Kamis, 17 September 2020

“BAHAYA YANG MENGINTAI PESANTREN DALAM RUU OMNIBUS LAW”

 

Oleh Mochamad Adib Zain, S.H

Sepanjang tahun ini keberadaan RUU Omnibus Law telah menimbulkan polemik di negeri ini. RUU a quo yang mengagendakan perubahan 79 Undang-Undang tersebut mengalami penolakan karena dianggap bermasalah baik secara formil penyusunannya yang tidak sesuai prosedur maupun berkaitan dengan substansi materiil pengaturan itu sendiri. Secara materiil dalil utama penolakan disebabkan orientasi dari pengaturan dalam RUU a quo yang sangat pro kepada investor dan sebaliknya abai terhadap kepentingan rakyat. Hal tersebut terlihat dalam beberapa point tujuan RUU Omnibus Law tersebut yakni peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha dan, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional

Salah satu kelompok yang menolak keberadaan RUU a quo berasal dari kalangan Pesantren. Secara khusus penolakan dalam RUU a quo  tersebut adalah draft perubahan pada Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( selanjutnya disebut UU Sisdinas) khususnya ketentuan Pasal 62 dan 71 yang diaggap dapat mengancam keberlangsungan  penyelenggaraan pesantren.[1] Atas penolakan tersebut, Menteri Agama serta sejumlah kalangan memberikan tanggapan bahwa RUU Omnibus Law tidak berpengaruh pada Pesantren sebab Pesantren diatur tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren  (selanjutnya disebut UU Pesantren) yang diposisikan sebagai lex specialist dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas).[2]

Dari dialektika tersebut dapat disimpulkan beberapa permasalahan mendasar yakni Bagaimana hubungan antara RUU Omnibus Law yang mengubah dengan UU Sisdiknas dengan UU Pesantren? Lebih lanjut dari pertanyaan ini adalah apakah karena Pesantren diatur tersendiri maka RUU Omnibus Law tersebut tidak berpengaruh terhadap penyelenggaraan Pesantren dalam arti memberikan ancaman terhadap Pesantren? Terhadap masing-masing permasalahan di atas diuraikan lebih detil di bawah ini.

HUBUNGAN UU SISDIKNAS YANG AKAN DIREVISI MELALUI RUU OMNIBUS LAW DENGAN UU PESANTREN.

Pesantren yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil'alamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian kurang lebih bunyi konsideran UU Pesantren. UU Pesantren dianggap sebagai pengakuan dan sekaligus penghargaan terhadap eksistensi lembaga pesantren yang telah berkontribusi besar terhadap bangsa ini. Lahirnya UU Pesantren didasarkan karena anggapan bahwa pengaturan yang ada terutama dalam UU Sisdiknas belum memadai serta tidak mengakomodir keberlangsungan pesantren[3]. Hal yang demikian yang dijadikan landasan untuk mengatur pesantren dalam Undang-Undang tersendiri.

Dengan diatur oleh Undang-Undang tersendiri, apakah lantas UU Sisdiknas tidak diberlakukan terhadap pesantren? Guna menjawab hal tersebut maka perlu dikembalikan terlebih dahulu dalam aturan dasarnya yang ada dalam Konstitusi. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dari Pasal 31 ayat (3) tersebut jelas bahwa aturan turunan yang melaksanakan amanat tersebut akan mengatur dalam penamaan Sistem Pendidikan Nasional. Atas dasar tersebut maka kedudukan dari UU Sisdiknas menjadi aturan aturan umum dari peraturan perundang-undangan lain perihal pendidikan. Artinya ketentuan UU Sisdiknas tetapi diberlakukan terhadap seluruh penyelenggaraan pendidikan, kecuali diatur khusus yang mengesampingkan aturan tersebut sesuai prinsip lex specialit derogate legi generali.

