Diterbitkannya
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
merupakan perkembangan menarik dan penting dalam dalam penyelesaian perkara
gugatan di Indonesia. Gugatan dengan kualifikasi tertentu diselesaikan melalui
proses yang sederhanan dan dalam tempo yang singkat di banding dengan perkara
gugatan biasa. Dalam proses persidangan, tidak dapat diajukan tuntutan provisi,
eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik atau kesimpulan sebagaimana
dalam pemeriksaan gugata perkara biasa. Selain itu dari aspek prosedur,
terhadap gugatan sederhana hanya dapat diajukan upaya hukum keberatan yang
putusannya merupakan putusan akhir yang tidak dapat diajukan banding, kasasi
maupu peninjauan kembali. Dari sisi waktu penyelesaian perkara, pemeriksaan
gugatan hanya diberikan tenggang waktu 25 hari sejak hari sidang pertama dan untuk
pemeriksaan keberatan maksimal 7 hari sejak penetapan Majelis Hakim. Bandingkan
dengan pemeriksaan perkara biasa yang dalam kondisi normal berdasarkan SEMA
Nomor 2 Tahun 2014 diberikan waktu 5 bulan
untuk pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama dan 3 bulan untuk
pengadilan tingkat banding, dan faktanya masih terdapat juga perkara-perkara
yang diperiksa melebihi batas waktu rersebut.
Memperoleh
taggapan yang positif dari masyarakat, cakupan dari kualifikasi gugatan
sederhana diperluas melalui PERMA nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana. Dalam PERMA perubahan tersebut nilai gugatan
materiil yang awalnya maksimal dua ratus juta rupiah dinaikkan menjadi lima ratus
juta rupiah. Selain itu syarat gugatan yang mengatur bahwa antara Penggugat dan
Tergugat berdomisili di daerah hukum pengadilan yang sama dilonggarkan menjadi
ketentuan yang menyatakan dalam hal Penggugat berada di luar wilayah hukum
tempat tinggal atau domisili Tergugat, Penggugat dalam mengajukan gugatan
menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum
atau domisili tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat.
Adanya
perubahan pengaturan tersebut diharapkan mampu menarik antusiasme masyarakat
untuk menyelesaikan perkara melalui gugatan sederhana. Dampak positif dari
penyelesaian melalui pemeriksaan gugatan sederhana bagi Mahkamah Agung akan
mengurangi penumpukkan perkara yang selama ini menjadi masalah pelik. Bagi
masyarakat akan lebih terasa pelaksanaan atas asas persidangan secara
sederhana, cepat dan berbiaya ringan selain tentunya segera memperoleh
kepastian hukum dengan cepatnya putusan berkekuatan hukum tetap. Bagi Negara PERMA
a quo sudah sesuai Raison d’etre penerbitannya yakni guna
merespon tuntutan zaman khususnya di bidang ekonomi. Dengan adanya pemberlakuan
kawasan perdagangan bebas ASEAN atau AFTA pada tahun 2015 maka kegiatan
perekonomian di negeri ini diharapkan akan semakin meningkat. Selain
peningkatan ekonomi, ekses yang harus siap dihadapi dengan kondisi tersebut
adalah banyaknya sengketa yang timbul dalam bidang tersebut. Dengan mekanisme
penyelesaian yang sederhana maka pengadilan akan ikut berperan serta dalam
pengembangan perekonomian negara.
Terlepas
dari semua manfaat yang sudah diperoleh dan diharapkan akan diperoleh, dari
Pengaturan pada PERMA nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 2 Tahun
2015 tentang Tata Cara Penyelesaian
Gugatan Sederhana, terdapat pengaturan baru yang sifatnya multi tafsir yang sangat
berpengaruh terhadap penerapannya. Ketentuan tersebut adalah Pasal 4 ayat (4)
yang berbunyi Penggugat dan Tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap
persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa, kuasa insidentil atau
wakil dengan surat tugas dari institusi Penggugat. Khusus untuk pihak
berperkara berupa badan hukum, apakah aturan tersebut secara tegas mengharuskan
kehadiran pihak prinsipal atau bisa diwakili oleh pekerjana yang mendapatkan
surat tugas institusi. Atas aturan tersebut ada beberapa pandangan yang
diterapkan oleh hakim dan juga praktek beberapa pengadilan yang mengharuskan
kedatangan pihak prinsipal dan sebalikan juga terdapat pandangan hakim dan
beberapa praktek pengadilan yang tetap melanjutkan pemeriksaan meskipun pihak berupa
badan hukum diwakili oleh pegawainya. Dasar-dasar untuk menolak maupun menerima
akan diuraikan lebih lanjut di bawah.
Prinsipal Badan Hukum Wajib Hadir.
Pandangan
yang mewajibkan pihak principal baik individu maupun badan hukum untuk hadir
dalam setiap persidangan yang akan dilaksanakan mendasarkan pada beberapa hal
yakni bunyi pengaturan, sifat hukum acara perdata dan aspek implementasi saat
persidangan. Dari sisi bunyi aturan, kata “wajib” dalam pengaturan Pasal 4 ayat
(4) PERMA nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 2 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana adalah ketentuan yang sudah jelas dan terang tanpa perlu ditafsirkan
kembali. Dengan demikian, ketentuan tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi dan
tinggal dijalankan sebagaimana adanya oleh hakim yang memeriksa perkara.
Dari
sisi sifat, hukum acara perdata bersifat memaksa (dwingendrecht). Arti
dari sifat tersebut bahwa proses dalam hukum acara perdata tidak dapat
dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan,dan pihak-pihak yang
berkepentingan harus tunduk dan menaatinya. sifat tersebut dipandang penting
karena berfungsi dalam mempertahankan eksistensi hukum perdata materiil. Karena
dalam pemeriksaan sudah ditentukan wajib hadir maka apapun ketentuan tersebut
harus ditaati.
Dari
aspek implementasi sidang, kewajiban prinsipal hadir dianggap penting karena
merupakan decision maker yang dapat
menentukan arah penyelesaian perkara. Hal tersebut berkorelasi dengan kewajiban
mendamaikan bagi hakim yang memeriksa perkara pada saat persidangan pertama. Dengan
hadirnya prinsipal maka pihak dapat secara langsung menentukan untuk berdamai
atau tidak tanpa melalui perantara. Kewajiban hadir secara langsung sebagaimana
di atas juga diterapkan dalam proses mediasi perkara gugatan biasa yang para
pihaknya diwajibkan hadir baik dengan atau tanpa didampingi kuasa hukum. Sebagai
perbandingan, di negara Singapura melarang adanya kuasa hukum, negara bagian
California, Michigan, and Nebraska, di Amerika Serika mewajibkan
prinsipal untuk hadir sendiri.
Konsekwensi
atas pandangan yang mewajibkan principal hadir dalam perkara yang pihaknya
badan hukum, adalah jika hanya diwakili oleh pegawai yang ditunjuk dengan surat
kuasa khusus maka perkara dinyatakan gugur apabila berposisi sebagai Penggugat.
Jika pada posisi Tergugat setelah dipanggil lagi dan yang datang hanya
perwakilan maka perkara diputus verstek. Jika prinsipal baik penggugat dan
Tergugat hadir pada sidang pertama dan selanjutnya diwakili maka wakil tersebut
dalam kapasitasnya tidak dapat mengikuti persidangan sebagai pihak missal
mengajukan barang bukti atau saksi-saksi. Dan jika pada pembacaan putusan yang
hadir adalah wakil maka pengadilan tetap berkewajiban melakukan pemberitahuan
putusan.
Pihak Prinsipal Badan Hukum Dapat
diwakili Pegawai.
Pandangan
yang memperkenankan prinsipal badan hukum diwakili oleh pegawai didasarkan pada
tiga hal yakni tujuan pengaturan, asas peraturan perudang-undangan dan juga
dari aspek implementasi. Berkaitan
dengan tujuan pengaturan, bahwa dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan
Sederhana sebagaimana terakhir diubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019 adalah
agar penyelesaian perkara gugatan dilakukan sesederhana mungkin. Kata sederhana
disandingkan dengan kata proses bermakna tidak menyulitkan, tidak rumit dan
memudahkan. Dengan demikian, tujuan dari diterbitkannya PERMA gugatan sederhana
adalah untuk memudahkan dalam
penyelesaian suatu gugatan yang memenuhi kualifikasi. Kemudahan tersebut
ditujukan bagi semua yang terlibat dalam proses yang meliputi Hakimnya,
Penggugatnya maupun Tergugatnya.
Keberadaan
Pasal 4 ayat (4) PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PERMA Nomor 2
Tahun 2015 tentang Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana yang mewajibkan kehadiran prinsipal badan hukum
untuk hadir meskipun sudah ada wakil pegawai yang diberikan surat tugas
institusi ditinjau dari pengaturan secara menyeluruh menyebabkan proses yang
dilaksanakan menjadi tidak sederhana lagi dan tidak sinkron dengan aturan
sebelumnya. Hal tersebut terjadi sebab Pasal 4 ayat (3) telah meringankan
syarat yang awalnya para pihak wajib satu domisili menjadi boleh tidak satu domisili dalam mengajukan gugatan bagi
penggugat dengan catatan menunjuk kuasa hukum, kuasa insidentil atau wakil yang
berada satu domisili dengan tergugat. Jika penunjukkan itu dimaknai hanya untuk
mendaftar perkara dan guna memudahkan dalam melakukan panggilan sidang maka
pengaturan yang demikian adalah pengaturan yang sia-sia dan tidak efektif sebab
hal tersebut dapat dilakukan secara elektronik melalui system E-Court
sebagaimana di atur dalam Pasal 6A. Oleh karena itu pelonggaran syarat dengan
dapat menunjuk kuasa hukum, kuasa insidentil maupun wakil yang diberikan surat
tugas institusi semestinya dimaknai juga dapat hadir menggantikan prinsipal di
persidangan.
Untuk
keberadaan kuasa hukum dalam persidangan dan kewajiban hadir bagi prinsipal
sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 masih dapat dimaklumi. Karena
hal itu juga dapat dicari perbandingannya dengan penerapan dibeberapa negara,
akan tetapi untuk pegawai yang mendapat surat tugas dan tidak bisa menggantikan
prinsipal adalah hal yang berbeda. Dalam aturan PERMA Nomor 4 tahun 2019 a quo memberikan klasifikasi bagi kuasa
hukum, kuasa insidentil dan wakil yang notabenenya dalam perkara gugatan biasa
ketiganya dapat menggantikan prinsipal. Meskipun ketiganya dapat berperan
sebagai pengganti tetapi harus didudukkan bahwa ketiganya memiliki perbedaan
yakni khusus untuk kuasa hukum dapat menggantikan karena diberikan kewenngan
oleh Undang-Undang meskipun tidak memiliki kepentingan secara langsung dengan
perkara yang disidangkan tetapi untuk wakil yang berupa pegawai badan hukum yang
diberi surat tugas dan kuasa insidentil, mereka dapat menggantikan karena
dianggap turut memiliki kepentingan atas perkara yang sedang disidangkan.
Dengan dasar tersebut seharusnya untuk wakil dari badan hukum dapat
menggantikan principal dalam persidangan.
Hal
kedua yang menjadi landasan bagi wakil untuk menggantikan adalah dikembalikan
kepada asas hukum lex superiori derogate
legi inferiori yakni bahwa dalam aturan yang lebih tinggi yakni HIR/RBG dan
RV menentukan bahwa dalam perkara gugatan dapat diwakili oleh orang lain. Dengan
adanya orang yang menjadi wakil maka pihak prinsipal menjadi tidak wajib untuk
menghadiri sendiri persidangan. Dengan adanya ketentuan tersebut maka aturan
PERMA semestinya dikesampingkan yakni dengan tetap berpedoman pada peraturan
yang lebih tinggi. Terakhir dari sisi
implementasi jika kehadiran principal wajib maka justru akan menyulitkan proses.
Dalam suatu badan hukum, misal Perseroan Terbatas secara umum sebagaimana
Undang-Undang PT yang menjadi prinsipal adalah Direktur Utama atau Direktur.
Jika untuk perkara yang nominalnya maksimal 500 juta dan mewajibkan pucuk
pimpinan hadir maka justru penyelesaian tersebut menjadi tidak efektif dan
belum lagi akan terkendala jarak jika tidak berada dalam satu domisili. Tentu
dalam perusahaan jika menghitung cost and
benefit untuk pekerjaan level tinggi tersebut jika harus menghadiri
persidangan dari awal hingga akhir dan bisa jadi untuk banyak perkara maka
biayanya akan lebih mahal disbanding nominal yang diajukan untuk diselesaikan.
Konsekwensi
atas pandangan yang menyatakan badan hokum dapat digantikan oleh wakil yang ditunjuk
dengan surat kuasa khusus maka perkara tidak dinyatakan gugur apabila berposisi
sebagai Penggugat. Jika pada posisi Tergugat maka langsung bisa dilanjutkan
pembacaan gugatan dan proses persidangan setelahnya. Untuk putusan juga tidak
lagi diperlukan pemberitahuan putusan karena dianggap hadir semua pihaknya.
Interpretasi mana yang
Benar?
Soal
dua pandangan tersebut, jika diajukan pertanyaan mana yang lebih benar? Maka
keduanya adalah benar dan dapat dipakai keduanya tergantung bagaimana hakim
yang memeriksa meyakininya. Hal demikian mengingat asas kemandirian bagi hakim
dalam menangani perkara. Yang perlu dijadikan pertimbangan adalah kemandirian
hakim secara individu juga terkait dengan kemandirian lembaga peradilan,
khususnya pada putusan yang dijatuhkan. Keputusan memang dibuat oleh hakim yang
memeriksa dan dibuat dengan kemandiriannya tetapi saat putusan dibacakan maka
putusan berubah menjadi putusan lembaga bukan lagi milik individu. Oleh karena
itu, ada baiknya untuk memilih salah satu diantara dua opsi di atas juga mempertimbangkan
praktek yang berlaku di pengadilan tersebut. Hal ini untuk menghindari
disparitas dalam memutuskan suatu perkara dan juga untuk menghindari
kebingungan bagi pencari keadilan.
Selain
persoalan memilih diantara dua opsi di atas, ada baiknya pengaturan tersebut
dievaluasi dan dilakukan perbaikan. Pengaturan yang baik adalah pengaturan yang
tidak menimbulkan multitafsir dan mudah untuk diimplementasikan. Ke depan
apakah akan tetap mewajibkan kehadiran prinsipal atau boleh diwakili khususnya
bagi pihak badan hokum harus diatur secara tegas dan tuntas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar