Kamis, 17 September 2020

“BAHAYA YANG MENGINTAI PESANTREN DALAM RUU OMNIBUS LAW”

 

Oleh Mochamad Adib Zain, S.H

Sepanjang tahun ini keberadaan RUU Omnibus Law telah menimbulkan polemik di negeri ini. RUU a quo yang mengagendakan perubahan 79 Undang-Undang tersebut mengalami penolakan karena dianggap bermasalah baik secara formil penyusunannya yang tidak sesuai prosedur maupun berkaitan dengan substansi materiil pengaturan itu sendiri. Secara materiil dalil utama penolakan disebabkan orientasi dari pengaturan dalam RUU a quo yang sangat pro kepada investor dan sebaliknya abai terhadap kepentingan rakyat. Hal tersebut terlihat dalam beberapa point tujuan RUU Omnibus Law tersebut yakni peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha dan, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional

Salah satu kelompok yang menolak keberadaan RUU a quo berasal dari kalangan Pesantren. Secara khusus penolakan dalam RUU a quo  tersebut adalah draft perubahan pada Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( selanjutnya disebut UU Sisdinas) khususnya ketentuan Pasal 62 dan 71 yang diaggap dapat mengancam keberlangsungan  penyelenggaraan pesantren.[1] Atas penolakan tersebut, Menteri Agama serta sejumlah kalangan memberikan tanggapan bahwa RUU Omnibus Law tidak berpengaruh pada Pesantren sebab Pesantren diatur tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren  (selanjutnya disebut UU Pesantren) yang diposisikan sebagai lex specialist dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas).[2]

Dari dialektika tersebut dapat disimpulkan beberapa permasalahan mendasar yakni Bagaimana hubungan antara RUU Omnibus Law yang mengubah dengan UU Sisdiknas dengan UU Pesantren? Lebih lanjut dari pertanyaan ini adalah apakah karena Pesantren diatur tersendiri maka RUU Omnibus Law tersebut tidak berpengaruh terhadap penyelenggaraan Pesantren dalam arti memberikan ancaman terhadap Pesantren? Terhadap masing-masing permasalahan di atas diuraikan lebih detil di bawah ini.

HUBUNGAN UU SISDIKNAS YANG AKAN DIREVISI MELALUI RUU OMNIBUS LAW DENGAN UU PESANTREN.

Pesantren yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil'alamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian kurang lebih bunyi konsideran UU Pesantren. UU Pesantren dianggap sebagai pengakuan dan sekaligus penghargaan terhadap eksistensi lembaga pesantren yang telah berkontribusi besar terhadap bangsa ini. Lahirnya UU Pesantren didasarkan karena anggapan bahwa pengaturan yang ada terutama dalam UU Sisdiknas belum memadai serta tidak mengakomodir keberlangsungan pesantren[3]. Hal yang demikian yang dijadikan landasan untuk mengatur pesantren dalam Undang-Undang tersendiri.

Dengan diatur oleh Undang-Undang tersendiri, apakah lantas UU Sisdiknas tidak diberlakukan terhadap pesantren? Guna menjawab hal tersebut maka perlu dikembalikan terlebih dahulu dalam aturan dasarnya yang ada dalam Konstitusi. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dari Pasal 31 ayat (3) tersebut jelas bahwa aturan turunan yang melaksanakan amanat tersebut akan mengatur dalam penamaan Sistem Pendidikan Nasional. Atas dasar tersebut maka kedudukan dari UU Sisdiknas menjadi aturan aturan umum dari peraturan perundang-undangan lain perihal pendidikan. Artinya ketentuan UU Sisdiknas tetapi diberlakukan terhadap seluruh penyelenggaraan pendidikan, kecuali diatur khusus yang mengesampingkan aturan tersebut sesuai prinsip lex specialit derogate legi generali.

Khusus berkaitan dengan pesantren, kedudukan UU Pesantren terhadap UU Sisdiknas adalah Lex Specialist-nya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 15 UU Pesantren yang menyatakan “Pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional”. Lalu sejauh mana kekuatan lex specialist tersebut? Artinya Apakah UU Pesantren mengesampingkan seluruh pengaturan dalam UU Sisdiknas atau hanya sebagian saja? Terhadap hal tersebut, dalam penerapan teori lex specialit derogate legi generali biasanya akan ditegaskan dalam ketentuan peraturan peralihan dari UU yang bersifat specialist tersebut. Dan sejauh penulis telusuri dikenal dua metode yakni pertama menyebut apa saja yang dikhususkan sehingga mengesampingkan aturan yang general misalnya UU Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dalam peraturan peralihannya Pasal 68 menyatakan :“Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”. Sedangkan metode yang lain adalah menyatakan kekhususannya tanpa menyebutkan apa saja kekhususan tersebut melainkan pada seluruh undang-undang lain yang terkait seperti dalam UU Pesantren ini yang diatur dalam ketentuan peralihan Pasal 52 yang menyatakan “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan Pesantren dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini”.

Metode pengaturan lex specialis sebagaimana di atas membawa konsekwensi yang berbeda dalam penerapannya. Jika disebutkan khusus sebagaimana dalam UU KPK maka apapun yang terjadi terhadap aturan yang sifatnya Umum yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka tidak berdampak pada KPK sejauh dinyatak khusus. Misal perubahan ketentuan mengenai proses penyidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka tidak berdampak pada UU KPK tersebut. Hal tersebut karena dengan adanya penyebutan khusus dalam aturan lex specialist maka secara mutlak aturan tersebut sudah mengesampingkan keberlakuan aturan pada lex generali-nya. Sedangkan jika menggunakan metode sebagaimana pada UU Pesantren yang tidak spesifik mengatur kekhususannya di mana dan terhadap apa maka konsekwensinya akan berbeda yakni terhadap aturan-aturan dalam lex generali yang dalam hal ini UU Sisdiknas akan ditinjau apakah peraturan tersebut bertentangan dengan UU Pesantren sebagai lex specialist atau tidak. Jika tidak maka penyelenggaraan Pesantren tetap tunduk pada UU Sisdiknas.

Berdasarkan uraian di atas maka pernyataan Menteri Agama dan sejumlah kalangan yang menyampaikan agar Pesantren tidak perlu khawatir terhadap RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU Sisdiknas karena adanya UU Pesantren sebagai Lex Specialist adalah tidak benar. Perlu ditinjau apakah RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU Sisdiknas tersebut masih dalam kerangka lex specialist itu atau tidak. Lebih-lebih apakah RUU Omnibus Law yang akan mengubah UU Sisdiknas tersebut akan membawa dampak buruk bagi penyelenggaraan system pendidikan nasional atau tidak. Jika membawa dampak buruk maka bisa jadi pesantren tetap turut memikul dampak tersebut.

RUU OMNIBUS LAW ANCAMAN NYATA TERHADAP PESANTREN

Dalam RUU Omnibus Law, Ketentuan UU Sisdiknas yang akan diubah dan membawa akibat secara langsung adalah Pasal 53, 62 dan 71. Pasal 53 mengatur perihal badan hukum pendidikan dan manajemen pengelolaan keunagan pendidikan. Pasal 62 mengatur perihal perizinan berusaha bagi penyelenggara pendidikan. Terakhir Pasal 71 perihal ancaman pidana atas pelanggaran Pasal 62.

Badan hukum pendidikan diatur dalam Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan Penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan oleh masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Selanjutnya kita sandingkan dalam beberapa pengaturan tentang Pesantren yakni Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal. Artinya mengacu pada RUU Omnibus Law tersebut maka pesantren di masa yang akan datang diharuskan berbentuk badan hukum. Pesantren yang didirikan siapakah yang berbadan hukum. Jika mencermati pengaturan tersebut maka pesantren yang dikenai kewajiban berbadan hukum adalah khusus yang didirikan masyarakat. 

Selanjutnya masih dalam Pasal 53 terkait badan hukum pendidikan tersebut, dalam ayat (3) diatur bahwa Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Yang perlu digarisbawahi adalah frasa dapat berprinsip nirlaba. Mengacu pada penggunaan kata “dapat” dalam aturan perundang-undangan maka hukum asalnya adalah kebalikan kata setelah kata “dapat” tersebut. Sebagai penggambaran, misal seorang yang sedag safar dengan jarak dua marhalah dengan niat bukan untuk ma’shiat maka secara fiqh diberikan rukhsoh berupa dapat melakukan sholat dengan qoshor. Artinya hukum asal sholat tetap dilaksankan sesuai jumlah roka’atnya adapun kebolehan meringkasnya dengan jumlah separo dari rokaat yang seharusnya adalah kebolehan dalam kondisi tertentu saja. Demikian halnya dengan kata “dapat berprinsip nirlaba” di atas maka dapat disimpulkan bahwa niat pendirian pesantren adalah ditujukan untuk profit oriented atau mencari keutungan. Dalam hal ini tentu akan menghilangkan karakter dan kekhasan dari pesantren itu sendiri yang sejak dahulu memberikan alternative pendidikan kepada rakyat secara terjangkau.

Dengan pesantren dikelola secara profit oriented maka pendidikan pesantren bukan lagi diniatkan untuk mengembangkan akhlak santri serta mendidik karakter mereka yang memanusiakan manusia. Pesantren akan berakhir sebagai komoditas yang diperjual belikan. Hubungan yang terbangun antara Santri, Kyai dan Ustadz adalah hubungan transaksional sebagaimana prinsip ekonomi. Bayangan yang menakutkan jika hal demikian terjadi sebab kita akan menyaksikan prinsip zuhud, ngalap barokah, sami’na wa atho’na menjadi langka ditemukan di pesantren jika prinsip pengelolaan profit oriented tersebut diterapkan. Profit oriented yang menjadi ciri khas dari faham privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi harus dijauhkan dengan sungguh-sungguh dalam pengelolaan pesantren agar tidak kehilangan ciri khasnya.

Pengaturan terakhir yang menjadi inti perdebatan di masyarakat dalam RUU Omnibus Law adalah perubahan Pasal 63 UU Sisdiknas yang menyatakan Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Apakah pesantren terimbas dengan peraturan ini? Bukankah perizinan bagi pesantren diatur sendiri? Jawabannya adalah dengan komparasi antara RUU Omibus Law di atas dengan UU Pesantren. Dalam Pasal 6 UU Pesantren tentang pendirian pesantren diatur

(1)   Pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, danf atau masyarakat.

(2)   Pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

a.       berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil'alamin dan berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika;

b.      memenuhi unsur Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (21;

c.       memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren; dan

d.      mendaftarkan keberadaan Pesantren kepada Menteri.

(3)   Dalam hal pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terpenuhi, Menteri memberikan izin terdaftar.

Berdasarkan pengaturan tersebut, meskipun sama-sama izin tetapi nomenklatur/penamaan izinnya berbeda. Dalam RUU Omnibus Law izinnya dinamakan Perizinan Berusaha bagi penyelenggara pendidikan sedang dalam UU Pesantren adalah Izin berusaha. Izin pendirian secara mudanhya adalah izin ketika pesantren didaftarkan untuk didirikan sedangkan Perizinan Berusaha dalam Pasal 1 ayat (3) RUU Omnibus Law dimaknai sebagai legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Karena perbedaan tersebut maka selain izin pendirian untuk menyelenggarakan pendidikan pesantren masih diperlukan perizinan berusaha. Model perizinan tersebut dalam dunia usaha biasa terjadi misal dalam dunia industri dikenal adanya izin prinsip/pokok dan izin produksi.

Mengingat pemangku kebijakan kita yang saat ini sedang “menggilai” investasi, sangat besar kemungkinannya akan diterapkan pula bagi Pesantren mengenai perizinan tersebut. Dan perlu digarisbawahi bahwa pengaturan ini tidak hanya berlaku bagi pesantren yang didirikan oleh masyarakat melainkan semua pesantren tanpa memandang siapa yang mendirikan. Kenapa demikian? Sebab bunyi pengaturan mengatur perihal pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat bukan didirikan oleh masyarakat dan hal tersebut sesuai pula dengan ketentua Pasal 1 angka 1 UU Pesantren yang menyebutkan Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat.

Terakhir dalam tulisan ini yang perlu disoroti adalah Pasal 71 yakni apabila tidak memiliki perizinan berusaha maka diancam pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Pedoman tata cara penggunaan ketentuan pidana dalam perundang-undangan, telah ditentukan secara limitatif dalam Lampiran II sub C.3 butir 112 sampai dengan butir 126 UU Nomor 12 Tahun 2011. Jika membandingkan dengan

Berdasarkan hal di atas Penulis tidak mengetahui landasan apa yang digunakan oleh pembentuk Undang-Undang saat itu sehingga memperlakukan penyelenggara pendidikan sekejam itu. Ancaman pidana tersebut dikatakan kejam sebab jika dibandingkan dengan pidana yang diatur dalam KUHP untuk jenis pencurian, penadahan, penggelapan, penganiayaan dan beberapa jenis tindak pidana lainnya untuk lamanya penjara lebih tinggi. Selain itu dalam pemidanaan juga dapat diberlakukan kumulatif dua pidana pokok yakni penjara dan denda sehingga tindak pidana kejahatan dalam hal ini sudah setara dengan pidana-pidana serius lainnya semisal Narkotika, Korupsi, Terorisme, Perlindungan anak, dls. Selain itu jika disandingkan dengan Undang-Undang lain yang diubah, ancaman tersebut tetap lebih berat dibandingkan ancaman pidana pada UU selain UU Sisdiknas seperti penyalahgunaan tata ruang, pencemaran lingkungan.

PENUTUP

Akhirul kalam, melihat madhorot yang akan ditimbulkan RUU Omnibus Law ini terhadap pesantren mari kita secara berjamaah melakukan ikhtiar untuk melawan kezoliman ini dan jika menghendaki argementasi lebih mendetil sekaligus berlaku bagi system pendidikan secara umum maka dapat membaca di link berikut https://drive.google.com/file/d/1GBbcAosWaUUMMATzXzkaI9OiQaCaHeCQ/view

 

 

 

 

 

 



[3] lihat Naskah Akademik dan RUU Pesantren hlm. 156 http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20181119-120623-3228.pdf dan konsideran UU a quo huruf d

Tidak ada komentar:

Posting Komentar