Khusus berkaitan dengan pesantren, kedudukan UU Pesantren terhadap UU Sisdiknas adalah Lex Specialist-nya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 15 UU Pesantren yang menyatakan “Pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional”. Lalu sejauh mana kekuatan lex specialist tersebut? Artinya Apakah UU Pesantren mengesampingkan seluruh pengaturan dalam UU Sisdiknas atau hanya sebagian saja? Terhadap hal tersebut, dalam penerapan teori lex specialit derogate legi generali biasanya akan ditegaskan dalam ketentuan peraturan peralihan dari UU yang bersifat specialist tersebut. Dan sejauh penulis telusuri dikenal dua metode yakni pertama menyebut apa saja yang dikhususkan sehingga mengesampingkan aturan yang general misalnya UU Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dalam peraturan peralihannya Pasal 68 menyatakan :“Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”. Sedangkan metode yang lain adalah menyatakan kekhususannya tanpa menyebutkan apa saja kekhususan tersebut melainkan pada seluruh undang-undang lain yang terkait seperti dalam UU Pesantren ini yang diatur dalam ketentuan peralihan Pasal 52 yang menyatakan “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan Pesantren dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini”.

Metode pengaturan lex specialis sebagaimana di atas membawa konsekwensi yang berbeda dalam penerapannya. Jika disebutkan khusus sebagaimana dalam UU KPK maka apapun yang terjadi terhadap aturan yang sifatnya Umum yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka tidak berdampak pada KPK sejauh dinyatak khusus. Misal perubahan ketentuan mengenai proses penyidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka tidak berdampak pada UU KPK tersebut. Hal tersebut karena dengan adanya penyebutan khusus dalam aturan lex specialist maka secara mutlak aturan tersebut sudah mengesampingkan keberlakuan aturan pada lex generali-nya. Sedangkan jika menggunakan metode sebagaimana pada UU Pesantren yang tidak spesifik mengatur kekhususannya di mana dan terhadap apa maka konsekwensinya akan berbeda yakni terhadap aturan-aturan dalam lex generali yang dalam hal ini UU Sisdiknas akan ditinjau apakah peraturan tersebut bertentangan dengan UU Pesantren sebagai lex specialist atau tidak. Jika tidak maka penyelenggaraan Pesantren tetap tunduk pada UU Sisdiknas.

Berdasarkan uraian di atas maka pernyataan Menteri Agama dan sejumlah kalangan yang menyampaikan agar Pesantren tidak perlu khawatir terhadap RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU Sisdiknas karena adanya UU Pesantren sebagai Lex Specialist adalah tidak benar. Perlu ditinjau apakah RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU Sisdiknas tersebut masih dalam kerangka lex specialist itu atau tidak. Lebih-lebih apakah RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU Sisdiknas tersebut akan membawa dampak buruk bagi penyelenggaraan system pendidikan nasional atau tidak. Jika membawa dampak buruk maka bisa jadi pesantren tetap turut memikul dampak tersebut.

RUU OMNIBUS LAW ANCAMAN NYATA TERHADAP PESANTREN

Dalam RUU Omnibus Law, Ketentuan UU Sisdiknas yang akan diubah dan membawa akibat secara langsung adalah Pasal 53, 62 dan 71. Pasal 53 mengatur perihal badan hukum pendidikan dan manajemen pengelolaan keunagan pendidikan. Pasal 62 mengatur perihal perizinan berusaha bagi penyelenggara pendidikan. Terakhir Pasal 71 perihal ancaman pidana atas pelanggaran Pasal 62.

Badan hukum pendidikan diatur dalam Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan Penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan oleh masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Selanjutnya kita sandingkan dalam beberapa pengaturan tentang Pesantren yakni Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal. Artinya mengacu pada RUU Omnibus Law tersebut maka pesantren di masa yang akan datang diharuskan berbentuk badan hukum. Pesantren yang didirikan siapakah yang berbadan hukum. Jika mencermati pengaturan tersebut maka pesantren yang dikenai kewajiban berbadan hukum adalah khusus yang didirikan masyarakat. 

Selanjutnya masih dalam Pasal 53 terkait badan hukum pendidikan tersebut, dalam ayat (3) diatur bahwa Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Yang perlu digarisbawahi adalah frasa dapat berprinsip nirlaba. Mengacu pada penggunaan kata “dapat” dalam aturan perundang-undangan maka hukum asalnya adalah kebalikan kata setelah kata “dapat” tersebut. Sebagai penggambaran, misal seorang yang sedag safar dengan jarak dua marhalah dengan niat bukan untuk ma’shiat maka secara fiqh diberikan rukhsoh berupa dapat melakukan sholat dengan qoshor. Artinya hukum asal sholat tetap dilaksankan sesuai jumlah roka’atnya adapun kebolehan meringkasnya dengan jumlah separo dari rokaat yang seharusnya adalah kebolehan dalam kondisi tertentu saja. Demikian halnya dengan kata “dapat berprinsip nirlaba” di atas maka dapat disimpulkan bahwa niat pendirian pesantren adalah ditujukan untuk profit oriented atau mencari keutungan. Dalam hal ini tentu akan menghilangkan karakter dan kekhasan dari pesantren itu sendiri yang sejak dahulu memberikan alternative pendidikan kepada rakyat secara terjangkau.

Dengan pesantren dikelola secara profit oriented maka pendidikan pesantren bukan lagi diniatkan untuk mengembangkan akhlak santri serta mendidik karakter mereka yang memanusiakan manusia. Pesantren akan berakhir sebagai komoditas yang diperjual belikan. Hubungan yang terbangun antara Santri, Kyai dan Ustadz adalah hubungan transaksional sebagaimana prinsip ekonomi. Bayangan yang menakutkan jika hal demikian terjadi sebab kita akan menyaksikan prinsip zuhud, ngalap barokah, sami’na wa atho’na menjadi langka ditemukan di pesantren jika prinsip pengelolaan profit oriented tersebut diterapkan. Profit oriented yang menjadi ciri khas dari faham privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi harus dijauhkan dengan sungguh-sungguh dalam pengelolaan pesantren agar tidak kehilangan ciri khasnya.

Pengaturan terakhir yang menjadi inti perdebatan di masyarakat dalam RUU Omnibus Law adalah perubahan Pasal 63 UU Sisdiknas yang menyatakan Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Apakah pesantren terimbas dengan peraturan ini? Bukankah perizinan bagi pesantren diatur sendiri? Jawabannya adalah dengan komparasi antara RUU Omibus Law di atas dengan UU Pesantren. Dalam Pasal 6 UU Pesantren tentang pendirian pesantren diatur

(1)   Pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, danf atau masyarakat.

(2)   Pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

a.       berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil'alamin dan berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika;

b.      memenuhi unsur Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (21;

c.       memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren; dan

d.      mendaftarkan keberadaan Pesantren kepada Menteri.

(3)   Dalam hal pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terpenuhi, Menteri memberikan izin terdaftar.

Berdasarkan pengaturan tersebut, meskipun sama-sama izin tetapi nomenklatur/penamaan izinnya berbeda. Dalam RUU Omnibus Law izinnya dinamakan Perizinan Berusaha bagi penyelenggara pendidikan sedang dalam UU Pesantren adalah Izin berusaha. Izin pendirian secara mudanhya adalah izin ketika pesantren didaftarkan untuk didirikan sedangkan Perizinan Berusaha dalam Pasal 1 ayat (3) RUU Omnibus Law dimaknai sebagai legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Karena perbedaan tersebut maka selain izin pendirian untuk menyelenggarakan pendidikan pesantren masih diperlukan perizinan berusaha. Model perizinan tersebut dalam dunia usaha biasa terjadi misal dalam dunia industri dikenal adanya izin prinsip/pokok dan izin produksi.

Mengingat pemangku kebijakan kita yang saat ini sedang “menggilai” investasi, sangat besar kemungkinannya akan diterapkan pula bagi Pesantren mengenai perizinan tersebut. Dan perlu digarisbawahi bahwa pengaturan ini tidak hanya berlaku bagi pesantren yang didirikan oleh masyarakat melainkan semua pesantren tanpa memandang siapa yang mendirikan. Kenapa demikian? Sebab bunyi pengaturan mengatur perihal pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat bukan didirikan oleh masyarakat dan hal tersebut sesuai pula dengan ketentua Pasal 1 angka 1 UU Pesantren yang menyebutkan Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat.

Terakhir dalam tulisan ini yang perlu disoroti adalah Pasal 71 yakni apabila tidak memiliki perizinan berusaha maka diancam pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Pedoman tata cara penggunaan ketentuan pidana dalam perundang-undangan, telah ditentukan secara limitatif dalam Lampiran II sub C.3 butir 112 sampai dengan butir 126 UU Nomor 12 Tahun 2011. Jika membandingkan dengan

Berdasarkan hal di atas Penulis tidak mengetahui landasan apa yang digunakan oleh pembentuk Undang-Undang saat itu sehingga memperlakukan penyelenggara pendidikan sekejam itu. Ancaman pidana tersebut dikatakan kejam sebab jika dibandingkan dengan pidana yang diatur dalam KUHP untuk jenis pencurian, penadahan, penggelapan, penganiayaan dan beberapa jenis tindak pidana lainnya untuk lamanya penjara lebih tinggi. Selain itu dalam pemidanaan juga dapat diberlakukan kumulatif dua pidana pokok yakni penjara dan denda sehingga tindak pidana kejahatan dalam hal ini sudah setara dengan pidana-pidana serius lainnya semisal Narkotika, Korupsi, Terorisme, Perlindungan anak, dls. Selain itu jika disandingkan dengan Undang-Undang lain yang diubah, ancaman tersebut tetap lebih berat dibandingkan ancaman pidana pada UU selain UU Sisdiknas seperti penyalahgunaan tata ruang, pencemaran lingkungan.

PENUTUP

Akhirul kalam, melihat madhorot yang akan ditimbulkan RUU Omnibus Law ini terhadap pesantren mari kita secara berjamaah melakukan ikhtiar untuk melawan kezoliman ini dan jika menghendaki argementasi lebih mendetil sekaligus berlaku bagi system pendidikan secara umum maka dapat membaca di link berikut https://drive.google.com/file/d/1GBbcAosWaUUMMATzXzkaI9OiQaCaHeCQ/view

 

 

 

 

 

 



[3] lihat Naskah Akademik dan RUU Pesantren hlm. 156 http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20181119-120623-3228.pdf dan konsideran UU a quo huruf d

Kamis, 10 September 2020

KONTRADIKSI PEMAKNAAN KEWAJIBAN HADIR BAGI PRINSIPAL BADAN HUKUM DALAM PERSIDANGAN GUGATAN SEDERHANA

 

Diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana merupakan perkembangan menarik dan penting dalam dalam penyelesaian perkara gugatan di Indonesia. Gugatan dengan kualifikasi tertentu diselesaikan melalui proses yang sederhanan dan dalam tempo yang singkat di banding dengan perkara gugatan biasa. Dalam proses persidangan, tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik atau kesimpulan sebagaimana dalam pemeriksaan gugata perkara biasa. Selain itu dari aspek prosedur, terhadap gugatan sederhana hanya dapat diajukan upaya hukum keberatan yang putusannya merupakan putusan akhir yang tidak dapat diajukan banding, kasasi maupu peninjauan kembali. Dari sisi waktu penyelesaian perkara, pemeriksaan gugatan hanya diberikan tenggang waktu 25 hari sejak hari sidang pertama dan untuk pemeriksaan keberatan maksimal 7 hari sejak penetapan Majelis Hakim. Bandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa yang dalam kondisi normal berdasarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2014 diberikan waktu 5 bulan  untuk pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama dan 3 bulan untuk pengadilan tingkat banding, dan faktanya masih terdapat juga perkara-perkara yang diperiksa melebihi batas waktu rersebut.

Memperoleh taggapan yang positif dari masyarakat, cakupan dari kualifikasi gugatan sederhana diperluas melalui PERMA nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Dalam PERMA perubahan tersebut nilai gugatan materiil yang awalnya maksimal dua ratus juta rupiah dinaikkan menjadi lima ratus juta rupiah. Selain itu syarat gugatan yang mengatur bahwa antara Penggugat dan Tergugat berdomisili di daerah hukum pengadilan yang sama dilonggarkan menjadi ketentuan yang menyatakan dalam hal Penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili Tergugat, Penggugat dalam mengajukan gugatan menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat.

Adanya perubahan pengaturan tersebut diharapkan mampu menarik antusiasme masyarakat untuk menyelesaikan perkara melalui gugatan sederhana. Dampak positif dari penyelesaian melalui pemeriksaan gugatan sederhana bagi Mahkamah Agung akan mengurangi penumpukkan perkara yang selama ini menjadi masalah pelik. Bagi masyarakat akan lebih terasa pelaksanaan atas asas persidangan secara sederhana, cepat dan berbiaya ringan selain tentunya segera memperoleh kepastian hukum dengan cepatnya putusan berkekuatan hukum tetap. Bagi Negara PERMA a quo sudah sesuai Raison d’etre penerbitannya yakni guna merespon tuntutan zaman khususnya di bidang ekonomi. Dengan adanya pemberlakuan kawasan perdagangan bebas ASEAN atau AFTA pada tahun 2015 maka kegiatan perekonomian di negeri ini diharapkan akan semakin meningkat. Selain peningkatan ekonomi, ekses yang harus siap dihadapi dengan kondisi tersebut adalah banyaknya sengketa yang timbul dalam bidang tersebut. Dengan mekanisme penyelesaian yang sederhana maka pengadilan akan ikut berperan serta dalam pengembangan perekonomian negara.

Terlepas dari semua manfaat yang sudah diperoleh dan diharapkan akan diperoleh, dari Pengaturan pada PERMA nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, terdapat pengaturan baru yang sifatnya multi tafsir yang sangat berpengaruh terhadap penerapannya.   Ketentuan tersebut adalah Pasal 4 ayat (4) yang berbunyi Penggugat dan Tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa, kuasa insidentil atau wakil dengan surat tugas dari institusi Penggugat. Khusus untuk pihak berperkara berupa badan hukum, apakah aturan tersebut secara tegas mengharuskan kehadiran pihak prinsipal atau bisa diwakili oleh pekerjana yang mendapatkan surat tugas institusi. Atas aturan tersebut ada beberapa pandangan yang diterapkan oleh hakim dan juga praktek beberapa pengadilan yang mengharuskan kedatangan pihak prinsipal dan sebalikan juga terdapat pandangan hakim dan beberapa praktek pengadilan yang tetap melanjutkan pemeriksaan meskipun pihak berupa badan hukum diwakili oleh pegawainya. Dasar-dasar untuk menolak maupun menerima akan diuraikan lebih lanjut di bawah.

Prinsipal Badan Hukum Wajib Hadir.

Pandangan yang mewajibkan pihak principal baik individu maupun badan hukum untuk hadir dalam setiap persidangan yang akan dilaksanakan mendasarkan pada beberapa hal yakni bunyi pengaturan, sifat hukum acara perdata dan aspek implementasi saat persidangan. Dari sisi bunyi aturan, kata “wajib” dalam pengaturan Pasal 4 ayat (4) PERMA nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah ketentuan yang sudah jelas dan terang tanpa perlu ditafsirkan kembali. Dengan demikian, ketentuan tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi dan tinggal dijalankan sebagaimana adanya oleh hakim yang memeriksa perkara.

Dari sisi sifat, hukum acara perdata bersifat memaksa (dwingendrecht). Arti dari sifat tersebut bahwa proses dalam hukum acara perdata tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan,dan pihak-pihak yang berkepentingan harus tunduk dan menaatinya. sifat tersebut dipandang penting karena berfungsi dalam mempertahankan eksistensi hukum perdata materiil. Karena dalam pemeriksaan sudah ditentukan wajib hadir maka apapun ketentuan tersebut harus ditaati.

Dari aspek implementasi sidang, kewajiban prinsipal hadir dianggap penting karena merupakan decision maker yang dapat menentukan arah penyelesaian perkara. Hal  tersebut berkorelasi dengan kewajiban mendamaikan bagi hakim yang memeriksa perkara pada saat persidangan pertama. Dengan hadirnya prinsipal maka pihak dapat secara langsung menentukan untuk berdamai atau tidak tanpa melalui perantara. Kewajiban hadir secara langsung sebagaimana di atas juga diterapkan dalam proses mediasi perkara gugatan biasa yang para pihaknya diwajibkan hadir baik dengan atau tanpa didampingi kuasa hukum. Sebagai perbandingan, di negara Singapura melarang adanya kuasa hukum, negara bagian  California, Michigan, and Nebraska,  di Amerika Serika mewajibkan prinsipal untuk hadir sendiri.

Konsekwensi atas pandangan yang mewajibkan principal hadir dalam perkara yang pihaknya badan hukum, adalah jika hanya diwakili oleh pegawai yang ditunjuk dengan surat kuasa khusus maka perkara dinyatakan gugur apabila berposisi sebagai Penggugat. Jika pada posisi Tergugat setelah dipanggil lagi dan yang datang hanya perwakilan maka perkara diputus verstek. Jika prinsipal baik penggugat dan Tergugat hadir pada sidang pertama dan selanjutnya diwakili maka wakil tersebut dalam kapasitasnya tidak dapat mengikuti persidangan sebagai pihak missal mengajukan barang bukti atau saksi-saksi. Dan jika pada pembacaan putusan yang hadir adalah wakil maka pengadilan tetap berkewajiban melakukan pemberitahuan putusan.

Pihak Prinsipal Badan Hukum Dapat diwakili Pegawai.

Pandangan yang memperkenankan prinsipal badan hukum diwakili oleh pegawai didasarkan pada tiga hal yakni tujuan pengaturan, asas peraturan perudang-undangan dan juga dari aspek implementasi.  Berkaitan dengan tujuan pengaturan, bahwa dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana sebagaimana terakhir diubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019 adalah agar penyelesaian perkara gugatan dilakukan sesederhana mungkin. Kata sederhana disandingkan dengan kata proses bermakna tidak menyulitkan, tidak rumit dan memudahkan. Dengan demikian, tujuan dari diterbitkannya PERMA gugatan sederhana adalah untuk memudahkan  dalam penyelesaian suatu gugatan yang memenuhi kualifikasi. Kemudahan tersebut ditujukan bagi semua yang terlibat dalam proses yang meliputi Hakimnya, Penggugatnya maupun Tergugatnya.

Keberadaan Pasal 4 ayat (4) PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang mewajibkan kehadiran prinsipal badan hukum untuk hadir meskipun sudah ada wakil pegawai yang diberikan surat tugas institusi ditinjau dari pengaturan secara menyeluruh menyebabkan proses yang dilaksanakan menjadi tidak sederhana lagi dan tidak sinkron dengan aturan sebelumnya. Hal tersebut terjadi sebab Pasal 4 ayat (3) telah meringankan syarat yang awalnya para pihak wajib satu domisili menjadi boleh  tidak satu domisili dalam mengajukan gugatan bagi penggugat dengan catatan menunjuk kuasa hukum, kuasa insidentil atau wakil yang berada satu domisili dengan tergugat. Jika penunjukkan itu dimaknai hanya untuk mendaftar perkara dan guna memudahkan dalam melakukan panggilan sidang maka pengaturan yang demikian adalah pengaturan yang sia-sia dan tidak efektif sebab hal tersebut dapat dilakukan secara elektronik melalui system E-Court sebagaimana di atur dalam Pasal 6A. Oleh karena itu pelonggaran syarat dengan dapat menunjuk kuasa hukum, kuasa insidentil maupun wakil yang diberikan surat tugas institusi semestinya dimaknai juga dapat hadir menggantikan prinsipal di persidangan.

Untuk keberadaan kuasa hukum dalam persidangan dan kewajiban hadir bagi prinsipal sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 masih dapat dimaklumi. Karena hal itu juga dapat dicari perbandingannya dengan penerapan dibeberapa negara, akan tetapi untuk pegawai yang mendapat surat tugas dan tidak bisa menggantikan prinsipal adalah hal yang berbeda. Dalam aturan PERMA Nomor 4 tahun 2019 a quo memberikan klasifikasi bagi kuasa hukum, kuasa insidentil dan wakil yang notabenenya dalam perkara gugatan biasa ketiganya dapat menggantikan prinsipal. Meskipun ketiganya dapat berperan sebagai pengganti tetapi harus didudukkan bahwa ketiganya memiliki perbedaan yakni khusus untuk kuasa hukum dapat menggantikan karena diberikan kewenngan oleh Undang-Undang meskipun tidak memiliki kepentingan secara langsung dengan perkara yang disidangkan tetapi untuk wakil yang berupa pegawai badan hukum yang diberi surat tugas dan kuasa insidentil, mereka dapat menggantikan karena dianggap turut memiliki kepentingan atas perkara yang sedang disidangkan. Dengan dasar tersebut seharusnya untuk wakil dari badan hukum dapat menggantikan principal dalam persidangan.

Hal kedua yang menjadi landasan bagi wakil untuk menggantikan adalah dikembalikan kepada asas hukum lex superiori derogate legi inferiori yakni bahwa dalam aturan yang lebih tinggi yakni HIR/RBG dan RV menentukan bahwa dalam perkara gugatan dapat diwakili oleh orang lain. Dengan adanya orang yang menjadi wakil maka pihak prinsipal menjadi tidak wajib untuk menghadiri sendiri persidangan. Dengan adanya ketentuan tersebut maka aturan PERMA semestinya dikesampingkan yakni dengan tetap berpedoman pada peraturan yang lebih tinggi.  Terakhir dari sisi implementasi jika kehadiran principal wajib maka justru akan menyulitkan proses. Dalam suatu badan hukum, misal Perseroan Terbatas secara umum sebagaimana Undang-Undang PT yang menjadi prinsipal adalah Direktur Utama atau Direktur. Jika untuk perkara yang nominalnya maksimal 500 juta dan mewajibkan pucuk pimpinan hadir maka justru penyelesaian tersebut menjadi tidak efektif dan belum lagi akan terkendala jarak jika tidak berada dalam satu domisili. Tentu dalam perusahaan jika menghitung cost and benefit untuk pekerjaan level tinggi tersebut jika harus menghadiri persidangan dari awal hingga akhir dan bisa jadi untuk banyak perkara maka biayanya akan lebih mahal disbanding nominal yang diajukan untuk diselesaikan.

Konsekwensi atas pandangan yang menyatakan badan hokum dapat digantikan oleh wakil yang ditunjuk dengan surat kuasa khusus maka perkara tidak dinyatakan gugur apabila berposisi sebagai Penggugat. Jika pada posisi Tergugat maka langsung bisa dilanjutkan pembacaan gugatan dan proses persidangan setelahnya. Untuk putusan juga tidak lagi diperlukan pemberitahuan putusan karena dianggap hadir semua pihaknya.

Interpretasi mana yang Benar?

Soal dua pandangan tersebut, jika diajukan pertanyaan mana yang lebih benar? Maka keduanya adalah benar dan dapat dipakai keduanya tergantung bagaimana hakim yang memeriksa meyakininya. Hal demikian mengingat asas kemandirian bagi hakim dalam menangani perkara. Yang perlu dijadikan pertimbangan adalah kemandirian hakim secara individu juga terkait dengan kemandirian lembaga peradilan, khususnya pada putusan yang dijatuhkan. Keputusan memang dibuat oleh hakim yang memeriksa dan dibuat dengan kemandiriannya tetapi saat putusan dibacakan maka putusan berubah menjadi putusan lembaga bukan lagi milik individu. Oleh karena itu, ada baiknya untuk memilih salah satu diantara dua opsi di atas juga mempertimbangkan praktek yang berlaku di pengadilan tersebut. Hal ini untuk menghindari disparitas dalam memutuskan suatu perkara dan juga untuk menghindari kebingungan bagi pencari keadilan.

Selain persoalan memilih diantara dua opsi di atas, ada baiknya pengaturan tersebut dievaluasi dan dilakukan perbaikan. Pengaturan yang baik adalah pengaturan yang tidak menimbulkan multitafsir dan mudah untuk diimplementasikan. Ke depan apakah akan tetap mewajibkan kehadiran prinsipal atau boleh diwakili khususnya bagi pihak badan hokum harus diatur secara tegas dan tuntas.