POLITIK HUKUM SISTEM PENDIDIKAN DI NUSANTARA DARI MASA KE MASA

 

OLEH MOCHAMAD ADIB ZAIN, S.H

Versi pdf pada link berikut

PENDAHULUAN

Secara umum, ummat manusia sependapat bahwa pendidikan membawa dampak yang besar bagi kehidupan. Apakah dampak itu sepenuhnya positif? Hal tersebut merupakan ranah yang masih dan akan selalu diperdebatkan. Bahwa sebagai suatu  sistem, pendidikan tidak berwajah tunggal. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan  sistem pendidikan membawa manfaat yang besar bagi kehidupan manusia meski juga harus disadari akibat kegagalan  sistem tersebut juga meninggalkan kerusakan yang tidak kecil. Sistem pendidikan bukan wilayah netral yang berdiri sendiri dan secara otoritatif dapat menentukan jalannya sendiri.  sistem pendidikan adalah wilayah pertarungan yang nyata bagi segala kepentingan, ideologi dan politik. Sebagai suatu  sistem, ia dibangun dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan itulah yang akan menentukan hasil akhir dari pendidikan itu sendiri.

Hal sebagaimana di atas, terjadi dengan gambling di Nusantara ini. Pada satu masa sistem pendidikan menentukan dirinya dengan suatu karakter tertentu dan pada saat berikutnya bisa jadi karakter itu dikuatkan atau bias pula dilenyapkan. Hal tersebut merupakan sebuah kewajaran sebagai dialektika zaman. Deskripsi mengenai bagaimana sebuah sistem pendidikan dibangun dan apa tujuannya akan penulis usahakan dalam pembahasan berikut. Namun sebelum memulai diskusi, menyadari keterbatasan yang dimiliki penulis menyusun tulisan ini dengan memulai dari politik sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh VOC hingga saat ini yakni setelah adanya amandemen UUD NRI tahun 1945.

 

PEMBAHASAN

Masa Penjajahan

Sebagai pembuka pembahasa penulis mengambil kata-kata Brugmans  yang menyatakan bahwa pada zaman kolonial, Politik pendidikan bukan hanya satu bagian dari politik kolonial akan tetapi menurut Brugmans, merupakan inti politik colonial itu sendiri.[1] Hal tersebut menemukan kebenarannya karena melalui pendidikan negara penjajah berupaya mengekalkan kekuasaannya atas negeri jajahan.

a.         VOC dan Hindia Belanda

Kongsi dagang yang bernama Vereniging Oost Indische Vereniging (VOC)VOC didirikan dengan dasar karena Para pedagang Belanda ingin menghindari persaingan yang merugikan sesama bangsanya serta untuk bersaing dengan negara lain maka. Dengan dasar tersebut, maka kedatangan mereka di Nusantara hanya semata karena motif ekonomi yakni untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.[2] Dengan motif ekonomi yang dijadikan satu-satunya tujuan maka pada aspek lain tidak akan pernah mendapatkan perhatian serius dari VOC. Atas landasan tersebut maka logis jika tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengembangkan daerah yang diduduki tersebut kecuali hanya dijadikan sapi perah yang menguntungkan secara ekonomi.

Keberadaan mereka tidak bermaksud untuk menjadikan Nusantara sebagai wilayah kekuasaan yang akan ditinggalinya atau dengan kata lain dijadikan sebagai rumah baru. Hal di atas sejalan dengan metode kolonialisasi yang dilakukan oleh VOC adalah mempertahankan raja-raja yang berkuasa dan hanya fokus sebagaimana tujuan awal mereka yakni ekonomi yang antara lain dilakukan dengan menuntut monopoli hak berdagang kepada raja-raja tersebut dan eksploitasi sumber-sumber alam.[3] Akibatnya, untuk  sistem pendidikan, bentuk-bentuk yang dilakukan bersifat sporadis, sambal lalu dan jika dianggap memberi keuntungan saja. Corak pendidikan yang dijalankan pada masa ini terutama untuk misi-misi agama.[4] Hal tersebut berhubungan dengan para pendeta yang ikut berlayar dalam kapal-kapal dagang tersebut.

Pendidikan dengan corak misi-misi keagamaan tersebut terpengaruh dari negeri asalnya yaitu  di Belanda dan juga Eropa pada umumnya. Pada masa itu pengaruh gereja terhadap  sistem pendidikan memegang peranan yang besar. Harus diingat bahwa meskipun misi-misi keagamaan memberi warna dalam sistem pendidikan yang dibawa VOC tetapi saat menginjakkan kaki di Nusantara, VOC lebih berkuasa daripada gereja.[5] Hal yang demikian terjadi sebab VOC dibekali hak istimewa atau yang sering kali di sebut “Octroi” yang memberikan kewenangan yang besar sebagaimana kerajaan Belanda itu sendiri. Sehingga bisa dibayangkan arah pendidikan tetap ditujukan semata-mata untuk komersial atas dasar hitungan untung dan rugi.

Pendidikan dengan corak agama sebagaimana di atas dilaksanakan VOC di Ambon dan daerah-daerah timur Nusantara dan di Batavia. Pelaksanaan pendidikan misi-misi keagamaan di Nusantara bagian timur tujuannya melenyapkan agama Katolik yang telah lebih dulu disebarkan oleh Spanyol dan Portugis. Sedangkan pemerintah Belanda sendiri beragama Kristen Protestan Calvinisme, dan terjadi Peperangan antara Belanda dan Spanyol selama 70 tahun karena alasan agama maupun karena persaingan dagang. Dengan lenyapnya agama katolik dan sebaliknya dengan tersebarnya agama yang dibawa melalui pendidikan-pendidikan keagamaan akan memudahkan VOC memonopoli perdagangan di Nusantara bagian Timur. Penguasaan atas wilayah Timur Nusantara tersebut dianggap penting bagi bangsa-bangsa Eropa karena dari sanalah sumber yang besar untuk mendapat rempah-rempah yang menjadi komoditas utama perdagangan saat itu. Perihal pelaksanaan pendidikan oleh VOC digambarkan oleh S. Nasution yang menyatakan:[6]

Kegiatan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia dimana agama Katolik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi kolonial. Pada tahun 1607 didirikan sekolah pertama di Ambon untuk anak-anak Indonesia, karena pada saat itu belum ada anak Belanda. Tujuan utama rupanya untuk melenyapkan agama Katolik dengan menyebarkan agama Protestan, Calvinisme. Jumlah sekolah bertambah cepat bertambah. Pada tahun 1632 telah ada 16 sekolah di Ambon, di tahun 1645 meningkat menjadi 33 buah dengan 1300 murid. Akan tetapi pada abad ke 18 perkembangannya menurun. Pada saat itu agama Katolik sudah dilenyapkan dan orang Belanda tidak mempunyai hasrat sedikitpun untuk mempengaruhi orang Islam menjadi Kristen. Lagi pula tidak diperlukan tenaga kerja untuk pemerintahan di sana sedangkan pendidikan `demi perkembangan kecerdasan penduduk masih merupakan gagasan yang belum lahir.

Untuk yang diselenggarakan di Batavia lain lagi motivasinya. Menurut Nasution pendidikan di Batavia yang mulai didirikan tahun 1630 diberikan kepada anak-anak Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC.[7] dan sekolah-sekolah tersebut terbuka untuk semua golongan tanpa memandang kebangsaan dan kedudukan sosial.

Pada pertengahan abad ke 18 VOC mengalami kebangkrutan dan keruntuhan di bumi Nusantara. Tanah jajahan diserahkan kepada kerajaan Belanda dan dibentuklah Pemerintahan Hindia Belanda. Setelah dua abad di bawah pemerintahan VOC, keadaan pendidikan lebih menyedihkan dibandingkan dengan waktu orang Belanda mulai menginjakan kakinya di bumi Nusantara.[8] Pendidikan baik yang dilakukan oleh pribumi maupun oleh VOC sama-sama terpuruk akibat kolonialisme yang ditujukan pada keuntungan ekonomi dengan fokus eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia tanpa dibarengi peningkatan kapasitas manusianya.

Penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan Hindia belanda ini bersamaan dengan pandangan pemikiran di Eropa yang mengalami renaissance yang menghasilkan aufklarung memberikan pandangan rasional kepada manusia didaratan Eropa. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemerintahan di negeri jajahan, lebih-lebih dalam hal pendidikan akhirnya memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa Indonesia sendiri walaupun berjalan dengan sangat lambat.

Awalnya kemajuan pendidikan hanya bisa dinikmati oleh anak-anak Belanda dan Eropa pada umumnya. Fasilitas pendidikan yang bermutu tinggi senantiasa dipertahankan untuk menjaga agar anak-anak Belanda selalu mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada anak Indonesia.[9] Hal tersebut sejalan dengan penerapan politik devide et empera oleh Pemerintah Hindia Belanda yang membagi penduduk menjadi golongan yang bertingkat-tingkat yakni golongan Belanda atau Eropa menduduki tingkat pertama dan tertinggi, kedua golongan timur asing (Arab dan China) dan keempat golongan pribumi. Dari golongan pribumi ini masih dipecah-pecah lagi sebagai golongan priyayi, ulama dan rakyat jelata. Masing-masing golongan mendapat perlakuan yang berbeda dari pemerintah dalam memberikan pendidikan.

Didalam aturan formal perihal pendidikan yang dikenal dengan statuta 1818 memang diatur ketentuan yang menyatakan bahwa pemerintah hendaknya membuat peraturan yang diperlukan mengenai sekolah-sekolah bagi anak bumi putera.[10] Sayangnya pengaturan tersebut tidak lebih hanyalah sebagai anjuran serta tanpa kewajiban menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak bumi putera. Alasan yang sering digunkan untuk tidak menyelenggarakan pendidikan adalah karena kesulitan finansial dan juga dalih untuk menghormati lembaga-lembaga yang ada pada bumi putera yang telah memberikan pendidikan dibawah pemimpin mereka.[11]

Pada beberapa dasawarsa setelahnya baru ada perkembangan bagi bumi putera untuk memperoleh pendidikan yaitu diterbitkannya keputusan Raja Belanda Nomor 95 Tahun 1848 yang memberi wewenang Gubernur Jenderal menyediakan biaya f.25000,- pertahun bagi sekolah-sekolah bumi putera di pulau Jawa untuk mendidik calon-calon pegawai negeri.[12] Pada tahun 1892 dikeluarkan lagi Keputusan Raja yang termuat dalam Lembaran Negara (staatsblad) Nomor 12 Tahun 1893 yang mereorganisasi kebijakan pendidikan dasar bagi bumi putera.[13] Dalam peraturan ini membagi jenis pendidikan menjadi dua yaitu sekolah dasar kelas satu (De Eerste Klasse School) dan Sekolah dasar kelas dua (De Tweede Klasse School). De Eerste Klasse School diperuntukkan bagi kalangan atas bumi putera, para tokoh pemuka, bangsawan dan priyayi. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi pemerintahan dan perdagangan. Sekolah dasar kelas dua (De Tweede Klasse School) diperkenankan bagi masyarakat pada umumnya dengan tujuan sekedar memenuhi formalitas akan kebutuhan pendidikan serta sekedar bisa menjadikan peribumi mengerti baca tulis.[14] Jelaslah bahwa tujuan pendidikan pada saat itu ditujukan pada pembentukan golongan yang elitis dan bertingkat.

Pada tahun 1899 terbit artikel berjudul De Eereschuldatau “Hutang kehormatan” pada majalah De Gids.[15] Ditulis oleh Van Deventer yang mencela pemerintahan Belanda karena telah mengeruk keuntungan yang besar pada negeri jajahan tanpa memperhatikan kesejahteraan penduduknya. Ia mengemukakan hendaknya hal tersebut dibayar oleh pemerintahan dengan perbendaharaan negara.[16] Kritik keras dan telah menimbulkan gejolak di negeri Belanda tersebut akhirnya direspon dengan pidato kenegaraan Raja tahun 1901 yang mencanangkan panggilan moral bangsa Belanda untuk meningkatkan kehidupan rakyat terjajah dan bukan hanya mengangkut kekayaan alam dari negeri jajahan tersebut.[17] Walaupun usaha ini dilaksanakan sangat gencar, sebaliknya besar pula penindasan pemerintahan kolonial terhadap usaha-usaha untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia, termasuk pendidikannya.[18] Hal tersebut karena dibalik semangat politik etis, nyatanya banyak ditunggangi kepentingan pemodal dari kalangan swasta yang hendak menggeser kedudukan kalangan bangsawan. Dampaknya, sekali lagi pendidikan dilaksanakan sejauh memberi keuntungan bagi pemerintah dan terutama untuk mempertahankan status kolonialnya.

Pada masa politik etis sistem pendidikan yang akhirnya dijalankana adalah bentuk pendidikan rakyat (mass education). Atas bentuk tersebut, pada mulanya terjadi perdebatan diantara tokoh-tokoh di pemerintahan kolonial. Gubernur Jenderal D. Fock misalnya menganjurkan untuk percepatan pembangunan perlu banyak sekolah teknik dan butuh banyak dana, hal tersebut ditentang oleh C. Snouck Hurgronje karena pendidikan massa hanya menambah pengangguran.[19] Van Heuts, Gubernur Jendral setelahnya, memiliki pemikiran yang menarik. Ia menolak konsep pendidikan oleh Fock dan menyelenggarakan pendidikan massa yang berorientasi pada hitung, tulis dan baca. Hal tersebut dilandasi pemikiran, dengan pendidikan barat maka rakyat akan di-baratkan, berpikir  secara barat dan dapat lebih mudah dalam menerima perintah pihak penjajah.[20]

Hasil dari pendidikan massa ini adalah munculnya warga terdidik sebagaimana harapan penjajah. Sebagian besar dari mereka saat lulus langsung bekerja sebagai ambtenar/pegawai yang membantu menjalankan pemerintah Hindia Belanda. Meskipun demikian, sebagai buah dari adanya pendidikan yang memberikan akses manusia kepada pengetahuan, sebagian kecil dari mereka yang tercerahkan memiliki kesadaran akan nasib bangsanya sehingga menumbuhkembangkan semangat nasionalisme.

Dalam pergerakan memperjuangkan bangsanya, upaya para nasionalis hasil didikan pemerintah Hindia Belanda ini pada mula-mula adalah dengan mengusahakan pendidikan rakyat. Jalur pendidikan dipilih karena dianggap efektif dalam melaksanakan perlawanan terhadap sistem penjajahan pada bangsanya dibandingkan dengan cara lama yang langsung mengangkat senjata. Ajaran yang diberikan kepada anak didik menguatkan perasaan kebangsaan dan menyadarkan atas kedudukannya sebagai bangsa terjajah. Perasaan senasib sepenanggungan dijadikan dasar untuk mewujudkan persatuan. Pencerahan sebagai hasil akses pengetahuan dijadikan alat agar tidak mudah dipecah belah sebagaimana yang dilakukan pada generasi sebelumnya.

Dengan model pendidikan yang dilakukan oleh nasionalis atau seringkali disebut pendidikan swasta tersebut menimbulkan kekhawatiran pemerintah kolonial. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda melakukan intervensi melaui pengawasan dan kontrol terhadap institusi-institusi pendidikan ini. Intervensi tersebut dengan ordonasi sekolah tahun 1925, yang termuat dalam Indischhe Staatsblad nomor 260 mengatur hak pemerintah mengontrol perguruan swasta.[21] Dalam perjalanannya, sistem pendidikan semakin ditekan lagi oleh pemerintah kolonial dengan Ordonasi sekolah Liar tahun 1932 yang tercantum pada Indische Staatsblad Nomor 94 yang menggunakan fungsi kontrol dari preventive menjadi repressive.[22]  Yakni membatasi keberadaan sekolah-sekolah yang dianggap liar (kebanyakan sekolah yang didirikan dan dikelola kaum pribumi) melalui perizinan dan juga pengawasan ketat terhadap pengajarannya.

Terlepas dari adanya sekolah yang bercorak nasionalis di atas, secara garis besar politik hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda ini menurut Ary. H Gunawan memiliki ciri-ciri:[23]

1.    Pemerintah kolonial tidak memihak salah satu agama tertentu;

2.    Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah;

3.    Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat;

4.    Pendidikan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda;

5.    Dasar pendidikannya adalah pendidikan barat dan berorientasi pada kebudayaan barat.

Sedangkan menurut S. Nasution politik pendidikan memiliki ciri-ciri:

1.    Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia;

2.    Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi;

3.    Kontrol sentral yang kuat;

4.    Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan;

5.    Prinsip Konkordinasi yang menyebabkan sekolah di negeri Indonesia sama dengan di Negeri Belanda;

6.    Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi.

Sedikit berbeda adalah yang ciri-ciri yang disampaikan oleh H.A.R Tilaar yang melihat politik pendidikan bukan dari sisi pemerintahan kolonial semata tetapi bagaimana upaya-upaya pribumi untuk mendidik dirinya sendiri. Ciri-ciri yang disampaikannya adalah:

1.    Sistem pendidikan menganut sistem dualisme;

2.    Sistem konkoordinasi;

3.    Sentralisasi;

4.    Menghambat gerakan nasional;

5.    Perguruan swasta yang militan.

 

b.      Politik Hukum Pendidikan dalam Masa Pendudukan Jepang

Awal abad ke dua puluh, Jepang mengadakan nasionalisme dan mengadakan tanda tangan pakta anti komintern dan bergabung dengan Jerman dan Italy untuk suatu aliansi yang disebut Axis.[24] Dengan perjanjian tersebut Jepang menjadi satu-satunya aktor Negara fasis yang berada di Asia. Jepang menginvansi Manchuria di Tiongkok dan negara-negara Asia lainnya termasuk Hindia Belanda.[25] Militer Jepang menduduki Asia dengan mengaku sebagai ”Kakak tertua” dari bangsa-bangsa Asia dengan semboyan yaitu Jepang pemimpin Asia, Jepang cahaya Asia dan Jepang pelindung Asia. Pada asalnya kehadirannya diterima oleh bangsa-bangsa Asia yang diduduki dan dengan mudah mendapatkan dukungan. Namun kemudian terlihat motivasi utama untuk mendapatkan dukungan tersebut hanyalah siasat Jepang untuk memenangkan perang dan membangun  sistem colonial baru atas bangsa-bangsa yang didudukinya. Oleh karena itu, ada upaya dari jepang untuk senantiasi menarik simpati dan dukungan bangsa yang didudukinya dalam memenangkan peran dan selain itu juga segala kebijakan berbau kolonial lama ingin secepatnya dihapuskan.

Dalam bidang pendidikan, Jepang dengan cepat melakukan perubahan-perubahan di Indonesia. Bahasa Belanda dilarang dipergunakan sama sekali, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar resmi, baik di kantor-kantor maupun di sekolah-sekolah.[26] Dalam akses terhadap pendidikan pemerintahan militer Jepang tidak membedakan pendidikan penduduk berdasarkan golongan. Semua setara dan diharuskan untuk mengikuti pendidikan.Menurut Ary H. Gunawan pada akhir pendudukan Jepang di Indonesia terdapat tanda-tanda untuk men-Jepang-kan Indonesia, hal tersebut terlihat dalam berbagai sektor pendidikan yang meliputi guru-guru, murid dan lembaga sekolahnya.[27]

Dalam memperlakukan guru, diadakan pelatihan untuk mempersamakan mindset berpikir. Mereka berasal dari berbagai daerah dan kabupaten. Sekembali dari pelatihan mereka mendapat tugas menyebarkan gagasan tersebut kepada guru-guru yang lain. Materi dalam pelatihan tersebut berisi:[28]

a)    Indoktrinasi mental dan ideologi mengenai Hakko Ichiu dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia raya;

b)   Latihan kemiliteran dan semangat Jepang;

c)    Bahasa dan sejarah Jepang dengan adat istiadat;

d)   Ilmu bumi ditinjau dari segi geopolitis;

e)    Olahraga, lagu-lagu dan nyanyian Jepang.

Untuk para siswa, dilakukan indoktrinasi yang lebih ketat. Kepada mereka ditanamkan nilai-nilai untuk loyal kepada Jepang. Kepada mereka dibebankan kewajiban dan keharusan untuk:[29]

a)    Setiap pagi menyanyikan lagu kebangsaan Jepang yaitu “Kimigayo”;

b)   Setiap pagi harus mengibarkan Bendera Jepang “Hino-Maru”;

c)    Setiap pagi harus menghadap ke arah negara Jepang sambil menghormat dengan membungkukkan badan 90 derajat yang disebut “Seikerei” kepada Kaisar Jepang “TennoHaika”;

d)   Setiap pagi harus mengucapkan sumpah setia kepada cita-cita Indonesia dalam rangka “Asia Raya” yaitu “DaiToa”;

e)    Setiap pagi harus melakukan senam pagi (Taiso) untuk memelihara semangat Jepang;

f)    Melakukan latihan-latihan fisik dan kemiliteran (menKyoren);

g)   Melakukan kerja bakti (Kinrohosyi) seperti membersihkan asrama militer, jalan raya, menanam pohon jarak, menebang hutan jati, mencariiles-iles, mengumpulkan bahan-bahan keperluan-keperluan bahan militer, dan sebagainya.

Dari aspek kelembagaan sekolah juga dilakukan perombakan, semua sekolah bisa diakses untuk semua penduduk dan tidak ada kelas-kelas lagi. Penjenjangan dan masa study hampir sama dengan yang ada saat ini yaitu pada jenjang sekolah dasar atau sekolah rakyat selama 6 tahun, jenjang lanjutan pertama yaitu 3 tahun dan sekolah menengah tinggi (SMA atau SMK) juga tiga tahun.[30]

Terlepas dari upaya men-Jepangkan tersebut, ada beberapa sisi positif dari  sistem pendidikan sebagaimana H.A.R Tilaar menjelaskan beberapa dampak pendidikan di masa Jepang yaitu:[31]

1)   Pendidikan untuk kebutuhan perang Asia Timur Raya;

2)   Hilangnya sistem dualisme dalam pendidikan;

3)   Perubahan sistem pendidikan yang lebih merakyat (Populis);

4)   Perubahan-perubahan didalam kurikulum.

Khusus untuk pendidikan yang merakyat (populis) lebih lanjut Tilaar memberikan beberapa ciri yaitu:[32] Pertama, adanya demokrasi pendidikan; Kedua, hapusnya sistem konkoordinasi; Ketiga, bahasa Indonesia sebagai lingua franka dan bahasa ilmiah; Keempat, menanamkan kepedulian sosial; Kelima, pendidikan kewiraan dan; Keenam, pendidikan luar sekolah.[33] Terlepas dari semua konsep ideal tersebut dalam faktanya jumlah sekolah, murid dan guru mengalami kemerosotan yang luar biasa dibanding dengan zaman Hindia-Belanda. Sekolah dasar dari 21.500 menjadi 13.500 jumlahnya, sekolah lanjutan dari 850 tinggal 20, jumlah murid sekolah dasar merosot 30% sedangkan sekolah menengah merosot 90%, guru sekolah rendah merosot 35 % sedangkan sekolah menengah yang tersisa tinggal 5%. Kondisi di atas terjadi sebab tujuan utama kehadiran tentara Jepang adalah untuk memenangkan perang dengan tentara Sekutu sehingga upaya-upaya pada bidang lain dilakukan hanya sekedar untuk mencapai tujuan tersebut.

c.       Politik Hukum Pendidikan dalam Masa Orde Lama

Kekalahan Jepang dalam perang dalam perang dunia II mengakhiri masa pendudukan militer di negara-negara yang dijajahnya termasuk Indonesia. Sekutu sebagai pemenang memerintahkan Jepang untuk tidak melakukan perubahan politik di negara-negara jajahannya, sedangkan Sekutu belum datang untuk menduduki Indonesia.Terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) di Indonesia yang dimanfaatkan untuk mendeklarasika proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945. Kemerdekaan tersebut mendapatkan tantangan besar sebab Belanda sebagai anggota dari blok Sekutu yang memenangkan perang menginginkan untuk menjajah kembali. Pada sisi lain Indonesia yang sudah memproklamirkan diri dan trauma terhadap pemerintahan Hindia Belanda berusaha membuang jauh-jauh segala hal yang berbau kolonialisme. Situasi tersebut mengakibatkan revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan pada satu sisi dan penataan sistem pemerintahan yang anti colonial menjadi suatu keharusan di masa itu.

Dalam kondisi yang demikian maka tujuan dari pendidikan nasional Indonesia yang dibangun pada awal kemerdekaan adalah pembentukan warga negara yang sejati yang sanggup menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk negara dan bangsa Indonesia.[34] Untuk mewujudkan tujuan yang demikian maka sistem pendidikan nasional diselenggarakan dengan cara yang sepenuhnya berlawanan dengan sistem pendidikan zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pendidikan diatur dalam Pasal 31 yang berbunyi:

(1)     Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

(2)     Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.

Hal yang mencolok dari ketentuan konstitusi tersebut adalah pendidikan menjadi hak bagi setiap warga negara, artinya akses pendidikan harus dinikmati oleh seluruh rakyat dan tidak lagi bersifat elitis dan berdasarkan kelas-kelas social. Sebagai tindaklanjutnya, beberapa bulan pasca proklamasi, Menteri Pendidikan Ki Hajar Dewantara mengeluarkan “instruksi umum” menyerukan kepada para guru supaya membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan patriotisme.[35]

Berlandaskan pengaturan konstitusi di atas, meskipun dasar dari pengaturan sudah bersifat revolusioner tetapi dapat dianggap sebagai pengaturan yang masih minimalis. Hal tersebut wajar mengingat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memang ditujukan sebagai konstitusi sementara sebagaimana dinyatakan Soekarno ketika pembahasan Undang-Undang tersebut di BPUPKI yang menyatakan

“Undang-undang Dasar yang dibuat sekarang adalah Undang-undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”[36]

 

Dengan prinsip tersebut maka di masa selanjutnya jika ada waktu untuk pembahasan mengenai konstitusi Indonesia maka perumusan akan dibuat lebih mendetail dan lebih komprehensif. Hal tersebut terbukti pada perumusan-perumusan konstitusi yang diberlakukan di Indonesia setelahnya yakni Konstitusi RIS dan UUDS. Khusus perumusan aturan perihal sistem pendidikan, dalam konstitusi RIS dicantumkan pada Pasal 29 dan Pasal 39 yaitu:

Pasal 29

(1)    Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang dilakukan terhadap itu menurut peraturan-peraturan undang-undang.

(2)    Memilih pengajaran yang akan diikuti adalah bebas.

Pasal 39

(1)   Penguasa wajib memajukan sedapat-dapatnya perkembangan rakyat baik rohani maupun Jasmani, dan dalam hal ini teristimewa selekas-lekasnya menghapuskan buta huruf.

(2)   Di mana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan pengajaran umum yang diberikan atas dasar memperdalam keinsyafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan peri-kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan yang sama terhadap keyakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam jam pelajaran untuk mengajarkan pelajaran agama sesuai dengan keinginan orang tua murid-murid.

(3)   Murid-murid sekolah partikuklir memenuhi syarat-syarat kebaikan menurut Undang-Undang bagi pengajaran umum, haknya sama dengan hak murid-murid sekolah umum.

(4)   Terhadap pengajaran rendah, maka penguasa berusaha melakukan dengan lekas kewajiban belajar yang umum.

Dalam pengaturan di atas sudah tampak pengaturan tujuan system pendidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) di atas. Selain tujuan pendidikan, penyelenggara pendidikan tidak hanya menjadi domain pemerintah tetapi juga melibatkan peran aktif masyarakat yang kedudukannya disamakan dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagaimana Pasal 39 ayat (3). Terhadap corak seperti apa sistem pendidikan diatur dalam Pasal 29 yang menekankan pada kebebasan sebagai pengaruh dari gerakan penguatan hak asasi manusia dikancah internasional lewat Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948.

 Bubarnya RIS dan kembali Indonesia kepada bentuk negara kesatuan tidak serta merta UUD Tahun 1945. Dalam masa itu dibentuk UUDS yang ditujukan sebagai konstitusi sementara sampai selesai disusun Konstitusi sebagaimana yang diharapkan oleh founding father. Dalam UUDS ini pengaturan tentang system pendidikan tercantum dalam 31 dan 41 yang isinya tidak jauh berbeda dengan Konstitusi RIS. Hanya saja dalam Pasal 31 ayat (1) ketentuan bahwa pengajaran sebagai hak tiap-tiap warga dicantumkan kembali.

Bersamaan dengan UUDS, pengaturan sistem pendidikan dalam level Undang-Undang yang pertama juga terwujud yakni Undang-Undnag No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 beberapa pokok yang menjadi isu hangat selama pembahasan rancangan UU tersebut yaitu yang berkenaan dengan:[37]

1.    Pendidikan masyarakat, dalam konsep ini sebagaimana dalam penjelasan UU tersebut memberikan kritikan keras atas sistem pendidikan kolonial yang hanya menerima sebagian kecil rakyat Indonesia terutama yang golongan atas saja. Selain hal tersebut juga diperdebatkan mengenai pendidikan sekolah dan luar sekolah;

2.    Pendidikan agama, yang menjadi perdebatan adalah apakah pendidikan agama diharuskan atau tidak di sekolah-sekolah pemerintah;

3.    Sekolah swasta, bahwa selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, sekolah swasta memiliki peran yang tidak kecil untuk itu. Sekolah swasta menjadi wadah menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme untuk mengusir penjajahan;

4.    Tujuan Pendidikan Nasional, dalam perdebatan ini adalah haruskah manusia Indonesia sekedar cakap atau juga sekaligus beragama. Dalam rumusan yang dihasilkan menyatakan Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air;

5.    Bahasa Indonesia, perdebatan tentang hal ini lebih untuk menekankan betapa perlunya pengembangan bahasa Indonesia sebagai pengantar dan bahasa pemersatu. Sekaligus perdebatan tentang bagaimana posisi bahasa daerah.

Sistem pendidikan yang ada dalam UU ini setidaknya memiliki rumusan yang jelas arah dan tujuannya misalnya dinyatakan bahwa sifat dari pendidikan yang diadakan adalah nasional dan demokratis. Nasional artinya penyelenggaraan berdasarkan kebudayaan sendiri dan dilaksanakan untuk secara keseluruhan wilayah Indonesia serta akses yang mudah. sedangkan demokratis adalah anak didik akan menjadi manusia-manusia yang demokratis. Dalam UU tersebut mengenai pembiayaan, sudah diberikan pengaturan mengenai pendidikan yang gratis di tingkat pendidikan rendah.

Pada 5 Juni 1959 Soekarno melalui Dekrit Presiden membubarkan Dewan Konstituante dan menyatakan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Dekrit tersebut dilanjutkan dengan pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 sebagai penjelasan atas Dekrit[38]. Selain sekedar memberi penjelasan, pidato juga berisi arah politik Indonesia ke depan yang dikenal dengan manifestasi politik (Manipol) dengan substansi yang menjadi pedoman UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia (USDEK). Faham Manipol-Usdek sudah sedemikian kuat indoktrinasinya sehingga disetarakan dengan Pancasila saat itu. konsekwensinya adalah Faham ini harus dilaksanakan dalam setiap lini kehidupan termasuk juga dalam pendidikan.Tujuan pendidikan diarahkan pada 5 hal yang terkenal dengan Dharma Bhakti pendidikan yaitu:[39]

1.    Pendidikan sebagai pembina Manusia Indonesia Baru yang berakhlak tinggi;

2.    Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan;

3.    Pendidikan sebagai lembaga pengembang Kebudayaan Nasional.

4.    Pendidikan sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan, teknik dan fisik/mental.

5.    Pendidikan sebagai lembaga penggerak seluruh kekuatan rakyat.

Upaya untuk lebih melegitimasi faham Manipol-Usdek adalah dengan menuangkan dalam aturan formal yaitu Undang-Undang Nomor 19 Pnps tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Pancasila. Dalam rangka memantapkan garis politik yang dijelaskan sebagai garis dan strategi pelaksanaan pendidikan pada taraf revolusi yang Nasional-Demokratis harus melahirkan patriot-patriot komplit, yang berdasarkan Pancasila-Manipol Usdek menentang segala bentuk pengisapan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa ialah: a. Imperialisme; b. Kolonialisme dan Neo-Kolonialisme; c. Feodalisme dan; d. Kapitalisme dan yang berjuang dengan penuh keyakinan untuk membangun suatu masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur serta membangun dunia baru.[40] Upaya tersebut berakhir segera setelah meletusnya peristiwa G 30 S/PKI atau Gestok yang sekaligus meruntuhkan kekuasaan Soekarno serta faham-faham yang dibawanya.

d.      Politik Hukum Pendidikan dalam Masa Orde Baru

Pada saat menjelang berakhirnya orde lama, politik luar negeri Indonesia dengan paham Manipol Usdeknya cenderung berpihak kepada Blok Timur (komunis). Hal ini mengakibatkan kerenggangan dengan Blok Barat. Dengan alasan semangat revolusi dan berdikari, pada tanggal 17 Agustus tahun 1965 Indonesia keluar dari keanggotaan IMF, BANK Dunia dan PBB.[41] Tekanan-tekanan dari dunia internasional atas kehidupan ekonomi dan politik Indonesia menyebabkan terjadinya inflasi yang sangat tinggi. pada tahun 1966 mencapai 635% dan membuat harga kebutuhan pokok semakin tidak terjangkau.[42] Hal itulah factor yang menyebabkan kemarahan rakyat semakin besar atas pemerintahan Soekarno.

Berdasarkan kondisi yang terjadi diatas, penguasa baru merumuskan strategi dasar untuk mengembangkan kehidupan masyarakat Indonesia dengan mengambil prioritas pengembangan bidang Ekonomi.[43] Hal tersebut kemudian menjadi arah politik hukum yang diterapkan dalam segala bidang kehidupan kebangsaan. Arah dan tujuan pendidikan pada masa ini dirumuskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yang diwadahi oleh peraturan berupa TAP MPR yang kedudukannya diatas Undang-Undang. Dalam TAP nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN diatur desain pendidikan disesuaikan dengan keperluan pembangunan atau yang mampu menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan untuk pembangunan dan harus dilakukan secara bersama dan serasi. Dasar dalam pembangunan dibidang pendidikan yaitu Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berpancasila, orientasi dari pendidikan adalah pembangunan dan merupakan bagian dari pembangunan ekonomi yang dicanangkan sejak awal. Dalam TAP MPR tersebut kedudukan Pendidikan sendiri sama sekali bukan prioritas pembangunan orde baru karena dikalahkan oleh prioritas keamanan, ketahanan nasional dan kesatuan yang diangkat menjadi sesuatu yang paling utama.[44] Prioritas-prioritas tersebut ditetapkan semata ditujukan untuk mendukung pembangunan ekonominya ala Orde Baru.

Politik hukum pendidikan dilanjutkan oleh TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 yang memberi arah dan tujuan pendidikan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Pada masa ini dimulailah penerapan konsep untuk penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat dan karenanya dimasukkan sebagai kurikulum dari TK sampai Universitas. Begitu juga untuk GBHN-GBHN setelahnya tidak jauh beda rumusan tujuan pendidikan dengan yang sudah ada. TAP-TAP tentang GBHN sejak tahun 1978 tersebut memuat masalah-masalah pokok pendidikan saat itu yaitu:[45]

a.    Masalah pemerataan pendidikan;

b.    Masalah peningkatan mutu pendidikan;

c.    Masalah efektifitas dan efisiensi pendidikan;

d.    Masalah relevansi pendidikan dengan pembangunan nasional.

Dari orientasi tersebut nampak bahwa pendidikan hanya merupakan sub bagian yang mendukung untuk pembangunan ekonomi bukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

Selain TAP MPR tentang GBHN, masaorde baru telah melahirkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Undang-Undang ini karena suasana politik hukum saat itu yang mengarahkan pada pembangunan maka juga berparadigma pada pembangunan. Pada masa orde baru tema tentang pembangunan sangat kuat digalakkan. Pembangunan memerlukan stabilitas, stabilitas di bentuk oleh kepemimpinan yang kuat namun kepemimpinan yang tidak ada kontrol akan melahirkan otoritarianisme. Dan Undang-undang ini lahir dari jiwa untuk melestarikan suatu sistem, yaitu sistem totaliter dan sentralistis.[46] Dalam mengkritisi politik hukum yang dilakukan oleh penguasa orde baru ini, H.A.R. Tilaar memberikan beberapa nilai negatif yaitu:[47]

1.    Kepemimpinan yang kuat cenderung otoriter. Demikian pula kehidupan bermasyarakat agak tertutup dan tertekan;

2.    Sosialisasi nilai-nilai Pancasila bersifat indoktrinasi sehingga merupakan lip service terutama bagi para pemimpin;

3.    Demokrasi terabaikan dan dengan demikian hak-hak asasi manusia disepelekan.

4.    Pembangunan cenderung bukan untuk manusia Indonesia, melainkan untuk pembangunan itu sendiri.

Dari apa yang disampaikan oleh Tilaar tersebut mendapatkan kebenarannya tatkala dikeluarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1979 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang menjadi satu-satunya tafsir negara untuk memaknai falsafah negara. Akibatnya Pancasila menjadi alat Indoktrinasi melalui pendidikan untuk mempertahankan rezim. Sifat sentralisasi juga muncul dengan pakaian seragam yang diberlakukan mulai dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah.[48] Dan pada saat itu pula diberlakukan NKK/BKK sebagai bentuk tindakan represif pemerintah.[49]Dalam NKK/BKK ini memasung kreatifitas dan kebebasan akademik di perguruan tinggi.[50] Dari aspek kurikulum, karena orientasi pendidikan untuk pembangunan maka kurikulum juga dibuat seragam untuk tujuan itu salah satunya adalah  sistem pengujian nasional dan cenderung menonjolkan skill akademis yang berguna bagi pembangunan di banding lain semisal pembangunan karakter.

3.       Politik Hukum Pendidikan dalam Amandemen UUD 1945

Dalam amandemen UUD 1945, terdapat perubahan yang mendasar dalam ketentuan yang mengatur tentang pendidikan. UUD pasca amandemen mengatur tentang pendidikan dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:

(3)     Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

(4)     Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.

Dalam pengaturan pasca amandemen berubah menjadi lima ayat yaitu:

(1)     Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2)     Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

(3)     Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

(4)     Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5)     Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Perdebatan dalam pembahasan oleh Panitia Ad Hoc saat itu berkisar pada pergantian istilah pengajaran menjadi pendidikan, wajib belajar, Anggaran pendidikan serta pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.[51]Dalam pembahasan itu para peserta sidang menekankan bagaimana peran negara yang harus ditingkatkan dalam pendidikan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh ketertinggalan pendidikan dari negara-negara lain. Persoalan wajib belajar, penganggaran yang definitif 20%, pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi satu paket solusi yang ditawarkan. Substansi hasil amandemen UUD sebenarnya sudah mulai dimunculkan sejak dalam TAP MPR tentang GBHN 1999-2004.[52]Dalam Bab II mengenai kondisi umum bangsa Indonesia pada zaman itu digambarkan:[53]

Di bidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.

Hal demikian dapat dipahami, orientasi pembangunan yang digencarkan oleh orde baru terfokus pada pembangunan ekonomi semata, dan lebih spesifik pada swasembada pangan. Pada bidang pendidikan dan persoalan lainnya di luar pembangunan ekonomi hanya menjadi pelengkap semata. Dalam TAP tersebut bukan saja pada pendidikan an sich mulai terdapat kesadaran, tetapi juga yang berkaitan dengan pengembangan serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi juga pendidikan agama dan pendidikan politik warga negara.Terdapat tujuh point yang dihasilkan untuk menjadi solusi atas permasalahan pendidikan dalam GBHN tersebut yaitu:[54]

1.    Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;

2.    Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;

3.    Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional;

4.    Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.

5.    Melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen;

6.    Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

7.    Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sendiri mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.

Upaya-upaya dalam amandemen itu tidak serta merta sesuai dengan cita-cita. Pada kenyataannya justru mengalami dilematika yang besar, sebab pada periode yang bersamaan Indonesia telah meratifikasi perjanjian GATT menjadi WTO dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga memasuki area pasar bebas perdagangan pasar dunia. Dalam wilayah ini, prasyarat yang harus dipenuhi untuk terlibat adalah meminimalisir peran negara. Kebijakan negara dalam turut serta mengatur perdagangan dapat dicurigai sebagai intervensi. Dalam pendidikan, agenda setting yang dimainkan oleh WTO adalah menjadikannya sebagai salah satu komoditi berupa jasa/pelayanan. Pendidikan bukan lagi sebagai hak yanhg harus dipenuhi negara tetapi sebagai jasa yangh untuk mendapatkannya perlu sejumlah pengorbanan. Dalam penyediaan jasa tersebut WTO menurut Sofian Effendi mantan Rektor UGM mengidentifikasikan ada 4 hal untuk melaksanakannya yaitu:[55]

1.    Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program, atau Mode 1;

2.    Consumptionabroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau Mode 2;

3.    Commercialpresence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership,subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau Mode 3, dan

4.    Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4.

Sofian juga menambahkan bahwa untuk mewujudkan keempat hal tersebut WTO dalam kerangka liberalisasi pendidikan menuju perdagangan bebas jasa, mendorong agar pemerintahan negara-negara anggota tidak menghambat metode-metode diatas dengan kebijakan intervensionis.[56] Itu artinya negara tidak boleh campur tangan terlalu jauh dalam penyelenggaraan pendidikan, keterlibatannya dibatasi. Selain itu, pendidikan bukan lagi sebagai hak setiap warga negara melainkan suatu jasa yang untuk mendapatkannya dibutuhkan pengeluaran finansial.

PENUTUP

Bahwa sebagaiman paparan di atas dapat disimpulkan bahwa politik hukum  sistem pendidikan di Indonesia memiliki karakter dengan wajah yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut lahir karena tujuan yang melatarbelakanginya. Tujuan tersebut berasal dari siapa yang memiliki kepentingan dengan tujuan tersebut. Untuk menjawab apa saja kepentingan itu yang nantinya akan dipersonifikasi menjadi siapa adalah tidak mudah untuk menentukannya. Pastinya akan selalu ada pertanyaan, siapakah yang diuntungkan dari  sistem pendidikan tersebut.

 

BAHAN BACAAN

Ary H. Gunawan, 1986, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan Di Indonesia, Bina Jakarta, Jakarta.

Dhakidae, D., 2003, Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru, Gramedia Pusataka Utama, Jakarta,.

H.A.R Tilaar,1995, Lima Puluh Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1955; Suatu Analisis Kebijakan, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,

H.A.R Tilaar, 2012, Kaleidoskop Pendidikan Nasional, Kompas Media Nusantara, Jakarta.

S. Nasution,1995. Sejarah Pendidikan Indonesia. PT. Bumi Aksara, Jakarta

Sartini dan Saring Arianto, “Jepang: Habis Gelap Terbitlah Terang (Tinjauan Sejarah Jepang Pasca Peran Dunia II)”, Jurnal SOSIO e-KONS,Vol. II, No. 1, Februari-April 2010.

Sofian Efendi, GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi, http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/GATS-dan-Liberalisasi-Pendidikan.pdf

Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IX Pendidikan dan Kebudayaan, Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahapan Pertama 1961-1969.

TAP MPR Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Perlunya Dibentuk Panitia Penelitian MPRS tentang Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

TAP MPR NOMOR IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.

Undang-Undang Nomor 19 Pnps Tahun 1965 Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Pancasila.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1959 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran Sekolah.

SK No.0156/U/1978 perihal Normalisasi Kehidupan Kampus

SK menteri P&K No.037/U/1979 Perihal Badan Koordinasi Kemahasiswaan.

SK Menteri No. 052/C/Kep/D/1982 tentang pakaian seragam sekolah dan Surat Keputusan No. 100/C/Kep/D/1991 tentang Penggunaan “Seragam Yang Khas” Untuk SLTP dan SMA.

 

 



[1]       S. Nasution,1995. Sejarah Pendidikan Indonesia. PT. Bumi Aksara, Jakarta hlm 3

[2]       Ibid., hlm. 3.

[3]       Ibid., hlm. 4.

[4]       H.A.R Tilaar,1995, Lima Puluh Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1955; Suatu Analisis Kebijakan, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 26.

[5]       Ary H. Gunawan, 1986, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan Di Indonesia, Bina Jakarta, Jakarta, hlm. 9.

[6]       S. Nasution, Op.cit., hlm. 5.

[7]       Ibid.

[8]       Ibid., hlm. 8.

[9]       Ibid., hlm. 9.

[10]     Ibid., hlm. 10.

[11]     Ibid., hlm. 11.

[12]     Ary H. Gunawan, Op.cit.,hlm.13.

[13]     Ibid., hlm. 14.

[14]     Ibid.

[15]     Ibid., hlm. 19. Hal ini menjadi landasan bagi politik yang dikenal dengan politik etis yang menitikberatkan pada tiga sasaran yaitu pendidikan, irigasi dan imigrasi. Lihat juga S. Nasution,1995, Sejarah Pendidikan Indonesia,Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 15.

[16]     S. Nasution, Op.cit., hlm. 15.

[17]     H.A.R Tilaar, Op.cit., hlm. 26.

[18]   Ibid.

[19]     Ibid., hlm. 27.

[20]     Ibid., hlm. 28.

[21]     Ibid., hlm. 40.

[22]     Ibid.

[23]     Ary H. Gunawan, Op.cit.,hlm.11.

[24]     Sartini dan Saring Arianto, “Jepang: Habis Gelap Terbitlah Terang (Tinjauan Sejarah Jepang Pasca Peran Dunia II)”, Jurnal SOSIO e-KONS,Vol. II, No. 1, Februari-April 2010, hlm. 61.

[25]     Ibid.

[26]     Ary H. Gunawan, Op.cit., hlm. 25.

[27]     Ibid., hlm. 25.

[28]     Ibid., hlm. 25-26.

[29]     Ibid., hlm. 26-27.

[30]     Ibid., hlm. 27.

[31]     H.A.R Tilaar, Op.cit., hlm. 44.

[32]     Ary H. Gunawan, Op.cit., hlm. 28.

[33]     Ibid., hlm. 49-55.

[34]     Ibid., hlm. 35.

[35]     H.A.R Tilaar, Op.cit., hlm. 70.

[36] Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan undang-undang Dasar 1945, Yayasan Prapandja, Jakarta.

[37]   Ibid., hlm 74-76. Lihat juga Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1959 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran Sekolah.

[38]   Penjelasan TAP MPR Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Perlunya Dibentuk Panitia Penelitian MPRS tentang Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

[39]     TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahapan Pertama 1961-1969.

[40]     Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Pnps Tahun 1965 Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Pancasila.

[41]   “Sejarah BANK Indonesia: Moneter Periode 1959-1966”, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/CF79E6F1-376E-45E5-ADCD-17B9D59587B0/866/SejarahMoneterPeriode19591966.pdf, diakses 20 Mei 2013.

[42]     Ibid.

[43]     Hal ini didasarkan pada hasil seminar Angkatan Darat kedua pada tahun 1967 di Bandung. Lihat pada H.A.R. Tilaar, Op.cit., hlm. 112.

[44]     Dhakidae, D., 2003, Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru, Gramedia Pusataka Utama, Jakarta, hlm. 688.

[45]     Ary H. Gunawan, Opcit., hlm. 59.

[46]     H.A.R Tilaar, 2012, Kaleidoskop Pendidikan Nasional, Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 1099.

[47]     Ibid., hlm. 1105.

[48]     Terdapat dalam SK Menteri No. 052/C/Kep/D/1982 tentang pakaian seragam sekolah dan Surat Keputusan No. 100/C/Kep/D/1991 tentang Penggunaan “Seragam Yang Khas” Untuk SLTP dan SMA.

[49]   Normalisasi Kehidupan Kampus berdasarkan SK No.0156/U/1978 sedangkan Badan Koordinasi Kemahasiswaan dengan SK menteri P&K No.037/U/1979.

[50]   Dhakidae, D., Op.cit., hlm. 669.

[51]     Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IX Pendidikan dan Kebudayaan, Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

[52]   TAP MPR NOMOR IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.

[53]     Ibid.

[54]     Ibid.

[55]     Sofyan Efendi, Loc.cit.

[56]     Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar