Oleh Mochamad Adib Zain, S.H
PENDAHULUAN
Pendidikan menempati kedudukan yang
penting bagi setiap negara di dunia ini. Maju atau tidaknya sebuah bangsa,
salah satunya ditentukan oleh bagaimana system pendidikannya dikelola. Pentingnya
pendidikan tidak dapat dipungkiri, merupakan sarana yang paling efektif untuk
mencapai kemajuan, bahwa dengan pendidikan kualitas sumber daya manusia akan
meningkat, dengan pendidikan dihasilkan inovasi dan karya-karya yang penting
dan berguna untuk kehidupan. Sebagai bagian dari kehidupan, pendidikan tidaklah
berdiri sendiri, ia selalu terkait dengan aspek-aspek kehidupan lainnya seperti
ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama yang masing-masing mengalami
perkembangan dan saling mempengaruhi. Aspek pendidikan tidak saja penting
tetapi juga menarik bagi kehidupan yang lainnya. Bahkan secara luas aspek
pendidikan menjadi penggerak utama untuk menentukan kemajuan negara dan
peradaban.
Dari
pemikiran tersebut sejak awal telah disadari oleh founding fathers dalam merumuskan tujuan negara yang dituangkan
dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea ke empat yang berbunyi:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Dalam pembukaan
tersebut salah satu tujuan dibentuknya negara adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dalam pasal tersebut jelas mengenai tanggung jawab pemerintah
sebagai pelaksana dari tujuan negara yang berlandaskan konstitusi sebagai
aturan tertinggi.
Dalam
amandemen UUD tepatnya amandemen ke-2 dan ke-4, aturan konstitusi mengenai
pendidikan mengalami perubahan yang mendasar. Pertama, dimasukkan dalam Bab Hak Asasi Manusia yaitu Pasal 28 C
ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Kedua, diatur dalam Bab tersendiri yaitu mengenai pendidikan Pasal
31 yang berbunyi:
(1) Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan;
(2) Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
(3) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang;
(4) Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;
(5) Pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Bandingkan pasal-pasal tersebut dengan sebelum amandemen yang berbunyi:
(1) Tiap-tiap warga
negara berhak mendapat pengajaran;
(2) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur
dengan undang-undang.
Dalam
amandemen Pasal 31 konstitusi tersebut mengalami perubahan yang cukup
signifikan; Pertama, penggantian
istilah yang sebelumnya menggunakan istilah pengajaran menjadi pendidikan.
Penggantian ini membawa paradigma baru dalam memaknai tujuan negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan cakupannya lebih luas dari sekedar
mengajar. Pendidikan tidak sekedar transfer
of knowledge dari guru kepada peserta didik, lebih dari itu membentuk
karakter dan kepribadian untuk menjadi manusia yang sadar hakikat
kemanusiaannya. Kedua, adalah adanya
penambahan pasal-pasal tentang kewajiban mengikuti pendidikan dasar serta pasal
tentang prioritas anggaran dengan limitasi 20% merupakan keseriusan dari negara
untuk memenuhi hak pendidikan bagi warganya. Jauh berbeda dengan pengaturan
yang sebelumnya yang hanya diatur tentang hak mendapatkan pendidikan serta
mewujudkannya dalam pengajaran nasional.
Dalam
tataran pelaksanaan, pengaturan tersebut sayangnya hingga saat ini hanya
sebatas retorika dan tidak pernah terwujud sebagaimana mestinya. Hak yang
dijamin oleh Pasal 28 C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1), sampai dengan ayat (5)
tidak menjadi rujukan dalam menyusun undang-undang yang menjadi turunannya, hal
tersebut menjadikan tujuan pendidikan sebagaimana dalam konstitusi semakin jauh
panggang dari api. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional sebagai salah satu pelaksanaan perintah konstitusi tersebut dalam
perjalanannya banyak bermasalah sehingga terhitung sudah 8 (delapan) kali
dilakukan permohonan judicial review belum
lagi terkait dengan Undang-Undang lain misal perihal pengaturan anggaran pendidikan,
badan hukum pendidikan, pendidikan
tinggi dll.
Saat
ini, salah satu indikasi pengaturan pendidikan yang melenceng tersebut dan sekarang
masih hangat diperbicangkan adalah RUU Omnibus
Law atau RUU Tentang Cipta Kerja khususnya Perubahan pada Pasal 53 dan 62 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas). Lebih
lengkap bunyi Pasal sebelum dan sesudah perubahan dalam RUU Omnibus Law :
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional |
Perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional melalui Omnibus
Law |
Pasal 53 (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada
peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara
mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan
diatur dengan Undang-undang tersendiri. |
Pasal 53 (1)
Penyelenggara
satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan oleh masyarakat
berbentuk badan hukum pendidikan. (2)
Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan kepada peserta didik. (3)
Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan. (4)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai dapat berprinsip nirlaba dan pengelolaan dana secara
mandiri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 62 (1)
Setiap satuan
pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin
Pemerintah atau Pemerintah Daerah. (2)
Syarat-syarat
untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan
pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses
pendidikan. (3)
Pemerintah atau
Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (1) (4) Ketentuan mengenai pendirian satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 62 (1)
Penyelenggaraan
satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat. (2)
Syarat untuk
memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan
pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses
pendidikan. (3)
Pemerintah Pusat
menerbitkan atau mencabut Perizinan Berusaha terkait pendirian satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan
Berusaha terkait satuan pendidikan formal dan non formal yang diselenggarakan
oleh masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
73 Penyelenggara
satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). |
73 Penyelenggara
satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) |
Dalam RUU Omnibus Law di atas, perubahan UU Sisdiknas secara materiil mencakup
tiga hal yakni pertama, Badan Hukum
Pendidikan (BHP) yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan Kedua, Manajemen Pendidikan khususnya
aspek pengelolaan keuangan/pembiayaan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (3) dan
ayat (4) serta Pasal 62 dan terakhir,
administrasi perizinannya yang diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 73 RUU a quo. Masing-masing materi perubahan
dan masalah-masalah yang potensial timbul apabila RUU Tentang Cipta Kerja diundangkan,
secara rinci akan diuraikan di bawah ini.
PEMBAHASAN
A.
BHP DALAM OMNIBUS
LAW, KEBEBALAN PENYELENGGARA NEGARA YANG BERULANG
Klausul pengaturan BHP dalam Pasal
53 UU Sisdiknas telah beberapa kali menimbulkan masalah bagi penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia. Pengaturan tersebut telah dua kali dihadapkan ke depan
persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan keduanya telah diberikan putusan yang
menjadi penentu dalam keberlangsungan pendidikan di Indonesia. Pengujian
pertama dengan nomor register 021/PUU-IV/2006 diajukan oleh beberapa Yayasan yang
menyelenggarakan pendidikan. Dasar pengujian dilandasi adanya kekhawatiran jika
BHP
diatur sebagai penyebutan suatu badan hukum maka otomatis eksistensi dari
yayasan yang selama ini menyelenggarakan pendidkan akan tergusur jika tidak mau
beralih ke dalam jenis badan hukum tersebut. Dalam mengadili permohonan
tersebut MK memberikan putusan yang menyatakan “Permohonan tidak diterima”.
Dasar MK tidak menerima permohonan tersebut karena Undang-Undang BHP sebagaimana
dimaksudkan Pasal 53 ayat (1) belum disusun. Yang harus dipahami terhadap
putusan tidak diterima adalah bahwa perkara tersebut tidak memenuhi persyaratan
untuk diajukan dan pengadilan belum memeriksa pokok dari perkara itu sendiri.
Dalam kasus pengujian perkara 021/PUU-IV/2006 ini adalah Undang-Undang yang
mengatur BHP belum ada sehingga belum dapat diuji. Hal yang menarik dalam
putusan tersebut meskipun judicial review
tidak diterima tetapi MK memerintahkan pembuat undang-undang untuk
memperhatikan: [1]
a. Aspek
fungsi negara yaitu tujuan bernegara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,
kewajiban negara dan pemerintah di bidang pendidikan, dan hak dan kewajiban
warga negara untuk memperoleh pendidikan.
b. Aspek
filososfis yaitu cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang
berkualitas, aspek sosiologis yaitu realitas penyelenggaraan pendidikan yang
sudah ada serta aspek yuridis yaitu sinkron dengan peraturan perundangan yang
lain tentang badan hukum.
c. Aspek
mengenai pengaturan BHP haruslah merupakan implementasi dari tanggung jawab
negara dan tidak untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional
sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik.
d. Aspek
aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian dalam pembentukan undang-undang
mengenai BHP, agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalah baru dalam
pendidikan.
Pada tahun 2009 disahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (selanjutnya disebut UU BHP) yang merupakan tindak lanjut dari
Pasal 53 UU Sisdiknas. Ironisnya pada tahun itu pula UU BHP diuji di MK bersamaan
dengan ketentuan-ketentuan lain dalam UU Sisdiknas karena dipandang melanggar
hak-hak konstitusional warga negara. Khusus untuk alasan pengujian UU BHP
secara garis besar antara lain a). pembentuntuk undang-undang tidak mengacu
pada rambu-rambu MK dalam putusan 021/PUU-IV/2006; b). penyeragaman bentuk
wadah penyelenggara pendidikan; c) UU
BHP merupakan upaya melakukan privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi atas
pendidikan yang menyebabkan negara melepaskan tanggung jawabnya. Atas judicial
review tersebut MK sepanjang berkaitan dengan UU BHP mengabulkan permohonan dan
menyatakan UU BHP dibatalkan keseluruhannya melalui putusan Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Dalam putusan a quo, meskipun MK membatalkan UU BHP,
tetapi ada satu yang disetujui MK yakni
penyelenggaraan pendidikan harus berprinsip nirlaba.[2]
Artinya penyelenggaraan pendidikan harus dijauhkan dari prinsip profit oriented yang dapat mengakibatkan
penyelenggaraan pendidikan sama dengan perusahaan.
Selain UU BHP, MK dalam putusan judicial
review di atas juga menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas
yang menyatakan “Badan
hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN)”
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Alasan MK memutus demikian sebab penjelasan tersebut mempersempit makna
badan hukum pendidikan sebagai penyebutan nama (nomenklatur) seperti BHMN dan
bukan pada fungsi. Lebih lanjut MK menyatakan bahwa bentuk badan hukum itu
dapat bermacam-macam sesuai dengan bentuk-bentuk yang dikenal dalam peraturan
perundang-undangan, misalnya yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf,
dan sebagainya.[3]
Apa yang dapat kita pelajari dari dua putusan di atas, dan apa hubungannya
dengan RUU Omnibus Law yang akan mengubah ketentuan Pasal 53 tersebut?
Pelajaran yang dapat kita ambil adalah bahwa dalam merumuskan pendidikan yang
berkenaan dengan Pasal tersebut, pembentuk undang-undang dalam hal ini lembaga
legislative dan eksekutif sudah pernah melakukan kesalahan besar yang mengancam
hancurnya system pendidikan nasional kita. Melalui putusan MK di atas kesalahan
tersebut diluruskan. Pertanyaan kedua berkaitan
dengan hubungan putusan tersebut dengan RUU Omnibus Law yakni kita
tidak mengharapkan kesalahan yang sama terulang kembali..
Dalam RUU Omnibus Law pembentuk undang-undang mengagendakan perubahan
Pasal 53 dengan mengubah ayat (1), dan ayat (4) ketentuan tersebut sebagaimana
telah dicantumkan dalam pendahuluan di atas. Dari perubahan tersebut
pokok-pokok perubahan secara materiil terdapat dalam ayat (1) sedangkan ayat
(4) ketentuan ayat (4) bukan perubahan materiil melainkan berfungsi sebagai ketentuan
delegatif yakni terhadap ketentuan yang masih perlu pengaturan lebih lanjut. Sebelum membahas mengenai BHP
yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) penulis memandang perlu diberikan sedikit
uraian perihal ayat (4) sebelum perubahan. Bahwa dalam Pasal 53 ayat (4) yang perlu diatur lebih lanjut adalah mengenai
BHP
sedangkan dalam rancangan perubahan Omnibus Lawa, yang perlu diatur lebih
lanjut adalah manajemen pengelolaan berupa dapat berprinisp nirlaba dan
pengelolaan keuanga secara mandiri. Perubahan tersebut mengindikasikan adanya
pergeseran kebutuhan yang dianggap penting untuk diatur lebih detil yakni
manajemen pengelolaan di banding BHP. Konsekwensinya, pengaturan BHP dalam
Pasal 53 ayat (1) tersebut dianggap final dan harus dilaksanakan apa adanya.
Ada tiga point yang dapat
dikualifikasikan terhadap pengaturan BHP dalam RUU Omnibus Law yang akan mengubah Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang
berbuyi “Penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan
oleh masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Pertama, jenis satuan pendidikan yang diatur adalah pendidikan
jalur formal dan norformal. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan
pengaturan UU Sisdiknas sebelumnya yang mengatur hanya pada satuan pendidikan
formal; Kedua, adalah penyelenggara yang menjadi obyek
pengaturan adalah khusus pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dan tidak
lagi mengharuskan pada satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah
sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas sebelumnya. Ketiga, adalah bentuknya berupa BHP. Poin ke tiga tersebut
merupakan ruh dari pengaturan di atas.
1.
Pasal 53 ayat (1)
UU Sisdinas dalam RUU Omnibus Law Menyeragamkan
bentuk Lembaga Pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat.
Sebagaimana ruh dalam
pengaturan tersebut adalah perihal BHP, yang menjadi soal adalah apa hakikat
dari BHP yang diatur dalam RUU Omnibus Law tersebut? Jika kembali kepada undang-undang
asalnya yakni UU Sisdiknas, dalam UU tersebut tidak menyebutkan definisi maupun
kriteria BHP. Apakah ia merupakan entitas baru atau hanya penyebutan sebagai
fungsi sehingga dapat mengakomodir entitas-entitas yang terlebih dahulu ada misal
yayasan pendidikan, perkumpulan dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadi semakin
tidak jelas mengenai hakikat BHP dalam aturan tersebut sebab aturan yang
memberikan delegasi untuknya yakni Pasal 53 ayat (4) sebagaimana telah
dijelaskan di atas sudah diganti sehingga perihal BHP dalam RUU Omnibus Law tersebut merupakan aturan
yang sudah final dan tidak ada lagi kewajiban mengaturnya dalam aturan lain
secara rinci terhadap masalah tersebut.
Satu-satunya acuan yang dapat
digunakan untuk menentukan BHP adalah penjelasan atas Pasal 53 ayat (1) yang
dicantumkan dalam RUU Omnibus Law yang berbunyi “Badan
hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN)”, maka dapat
disimpulkan bahwa BHP adalah entitas atau penyebutan nama baru dari badan hukum
yang menyelenggarakan pendidikan. Dari penjelasan tersebut untuk BHP yang
diselenggarakan oleh negara namanya BHMN maka yang diselenggarakan oleh non-negara
berarti Badan Hukum milik swasta. Sebenarnya menggunakan penjelasan Pasal
tersebut sebagai acuan adalah kejanggalan dalam hukum pembentukan
perundang-undangan mengingat penjelasan Pasal 53 ayat (1) tersebut dalam
redaksi yang sama telah dibatalkan oleh MK 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 sebagaimana dijelaskan di atas. Khusus untuk menyusun
materi muatan undang-undang salah satunya adalah tindak lanjut dari putusan
Mahkamah Konstitusi.[4]
Adanya pengaturan BHP sebagai
penyebutan nama dan bukan fungsi berdampak pada penyelenggara pendidikan yang
jenis badan hukumnya bukan BHP semisal Yayasan harus menyesuaikan dengan
ketentuan tersebut. Kapan aturan tersebut berlaku? Aturan tersebut harus
dijalankan seketika saat RUU Omnibus Law
diundangkan sebab berdasarkan ayat (4) dalam Pasal a quo RUU Omnibus Law dihubungkan
dengan ketentuan Peralihan UU Sisdiknas tidak lagi mengamanatkan perincian BHP
dalam aturan lain sehingga Pasal 72 yang menyatakan “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
pada saat Undang-undang ini diundangkan belum berbentuk BHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya Undang-undang yang mengatur BHP”, menjadi tidak bermakna dan tidak memiliki kekuatan
mengikat secara aturan.
Pengaturan dalam RUU Omnibus Law jika diundangkan sebagaimana di atas akan membawa
konsekwensi buruk bagi penyelenggara pendidikan yang sudah ada saat ini. Jika
penyelenggara tersebut belum berbentuk BHP maka harus diganti dengan ketentuan tersebut yakni
menyesuaikan badan hukumnya. Selain itu, adanya pengaturan ini menutup
kesempatan badan hukum lain misal Yayasan, Perkumpulan, Ormas dan lain-lain
untuk turut serta menyelenggarakan pendidikan secara langsung. Sebagai contoh
yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, maka badan hukum yayasan tersebut
untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana tujuan didirikannya harus
terlebih dahulu mendirikan BHP.
Adanya penyeragaman yakni memaksa suatu lembaga atau
penyelenggara pendidikan untuk melakukan hal-hal secara seragam baik teknis
maupun bentuk kelembagaan merupakan tindakan yang justru bertentangan dengan
prinsip utama yang disyaratkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan itu
sendiri dan akan memberikan hasil yang berlawanan dengan maksud sesungguhnya
dari penyelenggaraan pendidikan. Menilik dari aspek sejarah, bahwa pendidikan
swasta yang dikelola dengan keragaman yang berbeda telah turut berjasa dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun pada
masa kemerdekaan. Keberadaan lembaga pendidikan semisal Pesantren,
Sekolah-sekolah Partikelir dan lain sebagainya dengan keragaman bentuk badan
hukumnya telah menjadi solusi bagi pendidikan rakyat di masa penjajahan sebab
sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda disamping terbatas jumlahnya
juga peruntukannya yang bersifat elitis.
Idealnya jika RUU Omnibus
Law hendak mengatur BHP maka para perumus Undang-Undang tidak membutakan
mata terhadap dinamika terhadap ketentuan tersebut di masa lampau. Bagaimana
penolakan masyarakat dijadikan pertimbangan untuk pengaturan yang kebih baik.
Demikian pula dengan putusan MK yang telah memberikan rambu serta juga pernah
membatalkan UU BHP hendaknya ditaati dan dijadikan acuan dalam aturan tersebut.
BHP menjadi benar jika dia adalah fungsi pendidikan yang berarti suatu lembaga
pendidikan dikelola oleh suatu badan hukum terlepas apa bentuk badan hukum
tersebut.
2.
Pasal 53 ayat (1)
Perubahan UU Sisdiknas dalam RUU Omnibus Law merupakan penghilangan partisipasi
masyarakat dalam menyelengaraakan pendidikan.
Setelah mengetahui apa hakikat
BHP yang merupakan nama bagi badan hokum yang menyelenggarakan pendidikan. Masalah
berikutnya adalah pengaturan ruang lingkup BHP itu sendiri yakni ditujukan
kepada satuan pendidikan baik formal maupun nonformal. Terhadap satuan
pendidikan formal, hal tersebut masih dapat dimaklumi mengingat dari definisi pendidikan formal yakni jalur pendidikan yang
terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi. Permakluman
tersebut lebih jauh karena alasan administrative bahwa tiap jenjang pendidikan
formal tersebut lah yang berhak mengeluarkan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan/ atau vokasi. Sedangkan untuk pendidikan non-formal kemungkinan
tersebut ada tetapi sangat kecil porsinya.
Pendidikan nonformal sebagaimana aturan dalam UU
Sisdiknas diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Dari ruang
lingkup tersebut yang memerlukan bentuk badan hukum terbatas ketika pendidikan
nonformal berfungsi sebagai pengganti misalnya yang ada dalam masyarakat adalah
ujian penyetaraan paket A dan seterusnya sedangkan sisanya adalah merupakan
pilihan. Jika dengan status badan hukum tersebut dirasa akan dapat lebih
mendukung proses pendidikan yang dilaksanakan maka diberikan kesempatan untuk
itu, tetapi sekali lagi bukan wajib sifatnya.
Selain karena factor di atas, hal lain yang harus
menjadi perhatian adalah memaksa pendidikan non formal untuk menjadi badan hukum
akan menghambat kemajuan pendidikan dan lebih-lebih melanggar hak warga negara
untuk mendapatkan akses pendidikan. Pendidikan formal dari sisi jenis
turunannya sangat banyak dan tidak terbatas sebagaimana pendidikan formal yang
hanya berjenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pedidikan tinggi. Dalam
UU Sisdiknas khususnya Pasal 26 ayat (4) memberikan contoh satuan pendidikan
informal yang terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan
yang sejenis. Dapat dibayangkan jika hanya untuk menyelenggarakan Majelis
Taklim, Diniyah, TPQ, TPA, pendidikan ke anak jalanan dll harus berbadan hokum,
betapa banyak waktu dan biaya terbuang sia-sia hanya untuk mengurus pembentukan
badan hokum tersebut.
Model-model pendidikan tersebut biasanya tumbuh dan
diakui oleh masyarakat. Keberlangsungannya bukan digantungkan pada wadahnya
yang berbentuk badan hokum tetapi karena dibutuhkan dan didukung keberadaannya
oleh masyarakat. Dengan demikian adanya kewajiban untuk membuatnya sebagai
badan hokum tidak memiliki landasan filosofis dan sosiologis yang jelas. Dan
harus diakui bahwa selain pendidikan yang berjenjang pada pendidikan formal,
adanya pendidikan non formal memberikan akses kepada masyarakat yang lebih luas
tanpa mengenal usia untuk membangun karakter serta meningkatkan skill yang
berguna bagi hidup pribadinya maupun untuk kemajuan bangsa. Dengan demikian
pengaturan badan hokum yang diwajibkan pada pendidikan non formal juga wajib
hukumnya untuk ditolak.
3.
Pasal 53 ayat (1) Perubahan
UU Sisdiknas dalam RUU Omnibus Law diskriminasi negara kepada masyarakat untuk
menyelenggarakan pendidikan.
Masalah ketiga yang penting di bahas dalam pengaturan BHP dalam RUU
Omnibus Law adalah obyek pengaturan yang dalam hal ini adalah kewajiban
tersebut dibebankan kepada masyarakat. Pengaturan tersebut secara
terang-terangan memberikan diskriminasi kepada masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan. Dalam aturan UU Sisdiknas, penyelenggara pendidikan adalah
Pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah juga memberikan kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi. Menjadi soal di sini adalah kenapa hanya
penyelenggara oleh masyarakat yang dalam RUU Omnibus Law tersebut yang harus
berbadan hukum pendidikan. Bagaimana dengan pendidikan yang dilakukan oleh
Pemerintah baik sekolah formal semacam sekolah kedinasan missal akademi
kepolisian atau lembaga diklat yang berada di bawah Kementerian / Lembaga? Apakah
lembaga-lembaga tersebut karena berada di bawah instansi diperkenankan tidak
berbadan hokum pendidikan? Pengaturan tersebut aneh mengingat pendidikan
nonformal yang diselenggarakan masayarakat semacam majelis taklim pun harus
dalam bentuk BHP tetapi tidak membebankan kewajiban kewajiban kepada pemerintah
hal yang sama.
Adanya pengaturan tersebut akan menghalangi peran aktif masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan. Semestinya regulasi yang dibuat oleh negara
mempermudah peran aktif tersebut bukan mempersulit. Di tengah ketidaksanggupan
negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan bagi setiap warganya hadir
masyarakat atau swasta yang membantu mengurangi beban tersebut. Bukan suport
yang diberikan melainkan rintangan yang tentu akan membawa dampak yang merugikan
bangsa. Jika berkaca pada sejarah, bagaimana penghargaan yang tinggi oleh para
pendiri bangsa tentang sekolah-sekolah yang didirikan oleh masyarakat atau yang
saat itu disebut sekolah partikelir harusnya dijadikan acuan untuk membangun
system pendidikan yang lebih baik. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950
tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang merupakan
Undang-Undang yang mengatur system pendidikan pertama kali di Indonesia, dalam
Pasal 13 dan 14 diatur keleluasaan serta
dukungan bagi masyarakat untuk mendirikan sekolah-sekolah. Penghargaan dalam
aturan tersebut dilandasi oleh kesadaran para founding father bahwa selama perjuangan kemerdekaan
Indonesia, pendidikan yang diselenggarakan masyarakat memiliki peran yang tidak
kecil. Pendidikan menjadi wadah menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme
untuk mengusir penjajahan.
Bertolak belakang dengan semangat di atas, RUU Omnibus Lawa justru
menyerupai semangat yang dimiliki pemerintah colonial Hindia Belanda dalam
pandangannya terhadap sekolah yang didirikan oleh masyarakat. Semangat tersebut
adalah semangat membatasi dan mengekang masyarakat untuk ikut aktif berperan
serta dalam menyelenggarakan pendidikan. Pada taun 1932 pendidikan
yang diselenggarakan oleh rakyat ditekan oleh pemerintah kolonial karena
kekhawatirannya terhadap sekolah-sekolah tersebut dalam mengadakan pergerakan
perlawanan atas penjajahan. Alat tekan yang digunakan adalah Ordonasi Sekolah
Liar (Wilde Scholen Ordonatie) tahun
1932 yang tercantum pada Indische
Staatsblad Nomor 94 yang menggunakan fungsi kontrol dari preventive menjadi
repressive. Dalam Ordonasi Sekolah
Liar tersebut guru-guru jika akan mengajar harus terlebih dahulu memperoleh
izin dari Pemerintah Kolonial. Demikian pula jika akan mendirikan sekolah maka
harus terlebih dahulu memiliki izin sebab jika tidak dilakukan maka ancaman pidana
telah menanti.[5]
Membandingkan pada semangat tersebut, meskipun beda sama, Pembentuk
Undang-Undang kita yang terhormat sudah sama kelakuannya dengan Pemerintah
Kolonial bukan?
B. MANAJEMEN
PENDIDIKAN DALAM RUU OMNIBUS LAW MERUPAKAN BENTUK LIBERALISASI, PRIVATISASI DAN
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN SERTA BENTUK NYATA PELEPASAN TANGGUNG JAWAB NEGARA.
Sebagaimana pendahuluan dalam
tulisan ini pendidikan menjadi sarana penting dalam mewujudkan tujuan negara yang
telah digariskan konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kerangka
menggapai tujuan tersebut maka pendidikan menjadi tanggung jawab negara dalam hal
ketersediaannya dan pada sisi yang lain menjadi hak bagi setiap warga negara
untuk mengaksesnya. Hal yang harus selalu tersedia dan menjadi hak bagi setiap
warga negara dalam statusnya biasa disebut sebagai barang public (public goods). Meskipun demikian,
sebagaimana ladasan historis, filosofis dan sosiologis yang telah dikemukakan
di atas, negara bukan satu-satunya aktor yang menyelenggarakan pendidikan
tersebut. Terdapat peran masyarakat/swasta dalam sistem pendidikan nasional di
Indonesia. Terhadap kondisi demikian
adalah menjadi tugas negara untuk selalu memastikan pendidikan sebagai barang
public yang dapat diakses oleh masyarakat secara terjangkau.
Tantangan besar yang dihadapi
negara Indonesia dalam memastikan pendidikan sebagai barang public adalah paham
privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Tiga paham tersebut
merupakan satu paket yang saling kait mengait satu sama lain. Privatisasi
pendidikan secara mudahnya merupakan upaya-upaya untuk melemahkan kontrol
negara terhadap penyelenggaraan pendidikan sehingga intervensi negara dalam hal
ini dibatasi dan kalua perlu dilarang. Liberalisasi pendidikan adalah
pengelolaan pendidikan yang mekanismenya diserahkan kepada pasar. Pasarlah yang
akan menentukan bagaimana dan seperti apa pendidikan itu dilakukan. Terakhir
komersialisasi pendidikan adalah paket akhir yakni ketika peran negara
ditiadakan dan mekanisme yang berjalan sepenuhnya ditentukan oleh pasar maka
pendidikan sudah menjadi komoditas ekonomi sehingga yang jadi acuan utama
adalah hitungan untung dan rugi.
Paham-paham tersebut secara
internasional dipromosikan salah satunya oleh The World Trade Organization
(WTO). WTO dalam General Agreement on
Trade in Services telah memasukkan pendidikan sebagai salah satu komoditas
ekonomi yang diperdagangkan. Fatalnya Indonesia sejak tahun 1994 telah menjadi
anggota dari WTO tersebut. Di Indonesia godaan sekaligus desakan untuk menerima
pendidikan sebagai komoditas ekonomi sangat besar. Terdapat dua alasan yang
mendorong terjadinya hal tersebut yakni jumlah penduduk yang besar dan adanya
ketertinggalan kualitas/mutu pendidikan yang masih jauh tertinggal sering
dijadikan alasan untuk menerima kebijakan tersebut.[6]
Adanya jumlah penduduk yang besar, tidak dapat dipungkiri merupakan pasar yang
menggiurkan bagi penganut paham-paham di atas.
Selanjutnya alasan mutu dijadikan dalil bahwa jika pendidikan diserahkan
pada mekanisme pasar maka akan terjadi persaingan sehingga pendidikan akan
dikelola secara efektif dan efisien dan dengan sendirinya kualitas/mutu
pendidikan akan meningkat.
Teori peningkatan
mutu jika pendidikan diserahkan kepada
pasar tersebut sangat mudah dipatahkan. Memang sekilas masuk akal dengan adanya
persaingan maka mutu meningkat tetapi yang menjadi soal adalah apakah benar
bahwa jika pendidikan diselenggarakan oleh negara mutu pendidikan sama sekali
tidak bisa bersaing? Tentu hal tersebut dapat diperdebatkan dan pembuktiannya
sejauh mana keseriusan negara dalam menjalankan tanggung jawabnya terhadap
penyelenggaraan pendidikan. Yang pasti dampak dari penyerahan pendidikan ke
mekanisme pasar adalah pendidikan itu sendiri diselenggarakan sesuai dengan
selera pasar yakni apabila dirasa memberi keuntungan ekonomi maka akan
dilanjutkan, sebaliknya jika dipandang tidak membawa keuntungan maka pendidikan
akan dihentikan. Jika hal tesebut terjadi maka orientasi dari hasil pendidikan
pun tidak jauh dari hal itu. Pendidikan tidak akan pernah didesain dengan
tujuan utama untuk membangun karekter, menciptakan manusia merdeka yang bertanggung
jawab terhadap kemanusiaan. Pendidikan diorientasikan pada permintaan pasar
sehingga menempatkan manusia sebagai salah satu sub dalam industri.
Mendasarkan pada landasan berpikir di atas,
apakah RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU Sisdiknas di atas mengarah kepada
privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi pendidikan? Untuk membuktikan hal
tersebut akan difokuskan pada perubahan Pasal 53 ayat (3) dan Pasal 62 RUU
tersebut. Pasal 53 ayat (3) berbunyi Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri
untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan Pasal 62 ayat (1) berbunyi
Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan
oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Dalam
Pasal 53 ayat (3) di atas, sebagaimana penulis cetak tebal dengan tegas menyatakan
bahwa badan hokum pendidikan dapat berprinsip nirlaba. Artinya jika mengacu
pada penggunaan kata “dapat” dalam aturan perundang-undangan maka hokum asalnya
adalah kebalikan kata setelah kata “dapat” tersebut. Kalimat contoh yang mudah
untuk memahami hal tersebut misalnya: “murid-murid SD pada hari sabtu Pukul 10
dapat pulang awal karena guru rapat” dari kata tersebut maka disimpulkan bahwa
biasanya murid-murid pukul 10 masih mengikuti pembelajaran di kelas dan pulang
sesuai jadwal yang ditentukan biasanya. Berdasarkan analogi di atas maka BHP
umumnya diselenggarakan berkebalikan dari prinsip nirlaba yakni semata
ditujukan untuk mencari keuntungan ekonomi.
Pengaturan
tersebut sangat berbahaya bagi masa depan system pendidikan kita apapun
alasannya. Dengan prinsip nirlaba pun sebagaimana disetujui MK dalam putusan Nomor
11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 di atas
masih harus dilihat secara kritis. Bahwa dengan pengelolaan secara nirlaba saja
belum menyelesaikan masalah yang ada. Menurut MK adalah hal yang berbeda antara
non profit dengan pendidikan dengan biaya yang terjangkau. Yang kedua adalah
persoalan yang dihadapi pendidikan nasional kita.[7]
Terhadap masalah ini menarik jika mencermati pertimbangan hokum putusan MK a quo perihal koneksitas antara non
profit, biaya murah dan kualitas pendidikan. MK menyatakan[8]
Apakah prinsip nirlaba
akan menyebabkan biaya pendidikan murah masih tergantung kepada beberapa hal,
yaitu: (a) besarnya biaya yang harus ditanggung oleh penyelenggara pendidikan
untuk penyelenggaraan pendidikan termasuk gaji pengajar dan staf administrasi;
(b) perawatan fasilitas pendidikan; dan (c) kemampuan BHP untuk mendapatkan
dana pendidikan dari usaha non pendidikan. Tidak banyak kesempatan usaha yang
terbuka bagi BHP untuk mendapatkan dana di luar pemasukan jasa pendidikan yang
diterima langsung dari peserta didik. Persaingan pasar usaha cukup ketat, dan
kalau saja terdapat peluang, hanya usaha dalam skala kecil saja yang dapat
dimasuki oleh BHP karena usaha skala besar yang padat modal dan teknologi telah
menjadi lahan perusahaan besar. BHP yang berada di luar kota besar akan sangat
terbatas sekali potensinya dapat masuk ke pasar usaha karena memang terbatasnya
pasar usaha di daerah. Jenis usaha yang paling mungkin untuk dipilih adalah
usaha untuk memanfaatkan kekayaan BHP yang berupa tanah yang menjadi bagian
dari sekolah atau kampus perguruan tinggi dengan risiko mengurangi ruang
fasilitas pendidikan. Dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang
bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta
didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya
sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani
peserta didik. Karena BHP memiliki andalan modal tenaga pengajar, maka hal yang
paling mungkin dilakukan untuk mendapatkan sumber dana dengan cara memperbanyak
penerimaan peserta didik yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas hasil
pendidikan jika penambahan tersebut di luar kemampuan riilnya.
Dalam pertimbangan
di atas, yang harus dipahami bahwa kebolehan mendapatkan dana pendidikan dari
usaha non pendidikan adalah berkaitan dengan pengelolaan dana secara mandiri
sebagaimana di atur dalam UU BHP. Hal tersebut dalam RUU Omnibus Law juga
diatur kembali sebagaimana dalam Pasal 53 ayat (3) di atas. Berdasarkan pertimbangan
di atas telah terang bahwa penyelenggaraan pendidikan jika diserahkan
sepenuhnya ke dalam mekanisme pasar meskipun nirlaba tetap tidak akan
terjangkau jika menghendaki mutu yang baik.
Pembahasan di atas adalah apabila penyelenggaraan
pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba. Sebaliknya jika pendidikan dari
awal dilandasi prinsip profit oriented dapat
dipastikan bahwa pendidikan tersebut tidak akan pernah terjangkau secara umum
meskipun bisa jadi kualitas/mutu pendidikan yang disediakan baik. Dalam aturan
RUU Omnibus Law perubahan Pasal 53 ayat (3) tersebut tentu saja menempatkan
pendidikan sebagai barang privat yang untuk mendapatkannya disesuaikan dengan
berapa besar penawaran yang diebrikan dan bukan lagi barang public yang harus
senantiasa tersedia dengan campur tangan negara. Sebagai komoditas maka prinsip
liberalisasi pendidikan yang berlaku adalah “Barang siapa yang menawarkan kualitas
yang baik maka berhak menerima pembayaran yang besar dan barang siapa mampu
membayar yang besar maka akan dapat kualitas yang bagus.
Guna menguatkan pembuktian bahwa pendidikan sebagai
komoditas ekonomi, dalam tulisan ini perlu untuk mengupas RUU Omibus Law
perubahan Pasal 62 UU Sisdiknas di atas. Bahwa BHP yang dibentuk masyarakat
tersebut agar dapat menyelenggarakan pendidikan maka perlu Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat. Definisi dari Perizinan Berusaha dalam Pasal 1 ayat (3)
adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan
menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Dalam RUU a quo tidak ditemukan definisi Pelaku Usaha. Definisi pelaku usaha
sendiri secara hokum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Konsumen yang memberikan batasan dalam Pasal 1 angka 3 bahwa Pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
Bahwa dari penggunaan istilah perizinan berusaha dalam
pengaturan tersebut telah jelas bahwa kegiatan BHP bukan lagi kegiatan
penyelenggaraan pendidikan tetapi menjadi kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan
ekonomi hal yang diusahakan sudah pasti adalah komoditas ekonomi. Dari sisi
pengistilahan, tidak semestinya izin administratifnya menggunakan istilah
perizinan berusaha. Yang tepat seharusnya adalah izin menyelenggarakan
pendidikan. Jika diteruskan dengan menggunakan istilah Perizinan berusaha
tersebut maka menjadikan pendidikan
sebagai komoditas ekonomi dan secara otomatis mengubah statusnya menjadi barang
privat. Hal tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi yang menentukan
pendidikan sebagai barang public.
Bahwa sebagai barang publik yang harus dapat diakses
semua orang (accessible) sehingga karena status tersebut maka pendidikantidak boleh menjadi komoditas
atau menjadi barang yang diperjualbelikan. Konsekwensi
dari norma pendidikan sebagai barang publik membuat Pemerintah memiliki
kewajiban untuk memenuhi kebutuhan warga negara akan pendidikan. Ini berarti
bahwa negara harus mampu memberikan jaminan pemerataan distribusi pendidikan,
baik dalam arti pemerataan akses terhadap pendidikan maupun dalam arti pemerataan
kualitas pendidikan. Lebih jauh lagi dapat pula dikatakan bahwa dimasukkannya
pendidikan sebagai barang publik oleh konstitusi terjadi karena pendidikan
merupakan salah satu institusi yang secara etis memiliki legitimasi untuk
terlepas dari imperatif-imperatif bisnis. Dalam hal ini, campur tangan negara
dalam pendidikan tetap diperlukan demi mewujudkan satu tujuan, yaitu
mencerdaskan bangsa Indonesia.[9]
Terhadap
hal di atas bisa jadi pembentuk Undang-Undang akan berdalih bahwa privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi
itu hanya akan terjadi pada pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
sebab pengaturan badan hokum dan perizinan berusaha obyeknya hanya pendidikan
yang diselenggarakan oleh masyarakat. Logika berpikir tersebut adalah sesat.
Sebab jika dari awal adanya tujuan privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi
adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan berarti negara mengamini bahwa negara
tidak dapat menyediakan pendidikan yang berkualitas. Selanjutnya, jika untuk
mendapatkan pendidikan berkualitas maka harus ke sekolah yang diselenggarakan
masyarakat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengakses pendidikan
dengan mutu yang baik adalah bergantung dari kemampuan membayar bukan karena
menjadi hak setiap warga negara. Hal tersebut tentu menyebabkan ketimpangan
dalam masyarakat semakin lebar. Pendidikan akan melahirkan kaum elitis
berdasarkan kekayaan dimiliki dan akan tidak menjadikan seluruh warga menjadi
setara. Hal tersebut tentu bukan menjadi tujuan dari pendidikan kita, bukan?
C. RUU OMNIBUS LAW,
KRIMININALISASI TERHADAP PENYELENGGARA PENDIDIKAN NONFORMAL DAN ANCAMAN BAGI
SISTEM DESENTRALISASI
Pasal
62 Jo Pasal 71 UU Sisdiknas dalam RUU Omnibus Law, yang mengatur administrasi
perizinan pendidikan selain menciptakan manajemen pendidikan yang bercita rasa
privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi sebagaimana di atas, jika
diterapkan juga akan membawa ancaman lain terhadap keberlangsungan pendidikan
di Indonesia. Ancaman tersebut berupa sulitnya akses dalam melakukan perizinan
serta bahaya kriminalisasi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Dari aspek
substantive dalam RUU Omnibus Law
tersebut maupun dalam UU Sisdiknas sama-sama berbahaya dalam penerapannya
tetapi dengan perubahan yang ada pada RUU Omnibus
Law tingkat bahayanya menjadi lebih tinggi. Terhadap bahaya tersebut akan diuraikan
berikut.
Ketentuan
Pasal-Pasal di atas pada dasarnya mengatur mengenai perizinan dan syarat-syarat
yang diperlukan pada suatu satuan pendidikan. Dalam
Pasal 62 UU Sisdiknas sebelum perubahan kewajiban perizinan dibebankan pada
penyelenggara saat akan mendirikan satuan pendidikan baik formal dan noformal. Syarat-syarat
untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik
dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan
pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses
pendidikan. Dari dua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa perizinan
dibebankan baik kepada jenis satuan penedidikan formal maupun nonformal. Untuk
jenis pendidikan formal hal tersebut dimungkinkan karena memang penjenjangan
sudah ditentukan dan ditujukan untuk mengeluarkan dokumen-dokumen telah
mengikuti pendidikan semacam ijazah tetapi untuk jenis pendidikan nonformal hal
tersebut tidak akan pernah bisa dilaksanakan sepenuhnya.
Kemusykilan pelaksanaan perizinan bagi
satuan pendidikan norformal mengacu kepada bentuk-bentuk pendidikan nonformal
sebagaimana diatur Pasal 26 ayat (4) UU Sisdiknas yang memiliki cakupan sangat
luas sebagai contoh Majelis Taklim maka bagi penyelenggara pendidikan nonformal
pengajuan proses perizinan tersebut sulit untuk dipenuhi. Tidak dapat
dibayangkan jika untuk mengadakan pengajian rutin di kampung-kampung,
menyelenggarakan pendidikan Diniyah yang secara pengelolaan dilakukan swadaya
masyarakat dengan dana seadanya dan bahkan ustadz / gurunya tidak diberikan gaji secara rutin tetapi
mereka dipaksa untuk menyiapkan syarat misalnya jumlah dan kualifikasi pendidik
dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan
pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses
pendidikan.
Dengan tidak dapat terpenuhinya
persyaratan tersebut maka otomatis perizinan tidak akan diberikan sebagaimana diatur
Pasal 63 ayat (3) UU Sisdiknas. Dan
apabila tidak mendapat izin tersebut maka para penyelengara pendidikan tinggal
menunggu masa diseret oleh aparat ke depan meja hijau. Ancaman pidana yang
menanti mereka tidak main-main yakni pidana penjara paling lama sepuluh tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penulis tidak mengetahui landasan apa yang digunakan oleh pembentuk
Undang-Undang saat itu sehingga memperlakukan penyelenggara pendidikan nonformal
sekejam itu. Ancaman pidana tersebut dikatakan kejam sebab jika dibandingkan
dengan pidana yang diatur dalam KUHP untuk jenis pencurian, penadahan,
penggelapan, penganiayaan dan beberapa jenis tindak pidana lainnya untuk
lamanya penjara lebih tinggi. Selain itu dalam pemidanaan juga dapat
diberlakukan kumulatif dua pidana pokok yakni penjara dan denda sehingga tindak
pidana kejahatan dalam hal ini sudah setara dengan pidana-pidana serius lainnya
semisal Narkotika, Korupsi, Terorisme, Perlindungan anak, dls.
Alih-alih mengubah ketentuan yang tidak memihak
kepada pendidikan nonformal tersebut dalam RUU Omnibus Law yang akan mengubah
ketentuan Pasal 63 dan 71 justru membuat ketentuan yang semakin mendiskreditkan
mereka. Perubahan yang sangat mendasar terdapat pada ayat (1)nya. Agar lebih
mudah melihat esensi perubahan ketentuan tersebut cermati Pasal 62 ayat (1)
antara UU Sisdiknas dan rancangan perubahan dalam RUU Omnibus Law Berikut:
Pasal 62 (1)
Setiap satuan
pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah
atau Pemerintah Daerah.
|
Pasal 62 (1)
Penyelenggaraan
satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
|
Dari membandingkan dua ketentuan tersebut perubahan
ada pada pertama, atas ketentuan
tersebut adalah mengenai nama yang awalnya izin mendirikan menjadi izin
berusaha; kedua, obyek yang
dibebani kewajiban untuk meminta izin
dan terakhir adalah instansi pemberi izin. Atas masalah kedua yakni kenapa
hanya masyarakat yang dibebani kewajiban sedang untuk satuan pendidikan yang
diselenggarakan pemerintah tidak, hal tersebut tidak perlu penulis bahas
kembali karena sudah dikupas dalam pembahasan sebelumnya. Dalam bagian ini akan focus pada instansi pemberi izin
karena memiliki dampak yang sangat besar dalam masalah ini. Untuk masalah
pertama yakni pergantian nama akan dibahas sekilas.
Bahwa dengan adanya ketentuan mengenai
perubahan nama perizinan dan tidak ada peraturan peralihan yang menjelaskan di
akhir RUU Omnibus Law yang mengubah
UU Sisdiknas maka terhadap satuan pendidikan – satuan pendidikan yang sudah
berjalan diwajibkan untuk melakukan perizinan ulang yakni dari izin mendirikan
menjadi perizinan berusaha. Hal tersebut tentu menimbulkan kerepotan satuan
pendidikan yang sudah memiliki izin karena harus mengajukan izin yang lain. Tambahan
biaya, waktu dan tenaga adalah hal yang tidak terhindarkan dalam pelaksanaan
aturan ini.
Dari aspek pemberi izin, hal yang
membedakan aturan lama dengan aturan dalam RUU Omnibus Law adalah jika di aturan lama yang diberikan kewenangan
adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah sedangkan dalam RUU Omnibus Law hanya
oleh Pemerintah Pusat saja. Pemerintah pada periode ini entah lupa atau memang
pelupa bahwa pada tahun 2014 telah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah (Selanjutnya disebut UU Pemda) yang diusulkan oleh
Pemerintah bersama-sama dengan DPR. Jika dalam hal ini RUU Omnibus Law menghendaki perizinan bagi penyelenggara satuan
pendidikan dilakukan oleh Pusat semata tentu menibulkan ketidaksinkronan
terhadap aturan tersebut. Bahwa dalam UU Pemda urusan pendidikan adalah urusan
yang kewenangannnya tidak dipegang sendiri oleh pusat melainkan dibagikan pula
kepada Pemerintah Daerah. Dan jika mengacu pada lampiran UU Pemda a quo perihal Pembagian Urusan
Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten Kota, khususnya terhadap pendidikan dan lebih khusus lagi perizinan
adalah sebagai berikut:
Pemerintah Pusat |
Pemda Provinsi |
Pemda
Kabupaten/Kota |
a.
Penerbitan izin
perguruan tinggi swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat. b.
Penerbitan izin
penyelenggaraan satuan pendidikan asing. |
a.
Penerbitan izin pendidikan
menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat. b.
Penerbitan izin
pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh masyarakat. |
a.
Penerbitan izin
pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat. b.
Penerbitan izin
pendidikan anak usia dini dan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh
masyarakat. |
Melihat bagan di atas tentu sudah tepat
skema yang diterapkan untuk perizinan. Dengan Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat perizinan ada di daerah maka
penyelenggara pendidikan akan lebih mudah memperoleh akses perizinan tersebut
serta akan dapat dilayanai dengan optimal. Dan hal tersebut sudah sesuai dengan
desentralisasi yang diterapkan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara dengan luas
seperti wilayah Indonesia dan adanya keragaman penduduk yang tinggi jika tetap menghendaki
dipertahankannya bentuk negara kesatuan maka paling harus dikombinasikan dengan
konsep desentralisasi. Desentralisasi
adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom berdasarkan asas otonomi. Tujuan desentralisasi adalah peningkatan
pelayanan public dan kesejahteraan rakyat. Dengan adanya kewenangan yang
diselenggarakan daerah pelayanan dasar kepada masyarakat akan lebih mudah
terpenuhi dan selain itu dengan pengambilan kebijakan yang semakin dekat antara
pemerintah daerah dengan warganya.
Berdasarkan hal di atas jika perizinan
penyelenggaraan pendidikan hanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat maka proses
mengajukan izin meskipun misalnya dilakukan secara online, tetap akan sulit dan
membutuhkan waktu yang lama. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya akses
masyarakat untuk melakukan perizinan tersebut dan kendala dalam
mengoperasionalkan secara online yang belum merata bagi penduduk Indonesia
dengan wilayah yang sangat luas dan juga factor keterbatasan dari tenaga
pemerintah pusat untuk melakukan verifikasi riil atas satuan pendidikan yang
akan diselenggarakan. Aturan tersebut jika dipaksa untuk disahkan bukannya
memberi solusi justru akan menciptakan keadaan baru yang lebih buruk dari
sebelumnya.
Kembali terhadap ketentuan ini, hal yang
ideal mestinya dilakukan untuk mengubah aturan adalah pertama, berkaitan dengan nama sepatutnya menggunakan nama izin
penyelenggaraan pendidikan bukan Perizinan Berusaha. Kedua, berkaitan dengan objek yang diwajibkan yakni untuk
pendidikan formal dan jika untuk pendidikan non-formal selama pendidikan
tersebut mengeluarkan dokumen-dokumen semacam ijasah atau sertifikat kompetensi
sehingga hal tersebut menjadi pertanggungjawaban bagi penyelenggaranya sedang
bagi non-formal semacam majelis ta’lim tidak diwajibkan izin tersebut; dan terakhir, untuk instansi pemberi izin
lebih tepat dikembalikan sesuai aturan dalam UU Pemda yakni ada pembagian
antara Pusat dan Daerah.
PENUTUP
Mempertimbangkan madhorot yang akan ditimbulkan oleh RUU
Omnibus Lawa di atas serta rasa cinta kepada bangsa ini maka tiada kata yang
patut untuk diteriakkan selain “LAWAN”
IKLAN TULISAN YANG MASIH AKAN DIGARAP
[1]Lihat
putusan MK 021/PUU-IV/2006 halaman
134-135
[2] Lihat putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 halaman 398
[3] Lihat putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 halaman 400.
[4] Lihat Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[5] Lihat Dwi Poerwoko, Semangat Taman Siswa dan Perlawanannya Terhadap Undang-Undang Sekolah
Liar. Jurnal Ilmu Pendidikan, Agustus 1994, Jilid I, Nomor 2, halaman
129-130
[6]
Sofian Efendi, GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi, http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/GATS-dan-Liberalisasi-Pendidikan.pdf
[7] Lihat
putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 halaman 387.
[8] Ibid. hlm 390-391
[9]
Ibid. hlm. 83
versi PDF Silaihkan klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar