HUBUNGAN
EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL
A.
Pendahuluankan
Dewasa
ini tidak satupun Negara di dunia yang melepasakan diri dari berhubungan dengan
Negara lain. Setiap Negara perlu menjalin hubungan dengan Negara lain baik
hanya sebatas pengakuan atau lebih lanjut diwujudkan dalam bentuk kerja sama.
Menurut konvensi Montevidio tahun 1933 bahwa suatu Negara berdiri bila
terpenuhi empat syarat, pertama adanya rakyat kedua adanya wilayah tertentu
ketiga adanya pemerintah yang berdaulat dan ke empat adalah kemampuan untuk
mengadakan hubungan dengan negara lain. Syarat pertama sampai ke tiga adalah
syarat perlu dalam mendirikan sebuah Negara sebab hal ini berhubungan dengan
internal suatu Negara yang harus terpenuhi keberadaanya. Dengan 3 syarat
tersebut hanya menjadikan Negara secara de
facto eksistensinya, sehingga masih diperlukan adanya syarat cukup yang ke
empat yaitu kemampuan mengadakan hubungan
dengan Negara lain. Lebih jauh menurut Leuterpach dan Oppenheim[1]
untuk syarat berdirinya Negara unsure yang ke empat adalah pengakuan dari
Negara lain sebagai unsure declarative berdirinya
Negara.
Kemampuan
mengadakan hubungan internasional ini di bedakan menjadi dua, yaitu hubungan
internasional biasa dan hubungan internasional luar biasa. Hubungan
internasional biasa terjadi dimana suatu Negara mengadakan hubungan internasional
dengan mempertimbangkan kondisi negara secara normal dan kapasitasnya yang
mampu mengambil kebijakan tanpa adanya desakan, jenis bhubungan internasional
ini dibagi menjadi dua yaitu hubungan internasional dalam hal perutusan dan
penempatan diplomatic dan hubungan internasional dalam hal perjanjian
internasional dengan Negara lainnya. kedua jenis hubungan itu saling
berkorelasi satu sama lainnya. Tidak mungkin suatu Negara mampu mengadakan
perjanjian internasional tanpa terlebih dahulu menempatkan perwakilan
diplomatiknya pada Negara pihak perjanjian, begitu pula sebaliknya untuk
menempatkan perutusan diplomatic hanya bisa dilakukan dengan perjanjian bagi
Negara penerima utusan diplomatic Negara tersebut. Perkembangan hukum
internasional sejauh ini menempatkan perjanjian internasional tidak hanya
sebatas dengan satu Negara tetapi sekaligus bias dengan banyak Negara dalam
satu perjanjian, bahkan juga pada entitas selain Negara, seperti pada
organisasi internasional. Jenis hubungan internasional yang luar biasa adalah
dengan mempertimbangkan kondisi Negara yang menghadapi ancaman dari Negara
lainnya yang di wujudkan dengan pernyataan perang atau dengan peperangan
terhadap Negara lainnya.
Permasalahan
hubungan internasional yang dilakukan sebagai bentuk kebijakan politik luar
negeri tidak di pandang sebagai permasalahan dalam hukum internasional semata,
tetapi penting juga dilihat dari perspektif hukum tata Negara. Dari hukum
internasional, hubungan antara Negara dengan Negara lainnya hanya sebatas hak
dan kewajiban yang timbul dari hubunga tersebut, sedangkan dari tinjauan hukum
tata Negara menyoal kewenangan untuk mengadakan perjanjian tersebut dan
tentunya sejauh mana kewenangan itu diatur dan kelembagaan apa saja yang
dilibatkan. Terutama dalam hukum tata negara membahas pemerintahan suatu negara
maka tidak bisa terlepas dari hubungan antara eksekutif dan legislative Negara
tersebut.
Dalam
makalah ini penulis hanya menfokuskan pada satu jenis hubungan internasional
yaitu perjanjian internasional dari perspektif hukum tata Negara. Lebih khusus
pada hubungan eksekutif dan legislative dalam perjanjian internasional. Mulai dari pembuatan sampai produk yang
dihasilkannya.
B.
Pokok Permasalahan
1. Bagaimana
pengaturan perjanjian internasional?
2. Bagaimana
hubungan antara eksekutif dan legislative dalam perjanjian internasional?
C.
Pembahasan
1. Pengaturan
perjanjian internasional
Indonesia adalah Negara
hukum sebagaiamana dicantumkan pada pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Konsep Negara
hukum di samakan dengan istilah asing rectstaat bagi system continental atau
rule of law bagi system hukum anglosaxon. Negara hukum atau rule of law menurut
Thomas Pain[2]
sebagai tidak ada satupun yang berada di atas hukum. Negara hukum adalah suatu
konsep yang melibatkan prinsip dan aturan yang member pedoman pada mekanisme
tertib hukum. Lebih jauh dalam mema’nai cita Negara hukum bias merujuk pada tulisannya Jimly Asshidiqiu[3]
yang menyatakan :
“
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep
‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu
dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi.
‘Nomos’ berarti norma sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan
sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum
atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law”
yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang
sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggeris dengan judul “The Laws”. jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu
sesungguhnya telah sejak lama
dikembangkan dari zaman Yunani Kuno
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting,
yaitu : (1) Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3)
Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha negara.
Sedangkan menurut A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law“, yaitu : (1)
Supremacy of Law. (2) Equality before the law. (3) Due Process of law.
Berdasarkan konsepsi Negara hukum maka
segala sesuatunya diatur dalam hukum, di Negara ini hukum tertinggi yang
menjadi sumber segala hukum, dan yang merupakan consensus warga Negara dalam mendirikan
Indonesia adalah UUD 1945. Pengaturan perjanjian internasional dalam hukum
positif Negara Indonesia adalah pasal 11 UUD 1945. Yaitu pasal 1 sampai dengan
pasal 3 yang berbunyi :
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undangundang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undangundang.
Pengaturan ini merupakan hasil dari
amandemen UUD. Sebelumnya pengaturan
perjanjian internasional hanya pada pasal 11 saja tanpa dipecah menjadi
beberapa pasal.
Dalam
sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia yang beberapa kali mengalami
perubahan system ketatanegaraan, baik dalam system pemerintahan secara umum
maupun hanya pada hubungan dan kewenangan diantara kelembagaan negaranya. Dalam
pengaturan perjanjian internasionalpun demikian. Perubahan pengaturan pertama
pada konstitusi RIS atau lebih tepatnya Keputusan Pres. RIS 31 Djan. 1950 Nr.
48.(c) LN 50–3) (du. 6 Peb. ’50) pada bagian ke 5
perhubungan luar negeri dari pasal 174 sampai 176 yang berbunyi
Pasal
174
Pemerintah
memegang pengurusan perhubungan luar-negeri.
Pasal
175
(1)
Presiden mengadakan dan mensahkan segala perdjandjian (traktat) danpersetudjuan lain dengan negara2 lain.
Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perdjandjian atau
persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan djika sudah disetudjui dengan
undang-undang.
(2)
Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain, hanja dilakukan
oleh Presiden dengan kuasa undang-undang federal.
Pasal
176
Berdasarkan
perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 175, Pemerintah
memasukkan Republik Indonesia Serikat kedalam organisasi2 antarnegara.
Konstitusi RIS di
berlakukan tidak lebih dari satu tahun, dengan perubahan system pemerintahan
yang dianut dari sistem pemerintahan parlementer kembali kepada presidensil maka
Undang-Undang Dasar pun diubah menyesuaikan kondisi ketatanegaraan yang
berlaku, adalah dengan UU no 7 tahun 1950 yang kemudian di tetapkan sebagai UUD
sementara. Pengaturan tentang Perjanjian internasional pada Bab V pasal 120 dan
yang berbunyi :
Pasal
120
1.
Presiden mengadakan dan mengesahkan perdjandjian (traktat) dan persetujuan lain
dengan Negara-negara lain. Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang,
perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah
disetudjui dengan undang-undang.
2.
Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain, dilakukan oleh
Presiden hanja dengan kuasa undang-undang.
Pasal
121
Berdasarkan
perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 120, Pemerintah memasukkan
Republik Indonesia kedalam organisasi-organisasi antara negara.
Setelah
upaya merumuskan UUD dari tahun 1950 sampai 1959 tidak membuahkan hasil yang
memuaskan, presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit presiden pada tanggal 5 juli
1959 yang isinya membubarkan dewan konstituante dan kembali pada UUD 1945. Dari
peralihan itu pengaturan perjanjian internasional di atur dalam pasal 11 UUD
sebagaimana yang belum di lakukan amandemen yaitu Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Sedangkan pengaturan di bawah
UUD sampai tahun 2000 tidak pernah dibuatkan dalam bentuk format Undang-Undang
maupun bentuk Peraturan Pemerintah, pengaturan perjanjian internasional
diatur dalam surat Presiden Republik
Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 yang menjadi rujukan dalam
konsideran setiap perjanjian Internasional yang dibuat. Pada UU no 37 tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri di atur didalamnya mengenai Perjanjian
internasional akan tetapi hanya secara umum, sedangkan pengaturan lebih lanjut
mengamanatkan dengan UU sendiri. Secara
khusus pengaturan tentang perjanjian internasional dituangkan dalam UU no 24
tahun 2000. Dengan memperitmbangkan pedoman pengaturan perjanjian internasional
sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi.
2. Hubungan
antara Eksekutif dan Legislatif dalam perjanjian internasional.
1. Hubngan
Eksekutif Dan Legislatif pada umumnya
Indonesia adalah Negara
Hukum, salah satu ciri Negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan. Upaya untuk mengadakan
pembatasan terhadap kekuasaan dilakukan dengan pola-pola pembatasan di dalam
pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan
pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam fungsi-fungsi yang
berbeda-beda[4]. Tujuan adanya pembatasan
kekuasaan ini adalah menghindari penumpukan kekuasaan pada satu orang yang
memperbesar peluang adanya tirani penguasa. Konsep pembatasan
kekuasaan pertama di kenalkan oleh John Locke dengan memisahkan cabang
kekuasaan berdasarkan fungsi yang dimliki. Ia membagi kekuasaan menjadi tiga
yaitu Eksekutif, Legislatif dan Federatif. Teori pembatasan kekuasaan yang
paling terkenal adalah yang di sampaikan oleh Montesquieu dengan “Trias
Politika” dalam bukunya “L’Espirit des Lois” (1784) yang terjemahan dalam bahasa inggrisnya “The
Spirit Of The Law” membagi cabang kekuasaan menjadi tiga yaitu Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif.
Dari pemisahan kekuasaan ini melahirkan bermacam-macam jenis
system pemerintahan, yang secara garis besar di bedakan menjadi tiga yaitu
Parlementer, presidensil dan semi presidensil. System pemerintahan parlementer
kekuasaan lagislatif lebih besar daripada eksekutif, yang duduk di kursi
pemerintahan adalah orang-orang dari legislative, kepala Negara dipisahkan dari
kepala pemerintahan dan eksekutif bertanggung jawab kepada legislative. Hal ini
berbanding terbalik dengan system pemeritahan presidensil, yang antara
eksekutif dan legislative dipisah dengan tegas secara fungsi dan strukturnya,
kepala pemerintahan dan kepala Negara dipegang oleh satu orang. Antara
pemerintah dan parlemen tidak saling bertanggung jawab dan tidak pula bisa
saling menjatuhkan. Masing-masing di pilih secara langsung rakyat. Sedangkan
system pemerintahan semi presidensil adalah gabungan di antara kedua system
sebelumnya dengan mengambil yang baik dari masing-masing.
Dalam konstitusinya menegaskan bahwa system
pemerintahan yang di anut adalah system presidensil. Lebih-lebih setelah adanya
amandemen UUD maka sitem presidensial yang dipilih semakin jelas dan mendekati
pemurnian sebagaiaman dalam teorinya. Menurut Rod Hague
pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu: 1. Presiden yang dipilih rakyat memimpin
pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. 2. Presiden
dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling smenjatuhkan.
3. Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan
legislatif. Sedangkan Giovanni Sartori
memberikan karakteristik system pemerintahan Presidensil yaitu kepala Negara
sekaligus kepala pemerintahan, adanya pemilihan presiden secara langsung, dua
legitimasi yaitu eksekutif dan legislative masing-masing mempunyai mempunyai
kewenangan sendiri dan adanya Fixed term yaitu
adanya masa jabatan yang tetap. Cirri-ciri system presidensil tersebut
terakoodasi dalam konstitusi pada Bab tiga UUD pasal 4 sampai pasal 15 dan juga
pasal 19 sampai 22 yaitu tentang Sewan perwakilan rakyat, Dewan perwakilan
Daerah dan Pemilihan Umum.
Pembahasan mengenai system pemerintahan yang berlaku
maka tidak hanya mengenai pemisahan
kekuasaan dan pemberian fungsi pada masing-masing cabang kekuasaan.
Pemerintahan adalah unsure-unsur kelembagaan dalam suatu Negara dan hubungan
antara masing-masing kelembagaan tersebut dalam menjalankan fungsi serta
kewenangannya yang saling mengawasi dan mengimbangi antara satu sama lainnya.
Indonesia dalam hal ini bias di lihat dalam kewenangan masing-masing cabang
kekuasaan misalnya legislative mempunyai kewenangan membentuk UU bersama
presiden (Legislasi), mempunyai kewenangan mengawasi pelaksanaan UU tersebut
oleh kekuasaan eksekutif (control) dan juga kewenangan menetapkan anggaran
(Budget). Eksekutif memiliki kewenangan dalam menjalankan Pemerintah berdasar
UU, dan juga eksekutif memiliki kewenangan mengusulkan rancangan UU. Sedangkan
kewenangan yudikatif di Indonesia di lakukan oleh dua kekuasaan ekhakiman yaitu
Mahkamah konstitusi dan Mahkamah Agung serta lingkungan peradilan di
bawahnya. Kewenangannya adalah melakukan
keuasaan kehakiman dengan independensinya.
2. Hubungan
Eksekutif dan legislative dalam pembuatan Perjajian Internasional.
A. Dasar
Hukum
Dasar hukum perjanjian
internasional di atur dalam pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi
(1)
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undangundang
Pasal
ini merupakan hasil amandemen perubahan ke empat Undang-Undang Dasar.
Sebelumnya pengaturan ini berupa pasal tunggal yang tidak berayat. berbunyi:“Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian denganNegara lain”, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang
terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan
bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan
Presiden sebelum perubahan, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan
dalamPasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) menyatakan:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan
PerwakilanRakyat”, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi:
“Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”. Pasal 20ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi:“Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat
(1) dan Pasal 20 ayat(1) tersebut terjadi pengalihan pembuatanUndang-Undang
dari tangan Presiden ke DPR.
Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan
pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab IIIUUD.
Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden
meliputi:
(1) kekuasaan eksekutif
(vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2) kekuasaan membentuk
Undang-Undang(vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan);
(3) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur
dalam BabIII menjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1) kekuasaan eksekutif;
(2) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan
dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan
Presiden Untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
Negara lain. Kedudukan Presiden dalam System presidensiil menjalankan dua
fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala
Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah
yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan
lembaga Negara lainnya.
B. Bentuk Hukum
Sebuah Perjanjian Internasional padaha kekatnya
adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak,dalam hal
ini antar Negara yang membuatnya. Dengan demikian dalam sebuah Perjanjian Internasional
tercerminkan kehendak dua pihak. Setiap Negara mempunyai aturan yang berbeda
tentang siapa yang berhak untuk mewakili Negara tersebut dan dari wakil itu pula
lah pihak Negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu
dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada
bunyiPasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presidenlah yang akan menyatakan,
membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak Negara lain secara prima facie dan
secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia
tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara
lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengen lembaga Negara lain untuk
mengetahui maksud dan kehendak Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan
pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum
dari pernyataan Negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah
pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang-undangan pernyataan
Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk
lain umpama saja PeraturanPresiden.
Pasal 11 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus
dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat
tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke
pihak luar tersebut harus berbentuk Undang-Undang. Pasal 11 ini tidak
mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah Undang-Undang, meskipun ada kemiripan
antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan Undang-Undang dengan prosedur
yang harus dipenuhi apabila Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan Negara lain,namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum
pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus
dalam bentuk hukum Undang-Undang.
Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan Negara lain diwadahi bentuk hukum Undang-Undang maka artinya
proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan Undang-Undang dan
hal yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan Negara lain mempunyai karakteristik yang berbeda.Sebagai
sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan Negara lain yang tidak
dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian terpaksa ditempuh jalan dengan
peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat
kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau proses pembuatan Undang-Undang
harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan
perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan
strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan
sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana
membahas suatu RancanganUndang-Undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda
dengan membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain yang
memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak.
Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan,
dalam hal ini antara Negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian
bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan
Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kedua pihak
setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan
tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan diantara keduanya
adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah
menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat
mengikat kepada kedua belah pihak.Praktik pengesahan dengan Undang-Undang menimbulkan
persoalan. Undang-Undang adalah bagian dari Hukum Nasional sedangkan perjanjian
dengan Negara lain merupakan kesepakatan antar Negara yang berada di luar ranah
urusan internal Negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh
Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan
kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan
Undang-Undang. Bagi pihak lainyang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk
terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.
Praktik pengesahan Perjanjian Internasional menimbulkan
pertanyaan apakah sebenarnya disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin
kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal Negara
lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu
disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal
tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan Negara lain dilakukan antar pihak
yang setara kedudukannya.
Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari
Perjanjian Internasional. Dalam sebuah Perjanjian Internasional termasuk hal
yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian,
yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting
karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran Perjanjian
Internasional yang disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi
dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional yang telah
disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran.
Apabila Perjanjian Internasional dituangkan dalam bentuk hukum Undang-Undang
dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan dengan yang disahkan
dalamUndang-Undang apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah
yang terdapat dalam lampiran Undang-Undang tersebut sebagai naskah otentik. Hal
demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah Negara
lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalamUndang-Undang Indonesia
sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah
PerjanjianInternasional yang dilampirkan dalam Undang-Undang ternyata tidak
diakui sebagai naskah otentik padahal Undang-Undang telah diundangkan
sebagaimana mestinya.
Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk
hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang
Juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional.
Dalam ketentuan UUD Pasal 20 ayat (5) dinyatakan: “Dalam hal rancangan Undang-Undang
yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkah
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang-Undang
tersebut disetujui RancanganUndang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan”. Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini.Presiden
telah mengajukan naskah Perjanjian Internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah
menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanisme pembuatan
Undang-Undang, maka ketentuanPasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden
belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi Undang-Undang terjadilah suatu
perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian
menyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk Tidak mempertahankan kesepakatan
yang telah diambil dalam Perjanjian Internasional karena dapatmenimbulkan
kerugian yang lebih besar dankemungkinan juga pihak Negara lain juga berkesimpulan
yang sama. Adanya ketentuanPasal 20 ayat (5) UUD akan menimbulkan masalah dalam
kasus yang demikian.
Bentuk perjanjian
dalam Undang-Undang juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan
perjanjian dengan
Negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri
atau memutuskan perjanjian
tersebut. Bentuk Keputusan Presidenakan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam
pembuatan Perjanjian Internasional dapat dilakukan di luar mekanisme Pembuatan Undang-Undang.
Dalam banyak Undang-Undang telah dikembangkan
mekanisme persetujuan DPR terhadap usulan Presiden namun bentuk hukumnya tidak
dalam bentuk Undang-Undang, sebagai missal pengangkatan jabatan-jabatan
tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di Negara lain tidak selalu member bentuk
Perjanjian Internasional sebagai Undang-Undang atau statute/law, Amerika
Serikat menentukan dalam Konstitusi bahwa Perjanjian Internasional dibuat oleh
Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk
Undang-Undang, karena Undang-Undang dibuat oleh Congress namun demikian Perjanjian Internasional tetap mengikat
Negara tersebut.
C. Persetujuan DPR dalam
pembuatan perjanjian Internasional
Pasal 11 UUD tidak mengatur hubungan antar hukum
nasional dengan hukum internasional namun mengatur kewenangan konstitusional
Presiden untuk membuat Perjanjian internasional dalam system UUD 1945. Presiden
menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensiil adalah kepala pemerintahan
dan berwenang untuk mewakili Pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri
dalam hal ini membuat Perjanjian Internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah
materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek Hukum
Internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibatke luar yaitu dalam
konteks hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan Negara lain yang mengadakan
perjanjian dengan Indonesia.
Apabila secara internal Presiden telah melakukan
sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah
Perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyaiakibat
hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula
baik terhadap lembaga Negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi
perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip
hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah
Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga Negara maupun
warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip
yang universal.
Pasal 11 menetapkan syarat yang harusdipenuhi
apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan denganNegara lain
dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR.Pembuat UUD
mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk
menentukan syarat tersebut. Disamping membuat perdamaian dan membuat perjanjiandengan
Negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan
DPR apabila Presiden membuat”Perjanjian Internasional lainnya” yang: (1) menimbulkan
akibat yang luas dan mendasarbagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan Negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan
Undang-Undang.Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan
pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan kontrak bisnis
internasional yang dilakukan Negara sebagai subyek Hukum Perdata. UUD mempertimbangkan
bahwa apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lain (demikian UUD menyebutnya)
yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan
beban Negara harus dengan persetujuan DPR.
Pasal 11
ayat (2) menggunakan istilah Perjanjian Internasional lainnya, yang
maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian
perdamaian dan perjanjian denganNegara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk
menetapkan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional lainnya.
Pengertian“yang lain” tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan
perjanjian denganNegara lain. Dengan demikian termasuk dalam pengertian
Perjanjian Internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan Subyek Hukum
Internasional lain selain Negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan
Subyek Hukum Internasional lain yang memerlukan persetujuan DPR adalah perjanjian
yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan Negara”. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan
DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur
dengan praktik Hukum Internasional.
Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat,DPR diperlukan
persetujuannya untukmembuat perjanjian yang disebutkan dalamPasal 11 ayat (2)
UUD, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran
perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karena menyangkut
kepentingan bangsa. Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan
Organisasi Internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan
DPR dengan alasan karenapihaknya bukan Negara dan karena bersifatperdata.
Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya
bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu Perjanjian
Internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban
yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa.
Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan
mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja dikemudian hari timbul
perselisihan antara Negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International
Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga
internasioal lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar Negara
sehingga bukan menjadi bagian Hukum Publik Internasional.
Pertimbangan konstitusionalitasnya karenaisi
putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada Negara dan
bangsa,baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk
membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada Negara selaku
badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan Negara atau Bangsa
karena jelasakan mengurangi kemampuan finansial Negara dalam menyelenggarakan
tugas-tugasnya.
D.
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Sebelum
amandemen UUD 1945 pengaturan perjanjian internasional secara konstitusional
hanya pada pasal 11 yang intinya dalam membuat perjanjian internasional adalah
kewenangan presiden yang membutuhkan persetujuan DPR.
b. Dalam
pembuatan perjanjian internasional hubungan antara eksekutif dan legislative
untuk jenis perjanjian internasional yang penting di wujudkan dalam bentuk UU
sebagaimana biasanya.
2. Saran
Bahwa persetujuan DPR yang selalu
berbentuk UU ternyata memiliki kerancuan baik secara teoritis maupun secara
yuridis. Sebab dalam perjanjianinternasional tidak hanya menggunakan konsep
Hukum Nasional (Tata Negara) tetapi juga Hukum internasional. Oleh karena
sebaiknya persetujuan tersebut sebatas konfirmasi sebagaimana pengangkatan
Kepala TNI atau KAPOLRI
E.
Daftar Pustaka
Buku
Istanto,
Soegeng . Huku Internasional, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 1994
Soehino,
Hukum tatanegara
hubungan fungsional antara lembaga-lembaga negara tingkat pusat menurut
undang-undang dasar Republik Indonesia 1945 Ed.ke-1
Yogyakarta: Liberty, 1984
Yogyakarta: Liberty, 1984
L.
Oppenheim, H. Lautevpacht, International law a treatise, 8th ed.
New York: Longman, Green And Co., 1955
New York: Longman, Green And Co., 1955
Website
http://tebar-ilmu.blogspot.com/2010/08/unsur-unsur-negara.htm
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/08/apa-itu-negara-hukum.html
http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf
http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan
Jurnal
dan Peraturan Perundang-Undangan
Jurnal
Konstitusi UMY edisi 1 Vol 2
Undang-Undang
Dasar 1945
Undang-undang
Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882)
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4012)
[1] http://tebar-ilmu.blogspot.com/2010/08/unsur-unsur-negara.html
dengan judul UNsur-Unsur Negara, di akses pada 15 juli 2011 jam 11.10 WIB
[2] http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/08/apa-itu-negara-hukum.html
oleh wawan Junaidi di akses pada 15 juli 2011 pada pukul 12.51 WIB.
[3] http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf
Oleh Jimly Asshidiqiu di akses pada 15
juli 2011 pada pukul 13.08
[4]
http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan/
oleh Gunawan Tauda dengan judul Pembatasan kekuasaan. Di akses 5 juli 2011 pada
jam 20.58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar