Independensi
Komisi Pemilihan Umum
A.
Pendahuluan
Indonesia adalah Negara demokratis, hal ini
tercermin dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2
yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam
Negara demokrasi dikenal adanya 3 konsepsi mendasar yaitu “ dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat”. Yang pada dasarnya rakyatlah yang berdaulat, rakyatlah
yang memegang kekuasaan tertinggi, sehingga dalam segala kebijakan rakyat harus
turut serta dalam menentukan dan dilibatkan dalam keseluruhan prosesnya. Robert
Dahl dalam karya monumentalnya poliarchy (1971:
1-3) menuliskan delapan jaminan konstitusi sebagai syarat perlu untuk demokrasi
yaitu pertama adanya kebebasan untuk
membentuk dan mengikuti organisasi ke dua
adanya kebebasan berekspresi ketiga
adanya hak memebrikan suara keempat
adanya eligibilitas dalam menduduki jabatan public kelima adanya hak pemimpin politik untuk berkompetisi sehat dalam
memperebutkan suara keenam
tersedianya sumber-sumber informasi alternative ketujuh adanya pemilu yang bebas dan adil dan kedelapan adanya adanya institusi-institusi yang menjadikan
kebijakan pemerintah tergantung pada suara-suara (pemilih,rakyat) dan ekspresi
pilihan (politik ) lainnya[1].
Dalam karakteristik yang disampaikan tersebut dapat
disimpulkan unsure terpenting adalah adanya partai politik dan pemilihan umum. Partai
politik penting bagi tolok ukur sebuah demokrasi di sebabkan peranannya dalam
upaya memajukan demokrasi itu sendiri, ia sebagai sarana partisipasi yang
terpenting bagi masyarakat karena keberadaanya bisa langsung bersinggungan
dengan pemerintahan serta mampu mempengaruhi kebijakan yang diambil. Kedua
adalah adanya pemilihan umum (pemilu). Pemilu dimaksudkan untuk memberikan
pemenuhan hak bagi rakyat untuk dipilih dan memilih, pemilu dapat dimaknai
sebagai siklus pergantian kekuasaan, yang dilakukan secara periodic yang
ditentukan berdasarkan jadwal ketatanegaraan. Pemilu juga sebagai sebagai salah
satu cara mendapatkan legitimasi dari rakyat, karena disanalah rakyat memilih
dan mempercayakan suaranya kepada wakil baik di parlemen maupun dalam
pemerintah untuk megurusi hak-haknya sebagai warga Negara.
Begitu pentingnya pemilu bagi suatu Negara yang
demokratis maka dalam pelaksanaannya harus benar-benar dilakukan oleh suatu
kelembagaan yang punya kapasitas memadai, tentunya juga bekerja secara
professional dan kinerjanya dapat dipertanggung jawabkan. Untuk konteks
Indonesia penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Merupakan
lembaga yang lahir adanya amandemen UUD. Kelembagan Komisi Pemilihan Umum
diamanatkan oleh konstitusi sebagai lembaga yang sifatnya nasional, tetap dan
mandiri. Sifat nasional dan tetap tidak
banyak menimbulkan perdebatan baik secara teoritis maupun yuridis, tetapi pemaknaan
kata mandiri berbeda untuk masing-masing kepentingan. Dalam historis yuridis
kata mandiri memiliki pengaturan yang berbeda baik pada pemilu pertama setelah
reformasi pada 2004 atau pemilu 2009.
B.
Pokok Permasalahan
1.
Bagaimana
kedudukan KPU dalam struktur ketatanegaraan Indonesia?
2.
Bagaimanakah
Indepensi Komisi Pemilihan Umum dalam pelaksanaan Pemilu?
C.
Pembahasan
A.
Kedudukan KPU
dalam struktur ketatanegaraan Indonesia
Adanya
reformasi yang menandai berakhirnya rezim orde baru yang otoriter menghendaki
perombakan mendasar baik dalam system hokum maupun struktur ketatanegaraan yang
ada pada masa itu. Ketidak percayaan pada rezim yang berkuasa tidak hanya
ditumpahkan pada orang yang memegang tampuk kekuasaan, tetapi juga pada apa
yang mendasari penyelewengan dalam mempergunakan kekuasaan. Tentu yang menjadi
sasaran reformasi adalah system hokum dan struktur kelembagaan Negara pada saat
itu. Amandemen UUD dari perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat mengalami perubahan mendasar
yang sangat banyak pada muatan materi hukumnya. Perubahan mencapai 3
kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi
71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah
materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari
sudut isinya UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah
dapat dikatakan merupakan Konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi
“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[2].
Perubahan yang paling
mendasar adalah pada struktur kelembagaan Negara, jika sebelum amandemen UUD di
kenal adanya lembaga tertinggi yang di pegang kewenangannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang menjelma juga sebagai pelaksana kedaulatan rakyat,
dan juga lembaga tinggi Negara yang masing-masing terbatas pada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR untuk eksekutif dan Mahkamah Agung
sebagai pemegang kekuasaan kehakiman. Maka setelah adanya amandemen UUD Perubahan tersebut yang sangat penting dan pengaruhnya cukup signifikan
dalam perkembangan dan hubungan antar lembaga-lembaga negara di kemudian hari.
Perubahan UUD 1945 juga memperbaharui kelembagaan negara, antara lain
dihapuskannya posisi lembaga tertinggi menjadi setara, pembatasan kewenangan
Presiden yang sebelumnya terlalu besar dan juga perubahan-perubahan tersebut
telah melahirkan kewenangan baru bagi lembaga yang sudah ada, misalnya Dewan
Perwakilan Rakyat yang memiliki kewenangan membentuk undang-undang, dan
melahirkan lembaga-lembaga baru, misalnya dalam kekuasaan kehakiman dibentuk Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial dan dalam legislative diadakan sebuah lembaga
baru Dewan Perwakilan daerah.
Pada aspek kelembagaan,
yang terpenting adalah mengenai hakikat kekuasaan yang diorganisasikan dalam
struktur kenegaraan. Apa dan siapakah yang memegang kekuasaan tertinggi atau
yang disebut sebagai pemegang kedaulatan dalam Negara[3]
UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD”. Kedaulatan rakyat yang menjadi dasar pelaksanaan
demokrasi, oleh UUD 1945 telah diatur cara pelaksanaannya dengan 2 (dua) cara,
yaitu secara langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung diejawantahkan
dengan pelaksanaan pemilihan umum, sedangkan demokrasi tidak langsung adalah pelaksanaan
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga-lembaga negara yang
implementasinya harus mendasarkan pada ketentuan UUD 1945.
Dari segi kelembagaan,
prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui 2 (dua) pilihan
cara, yaitu melalui system pemisahan kekuasaan (separation of power)
atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power).[4] Pemisahan
kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisahpisahkan ke dalam
fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembagalembaga negara yang sederajat dan
saling mengimbangi (checks and balances)[5].
Dalam pemerintahan yang bersistem pemisahan kekuasaan, harus terdapat mekanisme
checks and balances dari sesama lembaga negara. Sedangkan pembagian
kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara
vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi Negara di bawah lembaga
pemegang kedaulatan rakyat.
Jimly Asshiddiqie
berpendapat bahwa dalam membicarakan organisasi negara, ada 2 (dua) unsur pokok
yang saling berkaitan, yaitu organ dan fungsi. Dalam UUD 1945, organ-organ yang
dimaksud atau lembaga-lembaga negara ada yang disebut secara eksplisit namanya,
dan ada pula yang disebutkan eksplisit fungsinya. Ada pula lembaga yang baik
nama dan fungsi atau kewenangannya di dalam UUD 1945. Akan tetapi di dalam UUD 1945
terdapat 34 organ yang disebutkan keberadaannya di dalam UUD 1945, yaitu:
(1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat; (2) Presiden; (3) Wakil Presiden; (4) Menteri dan
Kementerian Negara; (5) Dewan Pertimbangan Presiden; (6) Duta; (7) Dewan
Perwakilan Rakyat; (8) Dewan Perwakilan Daerah; (9) Mahkamah Agung; (10)
Mahkamah Konstitusi; (11) Badan Pemeriksa Keuangan; (12) Komisi Pemilihan
Umum; (13) Komisi Yudisial; (14) Badan-Badan lain yang fungsinya terkait dengan
Kehakiman seperti Kejaksaan; (15) Bank Sentral; (16) Tentara Nasional
Indonesia; (17) Kepolisian Negara Republik Indonesia; (18) Menteri Luar Negeri;
(19) Menteri Dalam Negeri; (20) Menteri Pertahanan; (21) Konsul; (22) Pemerintahan
Daerah Provinsi; (23) Gubernur; (24) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;
(25) Pemerintahan Daerah Kabupaten; (26) Bupati; (27) Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten; (28) Pemerintahan Daerah Kota; (29) Walikota; (30) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota; (31) Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat
khusus atau istimewa; (32) Angkatan Darat (TNI AD); (33) Angkatan Laut (TNI
AL); (34) Angkatan Udara (TNI AU).[6]
Jimly Asshiddiqie
memperluas pengertian lembaga-lembaga negara, yaitu lembaga-lembaga yang
pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan pada undang-undang tetapi memiliki
constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD
1945.30 Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya,
ada yang bersifat primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).[7]
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 Perubahan Ketiga
menyatakan bahwa: ”pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan
Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Pembuat undang-undang
menetapkan bahwa lembaga yang menyelenggarakan pemilu diberi nama ”Komisi
Pemilihan Umum” atau KPU, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008. Artinya, KPU termasuk salah satu lembaga-lembaga yang memiliki constitutional
importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945[8].
Kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada lembaga KPU bersifat kewenangan
atributif, yaitu kewenangan yang diberikan langsung kepada suatu lembaga. Dalam
perspektif hokum administrasi negara, kewenangan atributif adalah kewenangan
yang diberikan kepada suatu lembaga untuk melaksanakan sesuatu hal yang diatur
di dalam peraturan, dan dimungkinkan melahirkan diskresi. Diskresi yang
dimiliki oleh KPU diatur secara jelas di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008, yaitu kewenangan electoral regulation, electoral process, dan electoral
law enforcement. Electoral regulation, adalah segala ketentuan atau aturan
mengenai pemilu yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi
penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi
masing-masing. Electoral process, dimaksudkan bahwa seluruh kegiatan
yang terkait secara langsung dengan pemilu yang bersifat legal maupun teknikal.
Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturan-aturan
pemilu baik administratif, maupun pidana.
Dalam pelaksanaan
tugasnya, kelembagaan KPU diberikan sifat nasional, tetap, dan mandiri. Di
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan
KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen.
KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan
perundangundangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan
umum dan tugas lainnya; KPU memberikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden.
B.
Indepensi Komisi
Pemilihan Umum dalam pelaksanaan Pemilu
Jimly
asshidiqie dalam bukunya Pengantar Hukum Tata Negara ( :175) menyebutkan fungsi
dari adanya pemilihan umum ada 4 yaitu
1.
Untuk
memungkinkan adanya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai
2.
Terjadinya
pergantian pejabat yang mewakili kepentingan rakyat dalam lembaga perwakilan
3.
Melaksanakan
prinsip kedaulatan rakyat
4.
Melaksanakan prinsip
hak –hak asasi warga Negara
Lebih jauh ia memberikan
rasionalisasi dengan 4 fungsi tersebut[9], bahwa
kemampuan seseorang bersifat terbatas, di samping itu jabatan berisi amanah
beban tanggung jawab yang harus dilaksanakn, bukan hak yang harus dinikmati.
Oleh karena itu seseorang tidak boleh duduk dalam suatu jabatan tanpa ada
kepastian batasnya untuk dilakukan pergantian. Tanpa siklus kekuasaan yang
dinamis, kekuasaan itu dapat mengeras menjadi sumber malapetaka. Sebab, dalam
setiap jabatan, dalam dirinya selalu ada kekuasaan yang cenderung berkembang
menjadi sumber kesewenang-wenangan bagi siapa saja yang memagangnya. Untuk itu
pergantian pemimpin harus dipandang sebagai suatu yang niscaya untuk memelihara
amanah yang terdapat dalam kekuasaan itu sendiri.
Melihat pentingnya fungsi pemilu
sebagaimana disebutkan di atas. Maka dalam mensukseskan pelaksanaannya
diperlukan suatu mekanisme baik secara tahapan-tahapan proses yang benar maupun
pelaksana yang dapat dipertanggung jawabkan. Kesuksesan proses dalam pemilu
diukur sesuai pasal 22 E yang berbunyi Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali. Hal tersebut tidak
bisa dilepaskan dari bagaimana pelaksananya melakukan kinerja. Dalam hal ini
pelaksana pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum yang dalam pasal 22 E ayat 5 yang
yang dinyatakan sebagai bersifat nasional, tetap dan mandiri. Bersifat nasional
artinya bahwa wilayah kerja KPU adalah seluruh Negara kesatuan Republik
Indonesia dan tetap dimaksudkan bahwa pembentukannya hendak di permanenkan.
Sedangkan makna mandiri masih ada perdebatan mandiri seperti apakah yang
dimaksudkan, apakah di analogikan dengan kekuasaan kehakiman atau ada criteria
lainnya.
A.
Kemandirian KPU
dalam historis ketatanegaraan Indonesia
Untuk
mengetahui penyelenggara pemilu dalam historis ketatanegaraan maka rujukan
satu-satunya adalah dengan merujuk pada pengaturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat itu. Konteks Indonesia penyelenggara pemilu pertama adalah
Badan penyelenggara pemilu Untuk
menyelenggarakan Pemilu dibentuk Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, dengan
berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23
April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu:
a.
Panitia Pemilihan Indonesia (PPI): mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan
anggota Konstituante dan anggota DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5
(lima) orang dan sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, dengan masa kerja 4
(empat) tahun.
b.
Panitia Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu
persiapan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR.
Susunan keanggotaan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan
sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang anggota, dengan masa kerja 4 (empat) tahun.
c.
Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) dibentuk pada tiap kabupaten oleh Menteri
Dalam Negeri yang bertugas membantu panitia pemilihan mempersiapkan dan
menyelenggarakan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR.
d.
Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap kecamatan oleh Menteri Dalam
Negeri dengan tugas mensahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan anggota
Konstituante dan anggota DPR serta menyelenggarakan pemungutan suara.
Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan Camat karena jabatannya
menjadi ketua PPS merangkap anggota. Wakil ketua dan anggota diangkat dan
diberhentikan oleh PPK atas nama Menteri Dalam Negeri.[10]
Setelah adanya Badan
penyelenggaraan Pemilu maka di bentuklah Lembaga Pemilihan Umum. Lembaga
Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU
diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan
Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan
Perhubungan.
Struktur
organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI),
di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di
kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan
disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia
Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan
suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga
negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia
Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (adhoc)[11]
Dari
lembaga Penyelenggar pemilu tersebut bertahan sejak 1970 sampai pada tahun 1999
pada era reformasi. Dari pelaksana pemilu tersebut berada di bawah eksekutif,
baik itu menteri kehakiman maupun mentri dalam negeri. Pada pemilu 1999 dengan
rezim UU no 3 tahun 1999 penyelenggara pemilu dilakukan oleh KPU dan secara
kelembagaan dinyatakan mandiri sebagaiaman pasal 8 ayat 2 menyatakan Penyelenggaraan
Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang
terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilihan Umum dan
Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Namun kata mandiri di situ hanya sebatas klaim yang tidak sesuai dengan
keberadaan sesungguhnya, ia hanya di pisah kelembagaanya dari mentri dalam
negeri tetapi tetap pertnggung jawaban kepada presiden. Selain itu KPU secara
keanggotaan juga berasal dari pemerintah dan partai politik.
Berbeda
dengan pengaturan sebelumnya pada pemilu 2004 yaitu dengan rezim UU no 12 tahun
2003 KPU di nyatakan mandiri Penyelenggaraan Pemilihan Umum
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, sebagaiamana bunyi
pasal 1 ayat 3 UU no 12 tahun 2003 yaitu Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya
disebut KPU adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, untuk menyelenggarakan
Pemilu. Juga keanggotaannya terbebas dari Unsur perwakilan pemerintah maupun partai.
Sebagaimana dibuktikan pasal 18 I tidak menjadi anggota atau pengurus partai
politik dan pada 18 k yang berbunyi tidak sedang menduduki jabatan politik,
jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri; hal ini juga
berlaku pada pemilu 2009 dengan UU no 22 tahun 2007 dengan memperberat
pencalonan untuk menjadi anggota pemilu yaitu tidak pernah menjadi anggota
partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik
yang dibuktikan dibuktikan dengan surat
keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan;
B. Kemandirian KPU
A. Kemandirian Lembaga
Parameter
mandiri tidaknya KPU dapat dilihat dari beberapa hal: a. Ketergantungan lembaga KPU dengan lembaga
lain atau tidak, saling mempengaruhi dalam melaksanakan tugasnya, dapat dilihat
dari: (1) kemandirian organisasi;(2) kemandirian kepemimpinan; dan (3)
kemandirian dalam anggaran;
b. Hubungan
lembaga KPU dengan lembaga Negara lainnya.
(1)
Kemandirian Organisasi
Struktur
organisasi penyelenggara pemilihan umum terdiri atas KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara
(PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, sebagai unit pelaksana teknis
pemilihan umum. Kewenangan-kewenangan ini mengejawantahkan bahwa sudah
seharusnya lembaga KPU. Keleluasaannya tersebut dalam implementasinya oleh
anggota KPU harus dipahami bahwa keleluasaan itu hanya sebatas normatif,
artinya bahwa keleluasaan dan kewenangan KPU dalam penyelenggaraan pemilu
dilekati dengan kewajiban-kewajiban yang harus pertanggungjawabkan secara
normatif, dan dibatasi oleh ketentuan normatif juga.
Dalam
pemilihan umum, KPU merupakan penyelenggara tertinggi, dan bertanggungjawab
melaksanakan fungsi electoral regulation, electoral process, dan electoral
law enforcement, sebagai konsekuensi struktural. Sedangkan KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS hanya melaksanakan fungsi electoral
process.
(2) Kemandirian Kepemimpinan
KPU
dapat menentukan sendiri pemilihan Ketua dan anggota KPU tanpa campur tangan
dari Pemerintah. Selain itu, KPU dapat membentuk unsur pelaksana teknis pemilu
tanpa tergantung dengan pihak lain. KPU sebagai leader dalam
penyelenggaraan pemilu, sehingga KPU harus dapat melakukan supervisi,
koordinasi dan kerjasama serta mengawasi tiap-tiap unit teknisnya (sesuai
dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang). Konsekuensi dari
kedudukan struktural tersebut, maka KPU melaksanakan dan bertanggungjawab
terhadap seluruh fungsi dalam proses pemilu, yaitu pembuatan peraturan
pemilihan (electoral regulation), proses pemilihan atau tahap-tahap
pemilihan (electoral process), dan penegakan hukum pemilihan (electoral
law enforcement). Dalam fungsi electoral regulation, KPU berwenang
membuat peraturan dan keputusan mengenai pelaksanaan pemilu yang kekuatan
hukumnya mengikat dan sejalan dengan ketentuan perundang-undangan yang lain.
Dalam fungsi electoral process, KPU berkewajiban menangani
persoalanpersoalan teknis, administratif, dan logistik sehingga penyelenggaraan
pemilu berjalan lancar. Dalam fungsi electoral law enforcement, KPU berwenang
melakukan tindakan-tindakan hukum yang berfungsi memaksimalkan pelaksanaan
tahapan-tahapan pemilu.
(3) Kemandirian Dalam Anggaran
Penggunaan
anggaran yang diterima KPU dari APBN diperiksa secara periodik oleh Badan
Pemeriksa Keuangan dan menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu
kepada masyarakat. Terkait dengan penggunaan anggaran, KPU diberikan kewajiban
untuk melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
B. Kemandirian Proses Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Pemilihan
Umum diselenggarakan oleh KPU. KPU dalam menjalankan tugasnya, bersifat
mandiri. Prinsip yang dijalankan KPU di dalam penyelenggaraan pemilu bersifat self-rule.
Konsekuensi dari prinsip self-rule adalah bahwa KPU dibentuk dan
bertanggung jawab terhadap publik atau bersifat mandiri. Konsekuensi kedudukan
KPU melaksanakan dan bertanggungjawab terhadap seluruh fungsi dalam proses pemilu,
meliputi:
a. Electoral
Regulation
Kewenangan
yang dilimpahkan oleh undang-undang merupakan atribusi, yaitu kewenangan yang
langsung diberikan oleh undang-undang kepada KPU untuk menetapkan berbagai
peraturan-peraturan teknis yang mengatur pelaksanaan pemilu. Di dalam ranah
Hukum Administrasi Negara, atribusi merupakan tingkatan yang paling tinggi
pendistribusian kewenangan kepada suatu lembaga. Konsekuensi yuridis atribusi kewenangan
adalah bahwa lembaga yang menerima atribusi kewenangan tersebut dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan
tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan
sepenuhnya kepada penerima wewenang. Pelekatan tanggung jawab dalam pemberian
kewenangan ini, merupakan salah satu prinsip di dalam negara hukum yaitu:
“tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban” (there is no authority
without responsibility). Peraturan KPU yang secara teknis merupakan
penjabaran dari Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008.
Produk
hukum yang dapat dikeluarkan oleh KPU ada 2 (dua) bentuk yaitu:
1)
Peraturan KPU; diterbitkan sebagai pelaksanaan atribusi kewenangan dari
undang-undang dalam rangka penyelenggaraan pemilu dan untuk kepentingan pengaturan
pelaksanaan tahap-tahap pemilu;
2)
Keputusan KPU; diterbitkan karena adanya kebutuhan khusus yang sifatnya
menunjang kegiatan opreasional. Sebagian lagi dikeluarkan untuk kepentingan
penetapan (beschiking) atas suatu produk yang akan dikeluarkan KPU. Pembedaan
2 (dua) produk hukum itu didasarkan pada materi dan ruang lingkupnya. Untuk
materi yang bersifat mengatur dituangkan dalam bentuk peraturan. Sedangkan
produk hukum yang materinya bersifat penetapan/individual dituangkan dalam
bentuk keputusan.
b. Electoral
Process
Di
dalam pelaksanaan pemilu KPU sangat berperan dan bahkan pada tahap pelaksanaan
merupakan tanggung jawab KPU untuk menyelenggarakan dengan baik. Pada tahap
pelaksanaan ini ada kemungkinan intervensi masuk, mengingat terdapat stakeholder
yang juga terlibat di dalam proses pemilu, misalnya keterlibatan partai
politik dalam menyusun DPT. Kemandirian KPU dipengaruhi oleh faktor-faktor
berikut: situasi politik lokal maupun nasional, regulasi pemerintah yang kadang-kadang
tidak jelas, personal sekretariat yang merupakan aparat pemerintah daerah. Akan
tetapi masih juga diperlukan peraturan lain untuk menjamin kemandirian KPU
dalam penyelenggaraan pemilu terutama dalam hal regulasi yang mengatur tentang teknis
pendaftaran calon pemilih, karena belajar dari pengalaman bahwa peraturan yang
sudah ada masih belum bisa mengatur secara spesifi k. Kemandirian yang ideal
lembaga KPU adalah apabila semua rangkaian tahapan-tahapan pemilu bisa
dilaksanakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, dan juga dilihat dari
keberhasilan KPU dalam menyelenggarakan pemilu bisa berjalan lancar tanpa ada
problem yang signifi kan.
c. Electoral Law
Enforcement
Penegakan
hukum terkait dengan penyelesaian pelanggaran pemilu juga menjadi tanggung
jawab KPU. Dalam pemilu dikenal 2 (dua) jenis pelanggaran yaitu: (1) pelanggaran
pidana, dan (2) pelanggaran administratif. Kompetensi KPU hanya dalam
menyelesaikan pelanggaran administratif saja, sedangkan pelanggaran pidana
menjadi kewenangan Penyidik Kepolisian R.I.
Adapun
sengketa hasil pemilu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian yang
dilakukan oleh KPU lebih pada penyelesaian non-litigasi atau dengan mediasi,
dan sanksi yang dikeluarkan oleh KPU bersifat administratif.
C. Kemandirian Anggota KPU
Parameter
mandiri anggota KPU dilihat dari kemampuan dan ketahanan anggota KPU dalam
menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. Profesional dan menjaga netralitas serta menolak segala bentuk
intervensi, namun terbuka atas masukan-masukan dari masyarakat. Kemandirian
anggota KPU didukung pula dengan masuknya para anggota KPU tidak sebagai duta
atau wakil partai politik atau organisasi lainnya, melainkan mewakili diri
sendiri atau atas nama pribadi yang tidak diperbolehkan berafi liasi dengan salah
satu partai politik atau organisasi lainnya, untuk menjaga netralitas para anggota
KPU, dan memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan di dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007. Persyaratan tersebut di atas, di samping mensyaratkan kualifi
kasi anggota KPU dari segi intelektualitas, moralitas, dan integritas, juga
mensyaratkan tidak adanya afiliasi (netralitas) anggota KPU dengan
lembaga-lembaga publik maupun lembaga
D.
Penutup
1. Kesimpulan
a.
Kedudukan KPU
dalam struktur ketatanegaraan setelah adanya amandemen UUD merupakan lembaga
Negara yang mandiri, terpisah dari eksekutif
b.
Kemandirian KPU
secara historis mulai pada pemilu 1999 dan dengan adanya amandemen yang
mengamanatkan kemandirian yang diimplementasikan pada pemilu 2004 dan 2009.
Letak kemandiriannya adalah pada 1.kelembagaan yang meliputi organisai,
kepemimpinan dan anggaran. 2. Pada
pelaksanaan pemilu dan 3. pada anggotanya
2. Saran
Ada beberapa saran
dalam membenahi KPU saat ini dalam melakukan tugasnya terutama dalam
mensukseskan pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia Jujur dan adil. harus
ada pengawasan KPU yang lebih optimal terutama soal independensinya sehingga
kecurangan pemilu baik secara administrative maupun proses pemilunya dapat
diminimalisir. Selain itu harus ada elaborasi dengan kelembagaan lain yang
terkait dengan proses pemilihan umum semisal Banwaslu dan Mahkamah Konstitusi
E.
Daftar Pustaka
Buku
Asshidiqiu
Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi serpihan pemikiran, media
dan HAM : KONpress Jakarta
………..………..Format
Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH
UII Press, 2004,
………..………..
Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006
Makalah,
Modul jurnal
Asshidiqie Jimly Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan Keempat UUD Tahun 1945 makalah di sampaikan pada symposium
Nasional yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dan HAM, 2003
modul
KPU dengan Judul Pemilu di Indonesia
mujiyana Makna Kemandirian Komisi Pemilihan Umum
Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dalam jurnal Konstitusi UMY Vol 2 no 1
Modul KPU, Pemilu Di Indonesia
Peraturan
Perundang-Undangan
UUD NRI 1945
UU no 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
UU no 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
UU no 20 tahun 2007 tentang Pemilihan Umum
Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23
April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953
[1]
Jimly asshidiqiu, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi serpihan pemikiran,
media dan HAM : KONpress Jakarta Hlm VII
[2]
Jimly
Asshidiqiu, Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945 makalah di sampaikan pada symposium
Nasional yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman
dan HAM, 2003
[3] Jimly
Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
(Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 9.
[4] Ibid hlm 35
[5] Ibid hlm 11
[6] Jimly
Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), hlm. 99-104.
[7] Ibid hlm.105
[8] Makna Kemandirian Komisi Pemilihan Umum Dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, mujiyana dalam jurnal Konstitusi UMY Vol 2 no
1. Hlm 108
[9]
Ibid
[10] http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf
modul KPU dengan Judul Pemilu di Indonesia hlm 8
[11]
Ibid hlm 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar