Dian Agung Wicaksono** dan Mochamad Adib Zain***
Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Justicia Nomor 1 Bulaksumur, Sleman, D.I.
Yogyakarta 55281
Perkembangan demokrasi di
Indonesia mengalami antinomi dari semangat awal demokratisasi pasca runtuhnya
rezim Orde Baru. Demokratisasi di Indonesia mengalami peningkatan yang luar
biasa sebagai perwujudan euforia kedaulatan rakyat yang mulai dilembagakan oleh
negara melalui berbagai jenis pengejawantahan suara rakyat. Salah satu bentuk
pelembagaan proses demokratisasi adalah melalui pelaksanaan pemilihan umum
(Pemilu) yang digunakan secara alat untuk mengisi jabatan politik di cabang
kekuasaan eksekutif maupun legislatif, ataupun mengisi kepemimpinan di level
nasional maupun daerah.
Pada perkembangan kekinian
muncul berbagai fenomena yang menarik dalam pelaksanaan Pemilu sebagai ajang
yang digadang-gadang mampu merepresentasikan suara rakyat. Fenomena kecurangan
dalam Pemilu, seperti politik uang, rendahnya derajat partisipasi rakyat, semakin
tidak representatifnya wakil rakyat, indikasi oligarki partai politik, serta
politik dinasti, merupakan fenomena-fenomena yang menunjukkan upaya
institusionalisasi demokratisasi yang tidak disertai dengan pendewasaan politik
untuk mewujudkan demokrasi yang bersih, etis, santun, dan berwibawa.
Di antara berbagai fenomena
tersebut, politik dinasti merupakan fenomena yang relatif menarik untuk dikaji
lebih lanjut mengingat fenomena tersebut seolah mendapatkan pembolehan untuk
eksis ada di dalam kultur demokrasi di Indonesia. Kecenderungan menguatnya
politik dinasti semakin mendapatkan tempat di tengah kultur kehidupan
masyarakat Indonesia yang memegang paham feodalistik-paternalistik. Indonesia
sedang mengorientasikan demokrasi, tetapi mentalitas feodal masih menjadi
infrastruktur utama kepemimpinan politik, yang mana relasi patronasi politik
dalam kultur hierarkis-feodalistik itu menghasilkan input palsu dalam pengambilan keputusan kepemimpinan.[1]
Contoh faktual kehidupan patronasi terlihat dari kehidupan petani di pedesaan
Indonesia. Kesenjangan dalam pemilikan tanah yang terjadi di desa-desa di Jawa
dapat memperkuat ikatan patron-klien, yang mana klien (buruh tani) makin tergantung
pada hubungan kerja, sehingga pada masyarakat tani desa, akses partai-partai
kepada kaum tani kebanyakan terjadi melalui jalur-jalur patronasi, kekerabatan
dan kepatuhan tradisional.[2]
Pembolehan atas eksistensi
politik dinasti dinilai mendapatkan dukungan secara yuridis dari berbagai norma
yang menjamin kesamaan di hadapan hukum dan pemerintahan,[3]
serta jaminan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.[4]
Selain itu, tidak ada satu pengaturan yang membatasi politik dinasti diterapkan
di Indonesia. Namun demikian, menjadi suatu pertanyaan reflektif, apakah betul
bila memang tidak dibatasi secara yuridis, secara etis dapat diterima sebagai
sebuah kelaziman? Setidaknya tulisan ini berusaha menjawab diskursus wacana
politik dinasti bukan semata dari sudut pandang hukum yang legisme, namun lebih
jauh dari aspek kepatutan dan komparasi penerapan politik dinasti di
negara-negara lain. Setidaknya sebuah preposisi dapat diajukan bahwa kualitas
demokrasi yang tercermin dari praktik politik dinasti merupakan refleksi
minimalisnya implementasi cita negara hukum yang demokratis, khusus bagi
Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara demokrasi
konstitusional.[5]
Memaknai Politik Dinasti
Politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public
goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals).[6]
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum
(public policies) serta
pengimplementasiannya yang pelaksananya dilekati dengan kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang dipakai untuk membina
kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dari proses ini.[7]
Dalam politik, yang menjadi inti adalah kekuasaan, bahwa politik dimaknai
sebagai semua kegiatan yang menyangkut masalah merebutkan dan mempertahankan
kekuasaan.[8]
Dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan, manusia seringkali melakukan apapun
untuk mencapai kepentingan tersebut. Hal tersebut logis dikarenakan kekuasaan
membuat orang lain atau kelompok bertingkah laku sesuai yang diinginkan oleh
pemegang kekuasaan, termasuk dalam pengertian negatif, yakni perbuatan yang menguntungkan
pemegang kekuasaan tersebut.
Salah satu upaya dalam
mempertahankan kekuasaan adalah dengan membentuk politik dinasti. Dalam model
politik dinasti yang menjadi penentu kekuasaan adalah sistem kekerabatan.
Politik dinasti terjadi ketika seseorang yang mempunyai hubungan darah atau
semenda dalam garis vertikal maupun horizontal sampai derajat tertentu dengan
seorang incumbent memiliki kaitan
dengan jabatan yang sejenis atau setingkat secara bersama-sama atau segera
setelah kepemimpinannya berakhir.[9]
Batasan pengertian tersebut adalah sesuai dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) yang sedang dibahas oleh parlemen.
Secara lebih luas politik
dinasti juga mengandaikan dominasi politik yang didominasi oleh “trah” atau
keluarga tertentu. Hal tersebut banyak terjadi di berbagai negara, tak mengenal
batas kultur, sistem dan wilayah politik.[10]
Di Amerika, terdapat dinasti politik keluarga Bush, Kennedy, atau Clinton. Di India
terdapat keluarga Gandhi. Di Filipina terdapat keluarga Arroyo dan Aquino.
Begitu pula di Indonesia terdapat dinasti Soekarno, Soeharto, atau Gus Dur.
Pada intinya politik dinasti mengarah pada suatu proses regenerasi kekuasaan
bagi kepentingan golongan tertentu yang bertujuan untuk mendapatkan atau
mempertahankan kekuasaan berdasarkan hubungan darah atau kekerabatan.[11]
Politik dinasti merupakan kecenderungan yang alami dengan mendorong sanak
keluarga elit-elit incumbent untuk
mendominasi kekuasaan secara bersama-sama maupun yang telah diwariskan oleh
pendahulu mereka.
Politik dinasti adalah salah
model kuno yang diterapkan dalam sistem bernegara. Hal tersebut didasari dari sudut
pandang sumber kepemimpinan tersebut diperoleh. Kepemimpinan dapat dipandang sebagai
pembawaan (trait theory), leaders are born atau kepemimpinan
sebagai proses, leaders are made.[12]
Dalam teori pembawaan tak lepas dari klaim darah biru yang relevan dalam “model
kepemimpinan dinasti”, yaitu bahwa pemimpin adalah urusan kepemimpinan, bukan
hak sembarang orang.[13]
Suksesi atas suatu jabatan selalu dikaitkan dengan faktor legitimasi keturunan.
Menurut AAGN Ari Dwipayana, politik dinasti atau politik kekerabatan yang
terjadi saat ini merupakan gejala neopatrimonalistik, benihnya sudah lama
berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan
regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system dalam menimbang prestasi.[14]
Disebut neopatrimonalistik sebab terdapat patrimonial lama, tetapi menggunakan
strategi baru, yaitu suksesi jabatan yang tidak lagi dengan penunjukan
keturunan melainkan melalui jalur politik prosedural.[15]
Politik dinasti berkaitan erat
dengan budaya patronase atau patron-client
relationship. Model hubungan tersebut oleh James Scott didefinisikan
sebagai:
[…] as a special case of dyadic (two-person) ties
involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher
socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide
protection or benefits, or both, for a person of lower status (client) who, for
his part, reciprocates by offering general support and assistance, including
personal services, to the patron.[16]
Dalam definisi yang diberikan
oleh Scott tersebut kaitannya dengan politik dinasti adalah bahwa cara untuk
memperoleh suatu jabatan publik tidak dapat dipungkiri menggunakan popularitas
dan jaringan dari kerabat yang lebih dulu memiliki jabatan.
Berkenaan dengan eksistensi
dari politik dinasti, secara teoritis masih diperdebatkan apakah dibenarkan
atau tidak. Dalam sistem pemerintahan monarki, politik dinasti tidak
dipermasalahkan karena memang bawaan alamiah dari sistem monarki (built-in). Pergantian jabatan melalui
pewarisan yang didasarkan keturunan diterima secara wajar dalam sistem monarki.
Namun, dalam konteks sistem republik demokratis, politik dinasti menjadi
dilematis. Pada satu sisi konsep meritokrasi yang diterapkan memberikan legitimasi
bahwa setiap suara mayoritas pemilih menjadi alas keabsahan dalam menduduki jabatan
tertentu, akan tetapi di sisi yang lain dengan adanya politik dinasti, maka kekuasaan
hanya akan berputar pada satu golongan, sehingga menghilangkan peluang warga
negara yang lain untuk masuk dalam pemerintahan. Bilamana para kandidat mengajukan
diri dengan anasir politik dinasti memang memenuhi kapasitas untuk menjabat, maka
harus dibuka peluang baginya. Namun, persoalannya bila proses pengisian jabatan
dikarenakan pengaruh politik dinasti tanpa kompetensi, maka hal tersebut memungkinkan
lahirnya kolusi dan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Tren Politik
Dinasti pada Negara Demokrasi Baru
When a person holds more power, it becomes more likely that this person
will start, or continue, a political dynasty,[17]
adalah deskripsi yang tepat yang diberikan oleh Ernesto dal Bo dalam kesimpulan
akhir penelitiannya tentang politik dinasti. Bahwa ketika seseorang mulai
memegang kekuasaan, maka akan menjadi naluri alamiahnya untuk berusaha
melanjutkan dan mempertahankan kekuasaan tersebut. Inilah yang menjadi penyebab
utama timbulnya politik dinasti. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa politik
dinasti tidak mengenal batas kultur, sistem dan wilayah politik, sehingga dapat
terjadi di negara manapun, tidak mengenal dikotomi negara maju atau negara
berkembang dapat terjadi politik dinasti. Hal tersebut sifat naluriah yang
melekat pada manusia. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Ernesto dal Bo
mengenai politik dinasti pada negara demokrasi maju sekalipun, seperti Amerika
Serikat, yaitu:
Political dynasties have long been present in
democracies, raising concerns that this inequality in the distribution of
political power may reflect imperfections in democratic representation.
However, the persistence of political elites may simply reflect differences in
ability or political vocation across families and not their entrenchment in
power. We show that political dynasties in the Congress of the United States do
not merely reflect permanent differences in family characteristics.[18]
Dalam catatan Xiaoxiong Yi,
fenomena politik dinasti juga menjangkiti negara-negara maju dan berkembang di
seluruh kawasan Asia, seperti kawasan Asia Selatan (Pakistan, Sri Lanka,
Bangladesh, dan India), kawasan Asia Tengah (Azerbaijan dan Turkmenistan), Asia
Timur (Korea Utara, Jepang, dan Cina), serta tak luput Asia Tenggara, seperti Singapura,
Filipina, dan Indonesia.[19]
Dalam deretan nama negara tersebut didapati nama keluarga Bhuto, Nehru-Gandhi,
Lee kwan Yeew, Shintaro Abe, Arroyo, Kim Jong ill dan lain-lainnya. Lebih lanjut
Xiaoxiong Yi menyatakan:
Dynastic politics has a rich heritage in Asia. For
generations, political dynasties have dominated politics and governance in
Asia. Such dominance, however, has grown more pervasive in recent years. In a
political landscape populated by family names like Abe and Fukuda, Kim and
Park, Lee and Xi, and Gandhi and Bhutto, the prominence of so many dynastic
elites makes it seem like Asian politics is largely a family business. Children
of the dynasties have developed a sense of entitlement regarding their
political power and positions while ordinary citizens accept the arrangement as
inevitable. Apart from contributing to corruption, the dominance of dynasties
may well prevent the flowering of wider political participation and empowerment
of people.[20]
Ronald U. Mendoza berkesimpulan
bahwa keberadaan politik dinasti di negara demokrasi berkisar antara 6% di
Amerika Serikat sampai dengan 40% di Filipina dan Mexico. Hal tersebut
dikarenakan:
In varying degrees, political dynasties can exist in
any democracy regardless of its structure, history, or the level of economic
development of the country. Legislators and parliamentarians with dynastic
links range from 6% in the United States to as high as 37–40% in the
Philippines and Mexico. In the case of the Philippines, if we also consider
familial links to local government units, the figure reaches an amazing 70%.
Roughly 80% of the youngest legislators in the Philippines also hail from
dynastic political families.[21]
Dalam penelitian tersebut,
bahkan di Filipina pada level pemerintah daerah tercatat 70 sampai 80% adalah
berasal dari keluarga politik dinasti. Namun justru menarik, karena dalam
konstitusi Filipina secara tegas melarang adanya politik dinasti dengan rumusan
norma, “The State shall guarantee equal
access to opportunities for public service and prohibit political dynasties as
may be defined by law.”[22]
Dalam pengaturan tersebut telah jelas bahwa semua orang dijamin haknya untuk
kesamaan akses dan kesempatan untuk pelayanan publik dan melarang politik
dinasti, justru yang terjadi adalah sebaliknya, di Filipina politik dinasti
begitu dominan terjadi dalam praktik ketatanegaraan Filipina.
Politik
Dinasti di Indonesia: Kebolehan dalam Ketidakpatutan
Politik dinasti saat ini mulai
marak dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Pilkada mulai ditemukan banyak
indikasi ini. Suami atau isteri mencalonkan diri untuk menggantikan jabatan
pasangannya, atau salah satu anggota keluarganya menjadi calon dan kemudian
menjabat pada daerah yang berdekatan atau dalam satu provinsi, baik bersamaan
atau berurutan. Selain Pilkada, politik dinasti juga terjadi pada level
nasional misalnya hubungan perkawinan di antara anggota parlemen, dan bahkan
pada level antar cabang kekuasaan negara, seperti hubungan perkawinan antara
seorang menteri dan anggota parlemen. Tentu saja hal ini mereduksi fungsi dari
masing-masing cabang kekuasaan negara, misalnya bagaimana mungkin seorang
anggota parlemen mampu mengawasi kinerja eksekutif secara fair, bilamana keduanya terikat dalam hubungan perkawinan.
Selain berkaca pada praktik
tersebut, dinamika partai politik saat ini juga turut mempengaruhi fenomena
politik dinasti di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri partai politik memiliki
porsi yang sangat besar untuk memajukan demokrasi di suatu negara. demokrasi.
Kehadiran partai politik merupakan keniscayaan dalam rangka memainkan fungsi
representasi ketika partai politik masuk kompetisi dalam pemilu.[23]
Menurut Miriam Budiardjo, partai politik memiliki empat fungsi, yakni sebagai sarana
komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan
sebagai sarana pengatur konflik.[24]
Mempertimbangkan fungsi yang sangat penting tersebut, namun sayang partai-partai
besar di Indonesia juga didominasi oleh keluarga tertentu. Partai Demokrat,
PDIP, PAN, dan PKB tidak bisa dipungkiri adalah partai-partai yang merupakan
dinasti politik yang terbangun dari hubungan kekerabatan dan kekeluargaan tertentu.
Politik dinasti dapat tumbuh
subur karena beberapa faktor. Dari sisi internal dalam suatu trah politik tertentu,
politik dinasti dapat terjadi karena
ada kondisi: (1) Politik dinasti terjadi karena berbagai keluarga memiliki
karakteristik tertentu, seperti ambisi dan ketajaman berpolitik, sehingga
memberikan keuntungan yang terus menerus dalam arena perpolitikan; atau (2)
Politik dinasti terjadi karena kekuasaan politik dan pengaruh dapat
diakumulasikan dan diwariskan kepada keluarga anggota.[25]
Dengan asumsi demikian, maka politik dinasti dapat diukur dengan indikator yang
disebut post-relatives dan pre-relatives.[26]
Post-relative adalah indikator yang
dibuat untuk menunjukkan pejabat yang menduduki jabatannya ketika incumbent (dari anggota keluarganya)
telah lengser atau masih dalam jabatannya, sedangkan pre-relatives adalah indikator yang dibuat untuk menunjukkan
pejabat yang memiliki kerabat, yang akan masuk dalam jabatan tertentu ketika pejabat
tersebut masih menjabat atau setelah selesai jabatannya.[27]
Secara eksternal, faktor yang
menyebabkan suburnya politik dinasti di Indonesia adalah minimnya kesadaran
berpolitik masyarakat, tingginya budaya patronase sebagai hasil dari sistem
feodalisme, kegagalan partai dalam melakukan kaderisasi, dan ketiadaan aturan
yang membatasi. Pertama, tingkat
pendidikan yang rendah dan tingkat kemiskinan yang masih besar mengakibatkan
sebagian besar masyarakat Indonesia hanya disibukkan untuk mencukupi basic need, sehingga masyarakat tidak
memiliki perhatian pada pemilihan umum sebagai bentuk demokratisasi, perwujudan
hak-hak rakyat dan perwujudan partisipasi rakyat dalam politik untuk melakukan
pendidikan dan pembangunan politik tidak akan pernah tercapai dengan baik.[28]
Masyarakat relatif tidak peduli terkait siapa dan bagaimana pemimpinnya
terpilih, karena yang menjadi pusat perhatian adalah bagaimana kebutuhan
kehidupannya dapat terpenuhi. Dengan minimnya kepedulian tersebut, kontrol
masyarakat terhadap jalannya pemerintahan tidak berjalan secara optimal. Begitu
juga soal kompetensi calon pemimpin, bukanlah pertimbangan utama dalam memilih.
Hal yang demikian dimanfaatkan oleh elit politik untuk semakin membesarkan dan
mempertahankan kekuasaannya. Seharusnya mekanisme demokrasi yang berjalan
dengan baik dapat mencegah dan menghentikan keberadaan pejabat-pejabat yang
korup dan menyalahgunakan kewenangan.
Kedua, faktor ketiadaan
sikap kritis dan kontrol masyarakat tersebut diperburuk dengan budaya
masyarakat patronase sebagai hasil dari sistem feodalisme. Dari sisi ini,
budaya masyarakat yang mengagungkan ketokohan figur masih melekat pada sebagian
besar persepsi masyarakat. Tradisi masa kekuasaan kerajaan yang diteruskan pada
zaman kolonial telah melahirkan perspektif yang menganggap jabatan sebagai
suatu yang taken and granted kepada sekelompok
orang terpilih menyebabkan lemahnya sikap kritis di masyarakat. Budaya
feodalisme tersebut menghasilkan hubungan patron
and client, yang mana pemegang
kekuasaan sebagai patron, sedangkan rakyat sebagai klien. Sebagai klien, rakyat
bersikap taklid terhadap apapun yang
diinginkan patron-nya. Budaya patron-klien ini melahirkan skeptisisme
masyarakat terkait kualitas, kapasitas, kompetensi, dan integritas pemimpin
yang akan menduduki suatu jabatan tertentu.
Ketiga, faktor selanjutnya
yang mendorong tumbuh suburnya politik dinasti adalah kegagalan partai politik
dalam melakukan kaderisasi. Dalam hubungannya dengan pemerintahan, partai
politik mempunyai tugas untuk melakukan kaderisasi, sehingga tercipta sirkulasi
dan distribusi kepemimpinan. Partai politik harus melakukan upaya maksimal
untuk mempersiapkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin yang memiliki kompetensi
untuk menyelenggarakan pemerintahan. Celakanya, saat ini partai politik malah
mendorong ke arah politik dinasti. Dengan dalih untuk meraih kemenangan dalam
pengisian suatu jabatan publik, partai politik lebih memprioritaskan kandidat
yang sudah memiliki hubungan kekerabatan dengan incumbent yang dianggap cemerlang. Partai politik sejatinya
merupakan pilar utama demokrasi sebab eksistensinya merupakan pengejawantahan kehendak
rakyat yang memiliki cita-cita yang sama dan bertujuan untuk terlibat dalam
pengambilan kebijakan negara serta mengisi posisi-posisi politik dalam setiap
tingkatan pemerintahan. Kegagalan institusionalisasi dan fungsionalisasi partai
politik mengancam kualitas dari demokrasi yang dihasilkan.
Keempat, selain
faktor-faktor eksternal yang bersifat sosiologis di atas, yang tidak kalah
penting adalah ketiadaan aturan yang membatasi penerapan politik dinasti.
Dengan kata lain, dalam konteks hukum positif Indonesia, tidak satupun norma
hukum yang melarang adanya politik dinasti. Memang politik dinasti tidak dapat
dipersamakan dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Namun, politik dinasti
membuka peluang untuk terjadinya hal-hal tersebut. Selain itu, politik dinasti
juga merupakan degradasi kualitas demokrasi di Indonesia. Menjadi pertanyaan
reflektif kemudian, apakah politik dinasti patut untuk dilaksanakan di
Indonesia, walaupun di sisi lain juga tidak terdapat peraturan yang melarang
pelaksanaannya. Politik dinasti dikhawatirkan akan membawa dampak buruk terhadap
keberlangsungan demokrasi di Indonesia, sebab seringkali dilakukan dengan
cara-cara yang melanggar etika dan moral dalam demokrasi.
Politik dinasti seringkali
mengkonsolidasikan kekuatan melalui merger,
dengan berhutang pada entitas politik dinasti yang lebih kuat. Menggabungkan
diri dan menyelaraskan dengan dinasti politik yang lebih besar memungkinkan
dinasti politik yang lebih kecil untuk memanfaatkan sumber daya yang besar
untuk memperluas pengaruh dan kekuatan politik mereka. Politik dinasti juga
menggunakan aliansi strategis untuk keuntungan sendiri dan untuk mengalahkan kompetitor
di pentas politik. Merger politik ini terbukti sangat berguna untuk
menumbangkan lawan politiknya.[29]
Bagi masyarakat pada umumnya,
penumpukan kekuasaan melalui politik dinasti juga membawa kerugian pada kehidupan
sosial ekonomi. Kerugian tersebut disebabkan kurangnya persaingan politik
akibat adanya politik dinasti, yaitu:[30] Pertama, mencegah masyarakat untuk mengkomunikasikan kebutuhannya
kepada pemerintah, sehingga menjadikan kebijakan pemerintah tidak tepat dalam menanggulangi
masalah sosial ekonomi. Tidak terwadahinya aspirasi ini menyebabkan
penanggulangan kemiskinan dan distribusi pendapatan menjadi salah sasaran, memperburuk
kesenjangan sosial dan akhirnya mengancam pemerintah dalam menyediakan
kebutuhan publik yang paling dibutuhkan. Kedua,
lembaga-lembaga demokratis dapat lebih dikompromikan jika para pejabat dinasti
politik menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri. Akhirnya dinasti
bisa membelokkan pemilihan pemimpin politik hanya untuk mendukung kelompok
mereka sendiri dan mencegah dari mereka yang memiliki kecerdasan politik untuk
tampil sebagai pemimpin yang lebih melayani masyarakat. Dengan dua hal
demikian, pada gilirannya kebijakan tidak dapat terlaksana secara optimal dan
pada akhirnya pembangunan sosial ekonomi menjadi lemah.[31]
Mempertimbangkan politik
dinasti yang membawa dampak sedemikian rupa, maka sudah seharusnya dilakukan
pembatasan agar tidak mencederai demokrasi dan negara hukum. Indonesia yang
secara khitah dalam konstitusi adalah
negara hukum, pernah mengalami pengalaman pahit masa lalu dengan politik
dinasti yang mendistribusikan kekuasaan hanya pada keluarga tertentu dan
kroni-kroninya. Pilihan Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan adalah
tepat, mengacu pada akar historisnya konsepsi negara hukum yang timbul sebagai
reaksi akibat kesewenang-wenangan di masa lampau.[32]
Ketika suatu pemerintahan bergantung pada individu atau kelompok tertentu, maka
sangat rawan untuk disalahgunakan, sebagaimana pernyataan Lord Acton yang
menyatakan, “power tends to corrupt,
absolute power corrupt absolutely”.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Alfian, M. Alfan, 2009, Menjadi
Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Budiardjo, Miriam, 2003, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fadjar, Abdul Mukthie, 2010, Konstitusionalisme
Demokrasi, In-Trans Publishing, Malang.
Hidajat, Imam, 2009, Teori-Teori
Politik, Setara Press, Malang.
Huda, Ni’matul, 2005, Negara
Hukum, Demokrasi dan Judicial Preview, UII Press, Yogyakarta.
Pasan, Etha, 2013, Politik
Dinasti dalam Pemilihan Presiden di Filipina di Tahun 2001-2011, Tesis
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Scott, James C., 1993, Perlawanan
Kaum Tani, Obor Indonesia, Jakarta.
Jurnal
Bo, Ernesto dal, et al.,
“Political Dynasty”, The Review of Economic Study, Vol. 76, 2009.
Mendoza, Ronald U., et al.,
“An Empirical Analysis of Political Dynasties in the 15th Philippines
Congress”, Working Paper 12 ― 001, Conference on Pathways to Inclusive
Growth, Asian Institute of Management, 23 September 2011.
Perhimpunan Pendidikan
Demokrasi, “Tikungan Licin”, Konstelasi, Edisi ke-32, Juli 2011.
Scott, James C.,
“Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”, The
American Political Science Review, Vol. 66, No. 1, 1972..
Yi, Xiaoxiong,
“Political Dynasty Still Carries Some Weight in Asian Countries”, The
Marietta Times, 1 Desember 2007.
Artikel Internet
Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan,
“Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah”, http://www.djpp.kemenkumham.go.id/files/doc/982_RUU%2520Pilkada%252028.12.10.doc,
diakses 31 Juli 2013.
Faizal, Akbar, “Politik
Dinasti”, http://whatindonews.com/id/post/822, diakses 31 Juli 2013.
Mendoza,
Ronald U., “Dynasties in Democracies: The Political Side of Inequality”, http://www.voxeu.org/article/dynasties-democracies-political-side-inequality?quicktabs_tabbed_recent_articles_block=1, diakses pada 31 Juli 2013.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
*
Naskah ini ditulis untuk mengikuti
Sayembara Nasional Penulisan Karya Populer 2013.
**
(S.H., LL.M.) Dosen Muda pada Bagian
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alamat korespondensi:
dianagungwicaksono@yahoo.com | 085-664-888-028.
***
(S.H.) Mahasiswa Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alamat korespondensi:
muadzin27@gmail.com | 085-728-855-771.
[1] Perhimpunan
Pendidikan Demokrasi, “Tikungan Licin”, Konstelasi,
Edisi ke-32, Juli 2011.
[2] James C.
Scott, 1993, Perlawanan Kaum Tani,
Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 134.
[3] Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[4] Pasal 28D
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[5] Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[6] Miriam Budiardjo, 2003, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hlm. 8.
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.,
hlm. 10.
[9]
Direktorat Jendral Peraturan
Perundang-undangan, “Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah”, http://www.djpp.kemenkumham.go.id/files/doc/982_RUU%2520Pilkada%252028.12.10.doc,
diakses 31 Juli 2013.
[10]
M. Alfan Alfian, 2009, Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan
Kepemimpinan dan Kekuasaan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 68.
[11]
Etha Pasan, 2013, Politik Dinasti dalam Pemilihan Presiden di Filipina di Tahun 2001-2011,
Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
[12]
M. Alfan Alfian, 2009, Op.cit., hlm. 66.
[13]
Ibid.,
hlm. 67.
[14] Akbar
Faizal, “Politik Dinasti”,
http://whatindonews.com/id/post/822, diakses 31 Juli 2013.
[15]
Ibid.
[16] James C. Scott, “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast
Asia”, The American Political Science Review, Vol. 66, No. 1, 1972, hlm. 91-113.
[17]
Ernesto dal Bo, et al., “Political
Dynasty”, The Review of Economic Study, Vol. 76, 2009, hlm. 138.
[18]
Ibid.,
hlm. 1.
[19] Xiaoxiong
Yi, “Political Dynasty Still Carries
Some Weight in Asian Countries”, The Marietta Times, 1 Desember 2007.
[20]
Ibid.
[21] Ronald U. Mendoza,
“Dynasties in Democracies: The Political Side of Inequality”, http://www.voxeu.org/article/dynasties-democracies-political-side-inequality?quicktabs_tabbed_recent_articles_block=1,
diakses pada 31 Juli 2013.
[22] Ibid.
[23]
Abdul Mukthie Fadjar, 2010, Konstitusionalisme Demokrasi, In-Trans Publishing,
Malang, hlm. 140-141.
[24]
Miriam Budiardjo, 2003, Op.cit., hlm. 163-164.
[25]
Ronald U. Mendoza, et al., “An Empirical Analysis of Political Dynasties in the 15th
Philippines Congress”, Working
Paper 12 ― 001, Conference on Pathways to Inclusive Growth, Asian Institute
of Management, 23 September 2011, hlm. 7.
[26]
Ibid.
[27]
Ibid.
[28]
Imam Hidajat, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Press, Malang, hlm. 170.
[29]
Ibid.,
hlm. 14.
[30]
Ibid.
[31]
Ibid.
[32] Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Preview, UII Press,
Yogyakarta, hlm. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar