Rabu, 20 Juni 2012

pengujian TAP MPR PKI

PERMOHONAN PENGUJIAN
LARANGAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNISME/MARXISME-LENINISME
DALAM
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966
(DISETARAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG)
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945


OLEH:
1.    Prof. Dr. YUDI LENIN MARSIANTO, M.Phil.
2.    Dr. (HC) SAMA’OEN MUNIKARTO HADIKUSUMO
3.    Dr. ROBERT HUTAGAOL, S.H., M.Hum.
4.    LAFALD INITIATIVE
5.    ALIANSI MASYARAKAT PEDULI HUKUM (AMPUH)
6.    PUSAT STUDI KONSTITUSI DAN TATA NEGARA (PUSKANTARA) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DEMOKRASI

Jakarta, 23 September 2011
Kepada Yth.
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6
Jakarta Pusat 10110.

Hal      : Permohonan Pengujian Larangan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 (Disetarakan dengan Undang-Undang) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lamp. : 1 (satu) berkas.

Dengan hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1.   Syarif Fatahillah Harahap, S.H., M.Hum.
2.   Wahyudi, S.H., M.Hum
3.   Cipuk Wulan Adhasari, S.H.
4.   Akhyaroni Fuadah, S.H.
5.   Ametta Diksa Wiraputra, S.H.
Masing-masing adalah Advokat yang berdomisili di Jalan Daan Mogot No. 50F Jakarta Barat 11520, berdasarkan Surat Kuasa Khusus masing-masing tertanggal 20 September 2011 (asli terlampir), karenanya bertindak untuk dan atas nama:
1.   Prof. Dr. Yudi Lenin Marsianto, M.Phil., WNI, berkedudukan di Jalan Kyai Tapa Nomor 24 Grogol, Jakarta 11440, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON I.
2.   Dr. (HC) Sama’oen Munikarto Hadikusumo, WNI, berkedudukan di Jalan Srengseng Sawah Nomor 55 Jagakarsa Jakarta Selatan 12640, selanjutnya disebut PEMOHON II.
3.   Dr. Robert Hutagaol, S.H., M.Hum., WNI yang berkedudukan di Jalan Surga Gang Neraka Nomor 14A, Cilincing Jakarta Utara, selanjutnya disebut PEMOHON III.
4.   Lembaga Swadaya Masyarakat “Lafadl Initiative”, dalam hal ini diwakili oleh Haliman Efriansyah, S.I.P., WNI, sebagai Ketua Umum, berkedudukan di Jalan Raya Kalimalang Blok S Nomor 17C Jakarta 13440, selanjutnya disebut PEMOHON IV.
5.   Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH), dalam hal ini diwakili oleh Lailita Khoirunnisa, S.H., WNI, sebagai Sekretaris Umum, berkedudukan di Jalan Sultan Iskandar Muda 67K, Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan 12240, selanjutnya disebut PEMOHON V.
6.   Pusat Studi Konstitusi dan Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Demokrasi (PUSKANTARA), dalam hal ini diwakili oleh Fajar Faishal, S.H., M.Hum., WNI, sebagai Direktur, berkedudukan di Jalan Kyai Tapa Nomor 73 Grogol, Jakarta 11440, selanjutnya disebut PEMOHON VI.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasa hukumnya tersebut di atas, yang selanjutnya disebut sebagai PARA PEMOHON, dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (disetarakan dengan Undang-Undang) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya disebut Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.


PERSYARATAN FORMIL PERMOHONAN PENGUJIAN
LARANGAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNISME/MARXISME-LENINISME
DALAM
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966
(DISETARAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG)
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

A.        PENDAHULUAN
1.         Bahwa salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
a.   Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
b.   Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
2.         Bahwa pada tanggal 13 Agustus 2003 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (bersama Pemerintah) telah menyetujui Rancangan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dan kemudian pada tanggal 20 Juli 2011 telah menyetujui Rancangan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi untuk disahkan menjadi UU.
3.         Bahwa pada tanggal 5 Juli 1966 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia telah mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
4.         Bahwa pada tanggal 12 Agustus 2011 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (bersama Pemerintah) telah menyetujui Rancangan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk disahkan menjadi UU.

B.        KEDUDUKAN DAN KEPENTINGAN HUKUM PARA PEMOHON
1.         Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip Negara Hukum. Jimly Asshiddiqie dalam tulisannya “Judicial Review”, menjelaskan hakikat pengujian UU sebagai berikut: “... judicial review merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Pemberian kewenangan untuk pengujian tersebut kepada hakim merupakan proses check and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (yang dapat dipercaya dapat lebih menjamin perwujudan gagasan demokrasi dan cita-cita negara hukum-rechstaat maupun rule of law).”
2.         Melihat pernyataan tersebut maka tidak berlebihan apabila dikatakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi sebagai “guardian” dari “constitutional rights” setiap warga negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional warga negara. Dengan kesadaran inilah PARA PEMOHON kemudian memutuskan untuk mengajukan permohonan pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang dalam pemahaman PARA PEMOHON dapat disetarakan dengan UU berdasarkan alasan-alasan hukum yang diuraikan dalam permohonan ini, bertentangan dengan semangat dan jiwa serta pasal-pasal yang dimuat dalam UUD NRI Tahun 1945.
3.         Bahwa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU, yaitu:
a.   Perseorangan Warga Negara Indonesia.
b.   Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan Undang-Undang.
c.   Badan Hukum Publik atau Privat.
d.   Lembaga Negara.
4.         Sementara itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 telah memberikan penjelasan mengenai hak konstitusional dan kerugian konstitusional sebagai berikut:
a.   Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945;
b.   Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c.   Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.   Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e.   Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
B.1.    PEMOHON PERSEORANGAN
1.         Bahwa PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III merupakan pemohon-pemohon individu Warga Negara Republik Indonesia yang merupakan pihak yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi dirugikan hak-hak konstitusinya atau terkena dampak dan/atau dirugikan keberadaannya secara langsung akibat adanya pasal-pasal dalam Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966;
2.         Bahwa PEMOHON I, Prof. Dr. Yudi Lenin Marsianto, M.Phil., merupakan Warga Negara Republik Indonesia, berprofesi sebagai Rektor Universitas Kemerdekaan 45 Jakarta, Mantan Rektor Universitas Kebangasaan Yogyakarta, Mantan Staf Ahli Kementrian Negara Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas (2000-2001), dan Anggota Majelis Kehormatan PERADI (Persatuan Advokat Indonesia). PEMOHON I aktif dalam berbagai forum, baik nasional maupun internasional di bidang perlindungan HAM dan perdamaian;
3.         Bahwa PEMOHON II, Dr. (HC) Sama’oen Munikarto Hadikusumo merupakan Warga Negara Republik Indonesia, berprofesi sebagai penulis di bidang sastra, khususnya novel dan buku-buku sejarah. PEMOHON II mendapatkan gelar kehormatan dari Universitas Lomonosov, Moscow pada tahun 1970, penghargaan itu diberikan atas karangan-karangannya di bidang sejarah masa lampau mengenai keyakinan dan perlindungan HAM. Semasa hidupnya PEMOHON II pernah ditangkap dan dipenjarakan di Pulau Buru pada tahun 1967 sampai dengan tahun 1989 karena keanggotaannya dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang diindikasikan oleh Pemerintah sebagai organisasi yang bernaung di bawah Partai Komunis. PEMOHON II juga merupakan penggiat perlindungan dan penegakan HAM, sosial, keagamaan, keyakinan, serta kebudayaan yang sepanjang hidupnya telah memperjuangkan hak-hak asasi manusia, mengembangkan toleransi, dan mengampanyekan kebebasan beragama dan berkeyakinan;
4.         Bahwa PEMOHON III, Dr. Robert Hutagaol, S.H., M.Hum., merupakan seorang Warga Negara Indonesia, berprofesi sebagai seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Tobaraya, khususnya di bidang hukum tata negara. Selain itu, aktif dalam melakukan berbagai kegiatan terkait dengan hukum yang khususnya hukum tata negara dalam bentuk:
a.   Melakukan pengkajian dan penelitian di bidang hukum tata negara;
b.   Melakukan pendidikan, diseminasi, dan publikasi tentang hukum;
c.   Terlibat dalam berbagai advokasi mendorong penegakan hak asasi manusia;
d.   Membangun jaringan nasional dan internasional terkait dengan hukum dan penegakannya.
5.         Dalam kegiatannya itu, PEMOHON III aktif dalam menyoroti peraturan perundang-undangan yang diindikasikan melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
6.         Bahwa dengan demikian, dengan diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang khususnya Pasal 10 dalam hal pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tidak memberi kejelasan tentang pengujian Tap MPR. Terlebih dengan diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf b yang meletakkan Tap MPR di bawah UUD dan di atas UU, semakin berpotensial melanggar hak konstitusional PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III baik secara langsung maupun tidak langsung merugikan berbagai macam usaha dari PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III yang telah dilakukan secara terus-menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan untuk perlindungan pemajuan dan pemenuhan HAM yang dilarang dalam Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Untuk itu PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III mengajukan pengujian Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.
B.2.    PEMOHON BADAN HUKUM
1.         Selanjutnya, bahwa PEMOHON IV dan PEMOHON V sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi merupakan badan hukum privat yang memiliki legal standing dan menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan ini dengan menggunakan prosedur organization standing sebagai kedudukan hukumnya;
2.         Bahwa PEMOHON IV dan PEMOHON V memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon pengujian UU karena terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) berlakunya Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sehingga menyebabkan hak konstitusionalnya dirugikan;
3.         Bahwa doktrin organization standing merupakan sebuah prosedur beracara yang tidak hanya dikenal dalam doktrin tetapi juga telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 23 Tahun 1997;
4.         Bahwa pada praktik peradilan di Indonesia, organization standing telah diterima dan diakui menjadi mekanisme dalam upaya pencarian keadilan yang mana dibuktikan, antara lain:
a.   Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 060/PUU-II/2004 tentang Pengajuan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap UUD NRI Tahun 1945;
b.   Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 tentang pengujian UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU terhadap UUD NRI Tahun 1945;
c.   Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap UUD NRI Tahun 1945.
5.         Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum adalah organisasi yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu:
a.   Berbentuk badan hukum atau yayasan;
b.   Dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut; dan
c.   Telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasarnya.
6.         Bahwa PEMOHON IV dan PEMOHON V adalah organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian terhadap penegakan hukum dan memberikan perlindungan serta penegakan HAM di Indonesia.
7.         Bahwa tugas dan peranan PEMOHON IV dan PEMOHON V dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan penyadaran hukum serta pemantauan terhadap penegakan dan perlindungan hukum, pembelaan HAM serta pemajuan di bidang sosial, keagamaan, kemasyarakatan dan pendidikan, dalam hal ini mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam memperjuangkan pelaksanaan dan penegakan hukum yang adil serta sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, ras, agama, dan lain-lain. Hal ini tercermin di dalam Anggaran Dasar dan/atau Akta Pendirian dari PEMOHON IV dan PEMOHON V.
8.         Bahwa dasar dan kepentingan hukum PEMOHON IV dan PEMOHON V dalam mengajukan permohonan pengujian Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dapat dibuktikan dengan AD/ART lembaga tersebut. Dalam AD/ART tersebut menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi, serta telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.
9.         Dalam Pasal 6 Anggaran Dasar dari PEMOHON IV, Lafadl Initiative, disebutkan maksud dan tujuan perhimpunan ini untuk:
a.   Melayani kebutuhan bantuan hukum bagi Warga Negara Indonesia yang hak asasinya dilanggar;
b.   Mewujudkan negara dengan sistem pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita Negara Hukum;
c.   Mewujudkan sistem politik yang demokratis dan berkeadilan sosial;
d.   Mewujudkan sistem hukum yang memberikan perlindungan luas atas hak-hak asasi manusia;
10.      Dalam Pasal 5 Anggaran Dasar dari PEMOHON V, Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH) mempunyai maksud dan tujuan adalah untuk memajukan pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai negara hukum, penegakan hukum dan pembaruan hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia serta memajukan dan mengembangkan program-program yang mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan gender dengan fokus tetapnya pada bidang hukum.
11.      Bahwa untuk mencapai maksud dan tujuannya PEMOHON IV dan PEMOHON V telah melakukan berbagai kegiatan yang dilakukan secara terus menerus yang telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten). Adapun bentuk kegiatan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
a.   Melakukan penelitian dan menerbitkan laporan terkait perkembangan dan kemajuan tata hukum di Indonesia;
b.   Melakukan pengkajian dan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan (policy) dan/atau hukum (laws and regulations), penerapannya, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya;
c.   Melakukan advokasi serta kajian-kajian dalam rangka pemenuhan hak-hak, kebebasan serta keadilan bagi masyarakat.
12.      PEMOHON VI adalah pemohon badan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf c UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, PEMOHON VI merupakan pusat studi yang fokus menyoroti perkembangan konstitusi dan perkembangan ketatanegaraan yang berkembang di Indonesia.
13.      Bahwa dengan demikian, dengan diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang khususnya Pasal 10 dalam hal pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tidak memberi kejelasan tentang pengujian Tap MPR. Terlebih dengan diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf b yang meletakkan Tap MPR di bawah UUD dan di atas UU, semakin berpotensial melanggar hak konstitusional PEMOHON IV, PEMOHON V, PEMOHON VI baik secara langsung maupun tidak langsung merugikan berbagai macam usaha dari PEMOHON IV, PEMOHON V, PEMOHON VI yang telah dilakukan secara terus-menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan untuk perlindungan pemajuan dan pemenuhan HAM yang dilarang dalam Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Untuk itu PEMOHON IV, PEMOHON V, PEMOHON VI mengajukan pengujian Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.

C.        PERNYATAAN PEMBUKA
1.         Bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaats), bukan negara kekuasaan (machstaats). Makna ini tersurat dengan jelas dalam Penjelasan UUD 1945. Penjelasan ini merupakan bagian integral dari hukum dasar tertinggi yang berlaku di negara ini. Sekarang bagian Penjelasan UUD 1945 sudah tidak lagi ada namun materi muatannya telah dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945. Secara eksplisit tampak pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Penegasan ini berarti bahwa hukum adalah sarana pengendali dan pengontrol kehidupan berbangsa dan bernegara, sarana pengawas penyalahgunaan kekuasaan, dan sarana pemenuhan hak asasi semua warga negara. Dengan kata lain, hukum tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sebagai sarana pembenaran dari penyalahgunaan kekuasaan.
2.         Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada hasil amandemen UUD 1945 yang sudah berlangsung selama 4 (empat) kali, bahwa fungsi saling kontrol saling imbang (check and balances) terjadi di setiap cabang kekuasaan negara, baik itu eksekutif (Presiden), legislatif (DPR dan DPD), maupun yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi).
3.         Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan pengawasannya bertindak sebagai benteng terakhir untuk mempertahankan tegaknya hukum dan keadilan. Disinilah Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar tertinggi (the supreme law of the land).
4.         Bahwa salah satu produk peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan berpotensi melanggar hak konstitusional adalah Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Secara lebih rinci PARA PEMOHON akan menguraikan pasal yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dalam uraian tersendiri yang lebih spesifik.
5.         Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menengakan keadilan substantif karena hakim konstitusi tidak boleh hanya menjadi corong UU. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

D.        FAKTA HUKUM DAN ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
1.         Bahwa bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah menempatkan MPR tidak lagi dalam posisi sebagai lembaga tertinggi negara. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya sehingga bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan UUD telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama dalam hal kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
2.         Bahwa dengan perubahan struktur ketatanegaraan yang menjadikan MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara maka kewenangan yang diatur di dalam UUD juga mengalami perubahan. Sebelum amandemen UUD, kewenangan MPR meliputi:
a.   Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara.
b.   Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.
Sedangkan, setelah amandemen kewenangan MPR adalah:
a.   Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b.   Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c.   Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
d.   Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e.   Memilih Wakil Presiden jika terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden;
f.    Memilih Presiden dan Wakil Presiden jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
3.         Bahwa dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana diatur UUD 1945 sebelum amandemen, MPR dapat mengeluarkan Tap MPR/MPRS, sedangkan setelah kewenangan MPR tersebut dihapuskan, maka MPR tidak mempunyai kewenangan lagi untuk membuat produk hukum berupa Tap.
4.         Bahwa dasar pengaturan Tap MPR sebagai hierarki peraturan perundang-perundangan pertama kali diatur dalam Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Republik Indonesia yang Mengatur Tata Urutan, sebagai berikut:
1)  Undang-Undang Dasar;
2)  Ketetapan MPR;
3)  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4)  Peraturan Pemerintah;
5)  Keputusan Presiden;
6)  Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
-      Peraturan Menteri;
-      Instruksi Menteri;
-      dan lain-lainnya.
5.         Bahwa pengaturan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah pada Tap MPR No. III/MPR/2000 dengan urutan sebagai berikut:
1)  Undang-Undang Dasar;
2)  Ketetapan MPR;
3)  Undang-Undang;
4)  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5)  Peraturan Pemerintah;
6)  Keputusan Presiden;
7)  Peraturan Daerah.
6.         Bahwa dalam Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen mengamanatkan kepada MPR untuk meninjau status dari Tap MPR/MPRS untuk kemudian diambil keputusan pada sidang MPR tahun 2003. Menindaklanjuti Aturan Tambahan tersebut pada tahun 2003 diterbitkan Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai Tahun 2002, yang memberikan batasan ketentuan terahadap Tap MPR RI sebagai berikut:
1)  Kategori I   :  Tap MPR/MPRS yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan);
2)  Kategori II  :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan);
3)  Kategori III :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan);
4)  Kategori IV :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan);
5)  Kategori V  :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru oleh MPR hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan); dan
6)  Kategori VI :  Tap MPR/MPRS yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan).
7.         Bahwa pada UU Nomor 10 Tahun 2004, Tap MPR tidak lagi masuk dalam hierarki peraturan peundang-undangan, sedangkan urutan hierarki peraturan perundangan-undangan menurut UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1)  Undang-Undang Dasar;
2)  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
3)  Peraturan Pemerintah;
4)  Peraturan Presiden;
5)  Peraturan Daerah.
Kemudian aturan lain yang termasuk di dalamnya Tap MPR diwadahi dalam penjelasan Pasal 7 ayat (4) yang berbunyi: “Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
8.         Bahwa pada UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menggantikan UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan, dalam Pasal 7 ayat (1) mengatur mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:
1)  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3)  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4)  Peraturan Pemerintah;
5)  Peraturan Presiden;
6)  Peraturan Daerah Provinsi;
7)  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
9.         Bahwa Ketetapan MPR yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa, “Yang dimaksud dengan ‘Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat’ adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”
10.      Bahwa dalam Tap MPR Nomor I/MPR/2003 terdapat salah satu Tap yang masih berlaku saat ini adalah Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang dalam pengaturannya membatasi HAM yang akan di jelaskan dalam uraian selanjutnya.
11.      Bahwa pada akhir Bulan September 1965 terjadi coup d’etat yang dilakukan Partai Komunis Indonesia yang dikenal dengan G30S/PKI. Gerakan ini menculik dan membunuh Dewan Jendral TNI AD serta mengambil alih kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia, namun upaya pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh militer yang bekerja sama dengan paramiliter dari berbagai organisasi kemasyarakatan. Peristiwa ini menandai pergantian rezim kekuasaan dari Orde Lama Soekarno ke Orde Baru Soeharto.
12.      Bahwa menindaklanjuti upaya pemberontakan PKI yang gagal, kemudian Presiden Soeharto berdasarkan mandat Surat Perintah Sebelas Maret 1966 membubarkan PKI, yang dalam Sidang MPR 1966 diwadahi dengan Tap a quo yang menegaskan pembubaran PKI beserta pelarangan terhadap faham/ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia.
13.      Bahwa Tap a quo kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan tersebut ditujukan bukan hanya untuk mencegah dan menangkal berdirinya kembali PKI tetapi juga ditujukan kepada anggota, mantan anggota dan orang-orang yang dinyatakan terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaturan tersebut antara lain:
1)     UU Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung
Pasal 4e berbunyi, “Untuk menjadi anggota DPA, tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang.”
2)     UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat
Pasal 2 berbunyi, “WNI bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang lainnya tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih.”
3)     UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum
Pasal 11 ayat (2a) berbunyi, “Untuk dapat dari daftar dalam pemberi pendapat rakyat, harus dipenuhi syarat-syarat bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung.”
4)     UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Pasal 7 ayat (1d) berbunyi, “Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi syarat: bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya.”
5)     UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 14 ayat (1d) berbunyi, “Untuk diangkat menjadi hakim pada pengadilan TUN, seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
6)     UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 13 ayat (1d) berbunyi, “Untuk diangkat menjadi hakim pada pengadilan agama, seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
7)     UU Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Pasal 8d berbunyi, “Untuk dapat menjadi anggota setiap calon bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
8)     UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Negeri
Pasal 9d berbunyi, “Syarat untuk diangkat menjadi jaksa tidak boleh bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
9)     UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
Pasal 43 ayat (1f) berbunyi, “Seorang calon anggota DPP, DPRD I, DPRD II adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
10)   UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susuna Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 3 ayat (1d) berbunyi, “Bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.”
14.      Bahwa frasa “terlibat langsung/tidak langsung” di semua peraturan tersebut dalam penjelasan masing-masing UU disebutkan bahwa:
a)  Dianggap terlibat secara langsung dalam "Gerakan 30 September/PKI" ialah mereka yang:
1)  merencanakan, turut merencanakan atau mengetahui adanya perencanaan gerakan kontra revolusi itu, tetapi tidak melaporkan kepada pejabat yang berwajib.
2)  dengan kesadaran akan tujuannya, melakukan kegiatan-kegiatan dalam pelaksanaan gerakan kontra revolusi tersebut.
b)  Dianggap terlibat secara tidak langsung dalam "Gerakan 30 September/PKI" ialah mereka yang:
1)  menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan atau dalam ucapan-ucapan yang bersifat menyetujui gerakan kontra revolusi tersebut;
2)  secara sadar menunjukkan sikap baik dalam perbuatan atau dalam ucapan, yang menentang usaha/gerakan penumpasan "Gerakan 30 September/PKI."
Dimana sudah barang tentu UU tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya.
15.      Bahwa selain dalam hak berpolitik, pelarangan terhadap orang-orang yang diduga terlibat tersebut juga dalam hal kebebasan berpikir dan berpendapat, serta dalam hak memperoleh pekerjaan dan kesamaan di muka hukum. Pengaturan tersebut antara lain:
a)  Keputusan Pangkopkamtib Nomor 06/Kopkam/XI/1975 tentang Penyempurnaan Ketentuan Tata Cara Pemberian “Surat Keterangan Tidak Terlibat G30S/PKI” dalam Pasal 1 menyatakan bahwa, “Surat Keterangan ini adalah surat otentik yang diberikan/dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan berisi keterangan bahwa hingga saat dikeluarkan/diberikannya kepada Penduduk Indonesia yang pada saat meletusnya peristiwa G30S/PKI (1 Oktober) telah berumur 12 tahun penuh atau seorang yang sudah/pernah kawin, yang bersangkutan dinyatakan tidak terlibat dalam G30S/PKI.” Surat keterangan ini wajib dilampirkan bagi setiap orang Indonesia yang mempunyai keperluan-keperluan diantaranya:
1)  Untuk menjadi pegawai/anggota pada lembaga-lembaga/badan-badan/instansi-instansi/dinas-dinas pemerintahan dan perusahaan-perusahaannya serta pada perusahaan-perusahaan swasta vital yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2)  Untuk pendaftaran masuk pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah guna menjadi pegawai negeri termasuk ABRI.
b)  Keputusan Kejaksaan Agung yang mendasarkan kewenangannya pada UU Nomor 4 PNPS 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum yang selanjutnya dalam masa Orde Baru memasukkan faham/ajaran Komunisme di dalamnya.
16.      Bahwa dengan adanya reformasi yang telah menjatuhkan rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan berpikir, berpendapat dan HAM lainnya, maka dalam amandemen UUD, jaminan perlindungan dan penegakan HAM semakin dikukuhkan dengan Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Selain itu, upaya untuk jaminan HAM tersebut juga dengan meninjau peraturan perundang-undangan yang merugikan HAM termasuk di dalamnya Tap MPRS ­a quo. Tap MPRS a quo pernah hendak dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid semasa menduduki jabatannya, namun menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Kemudian, dilanjutkan dengan mengundangkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mengamanahkan kepada negara untuk melakukan upaya-upaya penyelidikan berkenaan dengan pelanggaran HAM masa lalu termasuk korban akibat pemberontakan PKI ataupun korban atas penumpasan anggota PKI sendiri. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang menguji Pasal 60 UU Nomor 12 Tahun 2003 yang dalam putusannya MK mengembalikan hak memilih atau dipilih mantan tahanan politik PKI.
17.      Bahwa mencemati fakta-fakta hukum di atas sudah seharusnya Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji Tap MPR a quo karena secara nyata merugikan HAM baik di masa lampau maupun berpotensi untuk masa yang akan datang dikarenakan ditempatkan di atas UU. Namun, karena kewenangan Mahkamah Konstitusi terbatas pada UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka PARA PEMOHON juga memohon untuk menguji Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

E.        PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
1.         Bahwa sebelum mengujikan TAP MPR tersebut di atas maka hendaknya diperhatikan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan letak kedudukan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia. Oleh karenanya perlu dilakukan pengujian terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi untuk meminta tafsir bahwa TAP a quo setara dengan UU sehingga Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk mengujinya.
2.         Bahwa dalam pembahasan Panitia Ad Hoc (PAH) yang didokumentasikan dalam Naskah Komprehensif Buku 3 Jilid 2, sebagian terbesar fraksi yang membahas perubahan UUD menyetujui bahwa TAP MPR bukanlah peraturan perundang-undangan. Dalam bab pendahuluan disebutkan bahwa, “perubahan-perubahan penting antara lain susunan dan kedudukan MPR, menghapuskan kewenangan menetapkan garis-garis besar haluan negara, pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD) secara langsung, pembatasan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden, memberikan landasan Pemilu, peran Partai Politik, otonomi daerah yang diperluas, anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen, Hak Asasi Manusia, yang dirumuskan secara lengkap dan rinci, dicantumkannya wilayah negara, pengaturan impeachment, lambang negara, dipertahankannya Pasal 29 UUD 1945, ditetapkannya sistem perekonomian nasional, tidak dimungkinkan berubahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pasal perubahan UUD diatur lebih rinci, penegasan UUD adalah Pembukaan dan Pasal-Pasal dan dihapuskannya Tap-Tap MPR, dihapuskannya DPA sebagai lembaga tinggi negara dan fungsinya masuk ranah eksekutif, penyebutan resmi UUD 1945 dan Pembukaan, tidak memberlakukannya Penjelasan, dibentuknya beberapa lembaga baru (Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, dan Komisi Yudisial), meneguhkan paham kedaulatan rakyat sesuai konstitusi, menegaskan Indonesia sebagai negara hukum.” Dalam kutipan tersebut di atas tampak perubahan kedudukan dan kewenangan MPR yang diatur dalam amandemen UUD 1945.
3.         Bahwa Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang memasukkan Tap MPR ke dalam hierarki adalah sebuah kekeliruan karena kedudukan dan status dari Tap itu sendiri dikarenakan sejatinya sudah tidak diakui sebagai peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan alasan sebagai berikut:
a.   Dalam UUD NRI Tahun 1945 peraturan di bawah UUD adalah UU. Hal ini secara implisit diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 24C ayat (1) yang menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Pasal tersebut menunjukkan bahwa dalam hal pengujian UU terhadap UUD adalah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana pendapat Moh. Mahfud MD dalam bukunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara” yang mempersoalkan tentang Kedudukan Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, ditegaskan bahwa “peraturan perundang-undangan yang langsung berada di bawah UUD adalah UU. Kalau ada seandainya Tap MPR di bawah UUD maka ketentuan pengujiannya tentu akan menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi menguji Tap MPR terhadap UUD dan/atau menguji UU terhadap Tap MPR. Dengan demikian jelaslah bahwa Tap MPR bukan peraturan perundang-undangan.”
b.   Dalam Pasal (1) Aturan Tambahan UUD 1945, menentukan “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.” Hal ini sesuai dengan kedudukan MPR yang dalam amandemen ke-III tahun 2001 pada Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa MPR bukan lagi sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Dalam kedudukannya sebagai kelembagaan MPR bukan lagi lembaga yang memberi mandat serta memilih presiden sebagai kepala negara, sehingga kedudukannya sama dengan kelembagaan negara yang lain bukan lagi yang tertinggi dan tidak lagi menetapkan GBHN. Oleh karenanya segala peraturan yang dikeluarkan ditinjau status dan materinya. Hal ini menunjukkan bahwa Tap MPR bukan lagi Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan sesuai yang ditulis oleh Moh. Mahfud MD dalam buku PERDEBATAN HUKUM TATA NEGARA yang menyatakan bahwa, “Ketentuan Aturan Tambahan ini dibuat karena Tap MPR bukan lagi sebagai peraturan perundang-undangan sehingga harus dibuat status baru untuk yang sudah ada dan terlanjur menjadi peraturan perundang-undangan.”
4.         Bahwa Tap MPR yang masih ada keberlakuannya disetarakan dengan UU oleh Tap MPR. Hal ini berdasarkan atribusi yang diberikan oleh UUD kepada MPR pada Pasal 1 Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945, yaitu “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”, maka pada sidang MPR tahun 2003 ditetapkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tersebut, seluruh Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang berjumlah 139 dikelompokkan ke dalam 6 pasal (kategori) sesuai dengan materi dan status hukumnya sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
5.         Bahwa mendasarkan pada Tap MPR tersebut di atas maka yang masih berlaku saat ditetapkannya Tap tersebut adalah ketentuan kategori 2, kategori 3, kategori 4 dan kategori 5. Saat ini, dari keseluruhan kategori Tap tersebut hanya menyisakan kategori 2 dan 4 yang masih berlaku. Untuk kategori 2 tersisa 2 Tap, sedangkan kategori 4 terdapat 6 Tap sehingga keseluruhan yang masih berlaku ada 8 Tap. Mengenai kedudukan kedelapan Tap tersebut sesuai dengan Tap Nomor I/MPR/ 2003, Jimly Asshiddiqie memberikan pendapat dalam bukunya “Perihal Undang-Undang” yang menegaskan bahwa,
Jika dipandang dari segi bentuknya dan lembaga yang berwenang menetapkannya, jelas bahwa ketetapan MPR/MPRS sama sekali bukanlah Undang-Undang. Kedelapan Ketetapan MPR/MPRS itu dapat dinilai lebih tinggi dari Undang-Undang dan karena itu setara dengan Undang-Undang Dasar, karena beberapa alasan. Pertama, secara historis sampai dengan pelaksanaan sidang tahun 2003, kedudukannya memang pernah lebih tinggi dari pada Undang-Undang seperti yang ditentukan oleh Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. Kedua, dari segi bentuknya, kedelapan Ketetapan MPR/MPRS itu jelaslah bukan berbentuk Undang-Undang sehingga tidak dapat disetarakan dengan Undang-Undang. Ketiga, dari segi lembaga pembentuk atau lembaga negara yang menetapkannya, jelas pula bahwa ketetapan MPR/MPRS tidak ditetapkan oleh pembentuk undang-undang, yaitu DPR bersama Presiden, melainkan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Akan tetapi, dengan telah diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan dengan demikian Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat untuk umum, maka berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca perubahan keempat (2002), sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia dengan ini tidak lagi mengenal produk hukum yang bersifat mengatur yang kedudukannya berada di bawah Undang-Undang Dasar (grondwet, gerundgeset constitution), tetapi mempunyai status di atas Undang-Undang (wet statute, legislative act).
Untuk memastikan status hukum kedelapan Tap MPR/MPRS tersebut di atas, pilihannya hanya dua kemungkinan itu saja, yaitu dinilai sebagai status Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang. Apabila kedelapan ketetapan itu disetarakan dengan Undang-Undang Dasar, berarti kedelapan ketetapan tersebut tidak dapat diubah atau dicabut kecuali melalui mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Sedangkan, apabila ketetapan–ketetapan tersebut diberi status setara dengan undang-undang, berarti kedelapannya dapat dicabut dan/atau diubah oleh DPR bersama-sama dengan Presiden, yaitu dengan undang-undang.
Dalam Ketetapan Nomor I/MPR/2003, MPR sendiri juga menentukan adanya 11 (sebelas) Ketetapan MPR/MPRS yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang yang mengatur ketetapan tersebut. Artinya, kesebelas Ketetapan MPR/MPRS itu ditundukan derajatnya oleh MPR sendiri, sehingga dapat diubah dengan atau oleh Undang-Undang, sehingga untuk selanjutnya ketetapan-ketetapan yang tersisa tersebut harus dipandang sederajat dengan undang-undang. Jika demikian halnya, maka lembaga negara yang berwenang membahas Undang-Undang ada empat lembaga, yaitu (i) DPR, (ii) Presiden, (iii) DPD, dan (iv) Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya masing-masing.
Maka dari tulisan tersebut jelas bahwa Tap itu hendaknya segera dibuatkan UU untuk mewadahi materi muatannya agar jika bertentangan dengan hak konstitusional warga negara dapat diujikan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, menjadi problematik kemudian ketika Tap MPR/MPRS tidak segera diwadahi materi muatannya dalam UU, dikarenakan dapat menimbulkan potensi kerugian konstitusional warga negara. Hal tersebut menjadi logika yang wajar dikarenakan apabila belum diwadahi dalam UU materi muatannya maka Tap tersebut akan menjadi sebuah entitas norma yang tidak dapat diuji oleh lembaga negara manapun, terlebih dengan kedudukannya di atas UU dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011.
6.         Bahwa untuk menegaskan kesetaraan antara Tap MPR dengan UU maka harus melihat pada Pasal 22A UUD UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan Undang-Undang.” Perintah UUD ini diwadahi dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur tentang materi pembuatan UU adalah Pasal 10 yang berbunyi, “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a.   pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.   perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c.   pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.   tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.   pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Ketentuan tersebut di atas menjelaskan bahwa UU tidak mengambil rujukan dari Tap MPR untuk materi muatannya, sehingga dapat dipastikan bahwa materi muatan UU tidak merujuk pada materi muatan Tap MPR. Hal ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan, “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, yang dalam logika sederhana seharusnya materi muatan yang harus diatur dalam UU adalah pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Tap MPR sebagai tingkatan norma hierarki di atasnya. Oleh karenanya kedudukan Tap MPR seharusnya disamakan dengan UU dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
7.        Bahwa dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak diberikan ketentuan mekanisme pengujian Tap MPR. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketiadaan mekanisme pengujian tentu akan menyebabkan sebuah norma menjadi “kebal” dan untouchable untuk disesuaikan materi muatannya dengan nilai-nilai konstitusi. Sejatinya hukum senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat. Tujuannya agar dapat melindungi kepentingan masyarakat yang berkembang tersebut. Oleh karena itulah, mekanisme pengujian menjadi cara agar hukum dapat tetap sesuai dengan perkembangan masyarakat.
8.        Bahwa konsepsi negara hukum Indonesia seperti yang ditegaskan oleh Muh. Yamin, sebagaimana dikutip oleh Azhary, diartikan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat goverment of laws) dimana keadilan berlaku, bukan negara kekuasaan (maschstaat) tempat kekuatan melakukan kesewenang-wenangan. Julius Stahl memperinci dengan menyebutkan adanya (1) perlindungan HAM, (2) pembagian kekuasaan, (3) pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan (4) adanya peradilan tata usaha negara. Sedangkan, ciri penting negara hukum (the rule of law) menurut A.V. Dicey, yaitu: (1) supremacy of law, (2) equality of law, (3) due process of law. The International Commission of Jurist merangkum dengan menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum adalah (1) negara harus tunduk pada hukum, (2) pemerintahan menghormati hak-hak individu, dan (3) peradilan yang bebas dan tidak memihak. Lebih mendetail Jimly Asshiddiqie menyatakan terdapat 12 prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman sekarang ini yang merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Kedua belas prinsip pokok tersebut adalah:
1)     supremasi hukum (supremacy of law);
2)     persamaan dalam hukum (equality before the law);
3)     asas legalitas (due process of law)
4)     pembatasan kekuasaan;
5)     organ-organ eksekutif yang bersifat independen;
6)     peradilan yang bebas dan tidak memihak (impartial and independent judiciary);
7)     peradilan tata usaha negara (administrative court);
8)     peradilan tata negara (constitusional court);
9)     perlindungan hak asasi manusia;
10)   bersifat demokratis (democratische rechstaat);
11)   berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan kesejahteraan (welfare rechtsstaat);
12)   transparansi dan kontrol sosial.
Dalam semua konsepsi negara hukum tersebut terdapat kesamaan, yaitu supremasi hukum dan perlindungan HAM. Dengan supremasi hukum maka segala tindakan pelaksana negara harus berpedoman pada hukum, termasuk relasi antara pejabat negara dengan rakyatnya. Dengan perlindungan HAM maka harus ada jaminan baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam perbuatan pelaksana negara untuk melindunginya. Oleh karena itu, maka hendaknya harus ada mekanisme peradilan untuk melaksanakan jaminan perlindungan tersebut. Dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, kewenangan menguji ada pada MPR sebagaimana Pasal 5 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan saat ini, setelah dirubahnya kedudukan dan kewenanangan MPR maka tidak berwenang lagi untuk melakukan pengujian tersebut. Sedangkan, kewenangan menguji UU terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi berdasar Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang juga menyiratkan bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan di bawah UUD selain UU, oleh karenanya dapat disimpulkan dikarenakan tata urutan Tap MPR berada di bawah UUD maka kewenangan pengujian menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
9.         Bahwa seharusnya berdasarkan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 1 Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 dan alasan permohonan lainnya sebagaimana dijelaskan di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji Tap MPR terhadap UUD karena statusnya yang dipersamakan dengan UU.

F.         PENGUJIAN TAP MPRS NOMOR XXV/MPRS/1966 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
1.         Bahwa dalam Pasal 2 Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berbunyi, “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
2.         Bahwa dengan mengacu Pasal a quo maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa pada pokoknya memberikan larangan kepada setiap orang untuk:
a.   Melakukan kegiatan menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya di Indonesia
b.   Menggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut.
3.         Bahwa dengan memperhatikan Pasal 1 di atas, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan pokok perlu diperhatikan, yaitu:
a.   Faham/Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
Bahwa faham atau ajaran sifatnya adalah gagasan yang abstrak dan bebas tanpa dapat dikekang, seperti halnya ideologi. Pada umumnya bahwa faham dan ajaran bisa dibatasi namun tidak akan pernah mati sebagai suatu ide besar bagi manusia. Justru dengan pembatasan terhadap ajaran atau faham akan menumbuhkan semangat untuk mengembangkan dan selalu menimbulkan resistensi terhadap penganut pandangan ajaran tersebut. Pengekangan pada faham seperti ini lazim terjadi dengan karakter negara-negara yang berlandaskan otoritarianisme pada pemerintahannya. Seorang pemimpin diktator akan cenderung mencari musuh bersama untuk mendapatkan simpati dari rakyatnya. Ia akan menggunakan idiologi negaranya sesuai apa yang ditafsirkannya untuk memberangus lawan-lawan politiknya. Itu semata dilakukan untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Contoh dari hal ini adalah Adolf Hitler dengan Partai Nazi yang melarang faham Yahudi untuk tumbuh di Negara Jerman pada masa menjelang Perang Dunia ke-2. Sudah seharusnya suatu ajaran dibiarkan tumbuh bebas guna bersejajar dengan faham/ajaran lain. Supaya memperkaya pemahaman manusia yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman, baik dalam prinsip hidupnya atau untuk menganalisis permasalahan kemasyarakatan yang ada di lingkungan hidupnya. Tak terkecuali ajaran/faham komunis. Dengan memperbandingkan antar ajaran/faham tersebut, pada akhirnya yang bersangkutan akan memilih mana yang lebih baik diantaranya atau bahkan dimungkinkan terjadi peleburan antara satu ajaran dengan yang lainnya, sehingga apabila negara membatasi suatu ajaran untuk hidup dan berkembang, maka selain telah melakukan tindakan otoriter juga telah melakukan diskriminasi bagi orang yang memiliki faham tersebut.
b.   Tentang menyebarkan dan mengembangkan faham/ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
Bahwa sudah menjadi kecenderungan bahwa lahirnya faham/ajaran suatu idiologi memberikan tawaran kepada manusia untuk menjadi lebih baik dalam kehidupannya. Dengan pertimbangan bahwa faham/ajaran yang dianut mempunyai kelebihan maka ia akan mempertahankan serta menganjurkan untuk diikuti oleh sebanyak-banyaknya manusia. Maka jika sebatas ajakan dan pengembangan tentunya hal itu bukan masalah yang harus dibatasi dengan suatu norma hukum. Jika ajaran itu menimbulkan masalah dikemudian hari maka cukup pelaku masalahnya yang harus diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku, sedangkan suatu ajaran tidak bisa dihilangkan dari seseorang karena hal tersebut merupakan bagian terintegral dalam dirinya juga dalam hal penyebarannya.
4.         Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28F, Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945
a.   Bahwa selain bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan:
1)  Pasal 28E ayat (2) dan (3) yang berbunyi:
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
2)  Pasal 28F yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
3)  Pasal 28I ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2)   Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
b.   Bahwa ketentuan mengenai hak untuk mengajarkan serta mengembangkan faham sebagai ekspresi dari hak kebebasan fikiran, hak menyatakan pendapat serta hak memberikan dan menerima informasi selain diakui oleh Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 juga diakui oleh hukum internasional sebagai HAM yang dijabarkan dalam:
1)  Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
a)  Pasal 18
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance. (Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, mempraktikannya, melaksanakan ibadahnya dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.)
b)  Pasal 19
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. (Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.)
2)  Pasal 19 International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik), berbunyi:
(1)   Everyone shall have the right to hold opinions without interference.
(2)   Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.
(3)   The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:
(a)   For respect of the rights or reputations of others;
(b)   For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.
Terjemahan:
(1)   Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.
(2)   Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
(3)   Pelaksanaan hak-hak yang di cantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karena itu dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:
(a)   menghormati hak atau nama baik orang lain
(b)   melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
3)  UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (sebagai bentuk penyerapan materi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam sistem hukum nasional)
a)  Pasal 23 menyatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
b)  Pasal 25 menyatakan, “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
c.   Bahwa mengacu pada ketentuan nasional dan internasional sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat dijelaskan bahwa hak kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat adalah termasuk menganut suatu faham yang notabene merupakan hasil dari daya pikir manusia serta meyebarkan faham tersebut baik secara perorangan maupun kelompok, baik di tempat terbuka maupun tertutup beserta manifestasinya berupa pelaksanaan faham beserta penyebarluasannya.
d.   Bahwa sebagaimana dijelaskan Pasal 19 ICCPR dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengenai kebebasan berfikir, menyatakan pendapat dan termasuk di dalamnya menganut suatu faham idiologi sesuai Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan kebebasan yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sementara untuk memanifestasikan suatu faham ideologi tersebut hanya dapat dibatasi dengan pertimbangan UU, nilai agama, ketertiban umum dan prinsip moral.
e.   Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28F, Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 dan sepatutnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
5.         Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) mengenai kepastian hukum yang adil dan persamaan di muka hukum.
a.   Bahwa Pasal 2 Tap a quo bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil dan hak persamaan di muka hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
b.   Bahwa asas kepastian hukum yang adil dapat dimaknai sebagai “a legal system in which rules is clear, well-understood, and fairly enforced”. Kepastian hukum ini mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
c.   Bahwa prinsip-prinsip pembentukan hukum yang adil menurut Lon Fuller dalam bukunya The Morality of Law, yaitu:
1)  Hukum-hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa. Fuller juga menamakan hal ini juga sebagai hasrat untuk kejelasan;
2)  Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
3)  Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga setiap orang tidak lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya;
4)  Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya.
d.   Bahwa keberadaan Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, merupakan bentuk ketidakkonsistenan aturan hukum, mengingat adanya fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang di dalam Pasal 18 dinyatakan melindungi kebebasan berpikir, berhati-nurani dan beragama.
e.   Bahwa keberadaan Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan tidak adanya persamaan di muka hukum dan kepastian hukum bagi kelompok tertentu di masyarakat yang dianggap berbeda faham idiologinya sebagai penganut Komunisme/Marxisme-Leninisme. Rumusan Pasal 2 a quo merupakan rumusan yang diskriminatif dan bukan ditujukan untuk melakukan tindakan affirmative action untuk melindungi kelompok minoritas.
f.    Bahwa di dalam pemberlakuannya, Pasal 2 a quo akan sangat bergantung pada tafsir rezim yang berkuasa, sebagaimana yang mendasari munculnya Tap ini yaitu pada awal Orde Baru. Faham tersebut dilarang karena mengadakan pemberontakan terhadap penjajah, pada masa kemerdekaan dan Orde Lama dibiarkan hidup dan diikuti hampir seperempat Warga Negara Indonesia, namun pada masa Orde Baru dilarang dan dijadikan musuh bersama. Hal ini mengakibatkan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara yang sebelumnya pernah menganut faham ini.
g.   Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) sepatutnya dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
6.         Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengenai negara hukum.
a.   Bahwa pengertian dan prinsip-prinsip umum dalam suatu negara hukum sampai saat ini terdapat pengertian yang berbeda-beda. Berbagai pakar hukum misalnya Anne Marie Baros, Manuel Carascalao Burkens, Theodor Maunz sampai pada M. Scheltema memberikan pandangan yang berbeda tentang pengertian dari negara hukum, baik itu rechtsstaat maupun rule of law. Namun, secara umum asas-asas yang harus ada pada suatu negara hukum tidak dapat dilepaskan dari ada dan berfungsinya demokrasi, kerakyatan, beserta paradigma-paradigmanya. Dengan kata lain, wawasan negara hukum dan wawasan demokrasi berada dalam satu keterkaitan;
b.   Bahwa di dalam negara hukum, aturan perundangan-undangan yang tercipta harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Seperti yang dikatakan Wolfgang Friedman dalam bukunya “Law in a Changing Society”, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, membedakan antara organized public power (negara hukum dalam arti formil) dengan the rule of just law (negara hukum dalam arti materiil). Negara hukum dalam arti formil (klasik) menyangkut pengertian hukum dalam arti sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, dan belum tentu menjamin keadilan substanstif. Negara hukum dalam arti materiil (modern) atau the rule of just law merupakan perwujudan dari negara hukum dalam luas yang menyangkut pengertian keadilan di dalamnya, yang menjadi esensi daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit.
c.   Bahwa dalam negara hukum yang demokratis salah satu pilar yang sangat penting adalah perlindungan dan penghormatan terhadap HAM. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. A.V. Dicey bahkan menekankan isi konstitusi harus terdapat perumusan hak-hak dasar manusia (constitution based on human rights).
d.   Bahwa kepastian hukum dan perlakuan yang sama di muka hukum merupakan ciri dari negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dimana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tidak bisa ditiadakan.
e.   Bahwa dengan demikian, prinsip kepastian hukum, persamaan di muka hukum, dan perlindungan HAM, dalam hal ini hak atas kebebasan berpikir dan berpendapat sesuai hati nurani menjadi salah satu prinsip pokok dari suatu negara hukum, prinsip-prinsip tersebut di atas telah dilanggar oleh Pasal 2 Tap a quo;
f.    Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sehingga sepatutnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.

G.        ALAT-ALAT BUKTI YANG DIAJUKAN OLEH PARA PEMOHON
Bahwa dalam permohonan a quo, PARA PEMOHON mengajukan alat-alat bukti, antara lain: (i) Surat dan Tulisan, (ii) Keterangan Ahli, serta (iii) Keterangan PARA PEMOHON yang akan hadir dalam persidangan. Oleh karena itu, alat-alat bukti yang diajukan PARA PEMOHON telah sesuai dengan Pasal 36 UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Untuk melengkapi surat permohonan yang diajukan, PARA PEMOHON juga melampirkan alat-alat bukti berupa surat dan tulisan sebagai berikut:
1.         Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen).
2.         Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3.         Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undnag-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
4.         Fotokopi Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Dr. (HC) Sama’oen Munikarto Hadikusumo.
5.         Fotokopi Anggaran Dasar Lafald Initiative.
6.         Fotokopi Anggaran Dasar Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH).
7.         Fotokopi buku-buku yang terkait.
Di samping alat bukti tulisan, PARA PEMOHON juga akan mengajukan alat bukti berupa Keterangan Ahli, yaitu:
1.         Dr. Muhammad Adib Zein, S.H., M.H.


H.        PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan bukti-bukti yang telah diuraikan di atas, dengan ini PARA PEMOHON, memohon kepada yang terhormat Majelis Hakim Konstitusi agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
1.         Menerima dan mengabulkan Permohonan Pengujian Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seluruhnya;
2.         Menafsirkan Pasal 7 ayat 1 huruf b bahwa kedudukan TAP MPR/MPRS dapat disetarakan dengan Undang-Undang;
3.         Menafsirkan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan pengujian Tap MPR/MPRS terhadap Undang-Undang Dasar;
4.         Menyatakan bahwa Pasal 2 Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Hormat Kami,
KUASA HUKUM PEMOHON


               Irine Handika, S.H.                                          Sandra Dini, S.H.
                              

Andriansyah Muhammad, S.H., M.Hum.         Damari Pranowo, S.H., M.Hum.
Dr. Harsono, S.H., LL.M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar