Kamis, 10 September 2020

KONTRADIKSI PEMAKNAAN KEWAJIBAN HADIR BAGI PRINSIPAL BADAN HUKUM DALAM PERSIDANGAN GUGATAN SEDERHANA

 

Diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana merupakan perkembangan menarik dan penting dalam dalam penyelesaian perkara gugatan di Indonesia. Gugatan dengan kualifikasi tertentu diselesaikan melalui proses yang sederhanan dan dalam tempo yang singkat di banding dengan perkara gugatan biasa. Dalam proses persidangan, tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik atau kesimpulan sebagaimana dalam pemeriksaan gugata perkara biasa. Selain itu dari aspek prosedur, terhadap gugatan sederhana hanya dapat diajukan upaya hukum keberatan yang putusannya merupakan putusan akhir yang tidak dapat diajukan banding, kasasi maupu peninjauan kembali. Dari sisi waktu penyelesaian perkara, pemeriksaan gugatan hanya diberikan tenggang waktu 25 hari sejak hari sidang pertama dan untuk pemeriksaan keberatan maksimal 7 hari sejak penetapan Majelis Hakim. Bandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa yang dalam kondisi normal berdasarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2014 diberikan waktu 5 bulan  untuk pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama dan 3 bulan untuk pengadilan tingkat banding, dan faktanya masih terdapat juga perkara-perkara yang diperiksa melebihi batas waktu rersebut.

Memperoleh taggapan yang positif dari masyarakat, cakupan dari kualifikasi gugatan sederhana diperluas melalui PERMA nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Dalam PERMA perubahan tersebut nilai gugatan materiil yang awalnya maksimal dua ratus juta rupiah dinaikkan menjadi lima ratus juta rupiah. Selain itu syarat gugatan yang mengatur bahwa antara Penggugat dan Tergugat berdomisili di daerah hukum pengadilan yang sama dilonggarkan menjadi ketentuan yang menyatakan dalam hal Penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili Tergugat, Penggugat dalam mengajukan gugatan menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat.

Adanya perubahan pengaturan tersebut diharapkan mampu menarik antusiasme masyarakat untuk menyelesaikan perkara melalui gugatan sederhana. Dampak positif dari penyelesaian melalui pemeriksaan gugatan sederhana bagi Mahkamah Agung akan mengurangi penumpukkan perkara yang selama ini menjadi masalah pelik. Bagi masyarakat akan lebih terasa pelaksanaan atas asas persidangan secara sederhana, cepat dan berbiaya ringan selain tentunya segera memperoleh kepastian hukum dengan cepatnya putusan berkekuatan hukum tetap. Bagi Negara PERMA a quo sudah sesuai Raison d’etre penerbitannya yakni guna merespon tuntutan zaman khususnya di bidang ekonomi. Dengan adanya pemberlakuan kawasan perdagangan bebas ASEAN atau AFTA pada tahun 2015 maka kegiatan perekonomian di negeri ini diharapkan akan semakin meningkat. Selain peningkatan ekonomi, ekses yang harus siap dihadapi dengan kondisi tersebut adalah banyaknya sengketa yang timbul dalam bidang tersebut. Dengan mekanisme penyelesaian yang sederhana maka pengadilan akan ikut berperan serta dalam pengembangan perekonomian negara.

Terlepas dari semua manfaat yang sudah diperoleh dan diharapkan akan diperoleh, dari Pengaturan pada PERMA nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, terdapat pengaturan baru yang sifatnya multi tafsir yang sangat berpengaruh terhadap penerapannya.   Ketentuan tersebut adalah Pasal 4 ayat (4) yang berbunyi Penggugat dan Tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa, kuasa insidentil atau wakil dengan surat tugas dari institusi Penggugat. Khusus untuk pihak berperkara berupa badan hukum, apakah aturan tersebut secara tegas mengharuskan kehadiran pihak prinsipal atau bisa diwakili oleh pekerjana yang mendapatkan surat tugas institusi. Atas aturan tersebut ada beberapa pandangan yang diterapkan oleh hakim dan juga praktek beberapa pengadilan yang mengharuskan kedatangan pihak prinsipal dan sebalikan juga terdapat pandangan hakim dan beberapa praktek pengadilan yang tetap melanjutkan pemeriksaan meskipun pihak berupa badan hukum diwakili oleh pegawainya. Dasar-dasar untuk menolak maupun menerima akan diuraikan lebih lanjut di bawah.

Prinsipal Badan Hukum Wajib Hadir.

Pandangan yang mewajibkan pihak principal baik individu maupun badan hukum untuk hadir dalam setiap persidangan yang akan dilaksanakan mendasarkan pada beberapa hal yakni bunyi pengaturan, sifat hukum acara perdata dan aspek implementasi saat persidangan. Dari sisi bunyi aturan, kata “wajib” dalam pengaturan Pasal 4 ayat (4) PERMA nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah ketentuan yang sudah jelas dan terang tanpa perlu ditafsirkan kembali. Dengan demikian, ketentuan tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi dan tinggal dijalankan sebagaimana adanya oleh hakim yang memeriksa perkara.

Dari sisi sifat, hukum acara perdata bersifat memaksa (dwingendrecht). Arti dari sifat tersebut bahwa proses dalam hukum acara perdata tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan,dan pihak-pihak yang berkepentingan harus tunduk dan menaatinya. sifat tersebut dipandang penting karena berfungsi dalam mempertahankan eksistensi hukum perdata materiil. Karena dalam pemeriksaan sudah ditentukan wajib hadir maka apapun ketentuan tersebut harus ditaati.

Dari aspek implementasi sidang, kewajiban prinsipal hadir dianggap penting karena merupakan decision maker yang dapat menentukan arah penyelesaian perkara. Hal  tersebut berkorelasi dengan kewajiban mendamaikan bagi hakim yang memeriksa perkara pada saat persidangan pertama. Dengan hadirnya prinsipal maka pihak dapat secara langsung menentukan untuk berdamai atau tidak tanpa melalui perantara. Kewajiban hadir secara langsung sebagaimana di atas juga diterapkan dalam proses mediasi perkara gugatan biasa yang para pihaknya diwajibkan hadir baik dengan atau tanpa didampingi kuasa hukum. Sebagai perbandingan, di negara Singapura melarang adanya kuasa hukum, negara bagian  California, Michigan, and Nebraska,  di Amerika Serika mewajibkan prinsipal untuk hadir sendiri.

Konsekwensi atas pandangan yang mewajibkan principal hadir dalam perkara yang pihaknya badan hukum, adalah jika hanya diwakili oleh pegawai yang ditunjuk dengan surat kuasa khusus maka perkara dinyatakan gugur apabila berposisi sebagai Penggugat. Jika pada posisi Tergugat setelah dipanggil lagi dan yang datang hanya perwakilan maka perkara diputus verstek. Jika prinsipal baik penggugat dan Tergugat hadir pada sidang pertama dan selanjutnya diwakili maka wakil tersebut dalam kapasitasnya tidak dapat mengikuti persidangan sebagai pihak missal mengajukan barang bukti atau saksi-saksi. Dan jika pada pembacaan putusan yang hadir adalah wakil maka pengadilan tetap berkewajiban melakukan pemberitahuan putusan.

Pihak Prinsipal Badan Hukum Dapat diwakili Pegawai.

Pandangan yang memperkenankan prinsipal badan hukum diwakili oleh pegawai didasarkan pada tiga hal yakni tujuan pengaturan, asas peraturan perudang-undangan dan juga dari aspek implementasi.  Berkaitan dengan tujuan pengaturan, bahwa dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana sebagaimana terakhir diubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019 adalah agar penyelesaian perkara gugatan dilakukan sesederhana mungkin. Kata sederhana disandingkan dengan kata proses bermakna tidak menyulitkan, tidak rumit dan memudahkan. Dengan demikian, tujuan dari diterbitkannya PERMA gugatan sederhana adalah untuk memudahkan  dalam penyelesaian suatu gugatan yang memenuhi kualifikasi. Kemudahan tersebut ditujukan bagi semua yang terlibat dalam proses yang meliputi Hakimnya, Penggugatnya maupun Tergugatnya.

Keberadaan Pasal 4 ayat (4) PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang  Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang mewajibkan kehadiran prinsipal badan hukum untuk hadir meskipun sudah ada wakil pegawai yang diberikan surat tugas institusi ditinjau dari pengaturan secara menyeluruh menyebabkan proses yang dilaksanakan menjadi tidak sederhana lagi dan tidak sinkron dengan aturan sebelumnya. Hal tersebut terjadi sebab Pasal 4 ayat (3) telah meringankan syarat yang awalnya para pihak wajib satu domisili menjadi boleh  tidak satu domisili dalam mengajukan gugatan bagi penggugat dengan catatan menunjuk kuasa hukum, kuasa insidentil atau wakil yang berada satu domisili dengan tergugat. Jika penunjukkan itu dimaknai hanya untuk mendaftar perkara dan guna memudahkan dalam melakukan panggilan sidang maka pengaturan yang demikian adalah pengaturan yang sia-sia dan tidak efektif sebab hal tersebut dapat dilakukan secara elektronik melalui system E-Court sebagaimana di atur dalam Pasal 6A. Oleh karena itu pelonggaran syarat dengan dapat menunjuk kuasa hukum, kuasa insidentil maupun wakil yang diberikan surat tugas institusi semestinya dimaknai juga dapat hadir menggantikan prinsipal di persidangan.

Untuk keberadaan kuasa hukum dalam persidangan dan kewajiban hadir bagi prinsipal sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 masih dapat dimaklumi. Karena hal itu juga dapat dicari perbandingannya dengan penerapan dibeberapa negara, akan tetapi untuk pegawai yang mendapat surat tugas dan tidak bisa menggantikan prinsipal adalah hal yang berbeda. Dalam aturan PERMA Nomor 4 tahun 2019 a quo memberikan klasifikasi bagi kuasa hukum, kuasa insidentil dan wakil yang notabenenya dalam perkara gugatan biasa ketiganya dapat menggantikan prinsipal. Meskipun ketiganya dapat berperan sebagai pengganti tetapi harus didudukkan bahwa ketiganya memiliki perbedaan yakni khusus untuk kuasa hukum dapat menggantikan karena diberikan kewenngan oleh Undang-Undang meskipun tidak memiliki kepentingan secara langsung dengan perkara yang disidangkan tetapi untuk wakil yang berupa pegawai badan hukum yang diberi surat tugas dan kuasa insidentil, mereka dapat menggantikan karena dianggap turut memiliki kepentingan atas perkara yang sedang disidangkan. Dengan dasar tersebut seharusnya untuk wakil dari badan hukum dapat menggantikan principal dalam persidangan.

Hal kedua yang menjadi landasan bagi wakil untuk menggantikan adalah dikembalikan kepada asas hukum lex superiori derogate legi inferiori yakni bahwa dalam aturan yang lebih tinggi yakni HIR/RBG dan RV menentukan bahwa dalam perkara gugatan dapat diwakili oleh orang lain. Dengan adanya orang yang menjadi wakil maka pihak prinsipal menjadi tidak wajib untuk menghadiri sendiri persidangan. Dengan adanya ketentuan tersebut maka aturan PERMA semestinya dikesampingkan yakni dengan tetap berpedoman pada peraturan yang lebih tinggi.  Terakhir dari sisi implementasi jika kehadiran principal wajib maka justru akan menyulitkan proses. Dalam suatu badan hukum, misal Perseroan Terbatas secara umum sebagaimana Undang-Undang PT yang menjadi prinsipal adalah Direktur Utama atau Direktur. Jika untuk perkara yang nominalnya maksimal 500 juta dan mewajibkan pucuk pimpinan hadir maka justru penyelesaian tersebut menjadi tidak efektif dan belum lagi akan terkendala jarak jika tidak berada dalam satu domisili. Tentu dalam perusahaan jika menghitung cost and benefit untuk pekerjaan level tinggi tersebut jika harus menghadiri persidangan dari awal hingga akhir dan bisa jadi untuk banyak perkara maka biayanya akan lebih mahal disbanding nominal yang diajukan untuk diselesaikan.

Konsekwensi atas pandangan yang menyatakan badan hokum dapat digantikan oleh wakil yang ditunjuk dengan surat kuasa khusus maka perkara tidak dinyatakan gugur apabila berposisi sebagai Penggugat. Jika pada posisi Tergugat maka langsung bisa dilanjutkan pembacaan gugatan dan proses persidangan setelahnya. Untuk putusan juga tidak lagi diperlukan pemberitahuan putusan karena dianggap hadir semua pihaknya.

Interpretasi mana yang Benar?

Soal dua pandangan tersebut, jika diajukan pertanyaan mana yang lebih benar? Maka keduanya adalah benar dan dapat dipakai keduanya tergantung bagaimana hakim yang memeriksa meyakininya. Hal demikian mengingat asas kemandirian bagi hakim dalam menangani perkara. Yang perlu dijadikan pertimbangan adalah kemandirian hakim secara individu juga terkait dengan kemandirian lembaga peradilan, khususnya pada putusan yang dijatuhkan. Keputusan memang dibuat oleh hakim yang memeriksa dan dibuat dengan kemandiriannya tetapi saat putusan dibacakan maka putusan berubah menjadi putusan lembaga bukan lagi milik individu. Oleh karena itu, ada baiknya untuk memilih salah satu diantara dua opsi di atas juga mempertimbangkan praktek yang berlaku di pengadilan tersebut. Hal ini untuk menghindari disparitas dalam memutuskan suatu perkara dan juga untuk menghindari kebingungan bagi pencari keadilan.

Selain persoalan memilih diantara dua opsi di atas, ada baiknya pengaturan tersebut dievaluasi dan dilakukan perbaikan. Pengaturan yang baik adalah pengaturan yang tidak menimbulkan multitafsir dan mudah untuk diimplementasikan. Ke depan apakah akan tetap mewajibkan kehadiran prinsipal atau boleh diwakili khususnya bagi pihak badan hokum harus diatur secara tegas dan tuntas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar