Oleh Mochamad Adib Zain, S.H
Sepanjang tahun ini keberadaan RUU
Omnibus Law telah menimbulkan polemik di negeri ini. RUU a quo yang mengagendakan perubahan 79
Undang-Undang tersebut mengalami penolakan karena dianggap bermasalah baik
secara formil penyusunannya yang tidak sesuai prosedur maupun berkaitan dengan
substansi materiil pengaturan itu sendiri. Secara materiil dalil utama
penolakan disebabkan orientasi dari pengaturan dalam RUU a quo yang sangat pro kepada investor dan sebaliknya abai terhadap
kepentingan rakyat. Hal tersebut terlihat dalam beberapa point tujuan RUU Omnibus Law tersebut yakni peningkatan
ekosistem investasi, kemudahan berusaha dan, investasi Pemerintah Pusat dan
percepatan proyek strategis nasional
Salah satu kelompok yang menolak keberadaan
RUU a quo berasal dari kalangan Pesantren.
Secara khusus penolakan dalam RUU a
quo tersebut adalah draft perubahan
pada Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (
selanjutnya disebut UU Sisdinas) khususnya ketentuan Pasal 62 dan 71 yang
diaggap dapat mengancam keberlangsungan
penyelenggaraan pesantren.[1] Atas
penolakan tersebut, Menteri Agama serta sejumlah kalangan memberikan tanggapan
bahwa RUU Omnibus Law tidak
berpengaruh pada Pesantren sebab Pesantren diatur tersendiri melalui Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren (selanjutnya disebut UU Pesantren) yang
diposisikan sebagai lex specialist
dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya
disebut UU Sisdiknas).[2]
Dari dialektika tersebut dapat disimpulkan
beberapa permasalahan mendasar yakni Bagaimana hubungan antara RUU Omnibus Law
yang mengubah dengan UU Sisdiknas dengan UU Pesantren? Lebih lanjut dari
pertanyaan ini adalah apakah karena Pesantren diatur tersendiri maka RUU
Omnibus Law tersebut tidak berpengaruh terhadap penyelenggaraan Pesantren dalam
arti memberikan ancaman terhadap Pesantren? Terhadap masing-masing permasalahan
di atas diuraikan lebih detil di bawah ini.
HUBUNGAN UU
SISDIKNAS YANG AKAN DIREVISI MELALUI RUU OMNIBUS LAW DENGAN UU PESANTREN.
Pesantren yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan
Islam yang rahmatan lil'alamin dengan
melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan,
serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih
kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Demikian kurang lebih bunyi konsideran UU Pesantren. UU Pesantren dianggap
sebagai pengakuan dan sekaligus penghargaan terhadap eksistensi lembaga
pesantren yang telah berkontribusi besar terhadap bangsa ini. Lahirnya UU
Pesantren didasarkan karena anggapan bahwa pengaturan yang ada terutama dalam
UU Sisdiknas belum memadai serta tidak mengakomodir keberlangsungan pesantren[3].
Hal yang demikian yang dijadikan landasan untuk mengatur pesantren dalam
Undang-Undang tersendiri.
Dengan diatur oleh Undang-Undang
tersendiri, apakah lantas UU Sisdiknas tidak diberlakukan terhadap pesantren?
Guna menjawab hal tersebut maka perlu dikembalikan terlebih dahulu dalam aturan
dasarnya yang ada dalam Konstitusi. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
menyebutkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dari
Pasal 31 ayat (3) tersebut jelas bahwa aturan turunan yang melaksanakan amanat
tersebut akan mengatur dalam penamaan Sistem Pendidikan Nasional. Atas dasar
tersebut maka kedudukan dari UU Sisdiknas menjadi aturan aturan umum dari
peraturan perundang-undangan lain perihal pendidikan. Artinya ketentuan UU
Sisdiknas tetapi diberlakukan terhadap seluruh penyelenggaraan pendidikan,
kecuali diatur khusus yang mengesampingkan aturan tersebut sesuai prinsip lex specialit derogate legi generali.
Khusus berkaitan dengan pesantren, kedudukan
UU Pesantren terhadap UU Sisdiknas adalah Lex
Specialist-nya. Hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 15 UU Pesantren yang menyatakan “Pesantren melaksanakan
fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional”. Lalu sejauh mana kekuatan lex specialist tersebut? Artinya Apakah
UU Pesantren mengesampingkan seluruh pengaturan dalam UU Sisdiknas atau hanya
sebagian saja? Terhadap hal tersebut, dalam penerapan teori lex specialit derogate legi generali biasanya
akan ditegaskan dalam ketentuan peraturan peralihan dari UU yang bersifat specialist tersebut. Dan sejauh penulis
telusuri dikenal dua metode yakni pertama menyebut apa saja yang dikhususkan
sehingga mengesampingkan aturan yang general misalnya UU Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dalam peraturan
peralihannya Pasal 68 menyatakan :“Semua
tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”. Sedangkan metode yang lain
adalah menyatakan kekhususannya tanpa menyebutkan apa saja kekhususan tersebut
melainkan pada seluruh undang-undang lain yang terkait seperti dalam UU
Pesantren ini yang diatur dalam ketentuan peralihan Pasal 52 yang menyatakan “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan
Pesantren dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-Undang ini”.
Metode
pengaturan lex specialis sebagaimana
di atas membawa konsekwensi yang berbeda dalam penerapannya. Jika disebutkan
khusus sebagaimana dalam UU KPK maka apapun yang terjadi terhadap aturan yang
sifatnya Umum yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka
tidak berdampak pada KPK sejauh dinyatak khusus. Misal perubahan ketentuan mengenai
proses penyidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka tidak
berdampak pada UU KPK tersebut. Hal tersebut karena dengan adanya penyebutan
khusus dalam aturan lex specialist
maka secara mutlak aturan tersebut sudah mengesampingkan keberlakuan aturan
pada lex generali-nya. Sedangkan jika
menggunakan metode sebagaimana pada UU Pesantren yang tidak spesifik mengatur
kekhususannya di mana dan terhadap apa maka konsekwensinya akan berbeda yakni
terhadap aturan-aturan dalam lex generali
yang dalam hal ini UU Sisdiknas akan
ditinjau apakah peraturan tersebut bertentangan dengan UU Pesantren sebagai lex specialist atau tidak. Jika tidak
maka penyelenggaraan Pesantren tetap tunduk pada UU Sisdiknas.
Berdasarkan
uraian di atas maka pernyataan Menteri Agama dan sejumlah kalangan yang
menyampaikan agar Pesantren tidak perlu khawatir terhadap RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU
Sisdiknas karena adanya UU Pesantren sebagai Lex Specialist adalah tidak benar. Perlu ditinjau apakah RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU
Sisdiknas tersebut masih dalam kerangka lex
specialist itu atau tidak. Lebih-lebih apakah RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU Sisdiknas tersebut akan membawa
dampak buruk bagi penyelenggaraan system pendidikan nasional atau tidak. Jika
membawa dampak buruk maka bisa jadi pesantren tetap turut memikul dampak
tersebut.
RUU OMNIBUS LAW ANCAMAN NYATA
TERHADAP PESANTREN
Dalam
RUU Omnibus Law, Ketentuan UU
Sisdiknas yang akan diubah dan membawa akibat secara langsung adalah Pasal 53,
62 dan 71. Pasal 53 mengatur perihal badan hukum pendidikan dan manajemen
pengelolaan keunagan pendidikan. Pasal 62 mengatur perihal perizinan berusaha
bagi penyelenggara pendidikan. Terakhir Pasal 71 perihal ancaman pidana atas
pelanggaran Pasal 62.
Badan
hukum pendidikan diatur dalam Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan Penyelenggara
satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan oleh masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan. Selanjutnya kita sandingkan dalam beberapa pengaturan
tentang Pesantren yakni Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa pesantren
menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal. Artinya mengacu pada RUU
Omnibus Law tersebut maka pesantren
di masa yang akan datang diharuskan berbentuk badan hukum. Pesantren yang
didirikan siapakah yang berbadan hukum. Jika mencermati pengaturan tersebut
maka pesantren yang dikenai kewajiban berbadan hukum adalah khusus yang
didirikan masyarakat.
Selanjutnya
masih dalam Pasal 53 terkait badan hukum pendidikan tersebut, dalam ayat (3)
diatur bahwa Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Yang perlu
digarisbawahi adalah frasa dapat
berprinsip nirlaba. Mengacu pada penggunaan kata “dapat” dalam aturan
perundang-undangan maka hukum asalnya adalah kebalikan kata setelah kata
“dapat” tersebut. Sebagai penggambaran, misal seorang yang sedag safar dengan jarak dua marhalah dengan niat bukan untuk
ma’shiat maka secara fiqh diberikan rukhsoh berupa dapat melakukan sholat
dengan qoshor. Artinya hukum asal
sholat tetap dilaksankan sesuai jumlah roka’atnya adapun kebolehan meringkasnya
dengan jumlah separo dari rokaat yang seharusnya adalah kebolehan dalam kondisi
tertentu saja. Demikian halnya dengan kata “dapat berprinsip nirlaba” di atas maka dapat disimpulkan bahwa niat
pendirian pesantren adalah ditujukan untuk profit
oriented atau mencari keutungan. Dalam hal ini tentu akan menghilangkan
karakter dan kekhasan dari pesantren itu sendiri yang sejak dahulu memberikan
alternative pendidikan kepada rakyat secara terjangkau.
Dengan pesantren dikelola secara profit oriented maka pendidikan
pesantren bukan lagi diniatkan untuk mengembangkan akhlak santri serta mendidik
karakter mereka yang memanusiakan manusia. Pesantren akan berakhir sebagai
komoditas yang diperjual belikan. Hubungan yang terbangun antara Santri, Kyai
dan Ustadz adalah hubungan transaksional sebagaimana prinsip ekonomi. Bayangan
yang menakutkan jika hal demikian terjadi sebab kita akan menyaksikan prinsip zuhud, ngalap barokah, sami’na wa atho’na menjadi
langka ditemukan di pesantren jika prinsip pengelolaan profit oriented tersebut diterapkan. Profit oriented yang menjadi ciri khas dari faham privatisasi,
liberalisasi dan komersialisasi harus dijauhkan dengan sungguh-sungguh dalam
pengelolaan pesantren agar tidak kehilangan ciri khasnya.
Pengaturan terakhir yang menjadi inti
perdebatan di masyarakat dalam RUU Omnibus
Law adalah perubahan Pasal 63 UU Sisdiknas yang menyatakan Penyelenggaraan
satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Apakah
pesantren terimbas dengan peraturan ini? Bukankah perizinan bagi pesantren
diatur sendiri? Jawabannya adalah dengan komparasi antara RUU Omibus Law di atas dengan UU Pesantren. Dalam
Pasal 6 UU Pesantren tentang pendirian pesantren diatur
(1)
Pesantren
didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, danf atau
masyarakat.
(2)
Pendirian Pesantren
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a.
berkomitmen
mengamalkan nilai Islam rahmatan lil'alamin dan berdasarkan Pancasila,
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika;
b.
memenuhi unsur
Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (21;
c.
memberitahukan
keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili
Pesantren; dan
d.
mendaftarkan
keberadaan Pesantren kepada Menteri.
(3)
Dalam hal
pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terpenuhi, Menteri memberikan
izin terdaftar.
Berdasarkan pengaturan tersebut, meskipun
sama-sama izin tetapi nomenklatur/penamaan izinnya berbeda. Dalam RUU Omnibus Law izinnya dinamakan Perizinan
Berusaha bagi penyelenggara pendidikan sedang dalam UU Pesantren adalah Izin
berusaha. Izin pendirian secara mudanhya adalah izin ketika pesantren didaftarkan
untuk didirikan sedangkan Perizinan Berusaha dalam Pasal 1 ayat (3) RUU Omnibus Law dimaknai sebagai legalitas
yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya. Karena perbedaan tersebut maka selain izin pendirian untuk
menyelenggarakan pendidikan pesantren masih diperlukan perizinan berusaha. Model
perizinan tersebut dalam dunia usaha biasa terjadi misal dalam dunia industri
dikenal adanya izin prinsip/pokok dan izin produksi.
Mengingat pemangku kebijakan kita yang saat
ini sedang “menggilai” investasi, sangat besar kemungkinannya akan diterapkan
pula bagi Pesantren mengenai perizinan tersebut. Dan perlu digarisbawahi bahwa pengaturan
ini tidak hanya berlaku bagi pesantren yang didirikan oleh masyarakat melainkan
semua pesantren tanpa memandang siapa yang mendirikan. Kenapa demikian? Sebab
bunyi pengaturan mengatur perihal pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat bukan didirikan oleh masyarakat dan hal tersebut sesuai pula dengan
ketentua Pasal 1 angka 1 UU Pesantren yang menyebutkan Pesantren adalah lembaga
yang berbasis masyarakat.
Terakhir dalam tulisan ini yang perlu
disoroti adalah Pasal 71 yakni apabila tidak memiliki perizinan berusaha maka
diancam pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam menentukan
lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang
ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Pedoman tata cara penggunaan ketentuan
pidana dalam perundang-undangan, telah ditentukan secara limitatif dalam
Lampiran II sub C.3 butir 112 sampai dengan butir 126 UU Nomor 12 Tahun 2011.
Jika membandingkan dengan
Berdasarkan hal di atas Penulis tidak
mengetahui landasan apa yang digunakan oleh pembentuk Undang-Undang saat itu
sehingga memperlakukan penyelenggara pendidikan sekejam itu. Ancaman pidana
tersebut dikatakan kejam sebab jika dibandingkan dengan pidana yang diatur
dalam KUHP untuk jenis pencurian, penadahan, penggelapan, penganiayaan dan
beberapa jenis tindak pidana lainnya untuk lamanya penjara lebih tinggi. Selain
itu dalam pemidanaan juga dapat diberlakukan kumulatif dua pidana pokok yakni
penjara dan denda sehingga tindak pidana kejahatan dalam hal ini sudah setara
dengan pidana-pidana serius lainnya semisal Narkotika, Korupsi, Terorisme,
Perlindungan anak, dls. Selain itu jika disandingkan dengan Undang-Undang lain
yang diubah, ancaman tersebut tetap lebih berat dibandingkan ancaman pidana
pada UU selain UU Sisdiknas seperti penyalahgunaan tata ruang, pencemaran
lingkungan.
PENUTUP
Akhirul kalam, melihat madhorot yang akan ditimbulkan RUU Omnibus Law
ini terhadap pesantren mari kita secara berjamaah melakukan ikhtiar untuk
melawan kezoliman ini dan jika menghendaki argementasi lebih mendetil sekaligus
berlaku bagi system pendidikan secara umum maka dapat membaca di link berikut https://drive.google.com/file/d/1GBbcAosWaUUMMATzXzkaI9OiQaCaHeCQ/view
[1]
Lihat pada pemberitaan misal
1. https://www.liputan6.com/bisnis/read/4352605/ruu-cipta-kerja-ancam-keberadaan-pesantren-benarkah
3. https://radarbekasi.id/2020/08/31/bahaya-tersembunyi-omnibus-law-ciptaker-bagi-pesantren
[2]
lihat pada pemberitaan misal
2. https://republika.co.id/berita/qgetz3430/ruu-ciptaker-dinilai-tak-ancam-pesantren
[3] lihat Naskah
Akademik dan RUU Pesantren hlm. 156 http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20181119-120623-3228.pdf dan
konsideran UU a quo huruf d