mental dan lebih urgent soal akses keadilan.

Selama ini kota dianggap superior dibanding desa, sampai pendidikan pun mencekoki siswanya tentang keunggula perkotaan. Untuk pilihan hidup, tentu kota tujuan pertama entah sekedar menjadi buruh atau sebagai tempat tinggal. Kota sebagai tempat yang memberikan akses lebih baik untuk segala hal, tak heran jika hanya sekedar bersekolah maka ke kota selalu nomor satu dibanding desa. Pusat pemerintahan, pusat ekonomi, pendidikan, tersedianya segala fasilitas transportasi, maupun tekhnologi tak pelak menjadi keunggulan yang jauh dijangkau oleh desa.

Kebalikan 180% adalah desa, jangan bayangkan gedung pencakar langit, apalagi mobil mewah berseliweran. Punya jalan aspal dan sarana transportasi publik yang memadai saja merupakan cita-cita seumur hidup. Di desa seorang tidak pernah mengembangkan diri sebeluim mencicipi kehidupan kota. Bahkan babu yang dari kota lebih mulya ketika musim lebaran daripada petani yang mengerjakan sawah warisan leluhurnya. Pendidikan di desa adalah pendidikan 'ala kadarnya. Cukuplah anak desa bisa baca tulis tapi mereka tak bisa menjadi pandai karena memang ketiadaan akses yang tersedia. Hubungan desa dan kota adalah hubungan sepihak, desa hanya dipersiapkan untuk melayani orang kota. Beras, sayur dan semua sumber alam diangkut untuk memenuhi kebutuhan orang kota bahkan untuk memberi harga pada produksinya saja harus didikte oleh orang kota juga.

Bagaimana mengubahnya ke arah lebih baik.

Soal stigmatisasi orang kampung, kampungan. Wong ndeso adalah suatu yang terjadi akibat kesenjangan yang selama ini terjadi terus menerus dan parahnya lagi diamini sebagai suatu yang terjadi secara alami, memang demikian adanya. Wajar-wajar saja sehingga tidak perlu adanya intervensi dari pihak manapun untuk mengubah kesenjangan itu.

Pertama-tama haruslah kita dudukan posisinya baik desa maupun kota. Kedua-duanya adalah bagian dari wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Jika demikian halnya maka keduanya seharusnya memiliki hak yang sama. Keduanya harus diperlakukan setara. Dalam arti soal akses terhadap keadilan, apa yang diberikan kepada kota seyogyanya diberikan pula pada masyarakat desa. Ktimpangan yang ada harus dikikis dari sedikit dari pembangunan sumber daya manusia yang merata.

Kedua, seyogyanya intervensi yang dilakukan tidak mengubah pranata yang ada. Desa memiliki homogenitas, kebersamaan, semangay gotong royong yang bisa menjadi modal utama dalam kemajuan. Sebaliknya kota dengan identitas dan keberagaman yang besar juga dikembangkan sesuai dengan eksistensinya yang ada.dan yang terakhir dalam pengembangan suatu kawasan lebih ditentukan oleh fungsi yang diampu, wilayah ini diperuntukan untuk misalnya politik, wilayah ini pertanian, wilayah ini perdagangan maka lambat laun kastanisasi kota yang maju dan desa yang tertinggal akan dengan sendirinya di tinggalkan.

Diakhir tulisan saya tutup dg kata bijak, Kota adalah masa kini, Desa adalah masa depan. Jangan hancurkan masa depan dengan keserakahan masa kini

Minggu, 06 Januari 2013

Anehnya negeriku

Inilah negeriku, semakin hari semakin tak kupahami apa maunya.ya inilah yang dulu dinamai Endonesia.di negeri kau boleh melakukan apa saja karena negeri ini tempat yang paling bebas di seantero jagad, bersamaan itu kau juga dilarang melakukan apa saja karena sekelompok manusia memaksakan kehendaknya untuk mengontrol yang lainnya.kelompok itu bisa saja dalam wujudnya yang formal terlembaga yang menyebut dirinya sebagai negara atau sekedar gerombolan kebal hukum yang mungkin saja juga dipelihara negara.

Di negeri ini engkau tak perlu takut kawan, Soeharto sudah mati. Tak ada lagi orang kuat yang membatasimu.mau korupsi, mau membunuh, mau merampok, merampas harta orang lain semua dapat kamu lakukan tanpa merasa bersalah. Bersalah hanya jika sudah diputus pengadilan, sedangkan kau punya uang untuk membeli pengacara handal sekaligus kau tugasi untuk menyuap hakim. Dengan uang kamu hanya berurusan dengan Tuhan, itupun jika kamu percaya, atau malahan uang itu Tuhanmu, oh bukan kamu sendiri Tuhannya karena kamu memiliki uang. Hukum apa yang bisa menyentuh orang yg "beruang".

Kalau kau mau tau kawan, negeriku ini gemah ripah loh jinawi. Dari dulu masyarakat kami mempercayainya. Ditambah juga dengan mitos rakyatnya adil makmur. Yang namanya mitos itu tidak ilmiah, berarti tidak bisa dibuktikan keberadaannya.jadi jangan kaget, jangan pula bertanya kenapa di tanah subur, kolam susu, tongkat kayu pun bisa tumbuh, emas melimpah tetep saja sebagian besar penduduknya miskin, bahkan untuk makan besok saja selalu menjadi beban hidup. Itulah realitas negeri ini.

Jika kebetulan kau ingin tinggal di negeri ini, sekolah yang tinggi. Jadilah PNS, hidupmu bakalan enak. Mereka boleh malas dan dapat gaji, cukup menjilat atasan asal bapak senang kau sudah terlindungi hidupmu. Jangan pula menjadi orang kritis banyak tanya itu bukan hal yang baik untuk dilakukan, kau bakal dimutasi atau diintimidasi karena melakukan itu. Seandainya kau punya banyak teori untuk memecahkan masalah akibat dari pendidikan tinggimu, jangan kau pakai. Kau harus terlihat bodoh dan selamanya menjadi bodoh. Itulah yang menyelamatkanmu.


Oh ya teman saya lupa, PNS hanya untukmu jika berpendidikan tinggi tapi tidak cukup punya uang. Jika kantongmu tebal cobalah adi wakil rakyat atau kepala daerah. Kamu bisa minta media buat mengorbitkanmu, kamu bisa menjadikan dirimu menjadi apa saja sesuai keinginan konstituenmu, kamu pasti terpilih. Uang adalah yang maha menentukan. Jika kau menjadi pejabat kau harus menggunakan matematika modern. Ia lebih canggih dalam penghitungan, ia tidak mengenal pembagian dan pengurangan, apalagi akar. Cukup dengan penambahan dan perkalian saja. 1+1 bukan 2 hasilnya, harus menjadi minimal 100 Milliyard syukur kalau bisa 1+1 jadinya satu Triliyun. Jangan berpikir hanya satu karena belum balik modal. Artinya selama jabatan 1 periode tambah sekali lagi itulah angka kasar yang harus kamu capai, Ah gak usah bohong pura-pura tidak mengerti.

Persetan itu kawan dengan rakyat miskin, kaum tertindas, minoritas atau segalanya. Negeriku ini adalah tempat bertarung, siapa yang kuat dialah yang menang. Survival of the fittes, teori seleksi alam berlaku. Lebih-lebih homo homuni lupus jika tidak "membunuh"kaulah yang akan mati. Orang-orang miskin adalah diperlukan negara untuk dijadikan alasan membuat proyek yang bernilai milyaran, mereka adalah komoditas yang laris untuk dijual dengan mata uang hasil pajak. Kamu harus cerdas kawan. Soal lingkungan jangan pula pusing, tak ada itu warisan anak cucu secara kolektif. Anak cucu ya yang ada hubungan kekeluargaanmu saja, demikian bukannya yg diajarkan soal hukum waris jadi jangan pernah merasa berdosa karena hal itu

Sudah dulu kawan, saya harap kamu mau berkunjung ke negeriku. Janji saya tunggu.

Senin, 7 Januari 2013

Selasa, 03 Juli 2012

Bacalah

pagi ini saya tersadarkan betapa pentingnya kata itu dalam hidupku. dari satu kata itu yang membawa saya sampai kondisi seperti ini. bisa kuliah, bisa berorganisasi bahkan dari kata itu bisa sangat mempengaruhi setiap tindakanku.

sayangnya akhir-akhir ini dengan alasan kesibukan dan juga alasan waktu aku melalaikan kebutuhan akan membaca itu. ada perasaan tidak adil terhadap diri sendiri mengapa demikian adanya saat ini. bukankah dulu disaat semuanya harus dijalani dengan keterbatasan semangat untuk melakukan aktifitas membaca sangat menggebu-gebu, di saat minimnya fasilitas disaat kesibukan justru lebih menumpuk dari saat-saat sekarang. ingatanku menerawang kembali ke masa lampau, ketika  keberadaan buku bacaan yang tidak memadai, kehausan akan informasi dan pengetahuan aku puaskan hanya dari buku bacaan wajib sekolah dan surat kabar. surat kabar itupun bukan yang baru, hanya bungkus belanjaan dapur ibuku yang tidak lengkap artikelnya atau jika ingin lebih maka kusediakan waktu untuk ke warung tetangga yang pasti lebih banyak koran untuk membungkus.Dengan kultur masyarakat yang belum begitu terbiasa dengan membaca akan menjadi pemandangan yang aneh jika melihat anak kecil duduk sambil membaca koran atau buku. bagi mereka membaca adalah disaat di bangku sekolah atau pada malam hari saat mengerjakan PR dari sekolahan. di luar itu maka dianggap sebagai kemewahan dan sekaligus menyia-nyiakan waktu untuk berbuat lebih produktif menghasilkan kebutuhan sehari-hari.

ya seperti itulah  masyarakatku, sangat wajar memang. Bagi petani desa yang masih harus memeras otak untuk mencukupi basic need maka membaca bukan masuk daftar kebutuhannya, dan itu pula yang kadangkala ditularkan kepada putra-putrinya sehingga kondisi mereka akhirnya tak jauh beda dengan ayah ibunya. Dan jauh dimasa lalu ketika bapak-ibu masih kanak-kanak maka cerita  keinginan  untuk belajar dan bersekolah tingkat lebih tinggi harus dikubur dalam-dalam. dari kondisi itu pulalah maka sedih hati ini mendengar cerita dari pamanku bagaimana dulu beliau harus memperjuangkan keinginannya untuk mendapatkan pendidikan. berbeda dengan saudara-saudaranya, prestasi luar biasa, langganan rangking satu dikelasnya juga pernah menyandang juara satu cerdas cermat di kecamatan namun sayang harus terhenti langkahnya menggapai mimpi karena alasan budaya. bukan karena apa-apa semata memang karena faktor lingkungan yang tidak mendukungnya, itu saja. anak laki-laki di masa itu hanya diizinkan untuk mendapatan pendidikan dasar, cukup baca tulis dan berhitung saja yang harus dimiliki. setelah itu maka ia berkewajiban membantu pekerjaan orang tua. seorang remaja laki-laki akan dianggap berhasil bukan seberapa tinggi ia mengenyam pendidikan. ia dipandang dalam mata masyarakat sebagai anak yang sukses dan anak yang baik diukur dari seberapa sapi yang bisa dibawa pulang hasil upahan dari ngangon kepada orang-orang kaya didesanya. Jika ada orang terutama guru menginginkan anak didiknya untuk belajar lebih tinggi utamanya karena bakat dan kecerdasan yang dimiliki bahkan sampai guru itu rela untuk menjadikannya anak pungut, jangan harap orang tua si anak akan mengijinkan.

itu hanya kenangan masa lalu bagi ayah, paman dan sebagian teman sebayanya yang tidak bisa mengenyam pendidikan. aku sendiri sebenarnya masih dalam kondisi lingkungan yang tidak terlalu jauh dari budaya itu. kesadaran orang tua dan pamanku yang membuat hasil berbeda. aku bisa sekolah setinggi-tingginya bahkan mendapat anugerah yang tak pernah terpikir nalar anak desa ini untuk bisa kuliah. saya tersenyum bila mengenang perjalanan dan perjuangan sehingga sampai pada titik ini. di saat anak kecil itu sambil mengangonkan kambing atau mencari rumput untuk sapi-sapinya, disaat ia bersama-sama temannya main kejar-kejaran di sawah dan  disela-sela itu saat kambingnya sudah ayem menikmati makannanya dengan tekun dan penuh minat ia dan temannya  jelajahi lembar per lembar informasi dari buku itu. dari sana mereka punya impian akan mendatangi tempat-tempat yang dibaca itu, mereka berimajinasi  akan mengubah dunia dan dari bacaan itupula yang menjadi inspirasi sepanjang hidup. membuka memori itu sunggah sangat indah dan tak akan bisa tergantikan lagi.

ya aku sudah tidak adil pada diriku sendiri, dulu aku mengimpikan untuk medapatkan kondisi sekarang namun setelah ku raih justru ku menyia-nyiakannya. mudahnya akses bacaan, perpustakaan dengan tumpukan buku-bukunya juga internet yang selalu bersamaku jarang aku manfaatkan untuk menggali informasi itu. bukankah wahyu yang pertama kalinya turun kepada manusia agung Muhammad adalah perintah untuk membaca, justru beliau sendiri waktu itu belum membaca, bukankah tokoh-tokoh yang ku kagumi juga menjadi besar karena banyaknya membaca. Hatta yang berpuluh-puluh peti bukunya betapa susahnya untuk di bawa ke tanah air, juga soekarno, syahrir, yamin dan juga dari pesantren seperti K.H Wahid Hasyim juga adalah orang-orang yang gemar membaca????


membacalah maka dunia akan menyerah didepanmu

Rabu, 20 Juni 2012

Naskah Akademik untuk Lomba Legislative drafting






BERKAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEPRESIDENAN


OLEH:

Jean – Jacques Rousseau
Aji Bagus Pramukti | Moch. Adib Zain | Ananda Prima Yurista | M. Aprian Wibowo | Yuli Yuliah

2012
 


PADJADARAN LAW FAIR 2012
LEGISLATIVE DRAFTING
 


HALAMAN JUDUL



 

BERKAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEPRESIDENAN








OLEH:

Jean – Jacques Rousseau
Aji Bagus Pramukti
Moch. Adib Zain
Ananda Prima Yurista
M. Aprian Wibowo
Yuli Yuliah

 


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tiada kata yang patut terucap selain mensyukuri segala nikmat-Nya yang telah memberikan ketetapan dan keteguhan hati untuk tetap fokus dalam berikhtiar menyelesaikan berkas legislative drafting ini. Legislative drafting tentang Undang-Undang Kepresidenan ini merupakan buah pemikiran beberapa mahasiswa yang sedang menempuh tugas paripurna dan beberapa mahasiswa yang lebih junior sebagai ikhtiar untuk senantiasa belajar. Semoga hasil karya ini dapat kembali mengharumkan semerbak wewangian untuk almamater tercinta. Semoga segala jerih upaya dicatat oleh-Nya sebagai titian langkah dalam tholibil ‘ilm.
Naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang Kepresidenan (RUU Kepresidenan) ini adalah benih dari pentingnya lembaga kepresidenan dalam menjalankan kewenangan membawahi organ-organ di bawahnya. Selama ini, belum ada pengaturan khusus dan rinci mengenai lembaga kepresidenan. Dari ketiga cabang kekuasaan yang ada dalam konstitusi yakni, legislatif, eksekutif dan yudikatif, hanya cabang kekuasaan eksekutif yang belum memiliki undang-undang tersendiri.
Guna mendukung prakarsa RUU Kepresidenan maka dibuatlah naskah akademik ini. Naskah akademik ini berisi mengenai hasil penelitian dan kajian terhadap permasalahan ketatanegaraan khususnya mengenai lembaga kepresidenan. Naskah akademik ini juga berguna untuk mengisi landasan filosofis, yuridis dan sosiologis dalam penyusunan RUU Kepresidenan.
Akhir kata, tentu masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan berkas legislative drafting ini. Kami dengan segala kerendahan hati memohon saran perbaikan yang bersifat konstruktif demi perbaikan ilmu hukum dan perkembangan hukum di masa yang akan datang. Terimakasih. Viva Justicia!!!



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I      PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
B.       Identifikasi Masalah
C.       Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
D.       Metode
BAB II    KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS
A.       Kajian Teoritis
B.       Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
C.       Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
D.       Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur dalam Undang-Undang terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
BAB III   EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A.       Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
B.       Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
C.       Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
D.       Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden
E.        Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
F.        Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan
G.       Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
H.       Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
I.          Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2010 tentang Sekretariat Kabinet
J.          Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2010 tentang Kementerian Sekretariat Negara
BAB IV   LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A.       Landasan Filosofis
B.       Landasan Sosiologis
C.       Landasan Yuridis
BAB V    JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A.       Ketentuan Umum
B.       Materi yang Diatur
C.       Ketentuan Sanksi
D.       Ketentuan Peralihan
BAB VI   PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEPRESIDENAN




BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).[1] Dimana dalam suatu negara hukum kekuasaan tertinggi adalah hukum itu sendiri. Dalam penyelenggaraan negara sebagai negara kesejahteraan (welfare state) harus berpijak pada hukum dan undang-undang. Sebagaimana ribuan tahun yang lalu para filsuf, yakni baik Plato dan Aristoteles telah memikirkan teori negara hukum, dimana negara harus berdasarkan hukum dan konstitusi. Konstitusi memberikan kewenangan kepada lembaga negara sebagai bentuk wewenang atributif dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengatur mengenai kewenangan lembaga negara, diantaranya kewenangan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Cita-cita bangsa Indonesia termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sementara itu, untuk mewujudkan cita-cita bangsa tersebut dibutuhkan alat-alat kelengkapan negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi; (1) Kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau perdana menteri atau raja; (2) Kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain, seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan (3) kekuasaan yudikatif, yaitu Mahkamah Agung atau Supreme Court.[2] Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya.[3]
Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensial yang tercermin dalam UUD NRI Tahun 1945.[4] Menurut C.F. Strong, ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensial yang disebutnya sebagai fixed executive, sebagai berikut: (1) Presiden selain berkedudukan sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan; (2) Presiden mempunyai wewenang mengangkat para menteri dan merupakan bawahannya; (3) Presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu, sehingga Presiden dalam masa jabatan tidak bisa dijatuhkan oleh parlemen; (4) Sebagai imbangannya Presiden tidak pula dapat membubarkan parlemen; dan (5) Presiden bertanggungjawab kepada konstitusi.[5]
Pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara ada di tangan Presiden. Presiden menjalankan pemerintahan berdasarkan UUD Tahun NRI 1945. Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri serta pembentukan kabinet (Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)).[6] Sementara itu Presiden sebagai kepala negara memegang kekuasaan untuk: (i) menjadi panglima tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; (ii) menyatakan perang, membuat perdamaian, dan menandatangani perjanjian dengan negara lain (Pasal 11); (iii) menyatakan keadaan darurat (Pasal 12); dan (iv) mengangkat duta besar dan konsul, dan memberi gelar tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya, kecuali untuk kekuasaan perang, membuat perdamaian dan menandatangani perjanjian internasional diharuskan dengan persetujuan DPR (Pasal 11).[7]
Dalam pendekatan linguistik, Presiden berbeda dengan kepresidenan. Presiden berfokus pada jabatan, sedangkan kepresidenan adalah hal-hal yang berkenaan dengan Presiden.[8] Dalam pembahasan yang lain, Presiden berhubungan dengan pemangku jabatan (personal, President, ambtsdrager), sedangkan lembaga kepresidenan berkait dengan lingkungan jabatan (institusional, Presidency, ambt).[9] Kata Presiden berasal dari bahasa Latin, praesidens, yang berarti memimpin, bukan raja (monarch).[10] Kepresidenan termasuk lembaga negara yang berarti juga sebagai alat kelengkapan negara. Kekuasaan eksekutif misalnya, dalam hal ini lembaga kepresidenan terdiri dari wakil Presiden dan dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki suatu departemen atau kementerian tertentu. Secara konseptual tujuan diadakan lembaga-lembaga negara atau kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.[11] Kewenangan kepresidenan banyak termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sementara itu undang-undang yang mengatur secara spesifik belum ada. Seyogyanya kepresidenan sebagai salah satu cabang kekuasaan negara memiliki undang-undang yang mengakomodir kepresidenan.
Untuk mengejawantahkan atau menjabarkan kewenangan kepresidenan, maka perlu kiranya suatu undang-undang sebagai penjabaran kewenangan kepresidenan yang termuat dalam UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut dibutuhkan karena belum ada undang-undang yang mengatur seperti halnya lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.[12] Terlebih, dinamika perkembangan ketatanegaraan saat ini menuntut Presiden tanggap dan responsif terhadap fakta-fakta yang ada di lapangan. UUD NRI Tahun 1945 memuat pokok-pokoknya saja, akan tetapi dalam pelaksanaannya, sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 10 yang mengatur mengenai materi muatan undang-undang, bahwa undang-undang berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Pengaturan lebih lanjut mengandung makna untuk menjabarkan lebih lanjut kewenangan Presiden yang telah ada dalam konstitusi.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan mengenai perlunya untuk dibentuk Undang-Undang tentang Kepresidenan adalah Pertama, belum adanya pengaturan khusus setingkat undang-undang mengenai kepresidenan. Kedua, menata regulasi dan organ kelengkapan di bawah kepresidenan. Ketiga, menjabarkan lebih lanjut secara lebih mendetail kewenangan Presiden dari konstitusi.

B.            Identifikasi Masalah

1.             Belum Adanya Peraturan Khusus terhadap Kepresidenan

Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Adanya rumusan demikian di dalam konstitusi menyebabkan kekuasaan Presiden menjadi sangat luas dan besar. Konsekuensi lebih lanjut dari itu semua adalah pengaturan mengenai kepresidenan didalami UUD NRI Tahun 1945 mendapat porsi lebih dari pada cabang kekuasaan lainnya. Besarnya porsi kepresidenan di dalam konstitusi disebabkan juga oleh banyaknya kewenangan Presiden yang diatur. Hampir 1/3 materi muatan konstitusi mengatur kewenangan Presiden. Berikut ini adalah kewenangan-kewenangan Presiden sebagaimana yang diatur didalami UUD NRI Tahun 1945, yaitu:[13]
1.        Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 5 ayat (1)]
2.        Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang [Pasal 5 ayat (2)]
3.        Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU [Pasal 10].
4.        Presiden berwenang untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 11 ayat (1)].
5.        Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 11 ayat (2)]. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang [Pasal 11 ayat (3)].
6.        Menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang [Pasal 12].
7.        Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 13 ayat (3)].
8.        Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung [Pasal 14 ayat (1)].
9.        Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 14 ayat (2)].
10.    Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang [Pasal 15].
11.    Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang [Pasal 16].
12.    Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri [Pasal 17 ayat (2)]. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang [Pasal 17 ayat (4)].

Dari berbagai pasal yang mengatur tentang kewenangan Presiden di atas, banyak yang kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam sebuah undang-undang. Berikut akan diuraikan beberapa undang-undang hasil penjabaran dari pasal-pasal konstitusi di atas:
1.        Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2.        Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
3.        Presiden pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan lebih lanjut ke dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 dengan spesifik kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI.
4.        Presiden berwenang untuk membuat perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
5.        Presiden berwenang untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUD NRI telah dijabarkan ke dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tantang Perjanjian Internasional.
6.        Presiden berwenang untuk menyatakan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945 telah diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.
7.        Presiden berwenang mengangkat duta dan konsul sebagaimana diatur Pasal 13 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah disebutkan kembali ke dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, namun belum dijabarkan lebih lanjut.
8.        Presiden berwenang memberi grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dan UU Darurat Nomor 19 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. UU tentang Amnesti dan Abolisi sudah tidak berlaku, sementara kewenangan Presiden dalam memberikan rehabilitasi belum diatur lebih lanjut ke dalam undang-undang.
9.        Presiden berwenang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
10.    Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
11.    Kewenangan Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara,
12.    Presiden berwenang menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan, maka ada kewenangan dari Presiden yang telah diatur dan belum diatur. Maka dalam hal ini perlu adanya sebuah undang-undang yang menjabarkan hal-hal yang belum diatur tersebut. Dan bagi kewenangan yang sudah diatur maka tetap perlu dimasukkan dalam Undang-Undang Kepresidenan karena pengaturan yang sudah ada tersebut masih bersifat parsial. Selain itu, pengaturan yang sudah ada dibuat bukan dalam perspektif khusus untuk mengatur kewenangan Presiden, tetapi hanya merupakan bagian dari undang-undang yang mengatur hal lain. Misalnya, dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri juga diatur mengenai kewenangan menyatakan perang, perdamaian, dan pembuatan perjanjian, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana Presiden akan melaksanakan kewenangannya tersebut. Maka dari itulah, hal yang diatur secara tersebar di berbagai regulasi lain itu harus dimasukkan dalam Undang-Undang Kepresidenan.
Selain itu, sejak Indonesia merdeka pengaturan mengenai kepresidenan bisa dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi saja. Peraturan di bawah konstitusi (undang-undang) hanya mengatur sebagian kecil saja dari kepresidenan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan lembaga negara lainnya, seperti Mahkamah Agung, DPR, atau MPR yang memiliki undang-undang tersendiri. Sebagai contoh adalah UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang memberikan payung hukum terhadap kelembagaan Mahkamah Agung, dan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Bisa dikatakan hanya kepresidenan-lah satu-satunya cabang kekuasaan negara yang belum memiliki pengaturan dalam bentuk undang-undang tersendiri.

2.             Penataan Regulasi dan Organ di Bawah Kepresidenan

Presiden sebagai lembaga eksekutif yang memiliki banyak wewenang dan tugas. Sebagai lembaga eksekutif, Presiden mempunyai kewenangan untuk membentuk organ-organ dalam membantu tugas Presiden itu sendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika saat ini banyak sekali bermunculan organ-organ yang ada di bawah lembaga kepresidenan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pelaksanaan tugas pemerintahan dan kenegaraan. Jika dibandingkan dengan lembaga yudikatif ataupun legislatif maka jumlah organ-organ di bawah lembaga kepresidenan jauh lebih banyak. Dalam hal ini, organ-organ tersebut antara lain adalah:
a)    Kementerian Negara, terdiri dari:[14]
1.        Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan;
2.        Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;
3.        Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
4.        Kementerian Sekretariat Negara;
5.        Kementerian Dalam Negeri;
6.        Kementerian Luar Negeri;
7.        Kementerian Pertahanan;
8.        Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
9.        Kementerian Keuangan;
10.    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
11.    Kementerian Perindustrian;
12.    Kementerian Perdagangan;
13.    Kementerian Pertanian;
14.    Kementerian Kehutanan;
15.    Kementerian Perhubungan;
16.    Kementerian Kelautan dan Perikanan;
17.    Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
18.    Kementerian Pekerjaan Umum;
19.    Kementerian Kesehatan;
20.    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
21.    Kementerian Sosial;
22.    Kementerian Agama;
23.    Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif;
24.    Kementerian Komunikasi dan Informatika;
25.    Kementerian Riset dan Teknologi;
26.    Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
27.    Kementerian Lingkungan Hidup;
28.    Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
29.    Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
30.    Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal;
31.    Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional;
32.    Kementerian Badan Usaha Milik Negara;
33.    Kementerian Perumahan Rakyat; dan
34.    Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

b)   Lembaga Setingkat Menteri, antara lain:[15]
1.        Kejaksaan Agung;
2.        Tentara Nasional Indonesia;
3.        Kepolisian Republik Indonesia; dan
4.        UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan).

c)    Lembaga Pemerintah Non Departemen/Kementerian, terdiri dari:[16]
1.        Lembaga Administrasi Negara disingkat LAN;
2.        Arsip Nasional Republik Indonesia disingkat ANRI;
3.        Badan Kepegawaian Negara disingkat BKN;
4.        Perpustakaan Nasional Republik Indonesia disingkat PERPUSNAS;
5.        Badan Perencanaan Pembangunan Nasional disingkat BAPPENAS;
6.        Badan Pusat Statistik disingkat BPS;
7.        Badan Standardisasi Nasional disingkat BSN;
8.        Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional disingkat BAPETEN;
9.        Badan Tenaga Nuklir Nasional disingkat BATAN;
10.    Badan Intelijen Negara disingkat BIN;
11.    Lembaga Sandi Negara disingkat LEMSANEG;
12.    Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional disingkat BKKBN;
13.    Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional disingkat LAPAN;
14.    Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional disingkat BAKOSURTANAL;
15.    Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan disingkat BPKP;
16.    Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia disingkat LIPI;
17.    Badan Pengajian dan Penerapan Teknologi disingkat BPPT;
18.    Badan Koordinasi Penanaman Modal disingkat BKPM;
19.    Badan Pertanahan Nasional disingkat BPN;
20.    Badan Pengawas Obat dan Makanan disingkat BPOM;
21.    Lembaga Ketahanan Nasional disingkat LEMHANAS;
22.    Badan Meteorologi dan Geofisika disingkat BMG.

d)   Sekretaris Negara, terdiri dari:[17]
1.        Rumah Tangga Kepresidenan;
2.        Sekretariat Wakil Presiden;
3.        Sekretariat Militer Presiden;
4.        Sekretariat Kementerian;
5.        Deputi Bidang Dukungan Kebijakan;
6.        Deputi Bidang Sumber Daya Manusia;
7.        Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan;
8.        Deputi Bidang Perundang-undangan;
9.        Staf Ahli Bidang Politik, Pertahanan dan Keamanan;
10.    Staf Ahli Bidang Hukum, dan Hak Asasi Manusia;
11.    Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat;
12.    Staf Ahli Bidang Komunikasi dan Informatika; dan
13.    Staf Ahli Bidang Aparatur Negara dan Otonomi Daerah.

e)    Sekretaris Kabinet, terdiri dari:[18]
1.        Wakil Sekretaris Kabinet;
2.        Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
3.        Deputi Bidang Perekonomian;
4.        Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat;
5.        Deputi Bidang Persidangan Kabinet;
6.        Deputi Bidang Administrasi;
7.        Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Internasional;
8.        Staf Ahli Bidang Tata Ruang dan Wilayah Perbatasan;
9.        Staf Ahli Bidang Riset, Teknologi, Komunikasi dan Informasi;
10.    Inspektorat; dan
11.    Pusat.

f)    Lembaga yang diamanatkan UUD NRI Tahun 1945 untuk membantu kinerja Presiden, antara lain:
1.        Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Pasal 15);[19] dan
2.        Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal 16);[20]
Organ-organ tersebut kemudian diatur dalam berbagai macam regulasi. Hal ini menyebabkan regulasi tentang organ-organ tersebut masih tersebar dan bersifat parsial. Selain itu, banyaknya organ dan regulasi tersebut tidak jarang menyebabkan adanya redundansi dalam pelaksanaan tugas organ itu sendiri, sehingga adanya organ-organ tersebut tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Redundansi yang ditimbulkan tersebut menyebabkan pelaksanaan tugas-tugas organ tidak berjalan secara efektif, sehingga dibutuhkan sebuah solusi untuk mengatasinya. Sebagai sebuah langkah nyata untuk menanggulangi adanya redundansi tersebut, maka Undang-Undang Kepresidenan menjadi hal yang penting untuk direalisasikan. Dengan adanya Undang-Undang Kepresidenan, organ-organ yang lahir dari kewenangan Presiden dapat diatur dengan lebih spesifik, sehingga menjadi jelas landasan hukum keberadaan organ-organ tersebut. Dengan begitu akan menjamin kepastian hukum organ tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diberikan oleh Presiden. Undang-Undang Kepresidenan dapat menjadi induk regulasi yang menjabarkan lebih lanjut kewenangan konstitusional Presiden yang diberikan pada UUD NRI Tahun 1945.

3.             Penjabaran Lebih Lanjut Kewenangan Presiden dalam Konstitusi

Dalam konstitusi telah dijabarkan beberapa kewenangan Presiden. Kewenangan-kewenangan tersebut dijabarkan dalam undang-undang. Ada beberapa kewenangan Presiden yang telah dijabarkan dalam undang-undang. Namun, di sisi lain juga ada kewenangan Presiden yang belum dijabarkan dalam undang-undang. Kewenangan-kewenangan yang belum diatur dalam undang-undang, antara lain:
1.        Presiden berwenang untuk menyatakan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945 telah disebutkan kembali ke dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, namun belum dijabarkan lebih lanjut.
2.        Presiden berwenang mengangkat duta dan konsul sebagaimana diatur Pasal 13 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah disebutkan kembali ke dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, namun belum dijabarkan lebih lanjut.
3.        Presiden berwenang memberi grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan ke dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 tantang Grasi dan UU Darurat Nomor 19 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. UU tentang Amnesti dan Abolisi sudah tidak berlaku, sementara kewenangan Presiden dalam memberikan rehabilitasi belum diatur lebih lanjut ke dalam undang-undang.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Undang-Undang Kepresidenan menjadi hal yang sangat mendesak untuk dibuat. Dengan Undang-Undang Kepresidenan tersebut, maka kewenangan-kewenangan Presiden yang belum dijabarkan dan diatur secara spesifik dalam undang-undang dapat diakomodir dan diperinci dalam Undang-Undang Kepresidenan.

C.           Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan dan kegunaan penyusunan Naskah Akademik RUU Kepresidenan adalah:

1.             Tujuan

Naskah akademik ini merupakan dasar ilmiah bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kepresidenan. Naskah akademik merupakan naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, terutama mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan objek atau arah pengaturan substansi rancangan undang-undang. Naskah akademik ini juga merupakan naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya, terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan undang-undang, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam pandangan Hikmahanto Juwana, naskah akademik diperlukan untuk menjawab sejumlah pertanyaan mendasar, yaitu:[21]
1.    Apa yang menjadi masalah di masyarakat?
2.    Apa yang seharusnya diatur?
3.    Apakah ketentuan yang hendak diatur cukup realistis?
4.    Bagaimana infrastruktur pendukung untuk menegakkan aturan?
5.    Adakah peraturan perundang-undangan yang berpotensi untuk berbenturan?
6.    Bagaimana keberlakuannya di negara lain?

Informasi serta pertanyaan demikian penting untuk dijawab agar pembentuk peraturan perundang-undangan lebih realistis dalam membuat peraturan perundang-undangan. Jawaban atas semua pertanyaan demikian amat logis untuk dicantumkan dalam sebuah naskah akademik, dengan demikian penyusunan naskah akademik ini merupakan dasar dan pijakan yang terpenting dalam tahapan rancangan peraturan perundang-undangan. Seiring dengan perkembangan dan perubahan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia, urgensi sebuah naskah akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang tepat guna, komprehensif dan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, menjadi sangat penting. Tujuannya antara lain adalah agar undang-undang yang dihasilkan sejalan dengan sistem hukum nasional, sesuai dengan (tuntutan) kehidupan masyarakat, dan dapat meminimalisir permasalahan di kemudian hari.[22]
Dalam penyusunan naskah akademik melalui suatu proses penelitian hukum dan penelitian lainnya secara cermat, komprehensif dan sistematis. Naskah akademik ini merupakan potret atau peta tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin dipecahkan melalui undang-undang yang akan dibentuk dan disahkan.[23] Oleh karenanya, penyusunan naskah akademik ini merupakan dasar dari dibentuknya Rancangan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan. Naskah akademik dari Rancangan Undang-Undang Kepresidenan ini memiliki tujuan, yaitu: Pertama, untuk mengatur kepresidenan dalam peraturan spesifik. Kedua, untuk melakukan penataan terhadap organ-organ yang berada di bawah kepresidenan Ketiga, untuk melakukan penjabaran lebih lanjut kewenangan Presiden yang telah diberikan oleh konstitusi. Maksud penyusunan naskah akademik ini untuk memberikan gambaran terhadap kondisi lembaga kepresidenan di Indonesia yang sejatinya sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan ketertiban pelaksanaan lembaga kepresidenan yang diwujudkan melalui bentuk peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Lembaga Kepresidenan.

2.             Kegunaan

Penyusunan naskah akademik merupakan pondasi dasar dalam membangun kerangka pembentukan sebuah rancangan undang-undang, oleh karenanya dalam tahapan penyusunan naskah akademik ini merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Arti penting dalam proses penyusunan naskah akademik adalah mengetahui dan memahami benar kondisi yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat baik itu terkait dengan permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat, relevansi pengaturan dan segala bentuk aturan yang dibutuhkannya, kondisi infrastrukturnya ketika suatu kebijakan dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan potensi berbenturan tidaknya dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya serta lain sebagainya yang sangat relevansi dalam rangka meningkatkan pemahaman kondisi lingkungan masyarakat terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka kegunaannya, naskah akademik ini dirancang sebagai dasar dan pijakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kepresidenan. Naskah akademik ini merupakan sebuah dokumen resmi yang tertulis dengan segala pemenuhan terhadap pengonsepannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni dengan disatukan menjadi sebuah bagian dari Rancangan Undang-Undang Kepresidenan yang nantinya akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), sebagaimana dicantumkan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Tidak hanya itu, penyusunan naskah akademik ini akan menjadi pedoman pembentukan peraturan pelaksanaan di bawah undang-undang ini. Dengan demikian perjuangan semangat (spirit) dan nilai (value) yang dibangun dalam undang-undang ini dapat terus menjadi arah pelaksanaan Undang-Undang Kepresidenan, sehingga segala permasalahan, baik dari hal penataan terhadap peraturan dan organ di bawah kepresidenan, pengaturan khusus terhadap kepresidenan, serta penjabaran lebih lanjut dari kewenangan Presiden akan terarah dengan adanya Naskah Akademik Undang-Undang Kepresidenan ini.

D.           Metode

Dalam mengawali penelitian hukum ini ada beberapa langkah atau tahapan. Langkah tersebut antara lain mengidentifikasi permasalahan dan menetapkan permasalahan yang relevan, mengumpulkan bahan-bahan hukum, baik primer, sekunder dan tersier serta melakukan kajian terhadap isu hukum yang diajukan sebagai permasalahan dalam penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kepresidenan menggunakan beberapa metode penelitian, yaitu metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Metode penelitian ini diperlukan guna memahami kepresidenan secara komprehensif.

a)             Metode Yuridis Normatif

Metode yuridis normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, dan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum. Penelitian terhadap sistematika hukum dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis.[24] Pada taraf ini yang diteliti, antara lain kewenangan kepresidenan dan nomenklatur organ di bawah kepresidenan, sehingga dengan mengetahui itu semua dapat diketahui sistematika dan rumusan yang tepat dalam menyusun RUU Kepresidenan. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum bertujuan untuk meneliti sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang ada sinkron atau serasi satu sama lainnya baik secara vertikal maupun horizontal. Hal tersebut guna menjamin bahwa RUU Kepresidenan ini tidak bertentangan satu sama lain, baik terhadap peraturan perundang-undangan di atasnya maupun dengan peraturan yang sejajar. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa perundang-undangan. Adapun peraturan perundang-undangan yang menjadi bahan penelitian, yaitu:
1.        Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
2.        Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.
3.        Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
4.        Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tantang Perjanjian Internasional.
5.        Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
6.        Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
7.        Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
8.        Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
9.        Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
10.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b)            Metode Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris mencakup penelitian terhadap efektifitas hukum. Penelitian terhadap efektifitas hukum merupakan penelitian yang membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat, penelitian ini sangat relevan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, penelitian ini mensyaratkan bahwa di samping mengetahui ilmu hukum juga mengetahui ilmu sosial, dan memiliki pengetahuan dalam penelitian ilmu sosial (social science research).[25] Relevansinya dengan kepresidenan adalah dalam menjalankan kewenangannya apakah sudah efektif dalam kehidupan ketatanegaraan. Implikasi efektifitas lembaga kepresidenan dalam menjalankan roda pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada kehidupan masyarakat. Penelitian ini dibutuhkan sebagai sarana menyesuaikan antara norma yang diatur dengan undang-undang dengan praktik yang terjadi secara nyata dalam lingkungan kepresidenan.
Adapun kewenangan kepresidenan dalam kehidupan ketatanegaraan yang dapat diamati, antara lain:[26]
1)   Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar (to govern based on the constitution);
2)   Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum/publik (to regulate public affairs based on the law and the constitution);
3)   Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan ataupun penghapusan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan;
4)   Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri baik dalam keadaan perang maupun damai; dan
5)   Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan administrasi.
Kewenangan di atas merupakan kewenangan yang lazim dipraktikkan oleh kepresidenan. Maka dari itu, dengan melihat praktik kewenangan tersebut dapat dinilai kendala dalam menjalankan kewenangan tersebut di atas. UU Kepresidenan diperlukan untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan kewenangan kepresidenan tersebut. Pendekatan praksis empiris diperlukan untuk memahami antara kebutuhan hukum dengan idealita pengaturan yang hendak diatur dalam UU Kepresidenan.

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A.           Kajian Teoritis

Kepresidenan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan pemegang kekuasaan eksekutif. Lembaga negara secara definitif, yaitu institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.[27] Mengikuti ajaran pemisahan kekuasaan (Trias Politica) yang diajukan oleh pemikir hukum dari Prancis, Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu dalam buku L’espirit des Lois yang membagi kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[28] Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan menjadi tiga fungsi yaitu legislatif, eksekutif dan federatif. Terhadap cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif kedua pemikir tersebut memiliki kesamaan. Yang membedakan adalah pada fungsi ketiga, Montesquieu memisahkan sebagai fungsi yudikatif, sedangkan John Locke ke dalam federatif. Perbedaan tersebut lantaran titik tolak yang digunakan juga berbeda. Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan tersebut dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke melihatnya dari segi hubungan keluar dengan negara-negara lain.[29]
Dalam perkembangannya teori pemisahan kekuasaan ini sulit dilaksanakan secara mutlak, sebab tidak mungkin negara dijalankan oleh tiga lembaga yang terpisah dan tidak memiliki hubungan sama sekali. Justru ketika hal itu terjadi, tujuan pemisahan kekuasaan, yaitu untuk membatasi kekuasaan absolut seorang raja tidak akan tercapai, tetapi justru akan mengakibatkan tirani cabang kekuasaan. Oleh karena itu, sebagai modifikasi dimunculkan pula konsep check and balances yang menghendaki cabang-cabang kekuasaan tersebut dapat saling mengontrol saling mengimbangi.
Kepresidenan dikatakan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif melihat pada UUD NRI Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam pasal tersebut harus dimaknai Presiden tidak hanya sebagai pejabat tetapi harus juga sebagai lingkungan jabatan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa,
Presiden dipergunakan dalam dua arti, yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambstdrager). Dalam bahasa asing seperti bahasa Inggris, dipergunakan istilah yang berbeda. Untuk lingkungan jabatan digunakan istilah Presidency atau kalau sebagai adjektif Presidential, seperti Presidential government. Sebagai pejabat dipergunakan istilah President. Perbedaan istilah ini memudahkan pemahaman mengenai lingkungan jabatan dan pemangku jabatan.[30]
Secara konsep apa yang disebutkan oleh Bagir Manan mirip dengan pendapat Al-Mawardi tentang imamah, yang membedakan imam sebagai jabatan bagi kepala negara sedangkan imamah sebagai lingkungan jabatan kepala negara.[31]
Definisi tentang kepresidenan diberikan oleh Jimly Asshiddiqie yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepresidenan adalah institusi atau organisasi jabatan yang dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 berisi dua jabatan, yaitu Presiden dan wakil Presiden.[32] Definisi tersebut benar jika membaca secara tekstual konstitusi, namun juga perlu dilihat bahwa dalam pengertian secara luas cakupan lembaga kepresidenan tidak hanya Presiden dan wakil Presiden saja, melainkan juga kelembagaan lain yang berada di bawahnya seperti Kementerian, Dewan Pertimbangan Presiden, Sekretaris Kabinet dan Sekretaris Negara serta kelembagaan lain. Hal tersebut dikembalikan kepada kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara. C.F. Strong dalam kaitannya dengan kekuasaan eksekutif oleh Presiden, meliputi:[33]
1.    Kekuasaan diplomatik, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.
2.    Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang dan administrasi negara.
3.    Kekuasaan militer, yaitu berkaitan dengan organisasi angkatan bersenjata dan pelaksanaan perang.
4.    Kekuasaan yudikatif, yaitu menyangkut pemberian pengampunan, penangguhan  hukuman, dan sebagainya terhadap narapidana atau pelaku kriminal.
5.    Kekuasaan legislatif, yaitu berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang dan mengatur proses pengesahan menjadi undang-undang.
Masing-masing kekuasaan tersebut dalam ketatanegaraan Indonesia dicantumkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Kekuasaan diplomatik meliputi kekuasaan mengadakan perjanjian internasional, menyatakan perang dengan negara lain, menyatakan perdamaian dengan negara lain, mengangkat duta dan konsul serta menerima duta dan konsul. Kekuasaan administratif dalam hal ini melaksanakan undang-undang dan administrasi negara dengan dibantu kementerian dan lembaga-lembaga di bawah kepresidenan. Dalam kekuasaan militer Presiden memegang kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara. Dalam kekuasaan yudikatif, meliputi pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Sedangkan kekuasaan legislatif dalam konsep yang diterapkan sekarang, yaitu Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang serta turut dalam pembahasan setiap rancangan undang-undang di parlemen bahkan untuk peraturan di bawah undang-undang Presiden berhak membuat aturan pelaksanaan, seperti peraturan pemerintah, peraturan Presiden dan jika dinilai sebagai kondisi yang memaksa bisa dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang materi muatan dan kedudukannya setingkat undang-undang, namun berbentuk peraturan pemerintah.
Dalam memahami kedudukan Presiden dan juga hubungannya dengan lembaga parlemen maka perlu diperhatikan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia menggunakan sistem Presidensial, dan sistem inilah yang dipilih dan dipertahankan pada amandemen UUD NRI Tahun 1945.[34] Dalam sistem ini dijelaskan bagaimana kedudukan Presiden dalam negara serta bagaimana hubungannya secara kelembagaan dengan lembaga negara lainnya. Ciri-ciri sistem Presidensial yang penting adalah:[35]
1.    Presiden memiliki masa jabatan tertentu, misalnya 4 tahun, 5 tahun dan biasanya boleh dipilih kembali dengan batasan tertentu, misalnya 2 kali berturut-turut, atau boleh dipilih kembali setelah diselingi.
2.    Presiden dan wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu yang biasanya dikenal sebagai parlemen, melainkan bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Presiden dan wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya karena alasan pelanggaran hukum yang biasanya dibatasi pada kasus-kasus tertentu.
3.    Presiden dan wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat atau melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanen sebagaimana hakikat lembaga permanen.
4.    Dalam hubungannya dengan lembaga parlemen, Presiden tidak tunduk kepada Parlemen, tidak dapat membubarkan parlemen dan sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan Presiden dan membubarkan kabinet.
5.    Kepala negara dan kepala pemerintah pada satu jabatan yaitu Presiden
6.    Presiden mengangkat menteri-menteri negara yang berfungsi sebagai Presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidang masing-masing dan secara individual bertanggung jawab kepada Presiden.
Tanggung jawab pemerintah berada dipundak Presiden, dan oleh karena itu Presiden pada prinsipnya berwenang membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan menteri serta pejabat-pejabat publik yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan melalui political appointment. Karena itu dalam sistem ini dikatakan concentration of governing power and responsibility upon the President. Oleh karenanya tidak ada institusi yang lebih tinggi di atasnya, sehingga secara politik bertanggung jawab kepada rakyat sedangkan secara hukum bertanggung jawab kepada konstitusi. Hal ini berbeda jika melihat kedudukan Presiden dalam sistem parlementer. Parlemen adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Presiden atau perdana menteri pada hakikatnya adalah organ parlemen yang melaksanakan pemerintahan, dan lazimnya merangkap sebagai anggota dari parlemen tersebut. Pembentukan dan pembubaran kabinet sepenuhnya digantungkan pada parlemen.
Melihat dari landasan pemikiran teoritis di atas, maka menjadi wajar kemudian jika UU Kepresidenan dibentuk dalam rangka untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada Presiden dan organ di bawahnya untuk melaksanakan fungsinya sebagaimana ditentukan oleh konstitusi. Terlebih memang selama ini seluruh kewenangan konstitusional Presiden belum dijabarkan secara spesifik dan belum terdapat pengaturan yang spesifik mengenai kepresidenan yang menjabarkan lebih lanjut kewenangan Presiden dalam konstitusi.

B.            Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma

Pengaturan kepresidenan dalam suatu undang-undang harus dimaknai sebagai landasan dan pedoman oleh Presiden dalam menjalankan pemerintahan, bagaimana Presiden harus mengkoordinasikan kelembagaan di bawahnya, bagaimana Presiden bisa menjalankan kewenangannya tanpa adanya gugatan legitimasi kewenangan tersebut. Oleh karenanya dalam penyusunan Undang-Undang Kepresidenan perlu untuk memperhatikan asas-asas serta prinsip yang menjadi jiwa dan semangat bagi undang-undang ini, yaitu:

1.             Asas Demokratis

Pengaturan kepresidenan merupakan peneguhan kembali kedudukan Presiden dalam sistem kenegaraan. Presiden sebagai hasil pemilihan langsung oleh rakyat diberikan mandat yang besar untuk menjalankan pemerintahan negara. Senada dengan hal tersebut pandangan Rousseau menyatakan bahwa rakyat merupakan pelaksana dari kehendak umum (volunte generale). Kehendak umum ini merupakan suatu kontrak bagi masyarakat yang bersangkutan untuk mengikatkan diri dan patuh pada pemerintah yang dipilih oleh rakyat, sebaliknya pemerintah juga terikat dengan kontrak sosial untuk melaksanakan kehendak rakyat,[36] sehingga tujuan adanya negara adalah untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh warga negara yang mengikatkan diri kepadanya. Jika dipandang secara umum maka adanya demokrasi menghendaki terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat secara menyeluruh. Masih menurut Rousseau, dalam demokrasi bahwa rakyat yang memegang kekuasaan pemerintah dengan mengutamakan kepentingan umum melalui prinsip kemerdekaan dan kebebasan,[37] sehingga institusi yang lahir dari sistem demokrasi wajib memenuhi kehendak tersebut karena sejatinya institusi tersebut hanya perwakilan bagi rakyat yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan secara umum.
Pilihan atas sistem demokrasi karena dalam sistem ini memiliki keunggulan dalam hal mengatur tata cara pembuatan keputusan bersama yang paling sedikit kelemahannya dibanding sistem yang lain. Dalam implementasinya sistem pemerintahan demokrasi ditandai dengan pemilihan umum secara berkala dimana rakyat bebas menentukan calon-calon pemimpin dan wakilnya. Karakteristik lainnya adalah konsep pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu institusi. Pembagian kekuasaan ini diikuti mekanisme check and balances di antara institusi-institusi yang ada, serta mekanisme kelembagaan bagi masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan. Salah satu ciri dari masyarakat demokrasi adalah adanya lembaga eksekutif yang memikul semua tanggung jawab mulai dari administrasi sederhana sebuah program sampai menggerakkan angkatan bersenjata untuk bela negara dari ancaman peperangan. Dari hal tersebut maka diperlukan suatu pengaturan terhadap kewenangan kepresidenan, hubungan kepresidenan dengan kelembagaan lain, tata organ kepresidenan serta menjadi aturan pokok bagi kepresidenan.

2.             Asas Tujuan

Tujuan dari kepresidenan haruslah mampu untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam alinea ke empat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Sebagai pelaksanaan tujuan dari negara tersebut maka kepresidenan paling banyak berperan. Hal tersebut mengingat kedudukan Presiden secara jabatan dan institusional merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan yang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.
   Sebagai perwujudan dari dianutnya sistem pemerintahan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 adalah sistem Presidensial di mana tanggung jawab pemerintahan ada di pundak Presiden menempatkannya dalam kedudukan utama untuk melaksanakan segala kebijakan yang secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan seluruh rakyat dan keberlanjutan negara. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan tersebut sangat dipengaruhi perkembangan demokrasi dan ketatanegaraan termasuk di dalamnya check and balances. Konsepsi check and balances dalam pelaksanaannya ditujukan untuk mengimbangi sekaligus saling mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Namun, pada praktiknya tidak jarang kewenangan tersebut digunakan untuk upaya menjatuhkan karena perbedaan pandangan politik. Hal tersebut tentu sangat tidak sehat dan merugikan bagi upaya menciptakan suasana kondusif agar agenda pemerintahan berjalan dengan baik. Oleh karenanya pengaturan tentang antar hubungan ketatanegaraan begitu pula wewenang perlu dalam suatu undang-undang agar menjadi rambu-rambu pelaksanaan kewenangan kepresidenan.

3.             Asas Kepastian Hukum

Walaupun langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan. Suatu adagium yang menggambarkan pentingnya untuk menjamin kepastian hukum. Suatu hukum idealnya dibuat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada sekaligus untuk menyelesaikan permasalahan serupa yang terjadi di masa yang akan datang. Oleh karenanya hukum menjadi pijakan bagi setiap entitas untuk melakukan perbuatan hukum. Terlebih dalam melaksanakan penyelenggaraan negara maka setiap kebijakan yang diambil harus berdasarkan aturan hukum. Kepresidenan dengan peran yang sentral dalam penyelenggaraan negara sampai saat ini belum ada pengaturan spesifik yang melingkupi secara keseluruhan. Akibatnya ketiadaan aturan tersebut dapat menimbulkan dua akibat yang tidak diinginkan, yaitu: Pertama, ketakutan akan adanya penyalahgunaan wewenang atau melampaui wewenang yang diberikan; Kedua, adalah legitimasi dari perbuatan hukum pemerintah terkait kelembagaan. Hal ini tersebut penting disusunnya Undang-Undang Kepresidenan yang mampu untuk memberi kepastian hukum bagi setiap pelaksanaan wewenang konstitusi yang masih perlu diturunkan.

4.             Asas Efektifitas Pemerintahan

Dalam mencapai tujuan negara maka hal yang sangat diperlukan adalah menciptakan tata kelola organisasi pemerintahan yang optimal. Optimalisasi tata kelola secara langsung akan berdampak pada optimalisasi kinerja dan realisasi program yang telah direncanakan. Prinsip yang menekankan pada sebuah penciptaan sebuah tata pemerintahan yang efektif bagi peningkatan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat harus mendasari perumusan substansi kepresidenan. Upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif mengandung konsekuensi keharusan menciptakan pemerintahan yang berorientasi pada rakyat, transparan akuntabel, responsif, partisipatif dan menjamin kepastian hukum. Oleh karenanya keberadaan Undang-Undang Kepresidenan memiliki fungsi utama salah satunya untuk menata kelembagaan tersebut. Mengatur wewenang, pelaksanaannya sekaligus mengkoordinasikan antar lembaga. Keterpaduan kinerja atas masing-masing lembaga akan menghindarkan overlapping pada suatu agenda atau di sisi yang lain akan lepas tangan atas suatu agenda dengan alasan tidak adanya dasar wewenang.

5.             Asas Kepentingan Nasional

Dalam Undang-Undang Kepresidenan semata haruslah diletakkan kepentingan nasional sebagai dasar. Pengaturan kepresidenan tidak bisa dijadikan alasan untuk mengekang kewenangan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan apalagi membatasi kewenangan konstitusionalnya. Undang-undang ini haruslah mampu mengakomodasi latar belakang yang menjadi landasan untuk mengaturnya. Pembenahan terhadap struktur kelembagaan pada kepresidenan serta aturan yang ditujukan untuk menjadi payung yang melingkupi seluruh kelembagaan dan mengatur kewenangan konstitusionalnya ke dalam aturan yang berupa undang-undang. Undang-undang ini haruslah memberikan jaminan bahwa dengan penataan kembali organ kekuasaan eksekutif maka akan menjadi input bagi pelaksanaan pemerintahan sehingga menghasilkan output sesuai harapan, bahkan manfaat dan dampak yang lebih luas bagi kepentingan nasional.

C.           Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat

Berdasarkan identifikasi permasalahan dan latar belakang permasalahan urgensi pembentukan Undang-Undang Kepresidenan adalah: (1) Belum adanya peraturan khusus terhadap kepresidenan; (2) Penataan regulasi dan organ di bawah kepresidenan; dan (3) Penjabaran lebih lanjut kewenangan Presiden dalam konstitusi. Mengenai masing-masing permasalahan tersebut, berikut elaborasi masing-masing permasalahan berdasarkan penyelenggaraan serta kondisi yang ada:

1.             Belum Adanya Peraturan Khusus terhadap Kepresidenan

Berbeda dengan lembaga negara lain yang sama-sama diatur dalam konstitusi, lembaga Presiden sebagai lembaga negara tidak ada diatur secara menyeluruh dalam konsep yang utuh dengan suatu undang-undang.[38] Dalam pembahasan mengenai Undang-Undang Kepresidenan terdapat tiga pandangan tentang urgensi eksistensi pengaturan ini. Pandangan pertama menyatakan bahwa UU ini tidak perlu diadakan sebab semua kewenangan Presiden sudah diatur secara rinci dalam UUD NRI Tahun 1945, dari sana tidak membutuhkan penjabaran lebih lanjut pada pengaturan berupa undang-undang.[39] Pandangan yang kedua adalah menganggap perlunya adanya UU yang berhubungan dengan kepresidenan, namun tidak harus secara utuh, cukup pengaturan secara parsial atau sektoral. Sedangkan, pandangan ketiga adalah pengaturan yang bersifat implementatif yang menyangkut keseluruhan aspek mengenai materi yang sudah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.[40]
Saat ini yang dipakai untuk mengatur kepresidenan adalah pandangan yang kedua. Pengaturan yang digunakan bersifat parsial dan tidak menyeluruh pada semua aspek dalam satu undang-undang. Misalnya Undang-Undang Kementerian Negara, Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden, Undang-Undang Perjanjian internasional, Undang-Undang Pemberian Grasi Amnesti dan Abolisi dan lain sebagainya. Sedangkan apabila terdapat suatu kewenangan yang belum ada pengaturan turunan dari konstitusi Presiden melakukan diskresi untuk menafsirkan sekaligus melaksanakan kewenangan tersebut.

2.             Penataan Regulasi dan Organ di Bawah Kepresidenan

Pengaturan yang berhubungan dengan lembaga kepresidenan bersifat sektoral, biasanya diadakan dengan dua kondisi, Pertama, dengan konsep yang jelas dan pengaturan bersifat permanen, seperti misalnya Undang-Undang Kementerian Negara dan Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden, tetapi ada pula yang peraturan yang sifatnya reaktif-permanen, semisal Komisi Hukum Negara, dan juga reaktif-ad hoc, seperti pembentukan Satuan Tugas REDD+. Dari segi bentuknya pengaturan tentang kepresidenan tersebar dalam berbagai bentuk secara hierarkis seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan Presiden/keputusan Presiden, dan lain sebagainya. Kondisi dari masing-masing peraturan tersebut satu sama lain ada yang memiliki keterkaitan dan ada yang berdiri sendiri. Akibat dari kondisi tersebut seringkali terjadi overlapping pengaturan atas suatu lembaga yang mengurusi bidang yang sama. Semua hal tersebut terjadi akibat tidak adanya pengaturan induk kepresidenan yang berupa undang-undang yang mengakomodir secara komprehensif.
Akibat dari ketidakjelasan pengaturan di atas, organ di bawah Presiden masing-masing berdiri sendiri dengan urusan-urusan yang dilimpahkan kepadanya untuk dikerjakan. Belum ada grand design bagaimana struktur kelembagaan dan bagaimana hubungan antar kelembagaan di bawah kepresidenan tersebut. Ketiadaan cetak biru kepresidenan tersebut mengakibatkan tumpang tindih kewenangan, dikarenakan pendekatan sektoral terhadap suatu permasalahan, sehingga tidak terkoordinasikan dengan baik antar lembaga di bawah kepresidenan.
Pelaksanaan tugas pemerintah yang seharusnya menjadi agenda yang saling terhubung satu sama lain. Praktiknya masing-masing lembaga menonjolkan kinerja kelembagaannya, sehingga tidak bisa dinilai kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Dari kondisi demikian mengakibatkan in-efisiensi dan in-efektifitas pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam penyelesaian permasalahan menjadi lambat karena tidak terkondisikan dan terkoordinasikan dengan baik. Pendekatan sektoral menjadikan birokrasi menjadi gemuk dan cenderung menghabiskan banyak anggaran.

3.             Penjabaran Lebih Lanjut Kewenangan Presiden dalam Konstitusi

Pengaturan kepresidenan dalam UUD NRI Tahun 1945 secara spesifik terdapat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 17. Dari Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara sampai Bab V tentang Kementerian Negara, dan juga masih tersisip pada Bab lainnya misalnya Bab VII tentang DPR yang berkaitan dengan pembahasan bersama rancangan undang-undang dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dalam hal menetapkan hakim agung. Dalam masing-masing kewenangan tersebut belum semua diturunkan dalam undang-undang, hanya sebagian yang sudah dijabarkan ke dalam bentuk undang-undang. Hal tersebut berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan dalam praktik ketatanegaraan, seberapa sering kewenangan tersebut digunakan. Misalnya kewenangan membuat perjanjian internasional karena sering digunakan, maka ada undang-undang yang mengaturnya. Berbeda halnya dengan kewenangan menyatakan perang atau membuat perdamaian, belum ada undang-undang yang mengaturnya, jika suatu saat ada keadaan bahaya atau peperangan, maka tidak ada aturan turunan bagaimana Presiden melakukan tersebut, oleh karenanya kewenangan tersebut hanya bisa dilakukan melalui diskresi. Undang-undang yang mengatur tentang penjabaran atas kewenangan konstitusional sifatnya terpisah-pisah. Padahal, masing-masing tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kewenangan konstitusional Presiden secara keseluruhan. Undang-undang yang mengatur tentang kewenangan konstitusional Presiden tersebut seharusnya diatur dalam satu undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Kepresidenan.

D.           Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur Dalam Undang-Undang terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara

Sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan dalam identifikasi masalah, maka implikasi pada penerapan sistem baru ini akan didasarkan pada indikator yang ada di atas dengan rumusan implikasi meliputi, dampak penerapan, peluang untuk diterapkan, dan risiko apabila diterapkannya sistem baru tersebut.

1.             Adanya Peraturan Khusus terhadap Kepresidenan

Dari adanya UU Kepresidenan maka akan memberikan dampak adanya sistem hukum baru bagi pengaturan kepresidenan dan menggantikan sistem hukum yang ada selama ini. Sistem tersebut akan menjadi pengaturan secara utuh bagi kepresidenan sebagaimana cabang kekuasaan yang lain. Keberadaan Undang-Undang Kepresidenan menjadi pijakan dasar bagi Presiden untuk menjalankan pemerintahan dan melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. Selain itu, undang-undang ini menjadi payung hukum bagi Presiden dalam lingkup kepresidenan dan bagi masyarakat luas menjadi tolok ukur dalam melaksanakan agenda-agenda pemerintahan. Peluang untuk pembentukan UU Kepresidenan ini untuk terwujud sangat tinggi, karena dukungan diperoleh dari Dewan Perwakilan Rakyat sebab agenda untuk penyusunan undang-undang ini merupakan agenda dalam penguatan sistem Presidensial dan penerapan check and balances. Jika Undang-Undang Kepresidenan ini ada, maka memiliki risiko akan terbatasinya kewenangan konstitusional yang dimiliki Presiden. Dalam hal menjalankan kewenangan konstitusionalnya Presiden bisa menjalankan diskresi dalam menerjemahkan kewenangan tersebut, maka dengan diatur kewenangan tersebut dalam undang-undang, Presiden terikat hanya pada apa yang tertulis dalam UU.

2.             Penataan Regulasi dan Organ di Bawah Kepresidenan

Dengan adanya Undang-Undang Kepresidenan sebagai induk bagi segala pengaturan kepresidenan, maka hal ini akan memberikan dampak dalam sistem hukum dalam pengaturan semua lembaga yang berada di bawah lingkup kepresidenan. Semua pengaturan akan mengacu dan merujuk pada undang-undang ini. Sebagai aturan kepresidenan yang utuh, maka segala pokok pengaturan yang terpisah dalam lingkup sektoral akan masuk menjadi muatan dalam pengaturan Undang-Undang Kepresidenan. Dampak yang lebih luas adalah menghilangkan overlapping dalam pengaturan dan organ di bawah kepresidenan. Peluang untuk menjadikan Undang-Undang Kepresidenan sebagai induk dari semua pengaturan kepresidenan dapat diwujudkan. Selama ini pengaturan tentang kepresidenan yang dibuat dengan sifat reaktif dan sektoral. Dengan menjadikannya sebagai aturan induk maka setiap permasalahan regulasi dan organ kepresidenan akan didesain secara menyeluruh. Resiko dari Undang-Undang Kepresidenan dijadikan sebagai induk pengaturan kepresidenan adalah terhadap undang-undang yang sudah ada maka harus masuk materi muatannya pada undang-undang ini. Padahal undang-undang yang mengatur tersebut notabene adalah undang-undang yang baru dan belum lama berlakunya. Selain itu, penataan kepresidenan ini akan membuat perombakan struktur yang sudah mapan, sehingga harus memulai dengan yang baru dan sangat dimungkinkan untuk menghapus atau menggabung organ yang sudah ada. Akibatnya harus pula memikirkan tenaga yang sebelumnya menempati lembaga yang dihapus atau digabungkan akan dipindahkan ke mana dan penyesuaian kualifikasi kemampuan yang dimiliki.

3.             Penjabaran Lebih Lanjut Kewenangan Presiden dalam Konstitusi

Dengan keberadaan UU Kepresidenan yang materi muatannya menjabarkan kewenangan Presiden yang ada di konstitusi hal tersebut akan memberikan kepastian hukum bagi Presiden untuk melaksanakan kewenangannya. Hal tersebut karena undang-undang ini mengatur bagaimana mekanisme melakukan kewenangan tersebut tanpa harus melakukan penafsiran terhadap kewenangan konstitusional tersebut. Dengan mengatur materi muatan sebagai penjabaran kewenangan konstitusi maka akan menjadikan kewenangan tersebut utuh dalam satu kesatuan, tidak lagi terpecah-pecah ke dalam berbagai undang-undang dan mengharuskan semua kewenangan untuk diatur di dalamnya. Peluang untuk melakukan penjabaran kewenangan konstitusional Presiden ke dalam undang-undang sangat besar terlaksana. Dengan penjabaran kewenangan konstitusional Presiden ke dalam Undang-Undang Kepresidenan, maka berisiko untuk membatasi ruang gerak Presiden. Penjabaran dari kewenangan sangat dimungkinkan untuk mempersempit makna dari kewenangan itu sendiri, sehingga dalam hal ini kebijakan yang dihasilkan karena penyempitan kewenangan itu tidak memberikan hasil yang maksimal. Maka dari itu, penjabaran lebih lanjut kewenangan konstitusional Presiden harus tetap sejalan dengan semangat konstitusi.


BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT

Dalam ketentuan hukum positif di Indonesia terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur atau memiliki keterkaitan dengan kepresidenan. Pada bab ini akan dimuat analisis dan kajian terhadap peraturan perundang-undangan lain yang sekiranya memiliki keterkaitan dengan kepresidenan.

A.           UU Darurat Nomor 19 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi

Pembentuk undang-undang di Indonesia pernah mengeluarkan sebuah undang-undang yang khusus mengatur tentang Amnesti dan Abolisi. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1945 tentang Amnesti adalah undang-undang yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1954 untuk memberikan dasar hukum dalam pemberian amnesti dan abolisi. Undang-undang darurat ini dibuat untuk melaksanakan Pasal 107 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.[41] Secara materi undang-undang darurat ini terdiri dari 5 pasal saja.
Setelah dilakukan analisis terhadap Undang-Undang Darurat Amnesti dan Abolisi, ada beberapa hal yang patut untuk dikritisi dari peraturan ini. Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 menyatakan bahwa Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 2 bahwa amnesti dan abolisi diberikan kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda. Undang-Undang Darurat Amnesti dan Abolisi memiliki hubungan yang sangat erat dengan kepresidenan. Kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi merupakan wujud tugas dan tanggung jawabnya di bidang yudisial.
Berdasar pada ketentuan Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954, amnesti dan abolisi diberikan oleh Presiden setelah mendapat nasehat dari Mahkamah Agung. Sementara dalam konstitusi yang saat ini berlaku, yakni UUD NRI Tahun 1945, dinyatakan pada Pasal 14 ayat (2) bahwa Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat. Dapat dikatakan bahwa ketentuan yang ada dalam Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 telah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 tepatnya Pasal 14 ayat (2). Telah terjadi disharmoni dan ketidaksinkronan secara vertikal antara UU Darurat Nomor 54 Tahun 1954 dengan UUD NRI Tahun 1945. Berpijak pada Pasal 2 UU Darurat Amnesti dan Abolisi, maka dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini sudah tidak berlaku lagi. Dikatakan tidak berlaku lagi karena undang-undang ini hanya melegalisasi pemberian amnesti dan abolisi terhadap orang-orang yang melakukan tindakan pidana akibat persengketaan politik antara Indonesia dengan Kerajaan Belanda sebelum tanggal 27 Desember 1949. Artinya, Presiden saat ini tidak bisa menggunakan undang-undang untuk dijadikan dasar hukum dalam setiap pemberian amnesti dan abolisi.

B.            Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya

<sedang dikerjakan Aji>

C.           UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

Penjelasan Umum UU Nomor 37 Tahun 1999 menguraikan bahwa UU Hubungan Luar Negeri merupakan pelaksanaan dari ketentuan dasar yang tercantum di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan hubungan luar negeri. Dasar pembentukan undang-undang ini adalah adanya pemikiran bahwa penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri memerlukan ketentuan-ketentuan yang secara jelas mengatur segala aspek yang menyangkut sarana dan mekanisme pelaksanaan kegiatan tersebut.[42]
UU Hubungan Luar Negeri sampai saat ini masih berlaku dan menjadi landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan peraturan politik luar negeri. Keberadaan undang-undang ini memiliki relevansi dan korelasi dengan kepresidenan. Hal ini karena diaturnya beberapa kewenangan Presiden dalam Undang-Undang Kepresidenan. Beberapa hal terkait dengan kepresidenan yang diatur dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri adalah sebagai berikut:
1.    Kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah Republik Indonesia berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.[43]
2.    Presiden dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan hubungan luar negeri di bidang tertentu.[44]
3.    Pembukaan dan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler dengan negara lain serta masuk ke dalam atau keluar dari keanggotaan organisasi internasional ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat.[45]
4.    Pengiriman pasukan atau misi pemeliharaan perdamaian ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat.[46]
5.    Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.[47]
6.    Untuk melaksanakan tugas diplomatik di bidang khusus, Presiden dapat mengangkat pejabat lain setingkat Duta Besar.[48]
Bersandar kepada beberapa ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang ini mengatur banyak tentang kepresidenan. Kewenangan Presiden dalam mengangkat duta, konsul, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian internasional secara jelas diatur dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri. Berhubung UU Nomor 37 Tahun 1999 mengatur banyak tentang lembaga kepresidenan, maka sudah sepatutnyalah Undang-Undang Hubungan Luar Negeri dijadikan rujukan dalam penyusunan Undang-Undang Kepresidenan. Hal ini supaya terjadi sinkronisasi antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain.

D.           UU Nomor 24 Tahun 2000 tantang Perjanjian Internasional

Undang-Undang Perjanjian Internasional merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Jika diamati, ketentuan Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 masih bersifat ringkas dan umum. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang secara tegas mendefinisikan kewenangan lembaga eksekutif dan legislatif dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional serta aspek-aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan yang dinamis antara kedua lembaga tersebut. Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.[49]
Sampai saat ini UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional masih berlaku dan menjadi dasar hukum bagi Presiden dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya. Undang-Undang Perjanjian Internasional sangat penting artinya untuk menciptakan kepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah. Artinya dalam undang-undang tersebut, peran dan posisi Presiden dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional sudah diatur sedemikian rupa.
Terkait dengan kewenangan Presiden dalam membuat perjanjian internasional ada beberapa hal yang patut dikritisi dari undang-undang perjanjian internasional. Pertama, Pasal 11 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Namun, perlu dicatat bahwa dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan bahwa Presiden membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR. Kedua, Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Keterlibatan DPR dalam pembuatan perjanjian internasional dirasa perlu hanya sekedar untuk meminta “persetujuannnya” saja. Sementara dalam Pasal 2 UU Perjanjian Internasional frasa yang dipakai bukan “persetujuan, melainkan “konsultasi”. Ketiga, ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dibutuhkan sepanjang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Sementara pada UU Perjanjian Internasional konsultasi dengan DPR dibutuhkan sepanjang menyangkut kepentingan publik.
Dalam konteks kepresidenan sebenarnya telah terjadi ketidaksinkronan antara ketentuan yang ada dalam konstitusi dengan ketentuan yang ada dalam UU Perjanjian Internasional. Hal ini bisa dipahami karena UU Perjanjian Internasional lahir pada tahun 2000, tepatnya pada masa amandemen kedua UUD 1945. Sementara Pasal 11 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 lahir saat amandemen ketiga UUD 1945, yakni pada tahun 2001. Oleh karena itu adanya Undang-Undang Kepresidenan sebenarnya merupakan sebuah jembatan agar ketentuan yang ada dalam UU Perjanjian Internasional sinkron dengan materi yang dikandung dalam konstitusi.

E.            UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan ketentuan yuridis baru pengganti dari UU Nomor 28 Tahun 1997. Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua UUD NRI Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.
Definisi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan, “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”[50] Sementara pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau biasa disebut dengan Kapolri.[51]
Seperti diketahui Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Secara kedudukan, Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden dan bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. Konsekuensi dari kedudukan Polri yang ada di bawah Presiden maka Kapolri selaku pimpinan Polri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam setiap pengangkatan ataupun pemberhentian Kapolri, Presiden haruslah meminta persetujuan DPR. Hal ini penting karena DPR sebagai representasi dari rakyat wajib dimintai persetujuannya.
Terkait dengan ruang lingkup lembaga kepresidenan, Presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat maupun memberhentikan Kapolri, Namun demikian, dalam menjalankan kewenangannya tersebut Presiden wajib meminta pertimbangan dari DPR. Dimasukkannya pengaturan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang terdapat di dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia ke dalam Undang-Undang Kepresidenan merupakan suatu upaya untuk menata kewenangan Presiden yang tersebar di berbagai undang-undang supaya lebih terpadu dan holistik dalam satu wadah pengaturan Undang-Undang Kepresidenan.

F.            UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

Tanggal 16 Oktober menjadi hari yang bersejarah bagi TNI, dikarenakan pada hari itu undang-undang yang mengatur TNI secara kelembagaan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dibentuk guna menggantikan UU Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang tidak lagi sesuai dengan perubahan kelembagaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. UU TNI merupakan penjabaran lebih lanjut berbagai ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yakni Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 30.
Kaitannya dengan kepresidenan, UU TNI adalah salah satu undang-undang yang mengatur sebagian kecil lembaga kepresidenan. Ada beberapa alasan mengapa UU TNI dikatakan mengatur sebagian kecil kepresidenan. Pertama, dalam UU TNI dinyatakan secara eksplisit bahwa kedudukan TNI berada di bawah Presiden. Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer.[52] Kedudukan TNI di bawah Presiden di sini diartikan bahwa keberadaan TNI ada di bawah kekuasaan Presiden. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan Presiden maka ia juga termasuk dalam ruang lingkup lembaga kepresidenan. Kedua, TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan yang dipimpin oleh seorang Panglima.[53] Panglima TNI adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan dari DPR. Kewenangan Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Panglima TNI merupakan cakupan dari kewenangan Presiden sebagai kepala negara yang merupakan ruang lingkup lembaga kepresidenan. Ketiga, Presiden memiliki kekuasaan yang tertinggi atas TNI. Hal ini dapat terlihat dari kewenangan Presiden dalam mengerahkan kekuatan TNI. Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI. Kekuasaan untuk menggerakkan kekuatan TNI ini merupakan kewenangan Presiden yang notabene merupakan bagian dari lembaga kepresidenan. Keempat, UU TNI ini telah mengatur secara jelas kewenangan Presiden dalam mengangkat Panglima TNI.[54] Kewenangan untuk mengangkat Panglima TNI merupakan bagian dari kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara.
Namun, begitu ada beberapa hal yang patut dikritisi dari undang-undang ini, yakni tidak diaturnya penggunaan kekuatan TNI oleh Presiden dalam situasi non-perang. Dalam UU TNI hanya dikatakan bahwa penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[55] Hal ini masih menimbulkan pertanyaan, yakni kepentingan pertahanan negara dan kepentingan nasional seperti apakah sehingga kekuatan TNI dapat digerakkan oleh Presiden. Terhadap permasalahan seperti itu maka dibutuhkan semacam pengaturan yang lebih komprehensif lagi untuk mengatur kewenangan Presiden dalam menggunakan kekuatan TNI, baik ketika operasi militer untuk perang maupun selain perang. Hadirnya UU Kepresidenan diharapkan mampu menjawab dan mengurai permasalahan tersebut.

G.           UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden

Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tugas pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden telah dikenal dan telah berlangsung sejak lama, yang dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pelaksanaannya diatur dengan UU Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1978 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung.
Pasca perubahan keempat UUD NRI Tahun 1945, Dewan Pertimbangan Agung merupakan salah satu lembaga negara yang dihapuskan dalam perubahan keempat. Sebelum perubahan, Dewan Pertimbangan Agung diatur dalam bab tersendiri, yakni Bab IV Dewan Pertimbangan Agung. Setelah perubahan, keberadaan Dewan Pertimbangan Agung diganti dengan suatu dewan pertimbangan yang ditempatkan dalam satu rumpun bab yang diatur dalam Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan suatu dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden masih tetap diperlukan, tetapi statusnya menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara.
UU Nomor 19 Tahun 2006 merupakan perwujudan atau amanah yang tercantum dalam Pasal 16 UUD NRI Tahun 1945, yakni “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”. Status peraturan perundang-undangan ini adalah masih tetap berlaku dan merupakan salah satu instrumen alat kelengkapan negara yang berada di bawah kepresidenan. Fungsi undang-undang ini sudah jelas yakni melengkapi amanat Pasal 16 UUD.
UU Nomor 19 Tahun 2006 mengatur kedudukan, tugas, fungsi, susunan dan keanggotaan, pengangkatan dan pemberhentian, mekanisme kerja, serta pembiayaan dan hak keuangan Dewan Pertimbangan Presiden. Undang-undang ini sudah harmonis secara vertikal dengan UUD NRI Tahun 1945. Hadirnya Undang-Undang Kepresidenan diharapkan mampu menyatukan organ-organ di bawah Presiden supaya lebih tertata dan terkendali di bawah kekuasaan Presiden sebagai pemegang pemerintahan. Oleh karena itu, Dewan Pertimbangan Presiden layak untuk kemudian diatur dalam Undang-Undang Kepresidenan.

H.           UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara

UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara merupakan penjabaran lebih lanjut dari amanat Pasal 17 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menghendaki supaya pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Seperti disebutkan dalam konstitusi dan UU Kementerian Negara bahwa pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif Presiden, artinya itu semua merupakan hak Presiden yang tidak dapat diintervensi. Dewasa ini kewenangan Presiden dalam melakukan pengangkatan, pemberhentian dan reshuffle menteri menjadi topik yang seringkali diperdebatkan. UU Kementerian Negara telah mensyaratkan seorang untuk dapat diangkat menjadi seorang menteri harus memenuhi beberapa kriteria. Terhadap hal tersebut muncul sebuah pertanyaan, sejauh mana undang-undang boleh mengatur hak prerogatif Presiden? Apakah betul pengaturan tentang syarat dan kriteria menjadi seorang menteri merupakan pembatasan bagi Presiden dalam menentukan pilihannya?
Dalam penjelasan umum UU Kementerian Negara dikatakan bahwa keberadaan UU Kementerian Negara sama sekali tidak mengurangi apalagi menghilangkan hak Presiden dalam menyusun kementerian negara yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Sebaliknya, undang-undang ini justru dimaksudkan untuk memudahkan Presiden dalam menyusun kementerian negara karena secara jelas dan tegas mengatur kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara.[56] Pengaturan mengenai syarat dan kriteria seseorang untuk menjadi menteri bukanlah pembatasan hak prerogatif Presiden, namun merupakan payung hukum bagi Presiden dalam menjalankan kewenangannya untuk memilih siapa yang akan duduk di kursi menteri. Hal demikian bisa dipahami karena persyaratan menjadi menteri seperti yang diatur dalam UU Kementerian Negara masih bersifat umum dan bisa diterima.[57]
Persoalan lain yang patut dikritisi dari UU Kementerian Negara adalah keberadaan Wakil Menteri. Selama ini keberadaan Wakil Menteri masih menjadi polemik. Hal ini karena konstitusi UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur perihal Wakil Menteri dalam Pasal 17. Dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 disebutkan pada Pasal 10 bahwa dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan beban kerja khusus, Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri pada kementerian tertentu.[58] Sementara pada Penjelasan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.[59] Untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut sesuai dengan perintah Pasal 11 UU Kementerian Negara, maka dibentuklah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Lebih lanjut Pasal 70 ayat 3 Perpres Nomor 47 Tahun 2009 menyebutkan bahwa wakil menteri harus pegawai negeri dan menduduki jabatan struktural eselon I/a.[60] Faktanya ketika Presiden mengangkat para wakil menteri, banyak di antara mereka yang pegawai negeri, namun belum menduduki jabatan struktural eselon I/a. Berdasar pada hal tersebut, jelas dapat dikatakan bahwa wakil menteri yang diangkat oleh Presiden legalitas kedudukannya dipertanyakan. Belakangan kemudian keluarlah Perpres Nomor 76 Tahun 2011 untuk mengakomodasi calon menteri pilihan Presiden, sekaligus untuk menyelesaikan polemik pengangkatan Wakil Menteri. Kini keberadaan wakil menteri telah absah karena didukung oleh Perpres Nomor 76 Tahun 2011 sebagai dasar legalitas pengangkatan wakil menteri.
Lantas apa keterkaitan dua masalah di atas dengan kepresidenan. Pengangkatan menteri dan wakil menteri adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dari kepresidenan. Kedua jabatan tersebut, baik menteri maupun wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden. Sementara Presiden sendiri adalah aktor penting dalam lembaga kepresidenan. Oleh karena itu, pengaturan kewenangan Presiden untuk mengangkat menteri dan wakil menteri harus diatur dalam Undang-Undang Kepresidenan sebagai bagian yang tak terpisahkan.

I.              UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan

UU Nomor 20 Tahun 2009 merupakan penjabaran wewenang Presiden sebagai kepala negara, sebagaimana termuat dalam Pasal 15 UUD NRI Tahun 1945 yang bunyinya, “Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang”.[61] UU Gelar, Tanda jasa, dan Tanda Kehormatan ini dimaksudkan sebagai unifikasi dan kodifikasi peraturan perundang-undangan yang saat ini terdiri atas 17 (tujuh belas) undang-undang.[62] Dengan adanya UU Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, maka pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan oleh Presiden sebagai kepala negara mempunyai landasan hukum yang lebih kuat dan kepastian hukum yang lebih terjamin.
Keterkaitan UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dengan UU Kepresidenan adalah karena kedua undang-undang tersebut memberikan pengaturan mengenai kewenangan Presiden dalam memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. UU Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan mengatur bagaimana mekanisme Presiden dalam memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Sementara pada UU Kepresidenan diatur pula hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan Presiden sebagai kepala negara termasuk dalam hal ini kewenangannya untuk memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dapat dikatakan selaras dan harmonis dengan UU Kepresidenan. Hanya saja UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan mengatur lebih spesifik substansi dan bersifat teknis. Sementara UU Kepresidenan hanya mengatur garis besarnya saja, yakni menyangkut kewenangan Presiden yang diberikan konstitusi dalam memberikan gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan.

J.             UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi merupakan turunan dari pada Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dulunya pengaturan tentang grasi diatur pada UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Akan tetapi, undang-undang tersebut substansinya sudah tidak sesuai dengan kondisi ketatanegaraan Indonesia dan perkembangan masyarakat saat ini, sehingga dibuatlah UU Nomor 22 Tahun 2002 yang kemudian direvisi lagi menjadi UU Nomor 5 Tahun 2010. Ketentuan yang ada dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 masih berlaku sepanjang tidak dinyatakan sebaliknya oleh UU Nomor 5 Tahun 2010.
Dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 yang dimaksud dengan grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.[63] Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Undang-undang ini mengatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Keterkaitan UU Grasi dengan kepresidenan adalah karena grasi diberikan oleh Presiden selaku pilar utama kepresidenan, sehingga dalam menjalankan kewenangannya tersebut, dibentuklah UU Grasi. Kehadiran UU Kepresidenan diharapkan mampu mendukung, melengkapi, dan menjadi harmonis dengan UU Grasi. Selain itu, melalui UU Kepresidenan ini, segala kewenangan Presiden yang tersebar dalam berbagai undang-undang, termasuk UU Grasi dapat terkumpul dalam satu wadah pengaturan yang terpadu dan komprehensif. Maka dari itu, kewenangan Presiden dalam memberikan grasi wajib dimasukkan dalam materi UU Kepresidenan.

K.           UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pada tanggal 12 Agustus 2011, Pemerintah bersama dengan DPR secara resmi telah menyetujui bersama Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi UU Nomor 12 Tahun 2011. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan ketentuan yuridis baru pengganti dari UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2011, maka UU Nomor 10 Tahun 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Namun, ruang lingkup materi muatan UU ini diperluas tidak saja undang-undang tetapi mencakup pula peraturan perundang-undangan lainnya, selain UUD NRI Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.[64] Artinya di dalam undang-undang ini disebutkan tentang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi dan juga peraturan daerah kabupaten/kota.
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara substansi memiliki keterkaitan dengan kepresidenan. Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan hanya domain lembaga legislatif saja, melainkan Presiden sebagai eksekutif pun terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. UU Nomor 12 Tahun 2011 menggambarkan secara jelas bagaimana kewenangan dan peran Presiden dalam membuat peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang melibatkan Presiden dalam proses pembuatannya adalah undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan Presiden. Kewenangan Presiden dalam membentuk peraturan perundang-undangan merupakan hal yang patut untuk diatur juga dalam UU Kepresidenan. Hal ini sangat penting, selain untuk mengumpulkan seluruh kewenangan Presiden dalam satu wadah pengaturan juga untuk mensinkronkan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A.           Landasan Filosofis

Menurut Hugo Krabbe, dalam teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereniteit, disebutkan bahwa yang memiliki kekuasaan atau kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri.[65] Hukum menjadi panglima dalam sebuah kehidupan berbangsa dan negara. Hukum menjadi kekuasaan tertinggi, sehingga penguasa dari suatu negara pun harus tunduk pada hukum. Hukum menjadi sebuah kekuasaan yang mempunyai legitimasi untuk mengatur semua sendi kehidupan suatu negara. Dalam sebuah negara, siapapun harus tunduk pada kedaulatan hukum, baik rakyat maupun penguasa.
Teori negara hukum memiliki dua pilar yang paling penting yaitu teori negara hukum dan teori konstitusi.[66] Istilah negara hukum berkaitan dengan paham rechtsstaat atau the rule of law, juga berkaitan dengan paham nomocracy yang berasal dari kata nomos dan cratos, nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan, ialah kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum.[67] Dalam bukunya Nomoi, Plato mulai memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum. Menurutnya, penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum.[68] Sedangkan menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.[69] Berdasarkan dua pendapat di atas penyelenggaraan pemerintahan suatu negara harus diatur dan dibatasi oleh hukum. Agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau penguasa.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara dikatakan sebagai negara hukum jika di dalam wilayah negara tersebut terdapat: (1) semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari Pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku; dan (2) semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.[70]
Berdasarkan pengertian dan unsur-unsur negara hukum di atas disyaratkan adanya peraturan perundang-undangan sebagai sebuah dasar penyelenggaraan negara oleh alat-alat negara. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud yaitu sebuah konstitusi. Constitution menurut Ivo D. Duchacek, “identity the source, purpose, uses, and restraints of public power”, yang artinya mengidentifikasi sumber, tujuan, penggunaan, dan pembatasan kekuasaan umum”.[71] Dari pendapat tersebut konstitusi adalah sebuah instrumen untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam suatu negara untuk agar kekuasaan tersebut digunakan sebagaimana mestinya, untuk mencapai sebuah tujuan yang mulia.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Walton H. Hamilton yang berjudul “Constitutionalism” dikatakan bahwa “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of word engrossed on parchment to keep a government in order”,[72] dari hal tersebut dijelaskan bahwa perlu adanya sebuah pengaturan agar proses pemerintahan dapat dibatasi dan diatur sebagaimana mestinya. Menurut William G. Andrews, “Under consti­tutionalism, two types of limitations impinge on govern­ment. Power proscribe and procedures prescribed[73]. Konstitu­sio­nalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lem­baga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain.[74] Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimak­sudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu: (a) me­nen­­tukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara; (b) meng­atur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain; dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.[75] Maka jelas bahwa kekuasaan yang harus dibatasi ini bukan hanya mengenai satu kekuasaan saja tetapi lebih. Sesuai dengan teori Trias Politica yang disampaikan oleh Montesquieu bahwa kekuasaan negara dapat dibagi menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan tersebut tidak akan muncul secara serta merta, tetapi harus ada sebuah pengaturan yang diamanatkan dalam konstitusi. Sesuai dengan hal tersebut, suatu konstitusi setidaknya mengatur mengenai berbagai institusi kekuasaan yang ada dalam negara, kekuasaan yang dimiliki oleh institusi-institusi tersebut, dan dalam cara seperti apa kekuasaan tersebut dijalankan.[76]
   Bagir Manan, dengan mengutip pendapat J.T. van den Berg, mengemukakan bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum harus memiliki syarat minimal (negara hukum klasik) ialah: (1) Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya; (2) Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka; (3) Ada pemencaran kekuasaan negara/pemerintah (spreading van de staatsmacht); (4) Ada jaminan terhadap hak asasi manusia; (5) Ada jaminan persamaan di muka hukum dan jaminan perlindungan hukum; (6) Ada asas legalitas, bahwa pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus didasarkan atas hukum.[77]
Hal-hal tersebut di atas sudah termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya tentang pemisahan kekuasaan (separation of power). Namun dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pemisahan kekuasaan tersebut tidak dilaksanakan secara mutlak. Pemisahan kekuasaan mutlak menghendaki adanya dinding pemisah yang jelas antara tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun sistem ketatanegaraan kita memungkinkan adanya check and balances antara tiga cabang kekuasaan tersebut. Gagasan utama dalam check and balances adalah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok.[78] Dari ketiga cabang kekuasaan tersebut di Indonesia yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif telah diatur dalam undang-undang secara spesifik. Namun, kekuasaan eksekutif dalam hal ini lembaga kepresidenan belum diatur dengan undang-undang secara spesifik.
Pengaturan lembaga kepresidenan dalam undang-undang merupakan sebuah instrumen pengaturan dan pembatasan yang lebih rinci yang menjadi penjabaran dari apa yang telah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Dengan pengajuan undang-undang lembaga kepresidenan oleh Presiden maka ini menunjukkan bahwa Presiden membuka diri untuk adanya mekanisme check and balances antara ketiga cabang kekuasaan. Selain itu, hal ini akan memberikan kepastian hukum bagi cabang kekuasaan eksekutif, baik Presiden maupun organ-organ yang ada di bawahnya, untuk melaksanakan fungsinya dalam rangka mewujudkan tujuan negara.        

B.            Landasan Sosiologis

Dalam beberapa puluh tahun terakhir, persoalan ketatanegaraan yang berhubungan dengan lembaga kepresidenan menjadi perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia. Persoalan tersebut lebih banyak mengarah kepada legitimasi atas apa yang dilakukan Presiden dalam menjalankan pemerintahannya. Seharusnya bagi negara yang menganut dan mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, seorang Presiden mempunyai modal yang kuat untuk menjalankan pemerintahannya secara efektif guna mencapai kemakmuran rakyatnya. Hal tersebut karena ciri dari sistem presidensial yang kemudian diatur sebagai jaminan konstitusional, yaitu Presiden menduduki posisi sebagai kepala negara dan kepala pemerintah, Presiden dipilih secara langsung, dan memiliki masa jabatan yang tetap.
Pasca amandemen UUD sampai saat ini, posisi kepresidenan relatif tidak jelas dibandingkan dengan cabang kekuasaan yang lain. Berbagai persoalan muncul baik dalam keterkaitan hubungan internal kelembagaan di bawahnya maupun eksternal dengan lembaga lainnya. Ketiadaan aturan yang memuat ketentuan tentang kepresidenan secara menyeluruh yang menjadi pijakan Presiden untuk mengelola lingkungan jabatan di bawahnya menyebabkan legitimasi atas tindakan ketatanegaraan dalam merespon permasalahan seringkali menuai gugatan dari berbagai pihak. Kepresidenan sering kali disoroti pada soal detil hubungan kerja (profesional). Begitu pula dalam masalah pengangkatan pejabat publik di bawah kepresidenan.
Permasalahan mengenai kepresidenan secara umum bisa dikategorikan menjadi dua permasalahan mendasar. Pertama, tentang penataan organ di bawah Presiden. Mengenai penataan kepresidenan, hal ini menjadi penting karena kepresidenan sebagai lembaga negara memiliki organ kelembagaan yang paling banyak di antara lembaga negara lainnya. Hal tersebut terjadi karena luasnya lingkup tugas dan wewenang yang dipegang oleh kepresidenan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas tersebut dibutuhkan penataan sistem kelembagaan secara menyeluruh dan saling terkoordinasi.
Kondisi ideal sebagaimana di atas untuk saat ini belum terpenuhi. Hal tersebut karena di lapangan, organ kepresidenan belum tertata secara sistematik dan terstruktur. Laporan dari Sekretariat Negara bisa menjadi gambaran untuk menjelaskan keadaan tersebut, yaitu:[79]
a.    Sejak tahun 1945 belum pernah diadakan kajian serta diletakkan kebijakan kepresidenan mendasar tentang bagaimana lembaga kepresidenan itu seharusnya ditata untuk menunaikan empat tugas utama pemerintahan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
b.    Organisasi dan manajemen pemerintahan Republik Indonesia selama ini disusun secara fragmentasi, ad hoc, dan tanpa suatu grand design, walaupun Republik Indonesia telah tumbuh dan berkembang dari sebuah republik sederhana menjadi sebuah negara besar, dan sedang menghadapi masalah dalam negeri dan masalah luar negeri yang luar biasa kompleks.
c.    Ada lima akibat dari organisasi dan manajemen pemerintahan tanpa grand design tersebut, yaitu:
1)   Timbulnya kecenderungan pendekatan yang sangat sektoral dari departemen pemerintahan.
2)   Sulitnya koordinasi dan komunikasi lintas lembaga pemerintahan yang terdiri dari departemen, lembaga pemerintah non departemen, komisi, dan pemerintahan daerah yang cepat atau lambat menimbulkan in-efektifitas dan in-efisiensi pemerintahan.
3)   Sulitnya diperoleh gambaran menyeluruh dari kinerja pemerintahan.
4)   Tidak terpantaunya dan berlarutnya keresahan dan ketidakpuasan masyarakat di tingkat daerah karena tidak tertanganinya masalah-masalah dan keluhan daerah pada waktunya.
Lebih jauh soal kelembagaan adalah memberikan legitimasi bagi Presiden dalam kewenangannya membentuk suatu kelembagaan guna mengefektifkan jalannya pemerintahan. Hal tersebut penting sebab dalam keadaan mendesak dan perlu segera adanya tindakan penyikapan maka Presiden membentuk satuan organ khusus di luar yang sudah ada untuk melaksanakan tugas tersebut, atau dimungkinkan menambahkan dari yang sudah ada pada kelembagaan tersebut. Dengan adanya kewenangan ini maka tindakan Presiden akan ada landasan yuridisnya dan tidak bertentangan dengan hukum. Sehingga ke depan penolakan atas kebijakan tersebut bukan lagi pada alasan kewenangan pembentukannya.[80]
Kedua, dalam penggunaan kewenangan Presiden. Permasalahan kepresidenan tidak saja berkaitan dengan internal namun juga secara eksternal. Hal tersebut tentang kewenangan konstitusional Presiden baik ke dalam negeri maupun ke luar. Disana hanya diatur tentang kewenangan dan hak prerogatif Presiden, namun mekanismenya masih menjadi penafsiran bebas. Dalam hal ini misalkan kewenangan Presiden dalam Pasal 12, dalam menyatakan bahaya seperti apa dan bagaimana penyikapannya, hal tersebut belum dijelaskan. Sedangkan kondisi bahaya sendiri dalam pengertian, meliputi: keadaan bahaya perang, yang menyangkut external intervention/aggression (perang/agresi dari luar), keadaan bahaya karena adanya internal disturbance (gangguan bersifat internal-state of tension), dan yang terakhir keadaan luar biasa lainnya.[81] Perincian bahaya tersebut dikenal dengan istilah darurat sipil, darurat militer dan keadaan perang.[82] Begitu pula dengan hak prerogatif Presiden lainnya yang dalam pelaksanaannya membutuhkan persetujuan ataupun pertimbangan lembaga negara lain, misal Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung. Oleh karena untuk menjalankan check and balances hal tersebut perlu diatur untuk memperjelas hubungan kelembagaan negara. Pengaturan hak-hak prerogatif Presiden tersebut merupakan upaya penguatan terhadap sistem yang dianut. Sebab jika konsisten dengan sistem tersebut maka Presiden memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menggunakan hak prerogatifnya. Oleh karenanya melihat hal tersebut di atas maka penyusunan UU Kepresidenan merupakan suatu yang sangat dibutuhkan. Mengingat posisi kepresidenan sebagai aktor utama dalam menggerakkan negara. Dalam UU Kepresidenan tersebut akan diatur dengan jelas kewenangan, kewajiban, hak dan tanggung jawab Presiden serta organ-organ di bawahnya.

C.           Landasan Yuridis

Berbicara tentang kepresidenan tidak dapat dipisahkan dari sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Kepresidenan di Indonesia memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan umur republik ini. Dikatakan hampir sama sebab pada saat dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi (UUD 1945) yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan dan lembaga kepresidenan yang menjadi roda penggerak pemerintahan. Sejak Indonesia merdeka pengaturan mengenai kepresidenan bisa dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi saja. Peraturan di bawah konstitusi (undang-undang) hanya mengatur sebagian kecil saja kepresidenan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan lembaga negara lainnya, seperti Mahkamah Agung, DPR, dan MPR. Bisa dikatakan hanya kepresidenan satu-satunya cabang kekuasaan yang tidak memiliki pengaturan dalam bentuk undang-undang tersendiri. Peraturan dasar dan perundang-undangan yang berlaku belum memberikan pengaturan yang lebih lanjut tentang kepresidenan. Pun, jika selama ini terdapat berbagai macam aturan yang mengatur tentang kepresidenan, itu semua letaknya tersebar dalam berbagai jenis dan tingkatan peraturan. Beberapa undang-undang yang mengatur maupun memiliki keterkaitan dengan kepresidenan dalam tingkatan undang-undang di antaranya:
1.    UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. UU Perjanjian Internasional merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional.
2.    UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 30 ayat (4) dan (5) UUD NRI Tahun 1945 di mana Polri adalah alat negara dan Presiden berwenang untuk mengangkat Kapolri.
3.    UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. UU TNI merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 30 ayat (3) dan (5) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk menggerakkan kekuatan TNI dan mengangkat Panglima TNI.
4.    UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. UU Dewan Pertimbangan Presiden merupakan penurunan dari Pasal 16 UUD NRI Tahun 1945 yang mewajibkan kepada Dewan Pertimbangan Presiden untuk memberikan nasehat kepada Presiden.
5.    UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. UU Kementerian Negara merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 17 UUD ayat (2) dan (4) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri, selain itu dalam undang-undang ini diatur pula kewenangan Presiden untuk membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian negara.
6.    UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. UU Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 15 UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden memberikan gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan.
7.    UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi merupakan turunan dari pada Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
8.    UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Keberadaan undang-undang di atas merupakan bukti nyata bahwa peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan kepresidenan tersebar dan berserakan tanpa adanya penataan yang terpadu, menyeluruh dan komprehensif. Keinginan untuk membentuk UU Kepresidenan pada hakikatnya merupakan salah satu upaya untuk menata sekaligus mensinkronisasi berbagai macam peraturan yang sudah ada dan tersebar tadi agar terpadu dan komprehensif. Dengan adanya UU Kepresidenan maka berbagai macam peraturan perundang-undangan yang mengatur lembaga kepresidenan dapat terintegrasi menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Dorongan untuk membentuk UU Kepresidenan sangat kuat utamanya pasca amandemen UUD 1945. Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Atas dasar pasal itulah ruang lingkup kekuasaan kepresidenan menjadi sangat luas. Secara implisit pengaturan kekuasaan kepresidenan terdapat dalam Bab III UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, pengaturan kepresidenan di dalam konstitusi tidak hanya diatur pada Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara, pada bab-bab lain pun bisa ditemui pasal-pasal yang memiliki keterkaitan dengan kepresidenan. Contoh bahwa pengaturan kepresidenan tidak hanya diatur di dalam Bab III dapat dilihat pada Bab V tepatnya, Pasal 17 yang mengatur tentang Kementerian Negara. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri.
Jika ditelaah lebih lanjut dari 73 pasal yang ada dalam konstitusi hampir 1/3 materi UUD NRI Tahun 1945 memberikan pengaturan tentang kepresidenan. Hal demikian terjadi selain karena sentralnya kedudukan kepresidenan dalam suatu negara, juga karena konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi ingin membatasi kekuasaan Presiden supaya tidak absolut. Akan tetapi, dari 1/3 materi UUD yang mengatur tentang kekuasaan kepresidenan tidak banyak yang memerintahkan untuk dijabarkan lebih lanjut ke dalam undang-undang. Ruang lingkup kekuasaan kepresidenan, seperti yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat dilihat pada pasal-pasal konstitusi di bawah ini:
1.        Memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 4 ayat (1)].
2.        Memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU [Pasal 10].
3.        Menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 11 ayat (1)].
4.        Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 11 ayat (2)]. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang [Pasal 11 ayat (3)].
5.        Menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang [Pasal 12].
6.        Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 13 ayat (3)].
7.        Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung [Pasal 14 ayat (1)].
8.        Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 14 ayat (2)].
9.        Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang [Pasal 15].
10.    Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang [Pasal 16].
11.    Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri [Pasal 17 ayat (2)]. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang [Pasal 17 ayat (4)].
Merujuk pada pasal-pasal konstitusi di atas dapat dikatakan bahwa muatan materi UUD yang mengatur kekuasaan lembaga kepresidenan lebih banyak didominasi oleh pengaturan kewenangan Presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Mengamati kewenangan Presiden yang ada dalam konstitusi bisa dikatakan bahwa kewenangan Presiden sangatlah banyak dan luas. Selama ini, kewenangan Presiden yang sangat banyak tersebut umumnya hanya diatur di dalam konstitusi saja, tanpa kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam sebuah undang-undang. Ketentuan tentang kewenangan Presiden seperti yang termuat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinilai belum mencukupi, dan masih diperlukan rincian ketentuan mengenai berbagai aspek pelaksanaan tugas dan kewenangan Presiden dalam bentuk undang-undang.[83]
Tidak adanya penjabaran lebih lanjut kewenangan Presiden ke dalam peraturan setingkat undang-undang menyebabkan Presiden harus menterjemahkan secara langsung apa yang tertulis di konstitusi. Hal inilah yang kemudian menyulitkan Presiden karena harus membaca dan mengartikan satu persatu pasal-pasal yang ada dalam konstitusi. Kesulitan Presiden dalam menterjemahkan pasal-pasal yang sifatnya masih umum itulah yang kemudian menyebabkan kepresidenan berjalan lamban dalam memberikan respon terhadap segala permasalahan negara. Oleh karena itu, pasal-pasal konstitusi yang mengatur tentang kewenangan Presiden dan kepresidenan secara umum, seyogyanya diatur lebih lanjut ke dalam sebuah UU Kepresidenan. Pada titik inilah sebenarnya UU Kepresidenan menjadi sesuatu yang sangat urgent untuk segera dibentuk. Dibentuknya UU Kepresidenan akan memperkuat kepastian hukum kewenangan Presiden baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Selain itu, patut untuk disadari bahwa salah satu kelemahan Presiden dalam menyelenggarakan roda pemerintahan karena belum tertatanya organ-organ di bawah Presiden. Selama ini organ seperti komisi, badan, komite, dan lembaga kurang terkoordinasi dengan baik dan tidak memiliki hubungan yang sinergis antara satu dengan yang lainnya. Akibatnya, Presiden kurang mampu mengorganisir organ-organ yang berada di bawah kendalinya. Organisasi dan manajemen pemerintahan Republik Indonesia selama ini disusun secara fragmentaris, ad hoc, dan tanpa adanya suatu grand design. Hal ini terjadi karena masing-masing organ pemerintahan berdiri sendiri tanpa adanya suatu kesatuan pengaturan yang sifatnya holistik dalam satu wadah peraturan.
Pengaturan yang sifatnya sektoral tersebut telah menimbulkan berbagai kelemahan dalam koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintahan di bawah Presiden. Sulitnya koordinasi dan komunikasi lintas lembaga-lembaga pemerintahan yang terdiri dari kementerian, lembaga pemerintah non-departemen dan organ-organ lainnya secara cepat atau lambat akan menimbulkan in-efektivitas dan in-efisiensi pemerintahan. Dalam konteks ini perwujudan pengaturan kepresidenan dalam sebuah undang-undang menjadi hal yang sangat relevan di samping untuk menata dan mensinkronisasi berbagai macam peraturan perundang-undangan yang tersebar tadi juga untuk menata lembaga-lembaga pemerintahan yang berada di bawah naungan kepresidenan. Terwujudnya sebuah UU Kepresidenan yang di dalamnya memberikan pengaturan tentang lembaga-lembaga pemerintahan di bawah Presiden akan memberikan kemudahan bagi Presiden dalam mengkoordinasi satu lembaga dengan lembaga yang lain. Jika penataan lembaga-lembaga pemerintah di bawah kekuasaan Presiden melalui satu wadah undang-undang telah dilakukan, maka setiap lembaga mampu menjalankan wewenangnya sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Hal tersebut akan mewujudkan kerja sama dan hubungan yang harmonis antar lembaga pemerintahan di bawah komando Presiden.
Berdasar pertimbangan-pertimbangan di atas, UU Kepresidenan memiliki kaitan yuridis dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan perundang-undangan yang memiliki pertautan dengan kepresidenan haruslah menjadi landasan yuridis bagi pembentukan UU Kepresidenan. Pertama, Bab III UUD NRI Tahun 1945 yang materinya mengatur tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Kedua, undang-undang yang mengatur sebagian kecil kepresidenan, seperti UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A.           Sistematika

Bab   I        Ketentuan Umum
Bab   II      Asas-asas, Tujuan, dan Kedudukan Lembaga Kepresidenan
Bab   III     Tugas dan Wewenang
Bagian Kesatu Tugas dan Kewenangan Eksekutif
Bagian Kedua Tugas dan Kewenangan Legislatif
Bagian Ketiga Tugas dan Kewenangan Yudisial
Bagian Keempat Tugas dan Kewenangan Diplomatik
Bagian Kelima Tugas dan Kewenangan Administratif
Bab   IV     Hak, Kewajiban, dan Larangan
Bagian Kesatu Hak
Bagian Kedua Kewajiban
Bagian Ketiga Larangan
Bab   V      Kekebalan Presiden dan Wakil Presiden
Bab   VI     Organ di Bawah Lembaga Kepresidenan
Bagian Kesatu Kementerian Negara
Bagian Kedua Lembaga Setingkat Menteri
Bagian Ketiga Lembaga Pemerintah Non Kementerian
Bagian Keempat Lembaga Penunjang Kinerja Presiden
Bab   VII   Ketentuan Peralihan
Bab   VIII  Ketentuan Penutup

A. Ketentuan Umum
1. Lembaga Kepresidenan adalah lembaga negara yang mengatur organisasi dan tata kerja kepresidenan yang dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenegaraan dan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
2. Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang menjadi penyelenggara Pemerintah.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut MPR.
4.    Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPR adalah Lembaga Tinggi Negara yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.
5. Panglima TNI adalah perwira tinggi militer yang memimpin TNI
6. Kementrian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
7. Sekretaris Kabinet adalah lembaga pemerintah yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
8. Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9. Kapolri adalah pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian.
10. Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

B. Materi Muatan yang Diatur
Materi muatan yang tercantum dalam Undang-undang antara lain sebagai berikut :

1. Asas-asas, Tujuan, dan Kedudukan Lembaga Kepresidenan
a. Asas-asas Penyelenggaraan Lembaga Kepresidenan
1. Asas Demokratis
Presiden terpilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Dari hal tersebut jelas bahwa Presiden memegang amanat dari rakyat untuk melaksanakan pemerintahan. Berdasarkan pada konsep sederhana demokrasi yang menyatakan bahwa demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka pelaksanaan pemerintahan tersebut harus mengakomodir aspirasi rakyat untuk kemudian mencapai kesejahteraan rakyat.
2. Asas Tujuan
Penyelenggaraan lembaga kepresidenan harus didasarkan untuk mencapai tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan alinea ke empat UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3. Asas Kepastian Hukum
Adanya pengaturan tentang lembaga kepresidenan diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi proses pelaksanaan pemerintahan sehingga permasalahan-permasalah hukum yang belum diatur sebelumnya dapat terselesaikan.
4. Asas Efektifitas Pemerintahan
Pengaturan lembaga kepresidenan dimaksudkan untuk memberikan batasan dan aturan agar proses pelaksanaan pemerintahan dapat dijalankan sebagaimana mestinya secara efektif untuk mencapai tujuan negara tersebut.
5. Asas Kepentingan Nasional
Dengan adanya pengaturan lembaga kepresidenan akan memberikan input bagi pelaksanaan pemerintahan yang mencakup kepentingan nasional sebuah negara.

b. Tujuan
            Tujuan penyelenggaraan lembaga kepresidenan adalah untuk melaksanakan proses pemerintahan yang sesuai dengan tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Khususnya dalam hal mewujudkan pemerintahan yang memihak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.

c. Kedudukan Lembaga Kepresidenan
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang.[84] Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif. Maksudnya, Presiden mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, Presiden dan wakil Presiden tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Presiden dan wakil Presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.[85]

2. Tugas dan Wewenang
1. Presiden Sebagai Kepala Negara
a. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, laut, dan Angkatan Udara
Tentara Nasional Indonesia (TNI) terdiri dari TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara.[86] Berdasarkan Pasal 10 ayat 1, Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Hal ini menjelaskan bahwa, ketiga angkatan tersebut berada di bawah Presiden. Hal ini bersesuaian dengan Pasal 3 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyatakan bahwa dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer TNI berada di bawah Presiden. Susunan TNI diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara maka Presiden pun mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Panglima TNI. Yang dimaksud dengan Panglima TNI adalah perwira tinggi militer yang memimpin TNI.[87] Dalam Pasal 13 ayat 2, Undang-undang Nomr 34 Tahun 2004 tentang TNI dinyatakan bahwa Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini bersesuaian dengan apa yang ada dalam UUD 1945 yaitu tanggung jawab penggunaan kekuatan militer ada pada Panglima TNI. Panglima TNI bertanggung jawab pada Presiden terkait penggunaan kekuatan tersebut. Proses pengangkatan dan pemberhentian tersebut dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
b. Presiden berwenang dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Dalam Pasal 8 ayat 1,Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa Kepolisian Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Kepolisian dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab pada Presiden.[88] Dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan persetujuan DPR. Tentang susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.[89]
c. Presiden berwenang mengeluarkan pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Pada Pasal 11 Ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa, Presiden berwenang mengeluarkan pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Dalam hal kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI ada pada Presiden. Dalam hal keadaan memaksa yaitu adanya ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata maka Presiden dapat langsung melakukan pengerahan kekuatan TNI. Pengerahan kekuatan TNI tersebut selanjutnya harus ditindak lanjuti dengan adanya penggunaan kekuatan TNI dalam rangka operasi militer. Yang dimakusd dengan operasi militer adalah segala bentuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI, untuk melawan kekuatan militer negara lain yang melakukan agresi terhadap Indonesia, dan/atau dalam konflik bersenjata dengan suatu negara lain atau lebih, yang harus didahului pernyataan perang.[90] Selain mengeluarkan pernyataan perang Presiden juga berwenang dalam pembuatan perdamaian. Hal ini bersesuaian dengan pengejawantahan tujuan negara yaitu ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya Presiden juga berwenang untuk membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 menyatakan bahwa Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa. Namun selanjtnya dalam Pasal 7 Ayat 2 hal tersebut dikecualikan untuk Presiden dan Menteri. Pengesahan perjanjian yang dibuat kemudian disahkan dengan undang-undang atau keputusan Presiden.[91] Pada Pasal 15 disebutkan bahwa selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan Presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut.
d. Presiden mengangkat dan menerima penempatan duta besar.
Dalam Pasal 29 ayat 1, Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, disebutkan bahwa Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh mewakili negara dan bangsa Indonesia dan menjadi wakil pribadi Presiden Republik Indonesia di suatu negara atau pada suatu organisasi internasional.[92] Presiden juga berwenang menerima penempatan duta besar dengan tujuan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama ini telah melaksanakan hubungan luar negeri dengan berbagai negara dan organisasi regional maupun internasional.[93]
e. Pemberian Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi
Pasal 1 Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyebutkan, Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman. Dalam hal pemberian Rehabilitasi disebutkan dalam Pasal 35 Ayat 1, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Dalam hal pemberian Grasi Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyatakan bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[94]
f. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan
Dalam Pasal 1 point (1), point (2), point (3), Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Gelar Kehormatan, dijelaskan bahwa gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan diberikan oleh Presiden. Pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan diberikan berdasarkan pertimbangan dari Dewan Gelar yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

2. Presiden Sebagai Kepala Pemerintah
a. Presiden berwenang mengangkat dan memberhentikan Menteri Negara.
Menteri diangkat oleh Presiden. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan. Setiap menteri membidangi urusan tertentu. Menteri diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden karena; a. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; b. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan; e. alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.
b. Presiden berwenang membentuk, menggabungkan, dan menghapuskan kementrian.
Pembentukan Kementerian adalah pembentukan Kementerian dengan nomenklatur tertentu setelah Presiden mengucapkan sumpah/janji. Pengubahan Kementerian adalah pengubahan nomenklatur Kementerian dengan cara menggabungkan, memisahkan, dan/atau mengganti nomenklatur Kementerian yang sudah terbentuk. Pembubaran Kementerian adalah menghapus Kementerian yang sudah terbentuk. Presiden berwenang untuk menentukan komposisi dan susunan kementrian dalam masa jabatannya. Untuk pengubahan dan pembubaran kementrian harus berdasarkan pertimbangan DPR.
c. Presiden berwenang mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Dalam Pasal 5 UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden mempunyai hak untuk mengajukan undang-undang kepada DPR. Kemudian rancangan undang-undang tersebut dibahas bersama antara Presiden dan DPR untuk mendapat persetujuan bersama untuk kemudian disahkan oleh Presiden. Pengajuan rancangan undang-undang oleh Presiden merupakan sebuah bentuk adanya mekanisme check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif.
d. Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Pasal 22 ayat 1 Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Peraturan pemerintah yang bersangkutan harus mendapat persetujuan dari DPR. Jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah tersebut harus dicabut.
e. Presiden berwenang membuat peraturan perundang-undangan pelaksana undang-undang
Dalam hal ini misalnya adalah Keputusan Presiden merupakan sebuah instrument yang ada untuk melaksanakan tugas dari Presiden. Keputusan Presiden bersifat konkret, individual, final terhadap materi yang diaturnya. Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan Peraturan Pemerintah.[95]
f. Presiden berwenang menyampaikan Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden dan dibahas dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Daerah.

3. Kekebalan Presiden dan Wakil Presiden
Dalam menjalankan tugas kepresidenan, Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dituntut/digugat secara perdata, pidana dan/atau administrasi negara, karena pernyataan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat kabinet, dalam rapat-rapat resmi MPR dan/atau dalam rapat-rapat resmi DPR, baik dalam rapat-rapat resmi yang sifatnya terbuka maupun dalam rapat-rapat resmi yang sifatnya tertutup, yang diajukan secara lisan dan tertulis.

4. Hak, Kewajiban, dan Larangan
1. Hak
Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak keuangan dan hak protokoler berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[96] Presiden berkediaman resmi di Istana Negara. Wakil Presiden berkediaman resmi di Istana Wakil Presiden. Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarga berhak memperoleh perlindungan keamanan. Mantan Presiden dan Mantan Wakil Presiden berhak memperoleh perlindungan keamanan.[97]
2. Kewajiban
Menjalankan sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Menjalankan sistem kenegaraan dan sistem pemerintah secara demokratis. Mentaati dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden berkewajiban menetapkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur pelaksanaan undang-undang.[98]
3. Larangan
Melakukan kegiatan bisnis secara langsung atau secara tidak langsung. Memberikan kemudahan dan/atau peluang bisnis kepada keluarga, kroni kelompok politiknya, dan/atau pihak lain baik secara langsung atau tidak langsung, aktif dalam kepengurusan badan-badan sosial. Memberikan kemudahan keluarga atau kroninya yang aktif dalam badan-badan sosial secara langsung atau tidak langsung. Menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain, yang patut dapat diduga akan mempengaruhi keputusan pemerintah atau sebagai imbalan atas suatu keputusan pemerintah yang telah ditetapkan, menerima secara langsung atau tidak langsung hadiah dalam bentuk apapun yang nilainya lebih dari Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) dari pihak lain dan/atau pihak tertentu dari negara lain.[99]

5. Organ-organ di Bawah Lembaga Kepresidenan
1. Kementerian
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.[100] Menteri Negara yang selanjutnya disebut Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin Kementerian.[101] Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.[102] Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.[103] Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.[104]
2. Dewan Pertimbangan Presiden
Dewan Pertimbangan Presiden berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Dewan Pertimbangan Presiden bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara. Pemberian nasihat dan pertimbangan wajib dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden baik diminta maupun tidak diminta oleh Presiden. Nasihat dan pertimbangan disampaikan baik secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan pertimbangan seluruh anggota dewan.
Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Pertimbangan Presiden melaksanakan fungsi nasihat dan pertimbangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Dewan Pertimbangan Presiden ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
3. Sekretaris Kabinet
Sekretariat Kabinet adalah lembaga pemerintah yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sekretariat Kabinet dipimpin oleh Sekretaris Kabinet. Sekretariat Kabinet mempunyai tugas memberi dukungan staf, administrasi, teknis, dan pemikiran kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan.
4. Kementrian Sekretaris Negara
Kementerian Sekretariat Negara mempunyai tugas memberikan dukungan teknis dan administrasi serta analisis kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan negara. Kementerian Sekretariat Negara berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kementerian Sekretariat Negara dipimpin oleh Menteri Sekretaris Negara.
5. TNI
Tujuan nasional Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
6. Kepolisian Negara Republik Indonesia
Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
7. Komisi-komisi
Komisi-komisi tersebut merupakan organ konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang.[105] Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden belaka.[106] Artinya, keberadaannya secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan Presiden (presidential policy) atau beleid Presiden.[107] Jika Presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu Presiden berwenang untuk itu.[108] Pengaturan lembaga kepresidenan dalam tataran undang-undang sangat penting khususnya dalam memberikan kepastian hukum terhadap organ konstitusi kelompok ketiga, yang merupakan organ-organ di bawah lembaga kepresidenan.
8. Staff Khusus Presiden
Staf Khusus Presiden melaksanakan tugas tertentu di luar tugas-tugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi departemen, kementerian, dan instansi pemerintah lainnya. Staf Khusus Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri ; 1) Sekretaris Pribadi Presiden; 2) Bidang Hubungan Internasional; 3) Bidang Informasi/Public Relation; 4) Bidang Komunikasi Politik; 5) Bidang Hukum dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 6) Bidang Ekonomi dan Keuangan; 7) Bidang Pertahanan dan Keamanan; 8) Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah; 9) Bidang Teknik dan Industri. Staf Khusus Presiden bertanggung jawab kepada Sekretaris Kabinet. Presiden dapat mengangkat Staf Khusus Presiden dengan sebutan Penasehat Khusus Presiden atau Utusan Khusus Presiden yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. Pengangkatan dan tugas pokok Staf Khusus Presiden ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
9. Pasukan Pengaman Presiden
Pasukan Pengaman Presiden atau yang biasa disebut Paspampres bertugas untuk melaksanakan pengamanan fisik langsung jarak dekat setiap saat kepada Presiden RI, Wakil Presiden RI dan Tamu Negara setingkat Kepala Negara / Pemerintahan beserta keluarganya serta tugas Protokoler kenegaraan dalam rangka mendukung tugas pokok TNI. Paspampres adalah oragn di bawah lembaga kepresidenan yang harus disertakan untuk diatur dalam undang-undang.

C. Ketentuan Peralihan
Segala ketentuan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang yang terkait dengan Lembaga Kepresidenan yang bersifat parsial tidak berlaku setelah adanya Undang-undang Lembaga Kepresidenan ini. Substansi pokok dari setiap undang-undang tersebut telah dikodifikasikan dalam Undang-undang Lembaga Kepresidenan.

























BAB VI
PENUTUP
A.                Simpulan
Lembaga kepresidenan merupakan lembaga sentral dan sangat penting keberadaannya dalam mengatur dan menjalankan fungsi serta tugasnya di dalam berkehidupan bernegara, bersentuhan langsung dengan masyarakat secara luas. Sehingga tidak heran bahwa lembaga dalam mendominasi pengaturan dan konstitusi UUD NRI Tahun 1945 dibandingkan dengan lembaga legisatif ataupu yudikatif. Disamping dengan mendominasinya pengaturan dalam konstitusi bahwa sejatinya terhadap pengaturan lembaga kepresidenan banyak memiliki keterbatasan yakni belum terbentuknya pengaturan khusus terhadap lembaga kepresidenan.
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan ini telah dilakukan upaya-upaya khusus dengan berbagai landasan-landasan pembentukannya yakni baik landasan filosofis, yuridis, maupun sosiologis serta dengan dilakukannya pengkajian-pengkajian mendalam lainnya. Sehingga, dengan demikian didapati berbagai indentifikasi masalah tehadap lembaga kepresidenan, yaitu:
1.      Perlu adanya sebuah penataan peraturan pada lembaga kepesidenan, sehingga sampai saat ini peraturan-peraturan yang melingkupi ranah lembaga kepresidenan tersebut berjalan dengan pengaturan masing-masing dan berdiri sendiri;
2.      Perlu adanya pengaturan khusus tentang lembaga kepresidenan, sehingga dalam pengatur setiap urusannya hanya sebatas berdasarkan pengaturan yang mengatur bidangnya masing-masing. Padahal pengaturan lembaga kepresidenan merupakan “pengaturan induk” yang bisa dijadikan rujukan terhadap seluruh ruang lingkup lembaga kepresidenan, sehingga menjadikannya sebagai satu kesatuan pengaturan yang sifatnya holistik dalam satu wadah peraturan;
3.      Perlu adanya penataan terhadap organ-organ yang berada di bawah lembaga kepresidenan, yang dalam perkembangannya organ-organ tersebut menjamur tanpa adanya suatu ketetapan yang pasti terhadap susunan, kedudukan, fungsi dan tugasnya serta meminimalisir tumpang tindih kewenangan organ satu dengan yang lainnya yang masih dalam lingkup lembaga kepresidenan;
4.      Perlu adanya ada penjabaran lebih lanjut kewenangan Presiden dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945, sehingga dalam menjalankan kewenangannya tersebut Presiden tersandung kendala baik dalam segi interpetasi maupun dalam teknis teknisnya. Oleh karenanya diperlukan penjabarannya yang konkrit dan rigid sehingga mudah dalam menjalankan pelaksanaannya.

  1. SARAN

1.      Dibentuknya Undang-Undang tentang Kepresidenan, sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan terhadap pengaturan-pangaturan di lingkup lembaga kepresidenan, yang sampai saat ini kondisinya tersebar-sebar dan berdiri sendiri.
2.      Pelunya kerangka dasar yang jelas dalam merumuskan kerangka pengaturan khusus tentang lembaga kepresidenan. Sehingga dapat dijadikan pijakan dan rujukan pengaturan lingkup lembaga kepresidenan. menjadikannya sebagai satu kesatuan pengaturan yang sifatnya holistik dalam satu wadah pengaturan yang jelas dan pasti.
3.      Perlu dibentuk perumusan yang jelas dalam rangka penjabaran kewenangan Presiden yang telah dicantumkan dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945, sehingga kewenangan Presiden tersebut konkrit dan rigidkan serta memudahkan dalam menjalankan pelaksanaannya.
4.      Konsep perumusan terhadap penataan organ-organ yang berada di bawah lembaga kepresidenan harus diatur jelas dan pasti baik dari segi susunan, kedudukan, tugas, fungsi maupun kewenangannya. Sehingga dengan demikia organ-organ tersebut akan tertata dengan baik posisinya tanpa adanya ketumpang tindihan tugas, fungsi ataupun kewengannya.
5.      Mekanisme baku dalam lembaga kepresidenan yang bila nantinya dibentuk dalam UU Lembaga Kepresidenan perlu dukungan yang kuat dan perhatian dari segala pihak dalam pelaksanaanya. Apabila dalam mekanisme tersebut disimpangi, maka akan berdampak cukup besar bagi kelembagaan eksekutif atau lembaga kepresidenan di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Buku
Ali, Zainudin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Asshiddiqie, Jimly, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press,
----------------------, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
Konstitusi Press.
----------------------, 2006, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat
Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Alrasid, Harun, 1999, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
C, Anwar, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945
(Pasca Perubahan), Implikasi dan Implementasi pada Lembaga Negara, Malang: Intrans Publishing.
Den Berg, van, 1990, Weterschap en Functionele Decentralistie, dalam Bagir Manan,
Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Asas Desentralisasi Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, UNPAD, Bandung, 1990, hlm.63
Manan, Bagir, 2004, lembaga kepresidenan, yogyakarta: UII press.
M. Kusnadi dan Bintan Siragih, 2000, Ilmu Negara, edisi revisi, Jakarta: Gaya Media
pratama.
Munir Fuady, 2010, Konsep dasar negara Demokrasi, Jakarta: Refika Aditama
Aristoteles, Politica, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Spirit Of Laws .Benyamin J., trans,, New York: Modern Library Book
Prodjodikoro, Wirjono, 1971, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco
Strong,C.F.,1966, Modern Political Constitution, London: Sadwick & Jackson Limited
Edition. diterjemahkan SPA Teamwork. Konstitusi – Konstitusi Politik Modern.Nuansa & Nusamedia.Bandung.2004 TINJAUAN HISTORIS-YURIDIS LEMBAGA KEPRESIDENAN)




William G. Andrews, 1968, Constitutions and Consti­tu­tio­nalism, 3rd edition, New
Jersey: Van Nostrand Company.
Yamin, M, 1950, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Yayasan
Prapanca

JURNAL

Denny Indrayana, ”Mendesain Presidensial yang efektif bukan “presiden sial” atau “presiden sialan”.” Jurnal Demokrasi dan Ham, Vol 7 no 1, 2007

Nur wahid, Hidayat, “Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 4 No 3, September 2007

Chrisdianto Eko Purnomo, “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presdiden terhadap praktik ketatanegaraan Indonesia,” Jurnal Konstitusi, Volume 7, nomor 2, April 2010

Disarikan dari Satya Arinanti, 2007, Lembaga Kepresidenan dalam perspektif Hukum Tata Negara, Majalah Figur , Edisi XI/Th.

Jimly Ashsiddiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah, Disampaikan dalam Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD, Makalah, 2 Oktober 2000


Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2010 tentang Kementrian Sekretariat Negara.
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2010 tentang Sekretariat Kabinet.

Website
Mustain, Akhmad, SBY Cuma Butuh Satu Sekretaris, http://www.starbrainindonesia.com/site/mpm/5689/sby-cuma-butuh-satu-sekretaris, diakses 28 Februari 2012.

Eko rial Nugroho dalam Http://ekorial.staff.uii.ac.id/2009/08/27/urgensi-penyusunan-naskah-akademik-dalam-pembentukan/. Diakses 29 Februari 2012 pukul 20.02 WIB

Hendri F. Isnaeni /LEGISLATIF DRAFTING/Hak Prerogatif Presiden%3b Negara [bukan] Saya %232 « ayikngalah.net.htm. diakses tanggal 23 Februari 2012 puku14.15.
Jamari, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, http://jamarisonline.blogspot.com/2011/09/susunan-lembaga-lembaga-negara-dalam.html, diakses pada
Diasarukan dari Jimly Ashhidiqiu, keadaan bahaya dan kewenangan penguasa, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/07/23/KL/mbm.20010723.KL81582.id.html diakses
Dan juga isu aktual gugatan atas jabatan wakil menteri yang diajukan pada mahkamah konstitusi dengan pengujian pasal 10 UU no 30 tahun 2008 dengan nomor gugatan 79/PUU-IX/2011.
Akhmad Mustain, SBY Cuma Butuh Satu Sekretaris, http://www.starbrainindonesia.com/site/mpm/5689/sby-cuma-butuh-satu-sekretaris, diakses 28 Februari 2012.
Disarikan dari TEORI AL-MAWARDI TENTANG IMAMAH (KEPALA NEGARA - Part 1), http://santri-klasik.blogspot.com/2011/12/teori-al-mawardi-tentang-imamah-kepala.html diakses 26 februari 2012

Pokok-Pokok Pikiran Universitas Andalas terhadap Rancangan Undang-Undang kementrian Negara, http://www.parlemen.net/privdocs/bccfd93dd8d53712b8506e9dade1ee56.pdf di akses tgl 26 Februari 2012







[1]     M. Yamin, 1950, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Prapanca, Jakarta, hlm. 37.
[2]     M. Hidayat Nur Wahid, “Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 4, Nomor 3, September 2007, hlm. 1.
[3]     Ibid.
[4]     Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
[5]     C.F. Strong, 1966, Modern Political Constitution, Sadwick & Jackson Limited Edition, London, hlm. 251.
[6]     Chrisdianto Eko Purnomo, “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden terhadap Praktik Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010, hlm. 169.
[7]     Ibid.
[8]     Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, “Presiden”, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses 2 Maret 2012.
[9]     Bagir Manan, 2004, Lembaga Kepresidenan, UII Press, Yogyakarta, hlm. 3.
[10]    Harun Alrasid, 1999, Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 10.
[11]    Ibid.                                                                                       
[12]    Kekuasaan legislatif diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Kekuasaan yudikatif diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
[13]    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[14]    Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
[15]    Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Setingkat Menteri”, http://www.indonesia.go.id/in/setingkat-menteri.html, diakses 2 Maret 2012.
[16]    Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
[17]    Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2010 tentang Kementerian Sekretariat Negara.
[18]    Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2010 tentang Sekretariat Kabinet.
[19]    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
[20]    Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
[21]    Hikmahanto Juwana, “Penegakan Hukum dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen bagi Solusi di Indonesia”, Pidato, Dies Natalis Universitas Indonesia ke-56, Jakarta, 2 Februari 2006.
[22]    Eko Rial Nugroho, “Urgensi Penyusunan Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, http://ekorial.staff.uii.ac.id/2009/08/27/urgensi-penyusunan-naskah-akademik-dalam-pembentukan/, diakses 29 Februari 2012.
[23]    Saldi Isra, “Urgensi Naskah Akademik dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, Diklat Legal Drafting Lembaga Administrasi Negara (LAN), Pusat Diklat LAN, Jakarta, 18 Maret 2009.
[24]    Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 25.
[25]    Ibid, hlm. 31.
[26]    Jimly Asshiddiqie, 2003, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 59.
[27]    M. Kusnadi dan Bintan Siragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media Pratama, Jakarta, hlm. 241.
[28]    Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 12.
[29]    Ibid., hlm. 13.
[30]    Bagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 1.
[31]    Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri Asy-syafi’i, Kitab Klasik Ahkam Assulthoniyah (Hukum bagi Para Penguasa).
[32]    Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 161.
[33]    C.F. Strong, 1966, Modern Political Constitutions, Sidgwick, London.
[34]    Terdapat lima kesepakatan dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945, yaitu: (1) Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial; (4) Hal-hal normatif dalam Penjelasan UUD 1945 dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh); dan (5) Mengubah dengan cara “addendum”. Lihat dalam Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku 1, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 4.
[35]    Ibid., hlm. 163.
[36]    Munir Fuady, 2010, Konsep Dasar Negara Demokrasi, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 28.
[37]    Ibid., hlm. 5-6.
[38]    Bandingkan dengan MPR, DPR, DPD, DPRD yang diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009. Kekuasaan kehakiman pada UU Nomor 48 Tahun 2009 dengan lebih rinci untuk MA pada UU Nomor 5 Tahun 2004 dan untuk MK pada UU Nomor 8 Tahun 2011. Cabang kekuasaan lain sudah memiliki UU yang mengatur lembaga secara menyeluruh.
[39]    Disarikan dari Satya Arinanto, “Lembaga Kepresidenan dalam Perspektif Hukum Tata Negara”, Majalah Figur, Edisi XI/Th. 2007, hlm. 47.
[40]    Jimly Asshiddiqie, “Institusi Kepresidenan dalam Sistem Hukum Indonesia”, Makalah, Studium Generale Fakultas Hukum Universitas Taruma Negara, Jakarta, 28 September 2000.
[41]    Lihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
[42]    Lihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
[43]    Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
[44]    Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
[45]    Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
[46]    Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
[47]    Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
[48]    Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
[49]    Lihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
[50]    Lihat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[51]    Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[52]    Lihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
[53]    Lihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Lihat juga Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
[54]    Lihat dalam Pasal 13 ayat (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9) dan (10) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
[55]    Lihat dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
[56]    Lihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
[57]    Lihat dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
[58]    Lihat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
[59]    Lihat dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
[60]    Lihat dalam Pasal 70 ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
[61]    Lihat dalam Pasal 15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[62]    Lihat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
[63]    Lihat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
[64]    Lihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[65]    Anwar C., 2011, Teori dan Hukum Konstitusi Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945 (Pasca Perubahan), Implikasi dan Implementasi pada Lembaga Negara, Intrans Publishing, Malang, hlm. 38.
[66]    Ibid., hlm. 46.
[67]    Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 151.
[68]    Plato, Republik, The Modern Library, New York, hlm. 70.
[69]    Aristoteles (Translated by Benyamin J.), Politica, Modern Library Book, New York, hlm. 170.
[70]    Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Eresco, Bandung, hlm. 38.
[71]    Brian Thompson, 1997, Textbook on Constitusional and Administrative Law, Edisi ke-3, Blackstone Press Ltd., London, hlm. 3.
[72]    Walton H. Hamilton, “Constitutionalism”, Edwin R.A. (Ed.), 1993, Encyclopedia of Social Science, Seligman & Alvin Johnson, hlm. 255.
[73]    William G. Andrews, 1968, Constitutions and Consti­tu­tio­nalism, 3rd edition, Van Nostrand Company, New Jersey, hlm. 13.
[74]    Jimly Asshiddiqie, Loc.cit.
[75]    Ibid.
[76]    Ibid.
[77]    J.T. van den Berg, Weterschap en Functionele Decentralistie, dalam Bagir Manan, 1990, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Asas Desentralisasi Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, hlm. 63.
[78]    Ibid.
[79]    Safroedin Bahar, “Laporan Atensi”, http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3912, diakses 27 Februari 2012.
[80]    Pengujian Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mengenai jabatan wakil menteri yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
[81] Disarikan dari Jimly Asshiddiqie, “Keadaan Bahaya dan Kewenangan Penguasa”, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/07/23/KL/mbm.20010723.KL81582.id.html, diakses 29 Februari 2012.
[82]    Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya.
[83]    Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 103.
[84] Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[85]Jamari, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, http://jamarisonline.blogspot.com/2011/09/susunan-lembaga-lembaga-negara-dalam.html, diakses pada 25 Februari 2012
[86] Lihat Pasal 4 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
[87] Lihat Pasal 1 Point (10), Ibid
[88] Lihat Pasal 8 Ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[89] Lihat Pasal 7, Ibid
[90] Penjelasan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
[91] Lihat Pasal 9 Ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
[92] Lihat Pasal 29 Ayat (2) Undang-undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
[93] Lihat Konsideran point (c) Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
[94] Lihat Konsideran Point (b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 201 tentang Grasi
[95] -------------------, Sumber-sumber Tata Hukum di Indonesia, http://asiamaya.com/konsultasi_hukum/ist_hukum/sumber_tatahukum.htm, diakses 1 Maret 2012
[96] Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesian, Op Cit
[97] Ibid
[98] Ibid
[99] Ibid
[100] Pasal 1 point (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara
[101] Ibid, Pasal 1 point (2)
[102] Ibid, Pasal 7
[103] Ibid, Pasal 3
[104] Ibid, Pasal 4
[105] Ibid
[106] Ibid
[107] Ibid
[108] Ibid